• Tidak ada hasil yang ditemukan

336042325 3 Teori teori Pembangunan Pertanian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "336042325 3 Teori teori Pembangunan Pertanian"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS TERSTRUKTUR

MATA KULIAH PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN Semester Genap 2015/2016

Judul Tugas : Teori-teori Pembangunan Pertanian

Kelas : Agribisnis B

Disusun Oleh:

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

2016

No Nama NPM

1. Carmelita Astrini 150610120119

2. Mitha Restu Angginiwati 150610130042

3. Kedang Ramadhan 1506101301052

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Penulis ingin sampaikan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Tugas makalah ini berisi tentang Teori-teori Pembangunan Pertanian mata kuliah Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Diharapkan penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam menambah wawasannya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Atas ketidaksempurnaan tersebut penulis memohon maaf dan mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini bermanfaat dapat menambah ilmu dan wawasan bagi pembaca.

Jatinangor, April 2016

Hormat kami,

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1 1.2. Rumusan Masalah... 1.3. Tujuan... BAB II PEMBAHASAN... 2.1. Struktur Pedesaan Progresif... 2.2. Proses Pembangunan Pertanian Progresif di Indonesia...

2.3. Teori Teori Pembangunan

Pertanian...

(4)
(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Struktur Pedesaan Progresif

Struktur pedesaan progresif adalah suatu sistem sirkulasi di daerah pedesaan yang memperlancar arus barang, informasi, serta jasa-jasa penunjang pertanian antara tiap-tiap usahatani dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam pembangunan pertanian, Mosher (1974: 9) mengatakan bahwa ada enam macam kelompok kegiatan yang saling berpengaruh :

1) Penelitian untuk menemukan dan memperkembangkan teknologi usahatani dan yang ada hubungannya dengan itu yang baru dan lebih baik.

2) Mengusahakan adanya impor atau produksi dalam negeri bagi sarana produksi dan alat-alat pertanian yang diperlukan agar teknologi baru itu dapat dipergunakan.

3) Menciptakan suatu pedesaan progresif ataupun organisasi pedesaan yang dapat menyedeiakan saluran-saluran agar bahan-bahan dan informasi-informasi dapat tersalur dengan mudah antara masing-masing usahatani dengan seluruh masyarakat disekitarnya.

4) Menciptakan dan memelihara adanya perangsang yang cukup bagi petani-petani untuk meningatkan produksi.

5) Memperbaiki tanah pertanian.

6) Mendidik dan melatih teknisi-teknisi agar mampu melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan baik.

(6)

Sementara, yang termasuk ke dalam syarat-syarat pelancarnya adalah: 1) Kota-kota pasar (market towns)

Mempunyai tempat-tempat perjalanan dimana petani-petani dapat membeli sarana produksi serta alat-alat pertanian dari pasar di mana petani dapat menjual hasil buminya.

2) Jalan-jalan pedesaan

Memperlancar dan menekan biaya pengangkutan hasil serta untuk penyaluran informasi dan segala jasa-jasa di daerah pedesaan.

3) Percobaan-percobaan pengujian lokal

5) Fasilitas kredit untuk membiayai penggunaan input produksi.

Dalam penerapannya, Struktur Pedesaan Progresif terorgansir menjadi dua bagian yaitu:

1) Lokalitas usahatani

Lokalitas usahatani adalah suatu daerah pedesaan yang cukup sempit sehingga setiap petani di dalamnya dengan alat pengangkutan yang ada padanya dapat pergi dari rumahnya ke pusat pasar dimana fasilitas-fasilitas untuk usahatani tersedia dan pada hari itu juga dapat pulang ke rumahnya. Jadi besar kecilnya lokalitas usahatani akan tergantung dari sarana dan prasarana pengangkutan. Unsur-unsur lokalitas usahatani yang efektif:

 Satu pusat pasar dengan beberapa tempat jual beli untuk hasil bumi dan tempat penjualan sarana produksi, alat pertanian yang dapat dibeli secara eceran.

 Cukup terdapatnya jalan baik dari usahatani menuju ke pusat pasar maupun dari pusat pasar ke dareah yang lebih luas lagi.

 Percobaan-percobaan lokal untuk memperoleh cara-cara bertani yang paling menguntungkan.

 Jasa-jasa penyuluhan pertanian

(7)

Karena saling isi mengisi semua unsur tersebut itulah, maka didalam usaha penciptaan dan usaha untuk memperkuat lokalitas usahatani harus ditinjau sebagai satu kelompok kegiatan yang tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Luas dari lokalitas usahatani dapat diperluas jika kemampuan dari jangkauan unsur-unsur terutama unsur pengangkutan sudah berkembang.

2) Distrik usahatani

Tujuan pembentukan distrik usahatani adalah:

 Menyediakan fasilitas dan jasa-jasa yang dibutuhkan lokalitas usahatani

 Membantu petani secara efektif

Distrik usahatani ini terdiri dari beberapa lokalitas usahatani. Distrik usahatani harus dapat membantu lokalitas usahatani seperti lokalitas usahatani membantu petani. Dengan demikian distrik usahatani harus menyediakan fasilitas-fasilitas dan jasa-jasa yang memungkinkan lokalitas usahatani untuk membantu petani secara efektif. Jasa yang dibutuhkan oleh distrik usahatani yaitu:

 Pasar distrik (grosir) untuk hasil produksi, sarana produksi dan alat pertanian.

 Penelitian pertanian regional

 Kantor penyuluhan distrik

 Bank-bank distrik

 Jalan-jalan dan saluran-saluran perhubungan distrik.

Besarnya distrik usahatani ini pada umumnya sama besarnya dengan distrik (kecamatan), dengan demikian batas distrik usahatani sama dengan batas-batas administratif pemerintahan. Bukan berarti harus sama, tetapi untuk memudahkan sebaiknnya dibentuk sama.

Dalam pembentukan lokalitas usahatani dan distrik usahatai perlu memperhatikan situasi dan kondisi daerah terutama potensi yang dimiliki dan menggolongkannya sesuai dengan kondisi tadi, seperti :

a. Potensi pertumbuhan (pertanian) segera (PPS)

(8)

Gambar 2.1: Model Lokalitas Usahatani

Gambar 2.2: Model Distrik Usahatani

(9)

Struktur pedesaan progresif ini akan berpengaruh dalam produktivitas usahatani dalam berbagai bentuk seperti pertanian kecil atau petani gurem atau subsistem, pertanian besar, dan perkebunan besar

Masalah-masalah yang timbul dalam struktur pedesaan progresif adalah :

1) Perimbangan antara berbagai unsur struktur pedesaan progresif yang harus digabung.

2) Bagaimana mengatur intensitas program-program yang menunjang struktur pedesaan progresif secara geografis di dalam suatu negara.

3) Penyesuaian perencanaan yang diperlukan untuk mencapai struktur pedesaan progresif kepada prosedur perencanaan nasional yang menyeluruh bagi pembangunan pertanian.

4) Membuat efektifitas atau berkualitas tiap-tiap unsur struktur pedesaan progresif. 5) Menetapkan besarnya perhatian (dan sumber-sumber pemerintah) yang perlu

dicurahkan untuk struktur pedesaan progresif.

Hal-hal yang dapat mempercepat tumbuhnya struktur pedesaan progresif adalah sebagai berikut:

1) Merencanakan dan melaksanakan rencana pengadaan unsur-unsur struktur pedesaan progresif.

2) Mengkoordinasikan dengan baik unsur-unsur struktur pedesaan progresif 3) Pertambahan penduduk

4) Adanya pengaruh dari daerah yang telah maju (baik disengaja maupun tidak disengaja)

(10)

2.2. Proses Pembangunan Pertanian Progresif di Indonesia

Pembangunan pertanian Indonesia dihadapkan delapan tantangan yang paling mendesak untuk segera ditangani. Pertama, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian. Kedua, peningkatan ketahanan pangan dan penyediaan bahan baku industri. Ketiga, penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Keempat, operasionalisasi pembangunan berkelanjutan. Kelima, globalisasi perdagangan dan investasi. Keenam, terbangunnya industri hasil pertanian sampai tingkat desa. Ketujuh, sinkronisasi program pusat dan daerah sejalan era otonomi daerah. Dan kedelapan, penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik. Dalam jangka panjang, sasaran yang perlu ditempuh adalah, terwujudnya sistem pertanian industrial yang berdaya saing, mantapnya ketahanan pangan secara mandiri, terciptanya kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian dan hapusnya masyarakat petani miskin serta meningkatnya pendapatan petani.

Untuk mencapai sasaran tersebu, maka arah kebijakan yang perlu dilakukan adalah meningkatkan potensi basis produksi dan skala usaha pertanian, mewujudkan sumberdaya insani pertanian yang berkualitas, mewujudkan pemenuhan keutuhan infrastruktur pertanian, mewujudkan sistem inovasi pertanian, mewujudkan sistem pembiayaan pertanian tepat guna, mewujudkan kelembagaan pertanian yang kokoh, menyediakan sistem insentif dan perlindungan bagi petani, mewujudkan pewilayahan pengembangan komoditas unggulan (sentra), menerapkan praktek pertanian yang baik serta mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berpihak kepada petani dan pertanian.

(11)

Paradigma Pembangunan Pertanian

Paradigma Pertanian untuk Pembangunan (Agriculture for Development) menyatakan bahwa pembangunan perekonomian nasional dirancang dan dilaksanakan berdasarkan tahapan pembangunan pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai motor penggerak pembangunan. Penempatan kedudukan (positioning) sektor pertanian dalam pembangunan nasional merupakan kunci utama keberhasilan mewujudkan Indonesia yang bermartabat, mandiri, maju, adil dan makmur. Tahapan pencapaian dan peta jalan transformasi struktural merupakan landasan untuk menetapkan posisi sektor pertanian dalam pembangunan nasional. Transformasi yang esensial dalam mendesain rencana jangka panjang pembangunan pertanian mencakup: Transformasi Demografi, Transformasi Ekonomi, Transformasi Spasial, Transformasi Institusional, Transformasi Tatakelola Pembangunan dan Transformasi Pertanian. Transformasi pertanian merupakan poros penggerakan transformasi pembangunan nasional secara keseluruhan. Dengan paradigma ini, proses transformasi pembangunan nasional dikelola terpadu, sinergis, dan berimbang dengan proses transformasi pertanian.

Paradigma Pertanian untuk Pembangunan menekankan pembangunan pertanian mengemban sepuluh fungsi: pertama, pengembangan sumber daya insani; kedua, ketahanan pangan; ketiga, penguatan ketahanan penghidupan keluarga; keempat, basis (potensial) ketahanan energi (pengembangan bioenergi); kelima, pengentasan kemiskinan dan pemerataan pembangunan; keenam, jasa lingkungan alam; ketujuh, basis (potensial) untuk pengembangan bioindustri; kedelapan, penciptaan iklim kondusif bagi pembangunan; kesembilan, penguatan sumber daya tahan perekonomian (economic resilient); dan kesepuluh, sumber pertumbuhan berkualitas.

(12)

Disana kita dapat membaca tantangan dan peluang yang mencakup pertanian masa datang (termasuk peternakan) bahwa, pertama, perubahan iklim global akan mengurangi secara kapasitas (daya hasil dan stabilitas) produksi pertanian pada tingkat nasional dan global sehingga menjadi ancaman terhadap ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan air; kedua, peningkatan kelangkaan ketersediaan dan persaingan pemanfaatan lahan dan air akan menimbulkan kesulitan dalam ekstensifikasi lahan dan air untuk pertanian yang selanjutnya akan mendorong munculnya gerakan land and water grabbing pada tataran global; ketiga, pertumbuhan penduduk dan urbanisasi akan meningkatkan kebutuhhan bahan pangan, air dan energi sehingga tekanan dalam mewujudkan ketahanan pangan, air dan energi semakin berat; keempat, inovasi IPTEK semakin kompleks dan kepemilikan eksklusif sehingga kemandirian IPTEK menjadi prasarat untuk mewujudkan kedaulatan pertanian; kelima, Industri dan perdagangan sarana dan hasil pertanian global semakin dukuasai oleh sedikit perusahaan multinasional sehingga mengancam eksistensi usaha pertanian skala kecil yang masih dominan di Indonesia; keenam, meningkatnya permintaan terhadap jaminan dan kompleksitas atribut mutu produk telah menyebabkan pengembangan rantai nilai (global) yang transparan dan dapat ditelusuri (traceable) sebagai syarat implementasi akses pasar bagi petani (kecil); dan ketujuh tuntutan desentralisai pemerintahan, partisipasi masyarakat dan reformasi tatakelola pemerintahan dapat menghambat pembangunan pertanian bila tidak dikelola dengan baik.

(13)

permintaan pangan, pakan, bioenergi dan bioproduk ramah lingkungan mengembangkan bioindustri yang menghasilkan produk-produk tersebut secara komplementer; kelima, pemanfaatan kecenderungan baru penghargaan atas jasa lingkungan dan jasa amenity sebagai peluang untuk mengembangkan pertanian agroekologis; keenam, pemanfaatan kemajuan IPTEK global untuk pengembangan inovasi dengan modal dasar lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang tersebar luas di seluruh wilayan Indonesia; ketujuh pemanfaatan secara bijak potensi sumberdaya lahan dan air yang masih tersedia cukup besar di Indonesia, khususnya di luar Jawa; dan kedelapan pemanfaatan momentum gerakan desentralisasi pemerintahan, partisipasi masyarakat dan reformasi tatakelola pemerintahan untuk pengembangan sistem politik pertanian yang digerakan oleh dan berorientasi pada petani kecil.

Dari rumusan-rumusan itulah maka paradigma pertanian untuk pembangunan juga harus berubah, bergeser atau mentransformasi diri pada tindakan progresif dan komprehensif, untuk mengurangi ketergantungan pasokan energi (fuels) dan bahan baku industry (feed) dari bahan fosil. Disamping penghasil utama bahan pangan, pertanian juga dituntut untuk menjadi penghasil non-pangan pengganti bahan baku hidrokarbon yang berasal dari fosil bagi industri. Teknologi Reviolusi Hijau yang selama ini menjadi basis pertanian harus ditrasformasi menjadi Revolusi Hayati (biorevolution).

Solusi Untuk Persaingan Pasar

(14)

Sektor pertanian Indonesia dihadapkan pada persaingan pasar yang semakin kompetitif, di tengah dinamika perubahan lingkungan strategis internasional. Ratifikasi berbagai kesepakatan internasional, memaksa setiap negara membuka segala rintangan perdagangan dan investasi, serta membuka keran ekspor-impor seluas-luasnya. Hal tersebut akan mendorong persaingan pasar yang semakin ketat, sebagai akibat integrasi pasar regional/internasional terhadap pasar domestik.

Praktek perdagangan bebas yang cenderung menghilangkan perlakukan non-tariff barrier telah berdampak besar terhadap sektor pertanian Indonesia, baik di tingkat mikro (usahatani) maupun di tingkat makro (nasional-kebijakan). Di tingkat mikro, liberalisasi perdagangan ini sangat terkait dengan efisiensi, produktivitas dan skala usaha. Sedangkan di tingkat makro, kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi petani produsen dan masyarakat konsumen. Pada kenyataannya kelompok negara maju lebih berhasil dalam mengamankan petaninya agar tetap bergairah berproduksi. Sementara negara-negara berkembang relatif kurang berhasil memproteksi petani produsen dan masyarakat konsumen.

Tantangan sektor pertanian Indonesia ke depan yang harus dihadapi adalah bagaimana meningkatkan daya saing komoditas pertanian dengan karakteristik yang sesuai keinginan konsumen dan memiliki daya saing yang tinggi, baik di pasar domestik ataupun pasar ekspor. Pengembangan daya saing dan ekspansi pasar komoditas ekspor tradisional harus lebih ditingkatkan, terutama pengembangan produk olahan pertanian. Di samping pengembangan komoditas dan produk pertanian baru yang memiliki permintaan pasar yang tinggi harus segera dirintis dan diwujudkan.

Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian. Mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya adalah petani yang tinggal di daerah pedesaan, kondisi ini juga semakin menyulitkan dengan semakin berkurangnya upaya pendampingan dalam bentuk penyuluhan pertanian. Di sisi lain, bagi sebagian besar penduduk pedesaan, sudah kurang tertarik lagi bekerja dan berusaha di sektor pertanian, sehingga mengakibatkan semakin tingginya urbanisasi ke perkotaan.

(15)

termasuk kelompok penduduk di pedesaan. Kelompok ini sesungguhnya dapat lebih memegang peranan penting dalam seluruh proses produksi usaha tani. Mereka berpeluang menjadi penyediaan dan distribusi sarana produksi, usaha jasa pelayanan alat dan mesin pertanian, usaha industri pasca panen dan pengolahan produk hasil pertanian, usaha jasa transportasi, pengelolaan lembaga keuangan mikro, sebagai konsultan manajemen agribisnis, serta tenaga pemasaran hasil-hasil produk agroindustri.

Hal ini mengisyaratkan perlunya pembangunan pertanian dilakukan secara komprehensif dan terpadu dengan pengembangan sektor komplemennya (agroindustri, penyediaan kredit, teknologi melalui penyuluhan, dan pasar), sehingga menghasilkan nilai tambah di luar lahan dan upah tenaga fisiknya.

Maksudnya, sektor pertanian ke depan sangat memerlukan suatu strategi kebijakan dan langkah konkrit berupa pemberian insentif pajak, akses permodalan dan informasi bagi pelaku agribisnis yang akan melakukan investasi pada sektor pengolahan dan pemasaran di hilir. Di sinilah esensi peningkatan nilai tambah (added value) komoditas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan akan sejalan dengan upaya peningkatan keunggulan kompetitif yang dimaksudkan di atas. Logikanya, investasi di sektor hilir tersebut pasti akan menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi. Aktivitas ini akan menggairahkan ekonomi pedesaan, tanpa harus bekerja keras membendung arus urbanisasi yang terkadang didominasi tenaga tidak terampil dan berpendidikan rendah.

(16)

melaksanakan kemitraaan strategis dengan peguruan tinggi dan pusat-pusat penelitian pangan, yang sebenarnya tersebut di segenap pelosok Indonesia.

Dengan R-and-D dan R-for-D inilah, inovasi baru akan tercipta, sehingga daya saing Indonesia akan meningkat berlipat-lipat. Dunia usaha atau sektor swasta dapat pula untuk menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan diversifikasi pangan, terutama yang berbasis pemanfaatan teknologi dan industri pangan. Diversifikasi pangan yang berbasis kearifan dan budaya lokal akan sangat kompatibel dengan strategi pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang sesuai dengan kondisi demografi Indonesia yang plural heterogen. Dalam hal ini, langkah pengembangan teknologi dan industri pangan disesuaikan dengan kandungan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal.

1) Masyarakat tradisional (the traditional society),

2) Prakondisi untuk tinggal landas menuju pertumbuhan berkelanjutan (the preconditions for take-off),

3) Tahap tinggal landas (the take-off),

4) Tahap menuju kedewasaan (the drive to maturity), dan

5) Tahap masyarakat dengan tingkat konsumsi tinggi (the age of high mass consumption).

(17)

sederhana. Struktur sosial dalam sistem masyarakat tradisional bersifat berjenjang sehingga mempengaruhi penguasaan sumberdaya pada hubungan darah dan keluarga. Pada tahap kedua proses pertumbuhan oleh Rostow bahwa sektor industri mulai berkembang namun sektor pertanian masih sangat dominan dalam masyarakat. Tahap ini sekaligus menjadi tahap dimana masyarakat memasuki tahap persiapan untuk maju ke tahap selanjutnya. Perekonomian bergerak dinamis, industri-industri bermunculan, perkembangan teknologi yang pesat, dan lembaga keuangan sebagai penggerak dana mulai bermunculan. Industrialisasi dapat dipertahankan jika dipenuhi syarat sebagai berikut:

1) Peningkatan investasi di sektor infrastruktur/prasarana terutama transportasi. 2) Revolusi bidang pertanian untuk memenuhi peningkatan permintaan penduduk. 3) Perluasan impor, termasuk impor modal oleh biaya produksi yang efisien dan

pemasaran sumber alam untuk ekspor.

Tahap tinggal landas sebagai suatu revolusi industri yang berhubungan dengan revolusi metode produksi dan didefinisikan sebagai tiga kondisi yang saling berkaitan, sebagai berikut:

1) Kenaikan laju investasi produktif antara 5 - 10% dari pendapatan nasional

2) Perkembangan salah satu atau beberapa sektor manufaktur penting dengan laju pertumbuhan tinggi.

3) Hadirnya secara cepat kerangka politik, sosial dan institusional yang menimbulkan hasrat ekspansi sektor modern, dan dampak eksternalnya akan memberikan daya dorong pada pertumbuhan ekonomi.

Prasyarat pertama dan kedua saling berkaitan dimana kenaikan laju investasi produktif antara 5–10% dari GNP dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada sektor-sektor ekonomi khususnya sektor manufaktur. Karena sektor manufaktur dipandang sebagai indikator perkembangan industrialisasi dan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lain. Maka dengan mendorong pertumbuhan tinggi sektor manufaktur akan mempengaruhi pertumbuhan tinggi pada sektor lain yang berakibat pada perkembangan GNP yang lebih tinggi.

(18)

1) Tenaga kerja berubah dan tidak terdidik menjadi baik

2) Perubahan watak pengusaha dari pekerja dari keras dan kasar berubah menjadi manajer efisien yang halus dan sopan

3) Masyarakat jenuh terhadap indutrialisasi dan menginginkan perubahan lebih jauh

Tahap konsumsi tinggi merupakan tahap akhir teori pertumbuhan Rostow. Pada tahap ini ditandai dengan migrasi besar-besaran masyarakat pusat perkotaan ke pinggiran kota, akibat dari pusat kota dijadikan sebagai tempat kerja. Juga perubahan orientasi dari pendekatan penawaran (supply side) yang dianut menuju ke pendekatan permintaan (demand side). Lebih lanjut terjadi pergeseran perilaku ekonomi yang awalnya menitikberatkan pada produksi, namun beralih ke konsumsi. Menurut Rostow tiga kekuatan utama yang cenderung meningkatkan kesejahteraan adalah:

1) Pengaruh kebijakan nasional guna meningkatkan kekuasaan dan pengaruh melampaui batas-batas nasional

2) Ingin memiliki satu negara kesejahteraan (walfare state) dengan pemerataan pendapatan nasional yang lebih adil melalui pajak progresif, peningkatam jaminan sosial dan fasilitas hiburan bagi para pekerja

3) Keputusan untuk membangun pusat perdangan dan sektor penting seperti mobil, jaringan rel kereta api, rumah murah, dan berbagai peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik.

Posisi Pertanian dalam Teori Pembangunan Ekonomi Rostow

Posisi pertanian sangat memegang peranan penting pada tahapan pertama pertumbuhan ekonomi Rostow (masyarakat taradisional), tetapi semakin berkembang ke tahap selanjutnya, posisi pertanian dan perannya semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh munculnya pemikiran-pemikiran masyarakat yang baru yang terjadi, seperti:

• Penilaian yang berdasarkan spesialisasi, tidak hanya di bidang pertanian. • Transformasi dari sektor pertanian ke sektor lain.

(19)

• Lebih efektif dan efisien dalam bekerja, mengakibatkan tenaga kerja di pertanian berkurang karena penggunaan teknologi. Akibatnya perkerja pindah ke sektor lain, seperti industri nonpertanian.

Di Indonesia, pertanian yang tumbuh memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Sejarah menunjukkan bahwa pembangunan pertanian merupakan prasyarat untuk adanya kemajuan dalam tahapan-tahapan pembangunan selanjutnya. Karena pertanian memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek dalam perekonomian di Indonesia, maka pembangunan pertanian merupakan penentu utama dalam pertumbuhan ekonomi pedesaan, termasuk di dalamnya non-pertanian di pedesaan. Dengan demikian, pembangunan pertanian menjadi bagian yang esensial bagi upaya-upaya pengurangan kemiskinan di pedesaan maupun di perkotaan. Indonesia sebagai negara agraris tidak boleh meninggalkan potensi pertaniannya, tetapi dengan merubah pola pikir primitif menjadi modern melalui pendidikan dan kebijakan pemerintah, maka posisi pertanian dapat memegang peranan penting lagi.

2.3.2. Teori Pembangunan Arthur Lewis

Pembahasannya lebih pada proses pembangunan antara daerah kota dan desa, diikuti proses urbanisasi antara kedua tempat tersebut. Selain itu teori ini juga mengulas model investasi dan sistem penetapan upah pada sistem modern yang juga berpengaruh pada arus urbanisasi yang ada. Lewis mengasumsikan bahwa perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua :

1) Perekonomian tradisional

(20)

Sektor industri berperan penting dalam sektor ini dan letaknya pula di perkotaan. Pada sektor ini menunjukkan bahwa tingkat produktivitas sangat tinggi termasuk input dan tenaga kerja yang digunakan. Nilai marginal terutama tenaga kerja, bernilai positif dengan demikian daerah perkotaan merupakan tempat tujuan bagi para pencari kerja dari daerah pedesaan. Jika ini terjadi maka penambahan tenaga kerja pada sektor-sektor industri akan diikuti pula oleh peningkatan output yang diproduksi. Dengan demikian, industri perkotaan masih menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk desa. Selain lapangan kerja yang tersedia tidak kalah menarik tingkat upah di kota yang mencapai 30%, dan ini kemudian menjadi ketertarikan bagi penduduk desa dalam melakukan urbanisasi.

Posisi Pertanian dalam Teori Pembangunan Ekonomi Lewis

Posisi pertanian dalam teori pembangunan ekonomi Lewis berubah dari penting menjadi kurang penting akibat perubahan struktur sosial. Semakin berkembangnya zaman membuat kebanyakan masyarakat berpikir bahwa pertanian kurang dapat membuat hidup ekonomi perkapita baik. Akibatnya terjadi peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian “tradisional” ke sektor industri “modern”. Hal ini diasumsikan bahwa pendapatan di perkotaan tempat industri lebih tinggi daripada pendapatan pertanian di pedesaan. Kebanyakan masyarakat sudah tidak terpaku pada sektor pertanian, dengan asumsi bahwa banyak orang yang mencari kerja ke kota yang berakibat berlebihnya tenaga kerja. Kurangnya modal untuk membuat lapangan kerja baru juga menjadi dampak lain dalam teori ini.

(21)

Pembangunan yang berlangsung selama ini ternyata memang belum berhasil mengangkat petani dan pertanian kepada posisi yang seharusnya. Kesenjangan kesejahteraan petani dibandingkan dengan pekerja di sektor lainnya memang semakin melebar. Produktivitas usahatani dan kualitas produk tidak menunjukkan perbaikan yang berarti. Produk-produk pertanian semakin berkurang daya saingnya dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Keterpurukan dan tidak berkembangnya sektor pertanian ini memiliki dampak luas dan dalam bagi pembangunan ekonomi dan pembangunan Indonesia secara keseluruhan. Tertinggalnya sektor pertanian mengakibatkan pembangunan ekonomi dan pembangunan negara pada umumnya tidak memiliki landasan yang kokoh dan mudah runtuh saat terjadi perubahan keadaan.

Hal-hal yang diharapkan dalam pertanian di Indonesia:

1) Sektor pertanian yang tumbuh cepat akan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk di pedesaan yang pada gilirannya dapat meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor non-pertanian. 2) Pertumbuhan sektor pertanian akan mendorong pembangunan agroindustri. 3) Kemajuan teknologi di sektor pertanian yang diwujudkan dalam peningkatan

produktivitas tenaga kerja, menjadikan sektor ini dapat menjadi sumber tanaga kerja yang relatif murah bagi sektor non-pertanian.

4) Pertumbuhan sektor pertanian yang diikuti oleh naiknya pendapatan penduduk pedesaan akan meningkatkan tabungan.

2.3.3. Contoh Kasus Teori Pembangunan Ekonomi Rostow dan Lewis: Pertanian di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat

(22)

Sementara itu kondisi jaringan jalan yang ada belum dapat mendukung sepenuhnya aktivitas pertanian tersebut, hal ini terlihat dari masih banyaknya ruas jalan yang lebarnya belum memenuhi syarat, kondisi permukaan jalan yang rusak dan masih banyak ruas jalan yang melalui lokasi pertanian belum dapat dilalui kendaraan roda dua sekalipun, dengan mengatasi penanganan jaringan jalan ini, maka tentunya aktivitas sektor pertanian akan lebih ekonomis sehingga dengan sendirinya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dan sekaligus akan meningkatkan pengembangan wilayah dari kabupaten Tanah Datar itu sendiri.

Kabupaten Tanah Datar adalah daerah agraris, lebih 70% penduduknya bekerja pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan maupun peternakan. Begitu juga dengan usaha masyarakat pada sektor lain juga berbasis pertanian seperti pariwisata dan industri kecil atau agro industri. Masyarakat Tanah Datar juga dikenal gemar menabung dengan total dana tabungan masyarakat sebesar Rp 223 milyar pada tahun 2004.

Potensi ekonomi kabupaten Tanah Datar dapat dikatagorikan atas tiga kategori yaitu: Sangat Potensial, Potensial dan Tidak Potensial. Untuk sektor pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah ubi kayu, kubis, karet, tebu, peternakan sapi potong, peternakan kuda, peternakan kambing potong, budidaya ayam ras pedaging, ayam bukan ras, budidaya itik dan budidaya ikan air tawar. Sektor lain yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah industri konstruksi bangunan sipil, pedagang eceran makanan olahan hasil bumi, usaha warung telekomunikasi, pedagang cinderamata dan wisata sejarah. Kabupaten Tanah Datar yang potensial untuk hampir semua sektor pertanian kecuali cengkeh, tembakau, bayam dan merica. Sedangkan untuk sektor pertambangan yang potensial dikembangkan adalah galian kapur dan sirtu.

 Sektor usaha pertambangan

Industri pertambangan juga telah berdiri di Kabupaten Tanah Datar ini, yang memiliki potensi bahan tambang berupa batu gamping kristalian yang sekarang dikelola oleh PT. Inkalko Agung, dolomit, granit, sirtukil, tanah liat, batu setengah permata, trass, fosfat, batubara, besi, emas, belerang, kuarsa dan slate.

(23)

Seiring semakin majunya perekonomian kabupaten ini, maka sektor industri pun mulai berkembang. Industri di Kabupaten Tanah Datar didominasi oleh industri kecil seperti tenunan pandai sikek yang terdapat di kecamatan Sepuluh Koto, kopi bubuk, kerupuk ubi, kerupuk kulit, anyaman lidi, gula aren, gula tebu. Sektor industri besar berupa peternakan ulat sutera oleh PT. Sutera Krida. Pada tahun 2004 nilai investasi sektor industri kecil di kabupaten Tanah Datar mencapai Rp 7 milyar dengan nilai produksi sebesar Rp 60 milyar.

 Sektor usaha pariwisata

Di Kabupaten Tanah Datar saat ini masih banyak terdapat peninggalan sejarah adat Minangkabau tersebut, baik berupa benda maupun tatanan budaya adat Minangkabau. Ikrar “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” ini disebut juga dengan Sumpah Satie yang juga di Tanah Datar dilahirkan, yaitu tempatnya di Bukit Marapalam Puncak Pato, Kecamatan Lintau Buo Utara. Kabupaten Tanah Datar sebagai tempat asal mula suku Minangkabau banyak sekali memiliki tempat sejarah. Industri wisata di kabupaten Tanah Datar ini sangat potensial untuk dikembangkan.

Tempat wisata sejarah yang terdapat di kabupaten Tanah Datar ini antara lain Istana Pagaruyung, Balairuang Sari, Puncak Pato, Prasasti Adityawarman, Batu Angkek-angkek, Rumah Gadang Balimbing, Kincir Air, Batu Basurek, Nagari Tuo Pariangan, Fort van der Capellen, Batu Batikam dan Ustano Rajo. Sedangkan untuk wisata alam dan budaya di kabupaten Tanah Datar adalah Lembah Anai, Panorama Tabek Pateh, Danau Singkarak Bukit Batu Patah dan Ngalau Pangian.

Analisis Teori Rostow:

(24)

maupun nonpertanian, seperti industri kecil penghasil kopi bubuk, kerupuk ubi, kerupuk kulit, anyaman lidi, gula aren, gula tebu. Disamping itu terdapat pula industri besar seperti peternakan ulat sutera oleh PT. Sutera Krida.

Analisis Teori Lewis:

Perubahan struktural Kabupaten Tanah datar juga terlihat dari semakin berkurangnya penduduk yang bekerja di sektor pertanian ke sektor nonpertanian, seperti pertambangan dan periwisata. Berdirinya industri di perkotaan membuat sebagian dari masyarakat memilih bekerja sebagai buruh pabrik di kota. Mereka menilai upahnya lebih besar daripada bekerja sebagai petani.

2.3.4. Teori Von Thunen

Johann Heinrich Von Thunen adalah orang yang pertama kali mengemukakan teori ekonomi lokasi modern. Von Thunen menjabarkan mengenai ekonomi keruangan (spatial economics), yang menghubungkan teori ini dengan teori sewa (theory of rent). Von Thunen adalah orang pertama yang membuat model analitik dasar dari hubungan antara pasar, produksi, dan jarak. Dalam menjelaskan teorinya ini, Von Thunen menggunakan tanah pertanian sebagai contoh kasusnya.

Teori ini menggambarkan bahwa perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian dari tempat produksi ke pasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah di daerah tersebut. Teori ini juga memperhatikan jarak tempuh antara daerah produksi dan pasar, pola tersebut memasukkan variabel keawetan, berat, dan harga dari berbagai komoditas pertanian. Pada perkembangannya teori ini tidak hanya berlaku untuk komoditas pertanian, tetapi berlaku juga untuk komoditas lainnya.

Model Von Thunen mengenai tanah pertanian ini dibuat sebelum era industrialisasi. Dalam teori ini terdapat 7 asumsi yang digunakan oleh Von Thunen dalam pengujiannya:

(25)

b) Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain (single market)

c) Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah perkotaan (single destination)

d) Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama (homogenous) dan cocok untuk tanaman dan peternakan dalam menengah

e) Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaikan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan (maximum oriented)

f) Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat (one moda transportation)

g) Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar (equidistant)

(26)

Gambar 2.: Ilustrasi Teori Von Thunen

Gambar model Von Thunen di atas dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, menampilkan “isolated area” yang terdiri dari dataran yang “teratur”, kedua adalah, kondisi yang “telah dimodifikasi” (terdapat sungai yang dapat dilayari). Semua penggunaan tanah pertanian memaksimalkan produktifitasnya masing-masing, dimana dalam kasus ini bergantung pada lokasi dari pasar (pusat kota).

Model Von Thunen membandingkan hubungan antara biaya produksi, harga pasar dan biaya transportasi. Kewajiban petani adalah memaksimalkan keuntungan yang didapat dari harga pasar dikurang biaya transportasi dan biaya produksi. Aktivitas yang paling produktif seperti berkebun dan produksi susu sapi, atau aktivitas yang memiliki biaya transportasi tinggi seperti kayu bakar, lokasinya dekat dengan pasar.

Dalam teori Von Thunen ini, terdapat beberapa asumsi yang sudah tidak relevan lagi, diantaranya adalah:

a. Jumlah Pasar

(27)

b. Topografis

Kondisi topografi dan kesuburan tanah tidak selalu sama, pada dasarnya kondisi ini selalu berbeda untuk tiap-tiap wilayah pertanian. Jadi untuk hasil pertanian yang akan diperoleh juga akan berbeda pula.

c. Biaya Transportasi

Keseragaman biaya transportasi ke segala arah dari pusat kota yang sudah tidak relevan lagi, karena tergantung dengan jarak pemasaran dan bahan baku, dengan kata lain tergantung dengan biaya transportasi itu sendiri (baik transportasi bahan baku dan distribusi barang). Kemajuan di bidang transportasi juga telah menghemat banyak waktu dan uang (mengurangi resiko busuk komoditi)

d. Petani tidak semata-mata ‘profit maximization’

Petani yang berdiam dekat dengan daerah perkotaan mempunyai alternatif komoditas pertanian yang lebih banyak untuk diusahakan. Sedangkan petani yang jauh dari perkotaan mempunyai pilihan lebih terbatas.

(28)

Contoh Kasus:

Sebagai contoh kawasan perbatasan PALSA (Kabupaten Sambas, yang terdiri dari Kecamatan Paloh dan Sajingan Besar) sektor ekonomi utamanya adalah pertanian (dengan komoditas utama padi ladang yang memiliki persentase terbesar penggunaan lahan yaitu sebesar 28,8%; serta komoditas utama palawija ubi kayu yang memiliki persentase produksi tertinggi yaitu sebesar 43,14%). Dengan struktur mata pencaharian penduduk kawasan perbatasan yang sebagian besar adalah petani, maka sektor industri sama sekali tidak berkembang, baik industri ringan, sedang maupun berat. Kegiatan perdagangan berskala besar di kawasan perbatasan hingga tahun 1999 relatif sangat sedikit (0.2%). Selebihnya berupa kegiatan perdagangan berskala sedang (11.90%) dan perdagangan berskala kecil (87.90%).

Selama ini memang telah disadari bahwa orientasi ekonomi kawasan perbatasan adalah ke wilayah Sarawak (Malaysia). Sedangkan untuk pemasaran komoditi ke pusat-pusat pasar di Kabupaten Sambas masih cukup sulit dilakukan. Hal ini disebabkan belum cukup tersedianya sarana dan prasarana transportasi darat, sehingga proses koleksi, distribusi, dan pelayanan di kawasan perbatasan mengikuti pasang surutnya air sungai. Pada musim hujan komoditi dari pedalaman dapat dipasarkan melalui sungai-sungai kecil yang menginduk ke Sungai Sambas,Bantanan dan Paloh. Dari sungai ini melalui jarak dan rantai pemasaran yang panjang, barang-barang dapat dipasarkan ke pusat-pusat pemasaran dalam waktu berhari-hari.

2.3.5. Teori Difusi Inovasi Rogers

Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu.

(29)

because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.

Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a cumulative basis over time.”

Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F. Floyd Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).

Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.”

Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:

(30)

b. Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.

d. Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents).

Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup: 1) Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit

pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi

(31)

3) Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.

4) Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.

5) Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.

Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujuakan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961). Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:

1) Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi

2) Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi

3) Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.

4) Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.

5) Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas.

Penerapan dan Keterkaitan Teori

(32)

merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan (invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences). Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau dikembangkan. Difusi adalah proses dimana ide/gagasan baru dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau penolakan inovasi.

Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure’ (Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan ini antara lain dikemukakan Parker (1974), yang mendefinisikan difusi sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai bagian dari kegiatan produktif.

Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu

a. Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.

b. Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.

(33)
(34)
(35)

DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/61366911/Posisi-Pertanian-Dalam-Teori-Pembangunan-Ekonomi-Rostow-Dan-Lewis

https://wsmulyana.wordpress.com/2009/01/25/teori-difusi-inovasi/

http://images.sjarwo.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SD5BgwoKCncAA DDrJuM1/PEMBANGUNAN%20PEDESAAN.ppt?

key=sjarwo:journal:10&nmid=87415560.

Gambar

Gambar 2.1: Model Lokalitas Usahatani
Gambar 2.: Ilustrasi Teori Von Thunen

Referensi

Dokumen terkait

Struktur industri pengolahan kayu Indonesia di masa mendatang dapat dipastikan berubah sebagai akibat dari keterbatasan sumberdaya hutan sebagai penghasil kayu, semakin mahalnya

Akibat lambatnya transformasi sektor pertanian ke non pertanian menyebabkan masih banyak sektor ini menyerap tenaga kerja yang berakibat produktifitas tenaga kerjanya rendah

3 TEORI ASAM DAN BASA YANG UMUM DIGUNAKAN : ARRHENIUS, BRONSTED-LOWRY, DAN LEWIS..

Produksi pertanian sangat kurang pasti dsn resikonya besar karena tergantung pada alam yang kebanyakan di luar kekuasaan manusia untuk mengontrolnya,

Menyikapi perkembangan struktur ekonomi dan masyarakat dunia serta inovasi teknologi, pada kesempatan ini, saya ingin memaparkan tentang arah pengembangan teknologi pertanian

Dngan semakin berkembangnya kegiatan pertanian di pesantren Al-Ittifaq sebagai lembaga dakwah maka perlu kiranya ada suatu konsep dakwah yang mendasari kegiatan

Wray & Lewis Pritchard, 2009 mengemukakan 4 poin penting yang dapat diformulasikan menjadi 4 prinsip pembelajaran menurut teori konstruktivistik, diantaranya: 1 Learning is a process

Teori Peacock dan Wiseman Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan