• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Ilmu dan Agama interpretasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Integrasi Ilmu dan Agama interpretasi "

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN; AGENDA TANTANGAN

BAGI PENGEMBANGAN DAN PEMBARUAN PEMIKIRAN

ISLAM

1

Oleh : Muhammad Aflah al-Humaidi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam salah satu diskursus mengenai "pembaruan" pemikiran Islam, yang menyoroti mengenai kemunduran ummat Islam dibanding dengan kaum Barat, menyatakan bahwa salah satu faktor kemunduran dalam berfikir di kalangan Islam, adalah karena ketidakmampuan atau tidak adanya kemauan untuk melihat dan memperhatikan persoalan metodologis2. Sebaliknya, sejak

pertengahan abad ke-12, setelah al-Ghozali menyerang filsafat, hampir semua khazanah intelektual islam selalu memojokkan filsafat, tanpa memperdulikan posisinya, apakah sebagai produk ataukah metodologi. Padahal al-Ghozali tidak menyalahkan filsafat secara keseluruhan. Hanya pada aspek metafisiknya, yang merupakan produk pemikiran. Dimana hal tersebut diyakininya berpotensi menyeret ummat Islam ke dalam kekufuran3.

Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghozali mengkaji persoalan filsafat secara rinci dan membaginya menjadi 20 kelompok. Kemudian menyatakan bahwa 3 diantaranya dapat menyebabkan kekufuran. Yaitu qidam al-'alam, kebangkitan rohani, dan pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal juz'iyyah (partikular). Serangan ini diulangi lagi dalam al-Munqidz min al-Dlolal serta memasukkan al-Farabi (tokoh pencetus teori emanasi dalam Islam) dan ibn Sina dalam kelompok orang yang terlibat dalam pencetusan ketiga hal tadi4.

1Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Filsafat Ilmu Integratif Islam dan Sains dan disampaikan pada 24 Desember 2013 di Sekolah Pascasarjana UIN MALIKI Malang

2 A. Khudori Soleh (2013, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer), hal. 10

3 A. Khudori Soleh (ter & Pengantar, Skeptisisme al-Ghozali), hal. 63

(2)

Namun dalam serangan ini, hal yang perlu dicermati adalah beliau hanya menyerang persoalan metafisis, dimana al-Farabi dan ibn Sina berpaham Neoplatonisme. Dan di sisi lain al-Ghozali tetap mengakui pentingnya logika atau epistemologi, yang merupakan inti filsafat, sebagai sesuatu yang penting bagi upaya pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan dalam al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul kitabnya yang membahas Ilmu Fiqih beliau menggunakan metodologi filosofis5.

Artinya disini terjadi kesalahpahaman atau perbedaan pengertian antara filosof muslim dan al-ghozali sebagai teolog. Pada kenyataannya, metode-metode analisis yang diberikan atas masalah agama (Teologi, Fiqih, dll.) tidak berbeda dengan "model" filsafat Yunani. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata ara penyusunan teori. Yaitu bahwa pemikiran islam didasarkan atas teks suci, sedangkan filsafat yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti, dan baku.

Pergulatan pemikiran semacam itu, yakni antara pendapat yang menyatakan perlunya mengambil sesuatu dari luar khazanah Islam untuk digunakan dengan tujuan Islami dan pendapat yang menyatakan bahwa justru yang perlu digali adalah khazanah dari dalam Islam itu sendiri dan harus bisa lepas dari bayang-bayang dari luar Islam itulah yang pada akhirnya menimbulkan berbagai konsep. Dan salah satunya adalah konsep Islamisasi Ilmu.

Embrio konsep ini sebenarnya sudah ada sejak abad ke-19, dan terus menjalar hingga saat ini, termasuk di Indonesia. Yang menjadi menarik adalah konsep ini, sebagaimana konsep pemikiran Islam lainnya, merupakan "pembaruan" atau "penyegaran" pemikiran Islam. Dan sebagaimana konsep pembaruan yang lazimnya, konsep Islamisasi Ilmu merupakan tanggapan atas fenomena atau konsep yang sebelumnya telah berkembang dan ternyata dinilai tidak menyelesaikan krisis seperti yang diharapkan. Lalu bagaimanakah konsep ini dalam menanggapi Krisis?

(3)
(4)

B. Rumusan Masalah

Mengingat luasnya masalah yang menjadi cakupan pembahasan ini, kami membatasi ruang lingkup permasalahan seputar Islamisasi Ilmu dan Posisinya dalam dunia pemikiran, baik pemikiran dari Islam sendiri maupn dari luar Islam. Oleh karena itu, rumusan masalah yang kami bahas dalam makalah ini antaralain :

1. Apakah maksud dari istilah Islamisasi Ilmu itu?

2. Bagaimanakah konsep Islamisasi Ilmu dalam memandang Perkembangan dan Pembaruan Pemikiran Islam ?

3. Perlukah Islamisasi Ilmu dan bagaimana posisinya di tengah Krisis Pemikiran Islam ?

C. Tujuan

Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan di ata, maka tujuan pembahasan ini adalah untuk :

1. Mengetahui istilah dan konsep Islamisasi Ilmu

2. Mengetahui bagaimana perspektif Konsep Islamisasi Ilmu Terhadap Perkembangan dan Pembaruan Pemikiran Islam

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Dalam bahasa arab, istilah Islamisasi ilmu dikenal dengan “Islamiyyat al-Ma’rifah” bermakna segala disiplin ilmu (baik kontemporer maupun tradisi Islam) mesti ‘diislamkan’. dan dalam bahasa inggris disebut dengan “Islamization of Knowledge”. Islamisasi berarti sebuah usaha untuk menjadikan Islam atau bersifat Islami. Sains berasal dari kata Science yang berarti pengetahuan6. Sedangkan menurut Mulyadhi Kartanegara, Islamisasi

ilmu pengetahuan merupakan naturalisasi sains (ilmu pengetahauan) untuk meminimalisasikan dampak negatif sains sekuler terhadap system kepercayaan agama dan dengan begitu agama menjadi terlindungi.

Secara substantif ide Islamisasi Ilmu telah muncul abad ke-19, yaitu ketika Syah Waliyallah dan Sir Sayyid Ahmad Khan yang mendirikan Universitan Aligarth. Kedua tokoh ini mempelopori kebangkitan pemikiran dan pengetahuan yang berorientasi kepada Islam dan sekaligus bercorak modern7.

Namun nomanklatur Islamisasi Ilmu sendiri baru ada pada abad ke-20 dan mulai secara serius dirumuskan ketika adanya konferensi The International Isntitue of Islamic Tought (IIIT), oleh Ismail Raji al-Faruqi8.

Beliau memulai pokok pikirannya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dengan mengaitkan pertama kali dengan kekalahan dan keterbelakangan umat Islam dalam menghadapi dominasi dan kemajuan dunia Barat. Kekalahan-kekalahan itu mengakibatkan kaum muslimin dibantai, dirampas kekayaannya, dirampas hak-hak dan kehidupannya. Mereka disekulerkan, diwesternisasikan, dijauhkan dari agamanya oleh agen-agen musuh mereka. Sebagai kelanjutan dari kemalangan itu, umat Islam dijelek-jelekkan, difitnah,

6 Budi Handrianto, (2010, Islamisasi Sains.), hal.85

7 Mohammad Muchlis Sholihin (2008, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam). hal. 15-16

(6)

dalam pandangan bangsa-bangsa di dunia, sehingga pada masa itu umat Islam menjadi umat yang mempunyai citra terjelek.

Sebagai jawaban atas persoalan-persoalan umat Islam sebagaimana di atas, penting adanya langkah-langah perbaikan. Al-Faruqi merekomendasikan pentingnya pemaduan pendidikan yang bersifat profan dengan pendidikan Islam. Dualisme pendidikan yang terjadi di kalangan umat Islam pada saat ini harus ditiadakan setuntasnya. Kedua sistem pendidikan tersebut harus dipadukan dan diintegrasikan, sehingga dapat melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing. Integrasi pendidikan sekuler dan pendidikan Islam harus menghasilkan sebuah sistem pendidikan yang sesuai dengan visi agama Islam.

Secara terinci al Faruqi memberikan langkah-langkah teknis dalam upaya Islamisasi pengetahuan, yaitu:

1. Penguasan disiplin ilmu modern: penguraian kategoris. 2. Survei disiplin ilmu

3. Penguasaan khazanah Islam: sebuah antologi. 4. Penguasaan khazanah ilmiah Islam : tahap analisa.

5. Penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu

6. Penilaian kritis terhadap ilmu pengetahuan modern; Tingkat perkembangannnya di masa kini.

7. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam.

8. Survei permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia. 9. Analisa kreatif dan sintesa.

10. Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam: Buku-buku daras tingkat universitas.

11. Penyebarluasan ilmu yang telah di-Islamisasikan9

Sedangkan Al-Attas, yang juga dianggap sebagai pelopor Islamisasi Ilmu, mendefinisikan proses Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai pembebasan manusia dari unsur magis, mitologi, animisme, dan tradisi kebudayaan kebangsaan serta dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya. Ini berarti pembebasan akal atau pemikiran dari pengaruh pandangan hidup yang diwarnai oleh kecenderungan sekuler, primordial, dan mitologis.10

9 Ismael R. Al-Faruqi (1995, Islamisasi Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin), hal. 98

(7)

Namun dalam sumber yang lain mengatakan bahwa Ide Islamisasi sains pertama kali yang dicutuskan oleh Syed Husein Nasr dalam bukunya The Encounter of Man and Nature tahun 196811. Sains Islami

menurut Nasr tidak akan dapat diperoleh kecuali dari intelek yang bersifat Ilahiyah dan bukan akal manusia. Kedudukan intelek adalah di hati, bukan di kepala, karena akal tidak lebih dari pantulan ruhaniyah. Selama hierarki pengetahuan tetap dipertahankan dan tidak terganggu dalam Islam dan scientia terus dibina dalam haribaan sapienta, beberapa pembatasan di bidang fisik dapat diterima guna mempertahankan kebebasan pengembangan dan keinsafan di bidang ruhani. Ilmu pengetahuan harus menjadi alat untuk mengakses yang sakral dan ilmu pengetahuan sakral (scientiasacra) tetap sebagai jalan kesatuan utama dengan realitas, dimana kebenaran dan kebahagiaan disatukan.

Islamisasi Ilmu merupakan istilah yang mendiskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma’ (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dengan metode ilmiah dan tidak bertentangan dengan norma-norma Islam.

B. Perspektif Konsep Islamisasi Ilmu Terhadap Perkembangan dan Pembaruan Pemikiran Islam

Menurut Sabra, ketika membahas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan maka terlebih dulu harus kita tahu bahwa konsep ilmu pengetahuan dalam Islam berbeda dengan konsep ilmu dalam pandangan Barat. Diantara syarat membahas Islamisasi ilmu pengetahuan adalah pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat tidak bebas nilai. Ilmu terikat dengan nilai tertentu yang berupa paradigma, ideologi, atau pemahaman seseorang. Namun kenyataannya sifat ilmu yang bisa dinaturalisasi12, ilmu pengetahuan

kontemporer (sains) telah terbaratkan (westernized) atau telah disekularisasi.

11 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hal. 294

(8)

Diskusi tentang apakah ilmu itu netral atau tidak memang sudah berlangsung lama. Menurut Khairul Umam, sejak munculnya kembali paham Teosentris, Ilmuan Rasionalisme yang bersikukuh dalam pendiriannya terus berjuang untuk membebaskan diri dari mitos dan berusaha mengembalikan citra rasionalisme nya. Ketika Rene Descartes (1596-1650) menyampaikan diktunnya yang terkenal Co Gito Ergo Sum yang artinya “aku berpikir maka aku ada. Mengisyaratkan bahwa rasiolah raja dari sumber pengetahuan. Yang harus terbebas dari mitos keagamaan seperti wahyu, Tuhan, Kredo, Nilai dan lainnya. Masa inilah yang melahirkan Reneisans (yang berarti kelahiran kembali) dalam ilmu pengetahuan yang diikuti Aufklarung (pencerahan) yang menandakan bangkitnya ilmu pengetahuan dengan prinsip dasar Rasionalisme, Netralisme, dan bebas nilai. Hal itulah yang menjadi permasalahan tersendiri bagi Dunia Islam dan kaum muslimin. Sehingga solusinya adalah dengan adanya Islamisasi Ilmu Pengetahuan.13

Kemudian sains seperti apakah yang harus diislamkan? Cakupan sains sangatlah luas. Bisa Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Ilmu Agama. Baik ilmu pengetahuan yang berkembang di jaman dahulu maupun ilmu yang termutakhir saat ini. Terutama di akhir abad ke-19 setelah terjadi revolusi teknologi, telekomunikasi, dunia internet, teknologi digital, dan yang lainnya. Misalnya Al-Faruqi, Ibrahim Ragab Dan Ausaf Ali membahas Islamisasi Sains di bidang Ilmu Sosial, atau Sulayman di bidang Politik.

Dengan Islamisasi ilmu pengetahuan diharapkan nantinya akan dihasilkan sebuah sains Islam yang didasarkan pada al-Qur’an al-Hadits dimana sains Islam tersebut berbeda dengan sains barat yang telah berkembang saat ini. Adapun perbandingan antara sains barat dan sains Islam, yaitu :

No. Sains Barat Sains Islam

1 Percaya pada rasionalitas Percaya pada wahyu

2 Sains untuk sains Sains adalah sarana untuk mendapatkan keridhoan Allah 3 Satu-satunya metode atau cara Banyak metode berlandaskan akal

(9)

untuk mengetahui realitas dan wahyu baik secara objektif dan subjektif

4 Netralitas emosional sebagai prasyarat kunci menggapai rasionalitas

Komitment emosional sangat penting untuk mengangkat

usaha-Pemihakan pada kebenaran ilmuan ilmuan harus peduli terhadap hasil-hasil dan akibat penemuannya secara moral sebagai bentuk ibadah

6 Tidak adanya bias, validitas suatu sains hanya bergantung pada bukti penerapannya (objektif)

bukan ilmuan yang

menjalankannya (subjektif)

Adanya subjektif validitas sains tergantung pada bukti penerapan juga pada tujuan dan pandangan ilmuan yang menjalankannya

7 Penggantungan pendapat sains hanya dibuat atas dasar bukti 9 Fragmentasi pembagian sains

kedalam disiplin dan subdisiplin

Holistic pembagian sains kedalam lapissan yang lebih kecil yaitu pemahaman interdisipliner dan holistic

11 Individualism, ilmuan harus

menjaga jarak dengan

permasalahan social politik dan ideologis

Orientasi masyarakat, ilmuwan memiliki hak dan kewajiban adanya interdependensi dengan masyarakat

(10)

nilai berupa baik atau buruk juga halal atau haram

13 Loyalitas kelompok, hasil

pengetahuan baru adalah aktifitas terpenting dan perlu dijunjung pengekangan atau penguasaan penelitian sains

Islamisasi Ilmu dalam Memandang dan Mengatasi Krisis Masyarakat Konsep Islamisasi Ilmu, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Ismael Raji al-Faruqi di atas, juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan14. Rencana kerja al-Faruqi untuk program

islamisasi mempunyai lima tujuan yaitu:pertama, menguasai disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam.Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.

(11)

Menurut al-Faruqi, tujuan di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama, Penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Kedua, Peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, Penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi. Keempat, Penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata al-Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu: a). Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut; c) Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam, Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Kedelapan, Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Kesembilan, Survei mengenai problem-problem umat manusia. Kesepuluh, Analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dan keduabelas, Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.

Selain langkah tersebut, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai antar disiplin. Para ahli yang terlibat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metode yang diperlukan15.

(12)

Demikian langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Faruqi dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan. Dari kesemua langkah yang diajukannya ini, tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan energi ekstra dan kerja sama berbagai belah pihak. Karena, islamisasi merupakan proyek besar jangka panjang yang membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka dibutuhkan usaha besar pula dalam mengintegrasikan setiap disiplin keilmuan yang digeluti oleh seluruh cendekiawan muslim.

Menurut Al Faruqi, inti semua perkembangan destruktif sains modern berada dalam metode induktif ilmu alam. Data ilmu alam yang seharusnya dapat diamati oleh pikiran sehat, terpisah satu sama lain dan dapat diukur berdasarkan pikiran sehat, sekarang data itu “mati”, dalam pengertian bahwa ia terbebas dari disposisi pengamatan. Data mencerminkan gambaran dan perilaku yang sama sepanjang waktu selama kondisi data tersebut tidak berubah dan selama faktor subyektif si pengamat tidak campur tangan dalam ilmu pengetahuan tiada prinsip yang keramat dan segala sesuatu dapat dipersoalkan. Bukti eksperimen adalah dasar buat hipotesi yang tetap shahih sepanjang tidak terdapat eksperimen lain yang menyangkalnya. Hipotesis merupakan hukum alam ketika eksperimen dan pengamatan berulang-ulang memperkuat kesahihannya. Hal ini memungkinkan dan perekayasaan16.

C. Menelaah keberadaan, peran dan nilainya dalam Pembaruan dan Pemikiran Islam : Agenda Tantangan Konsep Islamisasi Ilmu dalam Pembaruan dan Pengembangan Pemikiran Islam

Diskursus seputar Islamisasi ilmu ini telah begitu lama menebarkan perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Semenjak dicanangkannya sekitar 40 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro maupun yang kontra terus bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme (kebangkitan) Islam. Namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan "Islamisasi" hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati "sakit hati"

(13)

(inferiority complex), karena ketertinggalan mereka yang sangat jauh dari peradaban Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan sendirinya17.

Golongan pertama adalah para pelopor Islamisasi Ilmu dan yang sependapat dengan gagasan ini, yang juga secara teori dan konsepnya dan berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang sejalan dengan maksud Islamisasi dalam disiplin ilmu mereka. Aktivitas golongan pertama mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka mengokohkan dan memurnikan kembali konsep Islamisasi ilmu ini, walaupun mereka saling mengkritik ide satu sama lain, tetapi hal itu untuk merekonstruksinya bukan mendekontruksi.

Misalnya Ziauddîn Sardâr, pemikir muslim dari Inggris, ia berpendapat bahwa Islamisasi ilmu akan menjadi issue populer dan berkembang di masa depan, meski kini masih berada pada tahap “bulan sabit awal” seperti tercermin dari buku Ziauddin Sardar, An Enly Crescent: The Future of Knowledge and the Environment in Islam18.

Dukungan Islamisasi juga datang dari Ashraf-yang walaupun melakukan kritik terhadap al-Faruqi yang “ingin penyelidikan dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui subjek yang terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkinkan.”- Menurutnya, kompromi merupakan sesuatu yang mustahil terhadap dua pandangan yang sama sekali berbeda. Tidak seharusnya bagi sarjana muslim memulai dengan konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan berdasarkan prinsip yang dinukil dari al-Qur-ân dan al-Sunnâh19. Namun dalam pandangan

Syed Hossein Nasr, integrasi antara Ilmu Barat dan Ilmu Islam bukan hanya sesuatu yang mungkin tetapi perlu untuk dilakukan. Menurutnya, para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka

17 Naqiyah Mukhtar (2005, Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik), hal. 115

18 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam, hal. 299

(14)

pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibn Khaldûn di masa lalu20.

Di Indonesia sendiri ada beberapa tokoh yang mendukung Islamisasi ilmu pengetahuan, seperti A. M. Saifuddin. Menurutnya, Islamisasi adalah suatu keharusan bagi kebangkitan Islam, karena sentral kemunduran umat dewasa ini adalah keringnya ilmu pengetahuan dan tersingkirnya pada posisi yang rendah. Hal senada diungkapkan Hanna Djumhana Bastaman, dosen psikologi Universitas Islam Jakarta. Hanya saja beliau memperingatkan bahwa gagasan ini merupakan proyek besar sehingga perlu kerjasama yang baik dan terbuka di antara para pakar dari berbagai disiplin ilmu agar terwujud sebuah sains yang berwajah Islami21.

Maraknya perkembangan pemikiran seiring dengan lahirnya gagasan Islamisasi ilmu ini, bukan berarti semua umat Islam sepakat terhadap ide tersebut. Mereka percaya bahwa semua ilmu itu sudah Islami, sebab yang menjadi sumber utamanya adalah Allah SWT sendiri. Sehingga mereka sangsi dengan pelabelan Islam atau bukan Islam pada segala ilmu. Golongan kedua ini yang tidak sependapat dan menganggap bahwa Islamisasi Ilmu tidaklah diperlukan.

Istilah Islamisasi sains atau sains Islam seringkali disalah pahami bahkan oleh para ilmuan itu sendiri. Bagi sebagian orang sains adalah sains, dan sebagaimana tidak ada sains Kristen atau sains Yahudi., begitu pula tidak ada Sains Islam. Salah satu yang berkomentar seperti itu adalah ilmuan Islam tersohor penerima hadiah Nobel Fisika Abdussalam. Dia berkata, ”hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional dan tidak ada sains Islam sebagaimana tidak ada sains hindu, sains yahudi, atau sains Kristen”22.

20 Ibid, hal. 120

21 Ibid, hal. 123

(15)

Sedangkan menurut Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan tidak perlu diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakannya23. Dan bahkan ia

berkesimpulan bahwa kita tidak perlu bersusah payah membuat rencana dan bagan bagaimana menciptakan Ilmu Pengetahuan Islami, Lebih baik kita manfaatkan waktu, energi dan uang untuk berkreasi24. Bagi Fazlur Rahman,

ilmu pengetahuan itu memiliki dua kualitas, seperti senjata dua sisi yang harus dipegang dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab, ia sangat penting digunakan dan didapatkan secara benar. Baik dan buruknya ilmu pengetahuan bergantung pada kualitas moral pemakainya.

Begitu juga Bassam Tibi, seorang Intelek Muslim di Jerman berargumen dengan halus untuk memperjuangkan keserasian Islam dan sekularisme. Bassam Tibi menganggap bahwa Islamisasi merupakan suatu bentuk indegenisasi atau pribumisasi (indegenization) yang berhubungan secara integral dengan strategi kultural fundamentalisme Islam. Islamisasi dianggap sebagai penegasan kembali ilmu pengetahuan lokal untuk menghadapi ilmu pengetahuan global dan invansi kebudayaan yang berkaitan dengan itu, yakni “dewesternisasi25. Namun dalam pandangan Adnin Armas,

pemahaman Bassam tibi ini tidaklah tepat. Menurutnya, Islamisasi bukanlah memisahkan antara lokal menentang universal ilmu pengetahuan Barat. Pandangan Bassam Tibi ini lebih bermuatan politis dan sosiologis dikarenakan umat Islam hanya berada di dalam dunia berkembang, maka gagasannya pun bersifat gagasan lokal yang menentang gagasan global. Padahal, munculnya ide Islamisasi lebih disebabkan perbedaan worldview antara Islam dan agama atau budaya lain yang berbeda. Islamisasi bukan sekedar melakukan kritik terhadap budaya dan peradaban global Barat, tetapi juga mentransformasi bentuk-bentuk lokal supaya sesuai dengan worldview Islam26.

23 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, hal. 300

24 Mohammad Muchlis Sholihin (2008, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam). hal. 67

25 Ibid, hal. 78

(16)

Kritik terhadap Islamisasi ini juga diajukan oleh Abdul Karim Soroush, ia menyimpulkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan tidak logis atau tidak mungkin. Alasannya, realitas bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Oleh sebab itu, sains sebagai proposisi yang benar, bukan Islami atau bukan pula tidak Islami. Untuk itu secara ringkas Soroush mengargumentasikan bahwa; 1) Metode metafisis, empiris atau logis adalah independen dari Islam atau agama apa pun. Metode tidak bisa diislamkan; 2) Jawaban-jawaban yang benar tidak bisa diislamkan. Kebenaran adalah kebenaran dan kebenaran tidak bisa diislamkan; 3) Pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan adalah mencari kebenaran, sekalipun diajukan oleh non-muslim; 4) Metode yang merupakan presupposisi dalam sains tidak bisa diislamkan. Dari keempat argumentasi ini terlihat Soroush memandang realitas sebagai sebuah perubahan dan ilmu pengetahuan dibatasi hanya terhadap fenomena yang berubah27.

Gagasan Islamisasi ini juga mendapat tantangan dari Usep Fahrudin, karena menurutnya Islamisasi ilmu bukan termasuk kerja kreatif. Islamisasi ilmu tidak berbeda dengan pembajakan atau pengakuan terhadap karya orang lain. Sampai pada tingkat tertentu, Islamisasi tidak ubahnya kerja seorang tukang, jika ada seorang saintis berhasil menciptakan atau mengembangkan suatu ilmu, maka seorang Islam menangkap dan mengislamkannya28.

Terlepas dari pro-kontra di atas yang menjadi tantangan besar bagi kelanjutan proses Islamisasi dan merupakan the real challenge adalah komitmen sarjana dan institusi pendidikan tinggi Islam sendiri. Tantangan globalisasi yang terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi semakin membingungkan. Ilmu dianggap sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya, orientasinya pun ikut berubah, tidak lagi untuk meraih “keridhaan Allah” tetapi untuk kepentingan diri sendiri. Universitas pun hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pragmatis, menjadi pabrik industri tenaga kerja dan

27 Mohammad Muchlis Sholihin, Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam, hal. 80-82

(17)

bukan lagi merupakan pusat pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan. Sehingga merupakan hal yang wajar jika al-Attas mengungkapkan bahwa tantangan terbesar terhadap perkembangan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri. Dan tantangan yang tak kalah besarnya adalah akibat kedangkalan pengetahuan umat Islam terhadap agamanya sendiri. Hal ini, menurutnya, bisa dilihat dari karya tulis yang mereka hasilkan yang mencerminkan bahwa mereka belum memahami Islam dengan baik.

Peran dan Nilai Penting Islamisasi Ilmu dalam Menghadapi Krisis Kemasyarakatan

Lahirnya gagasan Islamisasi Ilmu, rupanya didorong oleh keinginan sebagian besar Ilmuwan Muslim untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan hegemoni Barat atas Kaum Muslim, disamping semangat untuk mengembalikan kejayaan Islam dimasa mendatang. Menurut para Ilmuwan Muslim ini, ketergantungan Islam akan Barat ini tidak bisadiputus dan kejayaan Islam tidak akan bisa dicapai, kecuali jika Kaum Muslim memiliki paradigma sendiri tentang keilmuannya, yang kemudian mendorong untuk melakukan penemuan-penemuan dan menggunakannya sesuai dengan ajaran Islam. Walaupun gagasan ideal tersebut ternyata tidak secara otomatis didukung oleh semua pihak. Banyak tantangan yang dihadapi konsep Islamisasi Ilmu, terbukti dari kritik sebagian Ilmuan Muslim yang diantaranya mengkritik pola pemikiran ini, ataupun menkritik kematangan konsep ini29.

Namun demikian, menurut para penggagas Islamisasi Ilmu, nilai penting konsep Islamisasi Ilmu tidak bisa diabaikan. Mengingat telah terjadi dikotomi besar-besaran dalam pemikiran Masyarakat Muslim mengenai Ilmu, yang Islami (Ilmu Agama) dan yang Sekuler (Ilmu Umum). Hal ini menimbulkan kepribadian ganda, dimana salah satu sisi pikirannya membutuhkan konsepsi Agama yang suci dari keburukan, yang selalu memiliki nilai "benar" dan di sisi lain begitu mendewa-dewakan rasionalitas

(18)

dalam kehidupan, karena memang rasio ini yang benar-benar nampak dalam kondisi riil kehidupan dan pikiran. Di sinilah letak nilai Islamisasi Ilmu untuk mengatasi krisis Masyarakat Muslim yang terjebak dalam dikotomi sehingga melahirkan kepribadian ganda, atau lebih tepatnya kebingungan tersebut.

(19)

BAB III KESIMPULAN

1.

Islamisasi ilmu merupakan istilah yang mendiskripsikan berbagai usaha dan pendekatan untuk mensitesakan antar etika Islam dengan berbagai bidang pemikiran modern. Produk akhirnya akan menjadi ijma’ (kesepakatan) baru bagi umat Islam dalam bidang keilmuan yang sesuai dengan metode ilmiah dan tidak bertentangan dengan norma-norma Islam

2.

Dengan Islamisasi ilmu pengetahuan diharapkan nantinya akan dihasilkan Ilmu yang Islami yang didasarkan pada al-Qur’an al-Hadits dimana Ilmu Islami tersebut berbeda dengan sains barat dari semua segi filosofisnya, baik dari segi Ontologis, Epistemologis, maupun Aksiologis

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Naquib. 1981. Islam dan Sekularisasi. Terj. Karsidjo. Bandung: Pustaka.

Al-Faruqi, Ismael R. 1995. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Terj. Anas Mahyudin. Bandung: Pustaka.

Hendrianto, Budi. 2010. Islamisasi Sains. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Mukhtar, Naqiyah. 2005. "Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik". Dalam Jurnal P3M STAIN Purwokerto Vol. III No. 1 Jan-Jun. Sabra, A.E. 1992 “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalm Islam,

Sebuah Pengantar". Dalam Jurnal Al-Hikmah. Edisi 6 Oktober.

Sholihin, Mohammad Muchlis. 2008. Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam. Dalam Jurnal Tadris Vol. III No.1

. 2013, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogja: Arruzz Media.

Soleh, A. Khudori. 2009, Skeptisisme al-Ghozali, Terjemahan dan Pengantar. Malang: UIN Press.

Referensi

Dokumen terkait

bahwasanya Allah mengijinkan Iblis untuk, mencobai Ayub bukan karena Allah terhasut oleh Iblis, akan tetapi Allah ingin membuktikan bahwa Ayub benar-benar saleh,

display. Dalam proses penggilingan dan pencetak menggunakan 2 motor, pemilihan motor AC ½ HP dan motor DC dikarenakan pada proses penggilingan bumbu pecel rpm yang dibutuhkan

Dalam penyusunan laporan ini, penulis mengambil judul Pengembangan Fasilitas Wisata Air di Blahkiuh yang memiliki fungsi utama sebagai tempat rekreasi dan fungsi tambahan

• Penyiapan Perumusan Kebijakan, Koordinasi, Sinkronisasi Pelaksanaan Penyusunan, dan Evaluasi Perencanaan Pembangunan Nasional di Bidang Pangan dan

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawanca- ra dari empat mahasiswa bimbingan konseling pada angkatan 2013 dan 2014, kejadian yang menandakan rendahnya altruisme mahasiswa

Jangan pernah meletakkan akuarium atau benda lain yang menimbulkan efek lensa di depan proyektor ketika unit sumber cahaya sedang menyala.. Benda tersebut dapat menyebabkan

Tergantung pada penyakit penyerta maupun risiko yang dimiliki pasien. pemasangan jalur intravena yang berfungsi baik. pemasangan alat monitor untuk pemantauan fungsi vital. pre

kerja dan bimingan untuk berwirausaha mandiri. Selain itu juga berguna bagi peserta didik yang sedang menjalani proses belajar di LKP untuk memantapkan kemampuan,