• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intoleransi dalam Kebebasan Beragama Ber

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Intoleransi dalam Kebebasan Beragama Ber"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Intoleransi dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan serta Penanganannya oleh Polri (Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional

Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

Polri sebagai pengemban fungsi pemerintahan negara yang mempunyai tugas pokok sebagaimana tersebut dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 memiliki kewajiban melindungi warga negaranya untuk mendapatkan rasa aman yang dibutuhkan masyarakat, sebagaimana juga terdapat dalam janji yang dipakai sebagai pedoman kerja oleh setiap prajurit Polri yaitu Catur Prasetya:

Sebagai insan Bhayangkara, kehormatan saya adalah, berkorban demi masyarakat, bangsa dan negara untuk:

1. Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan;

2. Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia; 3. Menjamin kepastian berdasarkan hukum;

4. Memelihara perasaan tenteram dan damai.

Rasa aman menjadi kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Dengan rasa aman yang diperoleh masyarakat maka segala aktivitas kehidupan dapat berjalan dengan baik, dan sebaliknya. Aman juga merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia, oleh sebab itu negara memiliki kewajiban melindungi warga negaranya untuk mendapatkan rasa aman tersebut. Keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) yang kondusif dapat tercipta manakala Polri mampu menunjukkan keberhasilannya melaksanakan tugas sehingga masyarakat memperoleh suasana perasaan-perasaan terbebas dari gangguan (fisik maupun psikis), perasaan dilindungi dari segala macam bahaya, bebas dari kekhawatiran, perasaan damai lahir dan batin (Chryshnanda, 2004:98). Sebagaimana fungsi, tugas dan perannya tercantum dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri sebagai berikut:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban; b. Menegakkan hukum; dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

(2)

Tantangan

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih kurang 17.000 pulau, berisikan sekitar 254,9 juta manusia (BPS, Susenas 2014-2015) dengan kurang lebih 500 suku yang menyusunnya. Para pendiri bangsa telah sepenuhnya sadar akan kondisi ini. Sebagaimana disampaikan Soepomo dalam sidang BPUPKI Tahun 1945 menganjurkan untuk mendirikan sebuah negara nasional yang bersatu dalam arti Totaliter dimana negara tidak akan mempersatukan diri dengan golongan yang lebih besar akan tetapi yang akan mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan baik golongan yang besar maupun golongan yang kecil. Dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan dalam negara nasional itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan dengan demikian seseorang akan merdeka memeluk agama yang disukainya, baik golongan agama yang terbesar maupun golongan agama yang terkecil (Setneg RI, 1992:60).

Kompleksitas permasalahan yang diemban Polri hingga saat ini semakin meningkat seiring dengan berjalannya era reformasi Tahun 1998 dengan tema besar demokratisasi , yang sekaligus mengakhiri rezim otoritarian. Masa transisi hingga tahun 1999 dipenuhi dengan berbagai tuntutan anak bangsa antara lain HAM dan otonomi daerah serta desakan pemisahan diri dari propinsi Timor Timur. Isu HAM disambut oleh pemerintahan baru dengan mengeluarkan undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum, sedangkan otonomi daerah dengan Undang-undang Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Selain hal tersebut, reformasi juga telah menjadi tonggak sejarah bagi Polri, yaitu berdasarkan Tap MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang pemisahan Polri dari ABRI (saat itu) dimana sebelumnya selama kurang lebih 40 tahun, Polisi merupakan bagian dari angkatan bersenjata (Tap MPRS Nomor II Tahun 1960, dan dikuatkan dengan Undang-undang Pokok Kepolisian Nomor 13 Tahun 1961)

(3)

Sejak awal reformasi hingga saat ini kekerasan sering terjadi di masyarakat, baik yang dilakukan oleh pribadi maupun kelompok. Kekerasan-kekerasan tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, ada yang dilakukan karena motif praktis tuntutan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup, ada juga yang dilakukan karena mempertahankan dan memaksakan ideologi dan berujung tindakan intoleransi yang tentu saja jauh dari pemahaman akan pluralisme. Beberapa kali kekerasan menimpa umat beragama tertentu dan dilakukan oleh kelompok tertentu. Pelaku kekerasan mempunyai paham bahwa ideologinya adalah paling benar dan ideologi yang lain salah, dan sayangnya kelompok penganut ideologi tertentu bergerak secara radikal dengan membenarkan kekerasan. Kalau kita amati, ada pola komunikasi yang tidak benar dalam memahami perbedaan. Kita sadari bahwa sebenarnya manusia telah dianugrahi oleh sang pencipta berupa akal budi dan kemampuan berkomunikasi. Ironisnya pola komunikasi dengan sesamanya yang seharusnya dilakukan dengan dialog yang santun dan menghargai perbedaan justru dilupakan dan diganti dengan model pemaksaan kehendak, kekerasan hingga pembunuhan hanya untuk menghilangkan perbedaan. Seseorang yang berperilaku memaksakan kehendak dengan cara-cara yang sadis sebenarnya sedang mengalami krisis kepercayaan baik terhadap diri sendiri atau terhadap kelompok yang diikutinya. Krisis kepercayaan tersebut muncul karena orang/kelompok tersebut tidak mempunyai ruang untuk mengaktualisasikan diri/kelomponya secara positif. Untuk menutupi krisis tersebut, maka orang dan kelompoknya menganggap orang lain yang berbeda ideologi sebagai musuh yang harus diperangi agar tidak mengganggu eksistensinya.

Intoleransi (intolerance) dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

(4)

Sedangkan fakor eksternal terjadi diluar agama, seperti gagalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengakomodasi ekspresi-ekspresi Islam yang berbeda. Dalam kasus kekerasan atas nama agama misalnya, banyak fatwa-fatwa MUI yang ikut berkontribusi menyulut api kebencian, misalkan dengan fatwa fatwa diskriminatif, seperti pelarangan Ahmadiyah. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan pembiaran oleh negara juga menjadi faktor eksternal yang menyuburkan kekerasan atas nama agama. Disini terlihat jelas, peran negara masih impoten dalam menjaga perbedaan yang sudah menjadi fakta sosial. Dalam berbagai kasus, seringkali pemerintah lebih membela mayoritas dan mengorbankan yang minoritas. Padahal menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) seharusnya negara, pemerintah, dan masyarakat wajib mengakui dan melindungi HAM seseorang tanpa kecuali. Oleh karena itu, dalam menjaga hak-hak minoritas, semestinya tugas negara harus lebih aktif sehingga fungsi negara bisa terwujud dengan baik. Seperti, pertama menjalankan konstitusi dengan sebaik-baiknya, kedua memastikan semua warga negara berhak memiliki keyakinan masing-masing. Dalam hal ini, negara harus bisa memastikan kebebasan masyarakat. Ketiga, negara harus bisa memberikan perlindungan bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Masih dari catatan Wahid Institute, bahwa di tahun 2014, pelaku pelanggaran terhadap kebebasan dan intoleransi beragama melibatkan 98 aktor negara dengan Kepolisian menduduki peringkat tertinggi yaitu 25 pelaku, sisanya adalah pemerintahan kabupaten/kota hingga desa dan TNI serta 89 oleh aktor non negara antara lain oleh FPI, FJI, FUI, Aliansi Hindu Muda Indonesia, dll (The Wahid Institute, 2014:21-24).

Memang harus diakui bahwa reformasi telah membawa perubahan kepada Negara ini kearah yang lebih baik, namun juga tidak sedikit pula memberikan dampak yang buruk akibat dari pemahaman yang salah akan reformasi. Bukan reformasi sendirian yang memberikan dampak buruk, tetapi memang kelahirannya disertai dan diiringi oleh era keterbukaan terhadap berbagai macam informasi. Sebagian besar masyarakat masih gagap dalam menanggapi keterbukaan informasi tersebut dan menganggap bahwa informasi yang didapatnya merupakan suatu kebenaran yang mutlak tanpa harus mengujinya dalam realita lingkungan yang ada, selanjutnya anggapan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap perilaku masyarakat saat ini, mudah marah, emosi, merasa sok paling benar dan akhirnya berujung pada tindakan kekerasan baik fisik maupun non fisik.

(5)

nurani, (2) hak berserikat, berkumpul dan berpendapat. Pasal 28 F tentang hak berkomunikasi untuk mengembangkan pribadi & lingkungan. Keberadaan ormas atau NGO (Non Goverment Organization) juga telah diatur dalam Undang-undang RI Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarkatan. Sesuai dengan definisinya bahwa ormas didirikan berdasarkan atas kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (UU No. 8 Tahun 1985), sedangkan yang dimaksud kesamaan dalam UU No. 17 Tahun 2013 adalah aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Konsep kesamaan tersebut ditonjolkan dengan suatu identitas yang mencolok dan tentu saja semakin memperuncing perbedaan yang memang secara alami telah ada dan dimiliki oleh Negara Indonesia ini.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 telah memberikan jaminan konstitusional kepada setiap warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan dan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. Berbagai produk kebijakan turunannya juga telah menegaskan jaminan sebagaimana tertuang dalam Konstitusi. UU Nomor 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Sipil dan Politik, yang salah satu pasalnya memuat jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan juga telah menjadi landasan bahwa produk hukum internasional itu telah menjadi bagian hukum Indonesia yang mengikat negara untuk menjamin dan memenuhinya. Namun demikian, jaminan konstitusional dan legal sebagaimana tersedia dalam perundang-undangan Indonesia belum cukup mampu memproteksi kebebasan dasar tersebut. Berbagai pelanggaran kebebasan justru dipicu oleh negara yang terus memproduksi perundang-undangan yang restriktif terhadap warga negara yang memeluk agama/keyakinan, yang dianggap berbeda dari mainstream. Demikian juga minimnya pengetahuan publik atas kebebasan sipil warga negara, yang kemudian memicu praktik intoleransi dan tindakan kriminal terhadap warga negara lainnya. Dua persoalan inilah yang menjadi tantangan serius pemenuhan jaminan kebebasan sipil, khususnya kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.

Definisi

Kebebasan beragama adalah sebuah jaminan oleh pemerintah bagi kebebasan kepercayaan untuk individu dan kebebasan beribadah untuk individu dan kelompok. Kebebasan beragama dinilai oleh banyak pihak dari berbagai bangsa dan masyarakat sebagai sebuah hak asasi manusia fundamental (Davis, Derek H., The Evolution of Religious Liberty as a Universal Human Right, dipublikasi kembali pada tanggal 5 Desember 2006).

(6)

atau keyakinan. Menurut DUHAM didefinisikan sebagai setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (The Wahid Institute, 2014:13).

Diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama, merupakan bentuk pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ Keyakinan, yaitu, setiap pembedaan, pengabaian, larangan atau pengutamaan favoritisme) yang didasarkan pada agama atau kepercayaan dan tujuannya atau akibatnya meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental atas suatu dasar yang sama, seperti tidak mau menerima suatu kelompok atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap kelompok lain berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan (Hasani, 2009:16).

Mengacu pada definisi di atas, maka ada dua bentuk cara negara melakukan pelanggaran, yaitu; [a] dengan cara melakukan tindakan aktif yang memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur tangan, dan atau menghalanghalangi penikmatan kebebasan seseorang dalam beragama/berkeyakinan (by commission); dan [b] dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi terlanggar, termasuk membiarkan setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak diproses secara hukum (by omission) (Hasani, 2009:16).

Intoleransi merupakan turunan dari kepercayaan bahwa kelompoknya, sistem kepercayaan atau gaya hidupnya lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi dari kurangnya penghargaan atau pengabaian terhadap orang lain hingga diskriminasi yang terinstitusionalisasi, seperti apartheid atau penghancuran orang secara disengaja melalui genosida. Seluruh tindakan semacam itu berasal dari penyangkalan nilai fundamental seorang manusia (U.S. Department of Justice, Hate Crime: The Violence of Intolerance http://www. usdoj.gov/crs/pubs/htecrm.htm).

(7)

UNESCO mencatat beberapa gejala intoleransi dan indikator perilakunya: (UNESCO: Tolerance: the threshold of peace. A teaching/learning guide for education for peace, human rights and democracy(Preliminary version). Paris: UNESCO. 1994:16.)

Bahasa: pencemaran dan bahasa yang pejoratif atau eksklusif yang menghilangkan nilai, merendahkan dan tidak memanusiakan kelompok budaya, ras, bangsa atau seksual, dan penyangkalan hak bahasa.

Membuat stereotipe: mendeskripsikan semua anggota suatu kelompok dengan dikarakteristikkan oleh atribut yang sama biasanya negative.

Menyindir: menarik perhatian pada perilaku, atribut dan karakteristik tertentu dengan tujuan mengejek atau menghina.

Prasangka: penilaian atas dasar generalisasi negatif dan stereotipe daripada atas dasar fakta aktual dari sebuah kasus atau perilaku spesifi k individu atau kelompok.

Pengkambinghitaman: menyalahkan kejadian traumatis atau permasalahan sosial pada orang atau kelompok tertentu.

Diskriminasi: pengecualian dari jaminan sosial dan kegiatan dengan hanya berlandaskan pada alasan yang merugikan.

Pengasingan (ostracism): berperilaku seolah yang lainnya tidak hadir atau tidak ada. Penolakan untuk berbicara kepada atau mengakui pihak lain, atau kebudayaannya.

Pelecehan: perilaku yang disengaja untuk mengintiminasi dan merendahkan pihak lain, kerap dimaksudkan sebagai cara mengeluarkan mereka dengan paksa dari komunitas, organisasi atau kelompok.

Penajisan dan penghapusan: bentuk-bentuk penodaan simbol atau struktur keagamaan atau kebudayaan yang ditujukan untuk menghilangkan nilai dan mengejek kepercayaan dan identitas mereka yang kepadanya struktur dan simbol ini berarti.

Gertakan (bullying): penggunaan kapasitas fisik yang superior atau sejumlah besar (orang red.) untuk menghina orang lain atau menghilangkan kepemilikan atau status mereka. Pengusiran: pengeluaran secara resmi atau paksa atau penyangkalan hak untuk masuk atau hadir di sebuah tempat, dalam kelompok sosial, profesi atau tempat lain dimana ada kegiatan kelompok, termasuk di mana keberlangsungan hidup tergantung, seperti tempat kerja atau tempat perlindungan (shelter), dan sebagainya.

(8)

bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penaatan,pengamalan dan pengajaran; (2) tanpa pemaksaan sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya; (3) kebebasan untuk mengenjawantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain; (4) negara-negara pihak Konvenan ini berjanji untuk menghormai kebebasan orang tua, dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi kovenan internasonal ini melalui UU No. 12/ 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kovenan ini bersifat mengikat secara hukum (legaly binding) dan sebagai negara pihak (state parties) yang telah meratifikasi, Indonesia berkewajiban memasukkannya sebagai bagian dari perundangundangan nasional dan memberikan laporan periodik kepada Dewan HAM PBB. Instrumen hak asasi manusia lainnya yang mengatur jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan adalah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief) yang dicetuskan melalui resolusi Sidang Umum PBB No. 36/55 pada 25 November 1981. Deklarasi ini jauh lebih rinci mengatur jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dibanding Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, hanya saja karena bentuknya deklarasi maka bersifat tidak mengikat (non binding) bagi negara pihak. Meskipun tidak mengikat secara hukum, deklarasi ini mencerminkan konsensus yang luas dari komunitas internasional. Karena itu, memiliki kekuatan moral dalam praktik hubungan internasional pada umumnya. Sebagai negara anggota PBB, Indonesia tidak bisa mengabaikan deklarasi ini dalam menjalankan kewajiban memenuhi hak asasi warga negaranya.

Pasal 6 Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Keyakinan:

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Deklarasi ini dan dengan tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat 3 hak atas kebebasan pikiran, hati nurani, beragama atau keyakinan harus mencakup, antara lain, kebebasan-kebebasan berikut:

1. Beribadah atau berkumpul dalam hubungannya dengan suatu agama atau keyakinan, dan mendirikan serta mengelola tempat-tempat untuk tujuan-tujuan ini;

(9)

4. Menulis, mengemukakan dan menyebarluaskan berbagai penerbitan yang relevan di bidang-bidang ini;

5. Mengajarkan suatu agama atau keyakinan di tempat-tempat yang cocok untuk maksud-maksud ini;

6. Mengumpulkan dan menerima sumbangan keuangan dan sumbangan-sumbangan lain sukarela dari perseorangan atau lembaga;

7. Melatih, menunjuk, memilih atau mencalonkan dengan suksesi para pemimpin yang tepat yang diminta dengan persyaratan-persyaratan dan standar-standar agama atau keyakinan apapun;

8. Menghormati hari-hari istirahat, dan merayakan hari-hari libur dan upacara;

9. Mendirikan dan mengelola kominikasi-komunikasi dengan seseorang dan masyarakat dalam persoalan-persoalan agama atau keyakinan pada tingkat nasional dan internasional. upacara menurut ajaran-ajaran agama atau keyakinan seseorang.

Berdasarkan kedua instrumen hak asasi manusia di atas secara ringkas definisi operasional Kebebasan beragama/berkeyakinan meliputi kebebasan untuk memeluk suatu agama atau keyakinan pilihannya sendiri, kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain menjalankan ibadah agama atau keyakinan sesuai yang dipercayainya, serta mematuhi, mengamalkan dan mengajarkan secara terbuka atau tertutup, termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, bahkan untuk tidak memeluk agama atau keyakinan sekalipun (Hasani, 2009:9-11).

Secara eksplisit Pasal 28 J ayat (2) UUD RI 1945 menegaskan bahwa: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Dengan adanya klausul sebagaimana di atas, seluruh jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan termasuk jaminan hak asasi manusia lainnya di dalam konstitusi, sangat berpotensi hanya menjadi deretan pasal bisu yang tidak bisa digunakan oleh warga negara sebagai pelindung hak-hak warga negara.

Padahal, sebagaimana disebutkan dalam Pasal (4) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dibenarkan dengan alasan-alasan yang lazim dalam disiplin hak asasi manusia:

(10)

berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. 2. Pengurangan kewajiban atas pasal-pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 sama

sekali tidak dapat dibenarkan berdasarkan ketentuan ini.

3. Setiap Negara Pihak Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan pengurangan tersebut harus segera memberitahukannya kepada Negara-negara Pihak lainnya melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengenai ketentuan-ketentuan yang dikuranginya, dan mengenai alasan-alasan pemberlakuannya. Pemberitahuan lebih lanjut, harus dilakukan melalui perantara yang sama pada saat berakhirnya pengurangan tersebut. Dengan demikian, tidak dibenarkan suatu negara manapun mengurangi, membatasi atau bahkan mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak yang dijamin dalam Kovenan Sipil dan Politik. Kalaupun pembatasan terpaksa harus dilakukan, hanya dan bila hanya syarat-syarat kumulatif yang ditentukan oleh kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang bersangkutan.

Syarat kumulatif yang dimaksud adalah pertama, sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara; kedua, penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial; dan ketiga, pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Hak-hak kemerdekaan beragama ini selanjutnya dibagi dalam dua wilayah Kebebasan internal (forum internum) dan kebebasan eksternal (forum externum) (The Wahid Institute, 2014:7-12).

1. Kebebasan Internal (Forum Internum), kebebasan internal yang berisi kebebasan hati nurani untuk meyakini, menganut dan berpindah agama dan keyakinan serta hak untuk mempertahankan menganut atau berpindah dari suatu agama atau keyakinan. Hak-hak kebebasan ini telah diakui secara internasional maupun nasional sebagai salah satu elemen HAM yang tidak bisa dikurangi dan dibatasi (non-derogable rights), bahkan dalam keadaan perang dan keadaan darurat umum sekalipun, negawa wajib untuk tidak mengintervensi apalagi memaksa (coercion) forum internum ini, sebagaimana diatur dalamPasal 28I (ayat 1), Pasal 4 (ayat 2) Kovenan Hak Sipil dan Politik dan pasal 74 dan 74 UU HAM.

(11)

Kebijakan-kebijakan atau praktik-praktik bertujuan atau berdampak serupa, misalnya kebijakan atau praktik yang yang membatasi akses akan pendidikan, pelayanan kesehatan, pekerjaan, atau hak-hak lain yang dijamin juga dikategorikan sebagai tindakan pemaksaan.

Tabel 1

Instrumen Nasional dan Internasional tentangForum Internum Forum Internum

Hak/Kebebasan Instrumen Hukum Pasal Bunyi Pasal

1 2 3 4

Hak kebebasan untuk menganut, berpindah agama.

DUHAM 18 Setiap orang berhak atas

kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan

ICCPR 18 Setiap orang berhak atas

kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri

UUD NRI 1945 28 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama ... 29 Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu

UU Nomor

(12)

Lanjutan Tabel 1

1 2 3 4

22 (1)Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

DUHAM 18 Setiap orang berhak atas

kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan ...

ICCPR 18 (2) Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan untuk menganut suatu agama atau kepercayaannya menurut

(13)

Lanjutan Tabel 1

1 2 3 4

UU Nomor

39/1999 22 agamanya masing-masing dan(1) Setiap orang bebas memeluk untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Sumber: The Wahid Institute hal 8-9

2. Kebebasan Eskternal (Forum Eksternum) yakni kebebasan baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau di wilayah pribadi untuk memanifestasikan agama dan keyakinan dalam bentuk pengajaran, pengamalan, ibadah dan penataannya. Kebebasan ini termasuk juga kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah, kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama, hak kebebasan untuk merayakan hari besar agama, hak kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama, hak untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama, hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya, hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi keagamaan. Hak-hak di atas mengacu kepada instrumen-instrumen di bawah ini:

Tabel 2

Instrumen Nasional dan Internasional tentang Forum Eksternum

Forum Eksternum Hak/Kebebasan Instrumen

Hukum Pasal Bunyi Pasal

1 2 3 4

Hak kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama baik secara tertutup maupun terbuka.

(14)

Lanjutan Tabel 2

1 2 3 4

ICCPR 18 Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

UUD NRI

1945 29 tiap penduduk untuk memeluk agamanya(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

UU Nomor

39/1999 22 (1) Setiap orang bebas memeluk agamanyamasing-masing dan untuk beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.

55 Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.

Deklarasi Universal 1981

6 (a) Beribadah atau berkumpul dalam hubungan dengan suatu agama atau kepercayaan

Komentar

(15)

Lanjutan Tabel 2

1 2 3 4

Komentar

Umum 22 Paragraf4 kepercayaan mungkin tidak hanyaPelaksanaan dan praktik agama atau mencakup kegiatan-kegiatan seremonial, tetapi juga kebiasaan-kebiasaan seperti peraturan tentang makanan, pemakaian pakaian tertentu atau penutup-kepala

6 (h) Menghormati hari-hari istrahat dan merayakan hari-hari libur dan upacara-upacara menurut ajaran-ajaran agama atau kepercayaan seseorang

Komentar

Umum 22 Paragraf4 dan Konsep ibadah mencakup kegiatan ritualseremonial yang merupakan pengungkapan langsung dari kepercayaan seseorang, penggunaan cara-cara dan obyek-obyek ritual, penunjukan simbol-simbol, dan menjalankan hari raya dan hari istirahat mencalonkan melalui suksesi para pemimpin yang tepat yang diperlukan berdasarkan persyarakat-persyaratan dan standar-standar agama atau kepercayaan seseorang.

Komentar

(16)

Lanjutan Tabel 2

1 2 3 4

Komentar

Umum 22 Para 4 agama atau kepercayaan mencakupKemudian, pengamalan dan pengajaran kegiatan-kegiatan integral yang dilakukan oleh kelompok-kelompok agama berkaitan dengan urusan-urusan mendasar mereka, seperti kebebasan untuk memilih pemimpin agama, pendeta, dan guru, kebebasan untuk membentuk seminari atau sekolah agama dan kebebasan untuk membuat dan menyebarluaskan teks-teks atau publikasi-publikasi agama.

Hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya

ICCPR 18 (4) Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, berhak mengatur kehidupan di dalam keluarga sesuai dengan agama atau kepercayaannya dan dengan mengingat pendidikan kesusilaan dalam membimbing semua anak hingga dewasa.

ICESCR 13 (3) Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan wali yang sah, bila ada, untuk memilih sekolah bagi anak-anak mereka selain yang didirikan oleh lembaga pemerintah, sepanjang memenuhi standar minimal pendidikan sebagaimana ditetapkan atau disetujui oleh negara yang bersangkutan, dan untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka.

UU No. 39 / 1999

tentang HAM

(17)

Lanjutan Tabel 2 dan tugas orangtua serta, apabila dapat diterapkan, perwalian resmi, untuk memberi arahan pada anak dalam menjalankan haknya dengan secara konsisten mempertimbangkan kapasitas berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.

6 (i) mendirikan dan mengelola komunikasi-komunikasi dengan seseorang dan masyarakat dalam persoalan-persoalan agama atau kepercayaan pada tingkat nasional dan internasional.

Sumber: The Wahid Institute, 2014:9-12

Pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama/Berkeyakinan

Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap kebebasan bearagama sesuai The Wahid Institute (2014:26-27) antara lain :

1. Pemaksaan dengan intimidasi atau ancaman fisik, tindakan negara seperti polisi, tentara, atau Satpol PP yang dilakukan dengan ancaman penggunaan fisik.

2. Pemaksaan ancaman sanksi hukum, tindakan negara dengan ancaman sanksi hukum seperti penjara, denda, tidak menerima KTP atau bentuk-bentuk administrasi lainnya. 3. Kriminalisasi keyakinan, berupa tindakan penerapan sanksi dalam peraturan

undangan, umumnya tentang penyalahgunaan dan penodaan agama. Tindakan dapat berbentuk penyelidikan, penyidikan, pemidanaan, penuntutan ke pengadilan hingga pemenjaraan terhadap seorang atau sekelompok orang yang divonis melakukan penodaan terhadap suatu agama di Indonesia.

4. Pemaksaan dengan kebijakan. Tindakan ini merupakan praktik aparat negara yang menerapkan sanksi hukum atau kebijakan tertentu seperti tidak mengeluarkan kartu identitas atau mencatat akta perkawinan karena seseorang bagian dari sekte tertentu seperti Ahmadiyah, misalnya.

(18)

6. Pelarangan ibadah merupakan tindakan yang melarang seseorang atau sekelompok orang, berbentuk surat resmi pelarangan maupun tindakan pelarangan di lapangan. 7. Pembiaran, merupakan tindakan pengabaian atau kelalaian negara mencegah

pelanggaran atau intoleransi yang dilakukan oleh warga negara lain atas dasar agama. Tindakan ini dapat berbentuk tidak mencegah kekerasan yang belum terjadi, tidak melakukan upaya yang sesuai prosedur hukum untuk menghentikan kekerasan terhadap kelompok keagamaan oleh kelompok lain, dan tidak mengambil tindakan hukum yang semestinya terhadap para pelaku kekerasan atas nama agama baik secara individu maupun kelompok. Dalam tindakan pembiaran ini, aparat negara biasanya berdalih bahwa mereka tidak mampu mencegah atau menghentikan kekerasan karena minimnya personil atau dalih untuk menghindari konflik yang lebih besar. Aparat negara sebaliknya mengevakuasi korban kekerasan dengan dalih untuk mengamankan mereka atau meminta korban pindah ke tempat lain agar tidak menjadi korban kekerasan berikutnya.

8. Pembatasan aktivitas keagamaan, tindakan aparat negara yang berusaha membatasi atau menghalangi seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan aktivitas keagamaan seperti pemilihan pimpinan agama, penyebaran ajaran keagamaan, dan lain-lain.

9. Pelarangan aktivitas keagamaan, berupa larangan aparat negara, resmi maupun kebijakan di lapangan terhadap aktivitas keagamaan tertentu.

10. Penyegelan tempat ibadah merupakan tindakan pencabutan izin, pelarangan penggunaan bangunan sebagai tempat ibadah dan berbagai tindakan lain yang bertujuan agar suatu rumah ibadah tidak berdiri di satu lokasi.

Selain catatan tentang keterlibatan kepolisian dalam sejumlah tindakan aktif penyegelan, dan pemberian izin penyegelan, banyaknya angka institusi kepolisian sebagai pelaku tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan disebabkan oleh tugas dan fungsi kepolisian yang pada pokoknya wajib memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dan jika terjadi tindakan kriminal, berupa kekerasan berbasis agama, dan polisi tidak melakukan tindakan pencegahan, maka berarti kepolisian sudah mengabaikan tugasnya. Demikian juga sebagai aparat penegak hukum, kepolisian seharusnya menindak dan memproses secara hukum setiap orang yang melakukan tindakan kriminal, dan karena polisi diam, maka polisi kembali membukukan tindakan pelanggaran akibat lalai memproses secara hukum. Namun demikian, perlu dicatat bahwa tingginya angka bagi kepolisian sebagai pelaku tidak berdiri sendiri. Sebagai aparat hukum, polisi umumnya menjalankan apapun hukum/kebijakan yang diproduksi negara, sekalipun hukum/kebijakan itu diskriminatif.

Langkah Politik Positif Negara

(19)

Bambang Yudhoyono, setelah terjadinya penyerangan oleh Front Pembela Islam (FPI) terhadap aksi damai yang dilakukan oleh Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni 2008. Waktu itu Presiden menyatakan:

Negara kita adalah negara hukum yang punya UUD, UU dan peraturan yang berlaku. Bukan negara kekerasan. Oleh karena itu terkait insiden kekerasan kemarin, saya minta hukum ditegakkan. Pelaku-pelakunya diproses secara hukum diberikan sanksi hukum yang tepat. Ini menunjukkan negara tidak boleh kalah dengan perilaku-perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,

Sikap pemerintah merespon peristiwa 1 Juni 2008, harus diakui merupakan dukungan politik yang sangat besar bagi Polri untuk menuntaskan aksi kekerasan yang dilatarbelakangi oleh isu kebebasan beragama/ berkeya-kinan. Vonis terhadap Rizieq Shihab dan Munarman sebagai aktor pelaku kekerasan telah melemahkan modal sosial gerakan FPI dan sejenisnya. Namun demikian, pilihan pemerintah mengeluarkan SKB Pembatasan Ahmadiyah (Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/ atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat), yang hanya berselang 8 hari dari peristiwa ini, justru kembali memperkuat modal sosial gerakan Islam yang selama ini menekan pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah.

Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, sebagaimana diberitakan oleh Tempo.co (31 Maret 2016), bahwaPresiden meminta kepada Polri agar bersikap tegas kepada kelompok intoleran. Hal tersebut berkaitan dengan kejadian beberapa waktu sebelumnya, terdapat kelompok masyarakat yang melarang suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dengan alasan berkaitan dengan ajaran komunis dan akhirnya dibubarkan oleh polisi.

Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi dan hukum nasional Indonesia, antara lain:

1. UUD 1945, pasal 29: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.

2. UUD 1945, pasal 28I, ayat 4: Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

(20)

yang diatur dalam UU ini, peraturan-perundangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.

4. UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Politcal Rights, pasal 2: Negara bertindak menghormati dan memberi jaminan bagi setiap individu yang hidup dalam wilayahnya dan yang merupakan subyek dalam jurisdiksinya hak-hak yang tercantum dalam Kovenan ini tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, seperti atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-muasal sosial atau kebangsaan, properti, kelahiran, atau status lainnya.

5. UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, pasal 16: Negara akan mengambil langkah untuk mencegah terjadinya bentuk-bentuk perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat di seluruh wilayah dalam jurisdiksinya, ketika tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh atau dengan dipicu oleh atau dengan persetujuan atau dukungan dari seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat publik.

Tindakan Polisi

Secara jamak yang dilakukan Polisi selama ini dalam menyikapi tindakan intoleransi adalah ikut serta dalam tindakan intoleransi tersebut dalam bentuk; ikut serta mendesak/membatasi/melarang/membubarkan (secara halus), kegiatan keagamaan atau kegiatan yang dianggap menodai/tidak menghormati hari keagamaan oleh suatu kelompok masyarakat, dengan alasan untuk mencegah kemungkinan terjadinya bentrokan/kerusuhan/perusakan oleh kelompok masyarakat penentang tersebut. Sikap/alasan tindakan Polisi seperti hal tersebut, menjadi sangat umum dilakukan, apalagi jika berhadapan dengan ormas/golongan agama mayoritas dan menyangkut isu yang sensitif. Sikap Polisi tersebut kemungkinan diakibatkan karena:

1. Kurangnya pemahaman terhadap ketentuan (peraturan perundang-undangan) yang menjadikannya gamang dan akhirnya cenderung mengikuti arus yang besar;

2. Ketidaksiapan Polisi dalam menyikapi tindakan intoleransi sebagai akibat dari kurangnya informasi dan berdampak dalam kurangnya personil Polri untuk mengantisipasinya;

3. Ketidaknetralan Polisi. Dalam hal ini, tindakan Polisi dipengaruhi oleh latar belakang keyakinannya (keyakinan agamanya) ataupun hubungan relasi Polisi dengan kelompok/agama/keyakinan atau orang dalam kelompok tersebut.

(21)

siapapun yang melakukan pelanggaran apapun agama dan keyakinannya, dan wajib tanpa terkecuali memberikan perlindungan kepada setiap warga negara yang mengalami kekerasan akibat persekusi dan intoleransi. Profesionalisme Polri dengan jalan meningkatkan pendidikan hak asasi manusia dan peningkatan kapasitas aparatnya, khususnya dalam konteks memberikan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan.

Polisi tidak lagi menggunakan alasan demi menjaga ketertiban namun pada saat yang sama mengorbankan hak dan kebebasan beragama kelompok minoritas, atau kelompok manapun.

Sekian.

Daftar bacaan:

Chryhnanda, 2009.Polisi Penjaga Kehidupan, YPKIK, Jakarta.

Djamin, Awaloedin, 2011.Sistem Administrasi Kepolisian, YPKIK, Jakarta.

Hasani, Ismail, 2008. Berpihak dan Bertindak Intoleran, Laporan Kondisi Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Setara Institute, Jakarta.

Muhammad, Farouk,Menuju Reformasi Polri, PTIK Press dan Restu Agung, Jakarta.

Sekretariat Negara RI, 1992,Risalah Sidang BPUPKI, Koperasi Sekretariat Negara RI, Jakarta. The Wahid Institute 2013, Laporan Tahunan: Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan

Intoleransi 2013, The Wahid Institute.

The Wahid Institute 2014, Laporan Tahunan: Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2014, Utang Warisan Pemerintahan Baru, The Wahid Institute.

UNESCO, 1994. Tolerance: the threshold of peace. A teaching/learning guide for education for peace, human rights and democracy(Preliminary version). Paris: UNESCO.

U.S. Department of Justice, Hate Crime: The Violence of Intolerance http://www. usdoj.gov/crs/pubs/htecrm.htm

United Nation, 1981. General Assembly: Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based On Religion Or Belief (http://www.un.org/documents/ga/res/36/a36r055.htm)

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Gambar

Tabel 1
Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Signifikannya pengaruh total aset terhadap kinerja keuangan terjadi karena total aset merupakan kekuatan finansial yang dimiliki oleh sebuah perusahaan dimana semakin

Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara penasaran. Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam

Buku kedua karangan Misri A.Muchsin yang berjudul Potret Aceh Dalam Bingkai Sejarah (2007) menceritakan bagaimana Sejarah Aceh dalam dua zaman yaitu pada masa era Kesultanan

Dari hasil analisa perbandingan biaya pembuatan pelat beton sistem konvensional dengan sistem boundeck pada Pembangunan Gedung Kuliah Bersama Politeknik Negeri

Data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan studi ini adalah sebagai berikut: Data curah hujan tahun 2002-2011, peta batas DAS dan jaringan sungai, peta jenis tanah, tekstur tanah

 Dari data-data yang sudah dipaparkan diatas dapat dikatakan bahwa bukaan pada masjid jendral sudirman dapat mempengaruhi kinerja termal namun tidak signifikan

Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa sekali pun organisasi nirlaba, LAZ APU memperlihatkan sebuah pengelolaan yang profesional sehingga kegiatan yang dilakukan

Memahami persoalan tersebut maka peneliti terdorong untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan mengadakan kegiatan penelitian yang berjudul pengaruh model