• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI INDIKATOR MEDICATION ERROR. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IDENTIFIKASI INDIKATOR MEDICATION ERROR. pdf"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Naskah Publikasi

Minat Utama Magister Manajemen Rumah Sakit Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Jurusan Ilmu-Ilmu Kesehatan

Diajukan oleh :

IRMA RISDIANA

16563/PS/IKM/05

Kepada

PROGRAM PASCA SARJANA

(2)

Identifikasi Indikator Medication Error di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

INTISARI

Latar belakang: Keselamatan pasien merupakan isu penting dalam

pelayanan kesehatan, khususnya di rumah sakit. Isu ini berkembang menjadi sebuah gerakan sistematik, baik untuk menekan angka kejadian error maupun mencegah timbulnya error. RS PKU Muhammadiyah merespon gerakan tersebut dengan membentuk Tim Keselamatan pasien Rumah Sakit (KPRS). Meski Tim KPRS telah bekerja optimal namun banyak kejadian error belum sepenuhnya dapat dilaporkan dan ditanggulangi. Salah satunya adalah kejadian medication error yang meski sering terjadi namun masih bersifat under report. Sehingga diperlukan identifikasi dan penyusunan indikator medication error sebagai upaya mengoptimalkan sistem pelaporan dan meningkatkan upaya pencegahan kejadian medication error.

Tujuan: Mengidentifikasi berbagai indikator yang sesuai digunakan untuk

mengukur tingkat kejadian medication error di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan rancangan action research. Rancangan dipilih untuk lebih melibatkan secara aktif subyek

penelitian dalam proses identifikasi indikator medication error. Data primer diperoleh melalui observasi, kelompok diskusi terarah, group interview, dan uji Delphi.

Hasil penelitian: Kejadian medication error sebenarnya telah sering terjadi

di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta berdasarkan hasil tahap diagnosing. Namun sistem pencegahan dan pelaporan yang baik belum dilakukan. Selanjutnya berdasarkan kesepakatan para manajer rumah sakit yang terkait, dipilih medication use system dengan modifikasi sebagai kerangka kerja indikator. Kerangka kerja ini menuntun pada pemilihan indikator berdasar literatur. Sejumlah 23 calon indikator diusulkan kepada para pakar melalui uji Delphi dan disetujui 18 indikator. Pada tahap taking action dilakukan pengukuran dan menghasilkan 16 indikator yang secara teknis dapat diukur. Sejumlah 16 indikator juga dinyatakan layak digunakan setelah melewati tahap evaluasi kualitas indikator.

Kesimpulan: berdasarkan penelitian ini sejumlah 16 indikator dinyatakan

layak dan sesuai digunakan untuk mengukur kejadian medication error di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

(3)

Identification of Medication Error Indicators in PKU Muhammadiyah Hospital Of Yogyakarta

ABSTRACT

Background: Patient safety is an important issue in health care, especially in

hospital. This issue develops into a systematic movement, either to limit error incident rate or prevent error occurrence. PKU Muhammadiyah Hospital gives response to that movement by creating Patient Safety Committee (KPRS). Although the team worked optimally, there are still many error incidents that can not be reported and prevented. One of them is medication error incident that even though happens frequently, but it is under reported. So identification and arrangement of medication error indicators are needed as an effort to optimize reporting system and increase preventing effort of medication error incident.

Objective: Identifying various indicators which are properly used to measure

the rate of medication error incident in PKU Muhammadiyah Hospital.

Method: This research uses qualitative method with action research as

research design. The research design is chosen in order to actively involve research subject in the process of identifying medication error indicators. The prime data are obtained by observation, focus group discussion, group interview, and Delphi method.

Result: Medication errors are factually and frequently incidents which were

happened in PKU Muhammadiyah Hospital according to the result of diagnosing step. However, a good preventing and reporting system has not been done well. Then according to the agreement of the related hospital managers, medication use system with modification is chosen as indicator framework. This framework leads to the choosing of some indicators based on literature. Twenty-three indicators are proposed to the experts by Delphi method and bear sixteen indicators which can be measured technically. Those sixteen indicators are also declared proper to be used after passing two steps of evaluation.

Conclusion: Based on this research, sixteen indicators are acknowledged

proper and appropriate to be used in measuring medication error incident in PKU Muhammadiyah Hospital, Yogyakarta.

(4)

PENDAHULUAN

Keselamatan pasien telah menjadi problem global yang membutuhkan

solusi global. Kejadian medical error telah banyak terjadi di berbagai

pelayanan kesehatan terutama dalam pelayanan rumah sakit. Medical error

menjadi sebuah agenda yang penting dalam pelayanan rumah sakit sejak

laporan Institute of Medicine (IOM) bertajuk “To Err is Human : Building A

Safer Health System”. Setidaknya 44.000-98.000 orang meninggal di rumah

sakit di Amerika setiap tahunnya diakibatkan oleh medical error yang

seharusnya dapat dicegah. Kejadian kematian akibat medical error bahkan

lebih tinggi dibandingkan dengan kematian akibat kecelakaan kendaraan

bermotor, kanker payudara dan AIDS1.

Salah satu tipe dalam medical error yang cukup sering terjadi di rumah

sakit adalah medication error dengan tingkat kejadian berkisar antara 1-2% di

rumah sakit Amerika2. Dari angka tersebut, 39% kejadian error yang cukup

serius terjadi pada tahap prescribing, 50% terjadi pada proses transkripsi dan

administrasi/pemberian obat, dan 11% terjadi pada tahap dispensing3.

Sedangkan di Inggris diperkirakan terjadi prescribing error pada 134 resep

per minggu dimana 34 resep dari jumlah tersebut berpotensi menimbulkan

kejadian yang serius4. Salah satu aspek yang khas dalam kejadian

medication error adalah tingkat kejadiannya yang cukup sering namun masih

bersifat under report yang diakibatkan oleh sistem pelaporan yang belum

baik5.

Berbagai solusi yang dituangkan menjadi 6 wilayah strategi dalam

World Allience on Patient Safety yang dikawal oleh WHO dimana salah

satunya adalah pengembangan riset atau penelitian di bidang keselamatan

pasien6. Salah satu jenis penelitian yang penting untuk dikembangkan dalam

kontek patient safety adalah pengembangan indikator keselamatan pasien7.

Hal ini disebabkan karena pengukuran yang akurat, pemantauan rutin dan

(5)

keselamatan pasien. Sejalan dengan aktivitas kunci tersebut maka riset untuk

pengembangan indikator harus dapat menetapkan reliabilitas, validitas, dan

sensivitas terhadap perubahan dari indikator yang dikembangkan menjadi

penekanan tersendiri.

RS PKU Muhammadiyah adalah rumah sakit tipe C dengan jumlah

tempat tidur sebanyak 207. Rumah sakit ini telah merespon gerakan patient

safety dengan membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS).

Berdasarkan Laporan Insiden Kejadian Tak Diharapkan (KTD) ditemukan

bahwa selama bulan Oktober 2007 sampai Mei 2008 dilaporkan sejumlah 30

KTD8. Bentuk KTD meliputi: kesalahan komunikasi, salah memasukkan data,

pasien jatuh, salah identitas, kesalahan assessment, tabung oksigen jatuh

dan luka bakar. Sedangkan unit yang menjadi penyebab munculnya insiden

keselamatan pasien seabgian besar adalah rawat inap kemudian disusul oleh

laboratorium, farmasi, kamar operasi dan unit-unit lainnya.

Pada level pelayanan farmasi, Laporan KTD yang diambil berdasarkan

laporan kegiatan harian di Instalasi Farmasi ditemukan data bahwa selama

Juli-Desember 2006 dilaporkan sejumlah 13 kasus medication error dan

selama tahun 2007 terjadi sejumlah 13 laporan KTD di unit pelayanan

farmasi. Sebagian besar KTD merupakan kejadian adverse drug reaction

akibat alergi, polifarmasi dan kesalahan selama proses dispensing seperti

kesalahan pengetiketan, kekeliruan pemberian dan kesalahan transkripsi

resep9.

Berdasarkan uraian diatas, menyangkut pentingnya pencegahan

medication error serta pentingnya penerapan indikator sesuai dengan kondisi

dan setting pelayanan kesehatan serta cukup tingginya pelayanan resep

(berkisar 500-600 resep per hari) di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah

Yogyakarta maka penulis tertarik untuk meneliti berbagai indikator medication

(6)

TUJUAN PENELITIAN

Mengidentifikasi berbagai indikator yang sesuai digunakan untuk mengukur

tingkat medication error

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian tentang pengembangan indikator medication error adalah

penelitian kualitatif dengan rancangan penelitian action research. Rancangan

dipilih untuk lebih melibatkan secara aktif subyek penelitian dalam proses

identifikasi indikator medication error di RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta. Dalam rancangan action research ini peneliti lebih berfungsi

sebagai fasilitator bagi para pihak yang terlibat aktif dalam penyusunan

indikator.

Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya

adalah dengan observasi, Kelompok Diskusi Terarah (KDT), Group Interview

dan Uji Delphi. Setiap tahap dalam penelitian ini dapat menggunakan lebih

dari satu metode pengumpulan data. Penelusuran literatur juga menjadi salah

satu metode dalam pengumpulan data dan informasi.

Adapun jalannya penelitian terbagi atas empat tahap yang meliputi: tahap

”diagnosing”, tahap ”planning action”, tahap ”taking action”, dan tahap

“evaluating action”. Setiap tahap menggunakan lebih dari satu metode

pengumpulan data.

Tahap ”diagnosing” bertujuan untuk menggali potensi maupun

kejadian medication error yang telah terjadi dalam penggunaan obat di RS

PKU Muhammadiyah. Pengumpulan data dilakukan melalui kajian drug

related problem pada resep rawat jalan, KDT dengan petugas farmasi dan

perawat.

Tahap ”planning action” bertujuan menyiapkan kerangka kerja,

identifikasi calon indikator hingga disepakati menjadi indikator terpilih dan

penyiapan pedoman pengukuran. Pengumpulan data dilakukan melalui group

(7)

Pengukuran indikator dilakukan pada tahap ”taking action”. Selain

mengukur tingkat kejadian berdasarkan indikator terpilih, pada tahap ini juga

dilakukan kajian tentang berbagai hal teknis yang perlu diperhatikan saat

pengukuran termasuk di dalamnya menguji kelayakan teknis tiap indikator.

Pada tahap ”evaluating action”, indikator yang secara teknis telah

diukur pada tahap sebelumnya dievaluasi dengan menggunakan serangkaian

syarat untuk menilai kualitas indikator dan melalui group interview dengan

petugas pengumpul data. Instrumen untuk evaluasi berupa kuesioner semi

terbuka yang dikembangkan dari OECD The Health Care Quality

Indicator10,11.

HASIL PENELITIAN

1. Tahap ”Diagnosing”

Potensi kejadian medication error pada aspek prescribing diteliti dengan

melakukan kajian DRP pada sejumlah 7706 lembar resep rawat jalan. Resep

dianalisis dengan menggunakan analisis Drug Related Problem12,13 dan

ditemukan sejumlah 435 (5,64%) drug related problem.

Kejadian medication error juga telah terjadi dalam praktek pemberian

obat pada pasien yang dikuatkan dengan data hasil KDT (Kelompok Diskusi

Terarah) dengan petugas farmasi dan perawat. Hampir seluruh peserta KDT

pernah melakukan ataupun mengamati kejadian medication error yang

berupa: salah ambil obat, salah penyerahan/pemberian obat ke pasien,salah

penghitungan dosis, salah jumlah dan durasi pemberian obat, salah

melarutkan obat, salah dosis pemberian, tidak melakukan skin test sehingga

timbul efek samping obat dan kejadian lainnya. Di samping itu, hasil KDT

juga menunjukkan bahwa secara umum belum ada suatu prosedur baku

untuk penanganan kesalahan yang diterbitkan oleh rumah sakit dan perlunya

(8)

2. Tahap ” Planning Action”

Penetapan indikator dimulai dengan penentuan kerangka kerja indikator

melalui group interview dengan wakil dari manajemen yang terkait kebijakan

penggunaan obat di rumah sakit. Alur medication use system3 dengan

modifikasi disepakati sebagai kerangka kerja indikator.

review dan konfirmasi ; penyiapan obat; distribusi ke pasien/ unit perawatan

Prescriber Farmasis Perawat/profesi

kesehatan lain

Gambar 1. Kerangka kerja indikator medication error3 Gambar 1. Kerangka kerja indikator medication error3

Calon indikator tersebut dinilai dengan uji Delphi sebanyak 2 tahap

dengan melibatkan 13 pakar. Komposis dari responden pakar meliputi: dokter

dan clinical pharmacologist (1), clinical pharmacologist (1), dokter dan

manajer keselamatan pasien (1), clinical pharmacist (3) manajer farmasi (5),

dan perawat profesional (2).

Calon indikator tersebut dinilai dengan uji Delphi sebanyak 2 tahap

dengan melibatkan 13 pakar. Komposis dari responden pakar meliputi: dokter

dan clinical pharmacologist (1), clinical pharmacologist (1), dokter dan

manajer keselamatan pasien (1), clinical pharmacist (3) manajer farmasi (5),

dan perawat profesional (2).

Uji Delphi tahap I dilakukan melalui penyebaran kuesioner mendapatkan

respon dari 11 pakar (84,6%) dan disetujui 19 indikator dari 23 calon indikator Uji Delphi tahap I dilakukan melalui penyebaran kuesioner mendapatkan

(9)

yang diusulkan. Inidkator yang disetujui terdiri dari 8 indikator prescribing

error, 5 indikator dispensing error dan 6 indikator administration error.

Uji Delphi tahap II mendapat respon dari 10 pakar (76,92%) . Tingkat

partisipasi responden pakar pada uji Delphi tahap II menunjukkan penurunan

dibandingkan uji Delphi tahap I. Sejumlah 18 inidkator disepakati untuk

masuk tahap selanjutnya, yang terdiri dari 7 indikator prescribing error, 5

indikator dispensing error dan 6 indIkator administration error.

Tabel 1. Daftar Indikator Terpilih Tahap ”Planning Action”

Kelompok

Indikator Nama Indikator

Inidkator

Prescribing Error

Rata-rata jumlah item obat per lembar resep

Jumlah kejadian penulisan resep obat yang salah (wrong drug : inappropriate dosage form,

contraindication present, condition refractory to drug, do not indicated for condition)

Jumlah kejadian penuisan resep obat dengan dosis terlalu kecil/rendah (dosage too low)

Jumlah kejadian penulisan resep obat dengan dosis terlalu besar/tinggi (dosage too high)

Jumlah kejadian penulisan resep dengan 2 obat atau lebih yang berinteraksi (potential drug

interaction)

Prosentase kesalahan terkait dengan incompatibilitas (pharmaceutical issues)

Prosentase kesalahan dalam penulisan resep atau ketidakjelasan penulisan resep

Indikator

Dispensing error

Prosentase kesalahan pengambilan obat

Prosentase kesalahan pemberian etiket/label obat

Prosentase kesalahan peracikan obat

Prosentase kesalahan penyerahan obat pasien

Prosentase kesalahan penulisan copy resep/salinan resep

Indikator

Administrtion

Error

Jumlah kesalahan memberi obat pada pasien (wrong medication)

Jumlah kesalahan pemberian dosis obat (wrong dose)

Jumlah kejadian lupa memberikan obat pada pasien

Jumlah kesalahan pemilihan pelarut injeksi (wrong diluent error)

Jumlah kesalahan dalam penentuan kecepatan pemberian obat (wrong rate error)

Jumlah ketidapatuhan terhadap metode aseptic (process errors associated with poor aseptic

technique)

Selanjutnya dilakukan penyusunan manual untuk pedoman pengukuran

indikator berdasarkan format manual indikator yang dikembangkan The

Australian Council of Healthcare Standards14 dengan beberapa modifikasi.

Format ini dipilih karena dianggap lebih mudah diterapkan secara teknis.

(10)

mutu, rationale, tujuan indikator, definisi operasional dan terminologi yang

digunakan, numerator, denominator, dan sumber data.

Isi dari pedoman pengukuran disusun berdasarkan literatur yang dirujuk

dimana sumber indikator didapatkan. Observasi di lapangan juga diperlukan

dalam penyusunan pedoman untuk yang aspek yang terkait teknis praktek

penyiapan dan pemberian obat serta aspek teknis pengukuran lapangan,

termasuk sumber data.

3. Tahap ”Taking Action”

Sejumlah 18 indikator sesuai tercantum pada tabel 1 diukur pada tahap

”taking action” dengan melibatkan 6 petugas yang terdiri dari petugas di unit

farmasi dan perawat. Setelah dilakukan pengukuran didapati bahwa 16

indikator saja yang secara teknis layak dan spesifik untuk diukur. Dua

indikator gagal pada tahap ”taking action yakni indikator persentase

kesalahan terkait dengan incompatibilitas (pharmaceutical issues) dan

indikator persentase kesalahan penulisan copy resep/salinan resep .

Selanjutnya hasil pengukuran dan berbagai hal teknis terkait pengukuran

disajikan dan dijelaskan sesuai dengan kelompok indikator.

Sejumlah 6862 lembar resep rawat jalan diambil untuk pengukuran

data indikator prescribing error. Adapun hasil pengukuran dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Indikator Kesalahan peresepan Prescribing Error

Indikator Prescribing Error Hasil

Rata-rata item obat per lembar resep 9.61 item/lembar

Persentase peresepan wrong drug 5,75%

Persentase peresepan dengan dosis lebih tinggi 2,83%

Persentase peresepan dengan dosis lebih rendah 5.07%

Peresepan dua atau lebih obat potensial interaksi 4,08%

Peresepan salah atau tidak jelas 4 kejadian

Hasil pengukuran menunjukkan angka yang cukup tinggi. Jumlah item

dalam satu lembar resep dengan jumlah item banyak ditemui pada resep

(11)

obat jadi. Pada resep pasien dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal juga

didapatkan jumlah item yang banyak. Resep dari Poliklinik Anak dan Unit

Hemodialisa cukup menonjol dalam menyumbang jumlah item obat yang

banyak.

Indikator persentase kesalahan dalam penulisan resep atau

ketidakjelasan penulisan resep. Jumlah kejadian untuk indikator ini cukup

sering ditemui, akan tetapi dalam pengukuran sangat sulit dilakukan. Kendala

utama dalam pengukuran indikator ini adalah kedisplinan pencatatan oleh

petugas.

Indikator persentase kesalahan terkait dengan incompatibility

(pharmaceutical issues) dalam pengukuran ini kurang spesifik untuk diukur,

sulit dalam pencatatan kejadian,kurang signifikan dengan peresepan dokter

sehingga dinyatakan gagal pada tahap pengukuran.

Adapun hasil pengukuran indikator dalam kelompok indikator

dispensing error disajikan dalam beberapa tabel berikut ini.

Tabel 3. Hasil Pengukuran indikator dispensing error

Nama Indikator Jumlah kejadian

Jumlah kejadian kesalahan pengambilan obat 7

Jumlah kesalahan pemberian etiket/label obat 4

Jumlah kesalahan penyerahan obat pasien 4

Tabel 4. Hasil Pengukuran Indikator Persentase Kesalahan Peracikan Obat

Jenis Obat Racikan % kesalahan peracikan

Obat Racikan Puyer 76,6%

Obat Racikan Kapsul 80,0%

Obat Racikan Salep 16,7%

Pada pengukuran indikator kesalahan penulisan salinan resep, selama

waktu pengukuran tidak ditemukan laporan kejadian karena secara teknis

indikator ini sulit untuk diukur. Pelibatan pasien untuk melaporkan kejadian

(12)

dilakukan. Sehingga indikator ini tidak dapat dimasukkan sebagai indikator

dispensing error.

Secara ringkas, hasil pengukuran beberapa indikator administration

error disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 5. Hasil Pengukuran Indikator Administration Error

Indikator Jumlah

kejadian

Kurun waktu pengukuran

Lokasi

Wrong medication 8 3 bulan Seluruh bangsal

Kesalahan pemberian dosis obat

1 3 bulan Bangsal anak dan bayi

Lupa memberikan obat 29 14 hari Bangsal putri Kelas 3 Kesalahan pemilihan

pelarut injeksi

0% ( 30) 7 hari Bangsal Kelas 3, kelas 2 dan Kamar Bayi

Wrong rate error 83,3% (25/30) 7 hari Bangsal Kelas 3, kelas 2 dan Kamar Bayi

Indikator administration error yang diukur melalui observasi

menggunakan checklist adalah tentang tingkat kepatuhan terhadap metode

aseptik dalam penyiapan dan pemberian obat pasien rawat inap. Hasil

pengukuran seperti tercantum dalam tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Hasil Pengukuran Indikator Ketidakpatuhan Terhadap Metode Aseptik

Jenis tindakan keperawatan % ketidakpatuhan prosedur

Pemasangan infus 63,4%

Pemberian obat intravena bolus 90,9%

Pemberian obat intravena melalui selang infus 76,6%

Pemberian obat intra muscular 100.0%

4. Tahap ”Evaluating Action”

Evaluasi tahap I dilakukan dengan kuesiner yang diisi oleh Wadir

Penunjang Medis/Ketua PFT, Ketua Tim KPRS, Sekretaris PFT, Kepala

(13)

Persyaratan pertama dari indikator yang berkualitas adalah aspek

pentingnya indikator diukur atau disebut juga aspek relevansi yang terdiri dari

dampak pengukuran indikator, relevansi dengan kebijakan dan kemungkinan

intervensi mendapatkan rata-rata skor yang cukup baik.

Evaluasi dari aspek scientific soundness meliputi validitas, reliabilitas

dan adanya bukti yang akurat dari data yang diukur. Pada aspek ini skor

evaluasi juga cukup baik. Aspek evaluasi terakhir menyangkut kelayakan

indikator untuk diukur yang dinilai dari keberadaan prototipe, kemudahan

akses data dan besarnya biaya pengukuran. Pada aspek ini skor tidak

dibutuhkan tinggi tetapi juga tidak boleh juga terlalu rendah. Hasil

menunjukkan bahwa rata-rata responden ragu-ragu (skor cukup) apakah

telah ada prototipe pada setiap indikator tersebut.

Tabel 7. Hasil Evaluasi Indikator

Aspek Evaluasi

Kelompok Indikator Indikator

Prescribing error

(n: 6)

Dampak/risiko 5,5 (setuju) 0,5 (ragu-ragu)

6 (setuju) 6 (setuju)

Relevan 5,7 (setuju) 0,3 (ragu-ragu)

6 (setuju) 5,8 (setuju) 0,2(ragu-ragu) Intervensi 5,7 (setuju)

0,15 (tidak setuju) Reliabilitas 4,8 (setuju)

0,17 (ragu-ragu)

Prototipe 0,7 (setuju) 5,3 (ragu-ragu)

6 (ragu-ragu) 6 (ragu-ragu)

Akses data 4,8 (setuju)

Biaya pengukuran 6 (setuju) 6 (setuju) 6 (setuju)

Keterangan : nilai rerata dari hasil tiap-tiap jenis indikator

Evaluasi tahap II dilakukan dengan para petugas pengumpul data

yang secara umum tidak menemui kesulitan berarti selama pengukuran. Hasil

(14)

a. Indikator yang paling mudah diukur adalah indikator yang

menggunakan pengamatan berbasis checklist seperti pada

indikator kesalahan peracikan dan indikator ketidakpatuhan

terhadap metode aseptis.

b. Indikator yang membutuhkan kedisiplinan dalam pencatatan

kejadian serta penelusuran dokumentasi dianggap sedikit sulit

untuk diukur.

c. Indikator yang paling sulit diukur adalah kelompok indikator

prescribing error karena untuk mengukur indikator tersebut

membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan

kemampuan analisis dengan dasar literatur yang mutakhir.

PEMBAHASAN

Penelitian dimulai dengan tahap diagnosing yang disebut sebagai

tahap untuk memahami perspektif dari para stakeholder15. Di samping itu,

tahap ini bermanfaat untuk melihat baseline situation.

Hasil kajian drug related problem menyatakan 5,4% resep berpotensi

menimbulkan masalah. Angka ini lebih tinggi dari temuan dalam penelitian di

Amerika13 yang menunjukkan angka 3%. Sedangkan berbagai penelitian

tentang problem terkait penggunaan obat oleh pasien di rumah sakit di

Australia16 sepanjang periode 1988-2001 menunjukkan angka kejadian

berkisar 0,5% hingga 7,8%. Dengan demikian, merujuk pada penelitian yang

lain maka kejadian drug related problem di RS PKU dapat dikatakan cukup

tinggi.

Tahap diagnosing juga dikuatkan dengan KDT dengan perawat dan

petugas farmasi. Seluruh peserta yang diambil dari berbagai unit kerja di

keperawatan dan farmasi dengan pengalaman kerja yang beragam

menunjukkan pernah melakukan kesalahan yang berpotensi menimbulkan

(15)

bahwa lama bekerja perawat tidak berhubungan dengan kejadian medication

error17.

Dalam perspektif kejadian dispensing error, pengalaman empiris

peserta focus group discussion menunjukkan tingkat kefatalan tinggi terjadi

pada saat salah pengambilan dan pemberian obat injeksi dan aspek-aspek

terkait dengan volume pelayanan dan kondisi atau situasi kerja berpengaruh

terhadap timbulnya dispensing error. Pendapat ini seolah menguatkan bahwa

pengorganisasian kerja menjadi penyebab tetapi terdapat hasil yang lain

kontradiktif yang menyatakan tidak ada hubungan antara volume pelayanan

dengan timbulnya insiden18.

Pada tahap ”planning action” disepakati bahwa medication use

system3 sesuai digunakan sebagai kerangka kerja indikator. Beberapa

penelitian juga menggunakan alur tersebut sebagai kerangka kerja

indikator19.

Untuk uji Delphi, respon yang didapatkan dalam penelitian ini telah

melebihi batas ambang yang ditetapkan yakni sebesar lebih dari 45-50%

dalam uji Delphi untuk pakar dengan latar belakang yang homogen20.

Penelitian serupa mendapatkan respon lebih tinggi dari para pakar dibanding

penelitian ini21. Selanjutnya dari uji Delphi dalam dua tahap disepakati 18

inidkator terpilih dan akan diukur di tahap berikutnya setelah disusun manual

pengukurannya.

Sedangkan pada tahap ”taking action” didapatkan bahwa secara

umum hasil pengukuran indikator menunjukkan angka kejadian yang lebih

tinggi daripada beberapa penelitian sejenis yang telah dilakukan. Kejadian

prescribing error dalam penelitian ini masih dalam rentang kejadian di

Amerika12 dan masih dalam taraf toleransi kejadian di Australia15.

Untuk kejadian dispensing error dan administration error maka dalam

penelitian ini menunjukkan angka yang lebih tinggi dibandingkan penelitian

(16)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kejadian

medication error baik yang potensial maupun faktual telah terjadi di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta. Selanjutnya medication use system3 dengan

modifikasi dapat diterapkan sebagai kerangka kerja indikator dan terpilih 16

indikator yang terdiri dari 6 indikator prescribing error, 4 indikator dispensing

error dan 6 indikator administration error.

Hasil evaluasi indikator menunjukkan bahwa pada ketiga aspek yang

dievaluasi dari tiap indikator menunjukkan hasil yang baik pada aspek

relevansi dan scientific soundness, sedangkan aspek feasibility hanya

mendapatkan penilaian cukup. Hasil evaluasi ini menunjukkan bahwa

indikator terpilih telah memenuhi syarat yang ditentukan10,11.

SARAN

Hasil penelitian agar dapat diterapkan dalam implementasi sistem

manajemen mutu untuk pengembangan mutu pelayanan klinik di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kohn, L.T, Corrigan, J.M., Donaldson, M.S., To Err is Human:

Building A Safer Health System, National Academy Press,

Washington D.C, 1999.

2. Barber,N., Rawlins, M., Franklin, B.D, Reducing Prescribing Error : Competence, Control, and Culture, Qual. Saf. Health Care, 2003, vol 12: p 29-32

3. Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization,

Preventing Medication Errors: Strategies for Pharmacist, Joint

Commission Resources, Oakbrook Terrace, 2001.

4. Dean, B., Schachter, M.,Vincent, C., Barber, N., Prescribing Errors in Hospital Inpatient : Their Incidence and Clinical Significance, Qual.

Saf. Health Care, 2002, 11:340-344

5. McLoughlin, V., Millar, J., Mattke, S., Franca, M., Jonsson, P.M., Somekh, D., Bates, D., Selecting Indicator for Patient Safety at the Health System Level in OECD Countries, Int. Journal for Quality

(17)

6. Pittet, D; Donaldson, L, Chalenging The World: Patient Safety And Health Care-Associated Infection, Int. Journal for Quality Health

Care, 2006, vol 18, p 30-36

7. Perneger, T.V., A Research Agenda for Patient Safety, Int. Journal

for Quality Health Care, 2006, vol 18, p 3-7

8. Anonim, Laporan Insiden Keselamatan Pasien RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta Periode Oktober 2007-Mei 2008, Tim

Keselamatan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, unpublished, Yogyakarta, 2008.

9. Anonim, Laporan Kejadian Tak Diinginkan Unit Farmasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2004-2005, Tim Keselamatan

Pasien RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, unpublished, Yogyakarta, 2007.

10. Kelley, E., Hurst, J., Health Care Quality Indicators Project:

Conceptual Framework Paper, OECD, 2006, available at

www.oecd.org/LongAbstract/0.2546.en_201185_36262371_119684_ 1_6_1.00.html

11. Matkee, S; Epstein, A.M; Leatherman, S, The OECD Health Care Quality Indicator Project: History and Background, Int. Journal for

Quality Health Care, 2006, vol 11 Suplement 1, p 4-8

12. Cipolle,R.J; Strand,L.M; Morley, P.C, Pharmaceutical Care Practice, The McGraw Hill Companies, New York, 2000.

13. Rovers, J.P; Currie, J.D; Hagel, H.P; MecDonough, R.P; Sobotka, J.L, A Practical Guide To Pharmaceutical Care, 2nd ed., American Pharmaceutical Association, Washington D.C, 2003,

14. Australian Council on Healthcare Standards, Clinical Indicator A

User’s Manual, Hospital-Wide Medical Indicators, ACHS Care

Evaluation Program,Victoria, 1998.

15. Campbell S.M, Brasbenning I, Hutchinson A, Marshall M, Research Methods Used in Developing and Applying Quality Indicators in Primary Care, Qual. Saf. Health Care, 2002, vol 11: 358-364

16. Lesar, T.S, Medication Prescribing Error Involving The Route of Administration, Hospital Pharmacy, 2006, vol 41 (11), p 1053-1066 17. Armutlu, M; Foley, M.L; Surette, J; Bezille,E; McCusker,J, Survei of

Nursing Perceptions of Medication Administration Practices, Perceived Sources of Errors and Reporting Behaviours, Healthcare

Quarterly, vol 11, Special Issue, 2008, p 58-64

18. Anacleto, T.A; Perini, E; Rosa, M.B; Cesar, C.C, Drug Dispensing Errors in The Hospital Pharmacy,Journal of Clinical Sciences, 2007, 62(3), 243-50

(18)

20. Linstone, A.H., Turroff,M., ed, The Delphi Method : Technique and

Applications, 2002,available at

www.is.njet.edu/pubs/delphibook/delphibook.pdf

21. Dean, B., Barber, N., Schachter, M., What is Prescribing Error?,

Qual. Saf. Health Care, 2000, 9: 232-237

22. Antonow, J.A, Medication Error Reporting : A Survei of Nursing Staff,

J Nurs Care Qual, 2000, 15(1): p42-48

23. Cousins, D.H., Sabatier, B., Begue, D., Schmitt, C., Hoppe-Tichy, T., Medication Errors in Intravenous Ddrug Preparation and Administration : A Multicentre Audit in the UK, Germany and France,

Qual Saf. Health Care, 2005, vol. 14: p190-195

Gambar

Gambar 1. Kerangka kerja indikator Gambar 1. Kerangka kerja indikator medication errormedication error33
Tabel  1. Daftar Indikator Terpilih Tahap ”Planning Action”
Tabel 2. Hasil Pengukuran Indikator Kesalahan peresepan Prescribing Error
Tabel 4. Hasil Pengukuran Indikator Persentase Kesalahan Peracikan Obat
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian asuransi kecelakaan diri yaitu asuransi yang menjamin risiko kematian, cacat tetap, biaya perawatan, dan biaya pengobatan yang secara langsung disebabkan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor penyebab rendahnya keterampilan menulis bebas dalam bahasa Jerman pada siswa SMA Negeri

Subject centered desain berkembang dan konsep pendidikan klasik yang menekankan pengetahuan nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan berupaya untuk mewariskannya

Sumber dana jangka menengah adalah sumber dana yang tertanam di dalam perusahaan lebih dari 1 tahun dan kurang dari 10 tahun. Jenis sumber dana jangka

Untuk IPAL Suwung pengoperasian aerator masih dengan cara manual yaitu dioperasikan pada jam tertentu sehingga input jumlah oksigen terkadang tidak sesuai dengan karakteristik

Berdasarkan respon kadar air, mi kering dari tepung komposit terigu, keladi, dan ubijalar yang dikemas dalam plastik PE 0,35 mm pada suhu 30 0 C (kontrol) memiliki umur simpan

Mengacu pada struktur pembiayaan investasi jalan tol Depok-Antasari, komponen risiko yang terdapat dalam investasi jalan tol meliputi risiko pada tahap pra konstruksi

Mata kuliah ini akan menguraikan tentang tujuan, manfaat, ruang lingkup dan metode mempelajari Kapita Selekta Pendidikan Islam, dan permasalahann; pendidikan Islam