PERDA dan KEARIFAN LOKAL
Diawal tahun kita sudah disuguhi dengan fenomena aturan – aturan baru yang sangat ditunggu – tunggui oleh beberapa kalangan, baik media ataupun kalangan yang sekedar ingin populer. Menarik untuk kita share bersama adalah bagaimana wacana PERDA di Ujung Atas SUMATERA yang digulirkan barusan. Dimana kaum hawa tidak diperbolehkan duduk searah dibelakang dengan yang memboncenginya diatas sepeda motor.
Hal ini kemudian menjadi perbincangan menarik dijagad republik baik local maupun diluar local, karena yang menjadi dasar hingga digulirkan wacana ini adalah permajaan kebiasaan local yang hampir punah akibat gempuran budaya luar dan kebiasaan dalam sikap beragama yang mulai ditinggalkan.
Tidak hanya di ACEH, daerah yang diberi bonus dengan KEISTIMEWAAN lainpun pernah bergejolak. Jogjapun pernah menjadi berbincangan meskipun bukan persoalan PERDAnya. Tetapi yang perlu kita pelajari kembali adalah komitmen dari pendiri RI ini dengan Petinggi daerah – daerah yang diberi bonus. Hal ini menjadi penting karena dengan BONUS tersebut seolah – olah daerah tersebut menjadi SAKRAL untuk dikaji. Bahkan menjadi ruang bagi orang – orang tertentu untuk mempermudah mengerjakan sesuatu yang menurut akal sehat kita pertanyakan.
Saya sepakat bahwa KEARIFAN LOKAL menjadi salah satu dasar untuk menyusun sebuah PERDA. Tentunya selaras dengan aturan tertinggi di RI ini (UUD dan PANCASILA) serta rasa KEBHINEKAAN. Hal yang cukup penting menurut hemat saya. Dan menjadi pertimbangan kita bersama adalah ketika kita memilih kata kunci KEARIFAN LOKAL. Kearifan local yang ada di Aceh sangat kental dengan nuansa ISLAMI. Perlu menjadi pertimbangan juga adalah dimana jika kita mengaitkan KEARIFAN LOKAL ini dengan AGAMA. Karena AGAMA apapun limitnya hanya sampai pada mengajar dan menghimbau. Tidak pernah sampai pada membuat aturan yang mengikat atau kasarnya adalah memaksa. AGAMA sadar pada dirinya dengan menjanjikan BONUS yang tidak bisa diterima oleh NALAR. Hanya mengandalkan SURGA atau NERAKA. Tidak pernah AGAMA satupun memiliki lembaga pemasyarakatan.
Apakah PEMERINTAHAN pantas membuat /mendirikan lembaga pemasyarakatan dengan mengatasnamakan AGAMA? Saya kira tidak.
Menjadi refleksi kita bersama adalah :
1. Apakah masih relevan wacana PERDA itu jika diberlakukan sekarang? 2. Apakah lebih penting PERDA seperti itu jika dibandingkan dengan mencari
solusi agar tidak menjerit jika ISTRI memintah uang yang lebih banyak untuk kebutuhan makanan sehari – hari yang kian melonjak?
3. Apakah aturan LALIN bisa mencover wacana PERDA tersebut dengan pertimbangan keselamatan?
4. Jika kita masih sibuk dengan urusan yang tidak masuk akal, selama itu pula AKAL SEHAT kita tidak akan berfungsi.