• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Udara Internasional dengan PT Angk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hukum Udara Internasional dengan PT Angk"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Keterkaitan Hukum udara Internasional

dengan PT Angkasa Pura II

Di ajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Internasional lanjutan

Oleh Kelompok Hukum Perdata: Erawan Riswandi

Nadia Aulia

Rahmat Akbar

Nurul Haniza

Universitas Komputer Indonesia

Hubungan Internasional

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya lah makalah kami dengan judul “Peranan Hukum Udara

Internasional terhadap PT Angkasa Pura II” bisa diselesaikan dalam rangka

memenuhi tugas kami dalam mata kuliah Hukum Internasional Lanjutan.

Makalah yang kami buat ini menjelaskan bahwa Hukum Udara Internasional sangat penting bagi Indonesia, Indonesia dan berbagai maskapai yang dimilikinya sudah di perhitungkan oleh dunia internasional, termasuk di dalamnya kami ditugasi menggambil salah satu maskapai yaitu PT Angkasa Pura II. Dalam makalah ini di jelaskan bagaimana pentingnya Hukum Udara Internasional berperan sebagai suatu standar dan acuan yang baku yang sudah di ratifikasi dan diterapkan oleh hampir tiap maskapai penerbangan di Indonesia, berbagai perjanjian multilateral, konvensi-konvensi serta kenggotaan Indonesia dalam Organisasi Penerbangan Internasional.

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Bapak H. Budi Mulyana, S.IP.,M.SI selaku dosen pengajar Hukum internasional lanjutan, dan kepada pihak PT Angkasa Pura II Bandung yang telah berkenan untuk kami wawancarai serta pelayanan yang baik, ramah dan lengkap dalam memberikan informasi.

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hukum udara merupakan salah satu cabang hukum internasional yang relatif baru karena mulai berkembang pada awal abad ke 20 setelah kemunculan pesawat udara.

Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas wilayah udara di atas teritorialnya. Namun ternyata konsep ini sudah ada jauh-jauh hari sebelum di temukannya pesawat udara, para pemikir hukum di Romawi telah menemukan suatu asumsi yaitu “Cojus est solum, ejus est usque ad cuelum” yaitu menyatakan bahwa “barang siapa yang memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada diatas permukaan tanah tersebut sampai ke

langit dan segala apa yang ada di dalam tanah”.

Kami tarik ke masa sekarang dimana ruang udara yang dulunya tidak pernah diarungi oleh manusia, menjadi suatu ruang yang menjadi alternatif bagi kita dalam menjelajah dunia, tidak hanya cepat, namun ruang udara ini ekslusif, bahkan beberapa negara salah satunya negara tetangga kita Singapura yang memiliki lalu lintas udara yang sangat ramai, untuk mengatur penggunaan, penertiban dan penyeragaman dalam menggunakan udara ini, jauh-jauh hari sudah di atur sedemikian rupa oleh hukum udara internasional.

Beranjak dari hal ini kami membuat berbagai penjelasan Hukum Udara Internasional dan penerapannya bagi Indonesia dan PT Angkasa Pura II sebagai salah satu maskapai yang telah kami observasi.

(4)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah kemunculan dan pengaturan Hukum Udara Internasional ? 2. Bagaimana pengaturan Hukum Udara Internasional menjadi hukum nasional

Indonesia?

3. Sejauh mana keterkaitan Hukum Udara Internasional terhadap PT.Angkasa Pura II ?

1.3 Maksud dan tujuan penelitian

Dengan makalah atau laporan ini di harapkan agar bisa bermanfaat bagi kita semua dan juga memberikan tambahan informasi tentang kaitan hukum Udara Internasional terhadap salah satu maskapai penerbangan yaitu PT Angkasa Pura II. Dalam makalah ini di jelaskan bagaimana pentingnya Hukum Udara Internasional berperan sebagai suatu standar dan acuan yang baku yang sudah di ratifikasi dan diterapkan oleh hampir tiap maskapai penerbangan di Indonesia.

Dalam Makalah ini kami akan membahas tentang “Keterkaitan hukum udara internasional terhadap PT Angkasa Pura II “ Adapun tujuan yamg terkandung dalam hal penyusunan makalah ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah kemunculan dan pengaturan Hukum Udara Internasional.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Hukum Udara Internasional menjadi hukum nasional Indonesia

(5)

1.4 Metode Penelitian

Dalam mendapatkan hasil yang sesuai mengenai “Keterkaitan hukum udara internasional terhadap PT Angkasa Pura II“ kami melakukan Observasi langsung ke PT Angkasa Pura II, hasilnya berupa rekaman dan bukti-bukti dokumenter lainnya. Selain itu kami membutuhkan data-data atau informasi mengenai perihal tersebut, kami menggunakan metode studi kepustakaan di mana metode ini kami membaca majalah aviasi yang mengupas tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan judul di atas. Kami juga di tunjang dengan sarana internet sebagai pelengkap dan penyeimbang dari hasil studi kepustakaan.

BAB II

(6)

2.1 Keterkaitan hukum Internasional dengan hukum nasional, teori monisme

Starke (1989), Shelton (2006) menyebutkan bahwa hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum Teori Monisme:

a) Didasarkan pada analisis ilmiah terhadap struktur intern sistem hukum itu. b) Hukum merupakan satu kesatuan tunggal dari peraturan hukum yang mengikat negaranegara, individu, ataupun kesatuan-kesatuan bukan negara.

c) Hukum Internasional (HI) & Hukum Nasional (HN) merupakan bagian dari himpunan peraturan yang universal yang mengikat semua oknum, baik secara kolektif maupun secara individual. Individu menjadi pokok pangkal dari semua sistem hukum.

2.2 Paham monisme dengan primat hukum internasional

Paham ini mengemukakan bahwa hukum nasional bersumber pada hukum internasional yang merupakan perangkat ketentuan hukum yang hierarki lebih tinggi. Menurut paham ini, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada

hakikatnya, berkekuatan mengikatnya berdasarkan sesuatu ”pendelegasian”

wewenang dari hukum internasional.

(7)

BAB III

(8)

3.1 Bagaimana sejarah kemunculan dan pengaturan Hukum Udara Internasional?

A. Paris Convention

Beberapa bulan sebelum ditanda tanganinya perjanjian perdamaian di versailles, Dewan tertinggi dari Konferesi perdamaian memutuskan untuk mengadakan suatu panitia penerbangan dan memberi tugas kepadanya untuk menyiapkan suatu peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu perjanjian penerbangan, yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober 1919 oleh 27 negara. Perjanjian Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya konvensi chicago .

B. Konvensi Chicago

Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk mengundang berbagai Negara, baik Negara-negara sekutunya maupun Negara-negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuan-ketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris . Konferensi yang dilaksanakan di Chicago tersebut telah menghasilkan beberapa hal penting, yaitu :

1. Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional yang dikenal dengan Konvensi Chicago Tahun 1944 (Convention Aviation Signed at Chicago on 7 Desember 1944)

(9)

3. Persetujuan Transportasi Udara Internasional (IATA/ International Air Transport Agreement) IATA dan IASTA merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, yang mempertukarkan lima hak-hak penerbangan (Five Freedom on the Air) atau juga dikenal dengan lima kebebasan di udara, yang dipertukarkan dalam IASTA hak kebebasan Ke-1 dan Ke-2, yaitu sebagai berikut :

1) Hak untuk terbang melintasi wilayah Negara lain tanpa melakukan pendaratan.

2) Hak melakukan pendaratan di Negara lain untuk keperluan Operasioanl (Technical Landing) dan tidak berhak untuk mengambil dan menurunkan penumpang dan/ ataupun kargo secara komersial.

Sedangkan hak kebebasan yang dipertukarkan dengan IATA adalah hak kebebasan Ke- 1,2,3,4 dan Ke-5 . Hak kebebasan berikutnya adalah:

3) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari Negara pendaftar pesawat udara ke Negara pihak yang lainnya.

4) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari Negara yang berjanji lainnya ke Negara pesawat udara yang didaftarkan. 5) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari atau negara ketiga diluar negara yang berjanji.

(10)

6) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari Negara ketiga melewati Negara tempat pesawat udara didaftarkan kemudian diangkut kembali ke negara tujuan.

7) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial semata-mata diluar Negara-negara yang mengadakan perjanjian.

8) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam suatu wilayah Negara berdaulat dan

ini dikenal dengan istilah ”Kabotase” (Cabotage). Cabotage merupakan hak

preogratif Negara berdaulat untuk melakukan transportasi dalam negeri guna pemanfaatan perusahaan penerbangan nasional. Biasanya hak kabotase tersebut tidak pernah diserahkan kepada perusahaan asing manapun.

C. Perjanjian Warsawa Tahun 1929

Pada tanggal 12 oktober 1929 di Warsawa ditandatangani suatu perjanjian

yang lengkapnya bernama ”Convention for the Unification of Certain Rules Relating

to International Carriage by Air”, yang lebih dikenal dengan sebutan “ Perjanjian Warsawa “. Perjanjian ini mengatur antara lain dua hal pokok, yaitu :

1) Mengenai Dokumen Angkatan Udara

2) Mengenai masalah tanggung jawab pengangkut udara Internasional.

Pentingnya perjanjian ini ialah ketentuan-ketentuan didalamnya mengatur mengenai limit tanggung jawab ganti rugi . Konvensi yang mengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan (Hijacking)

(11)

a) Konvensi Tokyo tentang pelanggaran dan Tindakan tertentu lainnya dalam Penerbangan (Convention and Certain Other Acts Committe on Board Aicraft) Tahun 1963

Konvensi ini disebut juga dengan konvensi pembajakan udara. Tujuannya adalah untuk melindungi pesawat udara,orang, barang yang diangkut untuk menjamin keselamAtan penerbangan. Konvensi ini mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran maupun tindak pidana penerbangan serta mencegah terjadinya kekosongan hukum pada tindak pidana maupun pelanggaran di dalam pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan di atas laut lepas/ atau daerah yang tidak bertuan .

Menurut konvensi Tokyo kejahatan dan pelanggaran di udara maka berlaku yurisdiksi dari Negara pendaftar pesawat udara yang terjadi dalam

pesawat udara ”in flight” . Dalam konvensi ini yang disebut dengan in flight

adalah pada saat pesawat udara dengan tenaga penuh siap untuk tinggal landas sampai pesawat udara melakukan pendaratan di ujung landas pacu.

b) Konvensi The Haaque Tahun 1970

(12)

3.2 Bagaimana pengaturan hukum udara Internasional menjadi hukum udara nasional Indonesia, dan apa saja contohnya?

Dalam menjawab rumusan masalah ini, kami menggunakan teori Paham monisme dengan primat hukum internasional,yaitu:

Paham ini mengemukakan bahwa hukum nasional bersumber pada hukum internasional yang merupakan perangkat ketentuan hukum yang hierarki lebih tinggi. Menurut paham ini, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya, berkekuatan mengikatnya berdasarkan sesuatu ”pendelegasian” wewenang dari hukum internasional.

Hal tersebut terbukti dengan pengaturan hukum udara di indonesia sebagian merupakan ratifikasi dari perjanjian-perjanjian internasional dibidang hukum udara seperti Ordonansi pengangkutan udara 1939, yang lebih dikenal dengan OPU No. 100 stbl 1939 dimana mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut dan ganti rugi. Dasar hukum penerbangan sipil dalam hukum udara Indonesia diatur dalam Undang-undang penerbangan yang telah beberapa kali disempurnakan, dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 83 Tahun 1958 tentang penerbangan, yang kemudian diubah dengan Undang-undang No.33 Tahun 1964, yang disempurnakan lagi dengan Undang-undang No.72 Tahun 1976, kemudian dengan Undang-undang No.15 Tahun 1992, terakhir disempurnakan dengan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan yang terdiri dari 24 Bab 466 Pasal.

(13)

investigasi kecelakaan pesawat udara , pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut Badan Pelayanan Umum (BLU) , pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur didalam Konvensi Cape Town 2001.

Hal-hal lain yang telah diratifikasi, di adopsi dan diterapkan di antaranya: I. UNDANG-UNDANG / PERATURAN

a) Stbl (Staatsbland/ Lembaran Negara). 118 Tahun 1933 : Tentang Pokok-pokok Penerbangan

b) Stbl. 205 Tahun 1954 : Diganti dengan UU No 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan diganti dengan UU No. 15 Tahun 1992

c) Stbl. 425 Tahun 1936 : Tentang Lalu Lintas Udara , secara Yuridis Formal masih berlaku, karena belum diganti. Namun dalam prakteknya Indonesia telah memakai aturan lain yaitu C.A.S.R. (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION) dari Amerika Serikat d) Stbl. 426 Tahun 1936 : Tentang Peraturan Pengawasan Penerbangan

secara yuridis formal masih berlaku, karena belum diganti. Namun dalam praktek Indonesia telah memakai aturan lain yaitu C.A.S.R (CIVIL AVIATION SAFETY REGULATION) dari A.S.

e) Stbl. 100 Tahun 1939 : Ordonansi Pengangkutan Udara (O.P.U) - mengatur tentang pengangkutan penumpang, bagasi dan barang. - mengatur tanggung jawab pengangkut

(14)

f) Stbl. 150 Jo. 149 Tahun 1939 : Tentang Karantina Pencegahan Penyebaran Penyakit Menular. Ketentuan ini telah dicabut dengan undang-undang No. 2 Tahun 1952 Tentang Karantina

II. PERJANJIAN-PERJANJIAN INTERNASIONAL

a) Chicago Convention 1944 - Tentang Penerbangan Sipil Internasional

b) Warsawa Convention 1929 - Tentang Dokumen Angkutan dan Tanggung jawab Pengangkut. Akan diganti dengan “Montreal Convention” pada bulan Mei 1999

c) Rome Convention 1933 - Tentang Tanggungjawab Pengangkut Udara Terhadap Pihak Ketiga di Darat

d) Tokyo Convention 1965 -Tentang Tindak Melawan Hukum di dalam Pesawat e) The Hague Convention 1970 -Tentang Tindak Melawan Hukum Terhadap

Pesawat

f) Montreal Convention 1971 -Tentang Tindak melawan hokum yang membahayakan keselamatan penerbangan.

Kecuali Rome Convention 1952, semua konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia, Indonesia tunduk pada ketentuan-ketentuan ini.

III. PERSETUJUAN-PERSETUJUAN ANTARA PENGANGKUT DAN PENUMPANG ATAU PENGIRIM BARANG

(15)

3.3 Sejauh mana keterkaitan Hukum Udara Internasional terhadap PT.Angkasa Pura II?

A. PT Angkasa Pura II telah mengikuti peraturan-peraturan Organisasi Internasional 1. ICAO (International Civil Aviation Organization)

ICAO (International Civil Aviation Organization) adalah badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang kegiatannya menyiapkan peraturan penerbangan sipil internasional, melakukan distribusi dan melakukan pemantauan serta evaluasi terhadap penerapannya. ICAO lahir atas prakarsa negara-negara sekutu Amerika, tepatnya pada tanggal 01 November 1944 sampai dengan 07 Desember 1944 (selama lima minggu), 52 (lima puluh dua) negara-negara sekutu Amerika berkumpul di Chicago.

Sebagai negara anggota PBB, Indonesia merupakan peserta konvensi atas dasar “Adhere” (penundukan diri), dan tanggal 27 April 1950, secara resmi tercatat sebagai tanggal masuknya Indonesia menjadi anggota ICAO; Kepentingan dan tujuan utama ICAO adalah Kamanan & Keselamatan, Efisiensi dan Keteraturan (Security & Safety, Efficiency, Regularity).

2. IATA (International Air Transport Association)

Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) adalah sebuah organisasi perdagangan internasional yang terdiri dari maskapai-maskapai penerbangan. Maskapai-maskapai-maskapai penerbangan anggotanya diberikan kelonggaran khusus sehingga dapat mengkonsultasikan harga antara sesama anggota melalui organisasi ini. IATA juga bertugas menjalankan peraturan dalam pengiriman barang-barang berbahaya dan menerbitkan panduan Peraturan Barang-barang Berbahaya IATA (IATA Dangerous Goods Regulations).

B. PT Angkasa Pura II telah menerapkan 6 (enam) dokumen hasil Konverensi Chicago :

(16)

2. International Air Services Transit Agreement (IASTA). 3. International Air Transport Agreement (IATA).

4. Draft of 12 Tehnical Annexes (Annex 1 – 12).

5. Standard form of Bilateral Agreement (Chicago Form Agreement). 6. The Provisional International Civil Aviation Organization (PICAO).

Status penerapan Konvensi Chicago 1944 terhadap PT Angkasa Pura II :

1. Merupakan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang sangat berpengaruh;

2. Merupakan sumber hukum internasional dibidang penerbangan sipil;

3. Secara moral mengikat setiap negara anggota PBB (negara yang merdeka

dan berdaulat), melalui instrumen “Ratifikasi” atau “Adhere”(penundukan

diri);

C. PT Angkasa Pura II sudah menerapkan 5 (lima) Kebebasan Di Udara (The Five Freedom of The Air) :

1. Pesawat udara sipil berhak untuk terbang melintasi ruang udara lain, tanpa

mengadakan pendaratan, asalkan negara yang dilintas terbangi itu sebelumnya diberitahu dan memberikan izin. Kebebasan ini dinamai : “Hak

untuk melakukan Terbang Lintas Damai” (The Right of Innocent Passage).

2. Pesawat udara sipil suatu negara berhak untuk mengadakan pendaratan di negara lain untuk keperluan teknis misalnya untuk pengisian bahan bakar atau menjalani perbaikan tanpa memberikan pelayanan komersial ke atau dari tempat pendaratan tersebut. Pemberhentian ini dikenal sebagai :

“Pemberhentian Teknis” (Technical Stop), sebagai lawan dari “Pemberhentian Lalu Lintas” (Traffic Stop).

(17)

4. Pesawat udara suatu perusahaan penerbangan berhak untuk meng-angkut penumpang dan barang dari negara lain ke negara tempat pesawat udara itu di daftarkan.

5. Pesawat udara suatu perusahaan penerbangan berhak untuk mengangkut penumpang dan barang antara dua negara diluar tempat pesawat udara di daftarkan, sepanjang penerbangannya berawal atau berakhir di negaranya sendiri tempat pendaftaran pesawat udara dilakukan. Hak tersebut dinamai

sebagai “HakTambahan” (Beyond Rights).

D. Penerapan PT Angkasa Pura II terhadap Annex

Annex adalah konvensi dunia mengenai pembakuan (standard) dan rekomendasi penerbangan untuk negara-negara anggota ICAO. Berikut adalah Annex 1-18 :

 Annex 1 : Personnel Licensing (Perizinan Personil).  Annex 2 : Rules of the Air (Peraturan Udara).

 Annex 3 : Meteorological Service for International Air Navigation (Layanan

Meteorologi untuk Navigasi Udara Internasional).  Annex 4 : Aeronautical Charts (Grafik Aeronautical)

 Annex 5 : Units of Measurement to be used in Air and ground Operations

(Unit Pengukuran yang akan digunakan dalam Udara dan Operasi tanah).  Annex 6 : Operation of Aircraft (Pengoperasian Pesawat).

 Annex 7 : Aircraft Nationally and Registration Marks (Pesawat nasional dan

Pendaftaran Marks).

 Annex 8 : Airwothiness of Aircraft (Kelayakan Pesawat Udara).  Annex 9 : Facilitation (Fasilitas).

 Annex 10 : Aeronautical Telecommunications (Telekominakasi

Aeronautical).

 Annex 11 : Air Traffic Services, Air Traffic Control Service, Flight

(18)

 Annex 13 : Aircraft Accident and Incident Investigation (Kecelakaan Pesawat dan Incestigasi Insiden).

 Annex 14 : Aerodromes

 Annex 15 : Aeronautical Information Services (Layanan Informasi

Aeronautical).

 Annex 16 : Environmental Protection (Perlindungan Lingkungan).

 Annex 17 : Security : Safeguarding International Civil Aviation Againts Acts of Unlawful Interference (Keamanan - Pengamanan Penerbangan Sipil Internasional

terhadap Kisah Interferensi Melanggar Hukum).

 Annex 18 : The Safe Transport of Dangerous Goods by Air (Transportasi

Aman dari Barang Berbahaya di Udara).

(19)

Kesimpulan dari “Keterkaitan Hukum udara Internasional dengan PT Angkasa Pura II” adalah Hukum udara merupakan salah satu cabang hukum internasional yang relatif baru karena mulai berkembang pada awal abad ke 20 setelah kemunculan pesawat udara.

Starke (1989), Shelton (2006) menyebutkan bahwa hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri

Sejarah kemunculan dan pengaturan Hukum Udara Internasional diawali dari Paris Convention, Konvensi Chicago, Perjanjian Warsawa Tahun 1929, Konvensi The Haaque Tahun 1970. Dan pengaturan hukum udara Internasional menjadi hukum udara nasional Indonesia terbukti dengan pengaturan hukum udara di indonesia sebagian merupakan ratifikasi dari perjanjian-perjanjian internasional dibidang hukum udara seperti Ordonansi pengangkutan udara 1939, yang lebih dikenal dengan OPU No. 100 stbl 1939 dimana mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut dan ganti rugi.

(20)

http://www.angkasapura2.co.id/

http://www.beritasatu.com/ekonomi/212402-kontrak-kerja-sama-garuda-dan-angkasa-pura-berakhir-penumpang-garuda-harus-bayar-pajak-bandara.html http://www.ilmuterbang.com/artikel-mainmenu-29/peraturan-penerbangan-mainmenu-81/28-casr1/757-hubungan- icao-annexes-dan-penomoran-casr https://github.com/ardwort/freq-dist-id/blob/master/data/idwiki.csv

(21)
(22)

Referensi

Dokumen terkait

Telah dipresentasikan di forum ujian praktek MA Darus Sholah Jember dan disahkan oleh guru pembimbing mata pelajaran Bahasa Indonesia dan segenap Siswa/siswi XII

Di lapangan terdapat banyak permasalahan yang membuat fragmentasi batuan tidak sesuai target ukuran, khususnya di PT Vitrama Properti.. Mengatasi masalah proses

Berdasarkan pokok penelitian yang digali dalam penelitian ini, yang menyangkut tentang bagaimana penggunaan blog sebagai media belajar di SMA Negeri 1 Way Jepara, maka yang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDIKASI GEOGRAFIS LADA PUTIH MUNTOK MUNTOK WHITE PEPPER SEBAGAI KEKAYAAN ALAM KABUPATEN BANGKA BARAT SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian

VHNRODKUXPDK PHODNXNDQ LGHQWL¿NDVL FDORQ VHNR - lah yang akan diajak bermitra, misalnya yang akan diselenggarakan adalah sekolahrumah SD, maka menjajaki SD-SD yang

Maka dibutuhkan media pengenalan tanaman herbal untuk anak agar merak dapat mengenal

yang didominasi oleh kelas pendek yang diduga dimanfaatkan spesies tersebut untuk memperoleh mangsa yang berada di tajuk dari permukaan tanah (terestrial) maupun dari

Dari berbagai pemahaman atas tinjauan pustaka mengenai IT Governance dan audit, dapat disimpulkan bahwa Audit IT Governance adalah suatu bagian dari tata kelola organisasi