• Tidak ada hasil yang ditemukan

CAMPUR TANGAN TUHAN DI ALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CAMPUR TANGAN TUHAN DI ALAM"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

CAMPUR TANGAN TUHAN DI ALAM Oleh Agus Himmawan Utomo*

Campur tangan Tuhan dalam alam menjadi bagian problematika filsafat ketuhanan yang banyak mendapat sorotan, karena gagasan keterlibatan atau campur tangan Tuhan dianggap menodai makna kebebasan dan tanggungjawab yang diberikan pada manusia. Muncul dua aliran dalam teologi yang membahas hal ini yakni free will dan predestination.

Konsepsi ketuhanan yang diajarkan oleh agama-agama mengenalkan adanya keterlibatan Tuhan di alam atau dunia ini, terutama dalam kehidupan umat manusia . seberapa jauh keterlibatan atau campur tangan itu sangat tergantung pada penafsiran kaum agamawan atas besarnya kekuasaan Tuhan bekerja di dunia. Beberapa agamawan memberi porsi yang sedemikian besar sehingga tidak ada satu pun hal yang lepas dari kekuasaan dan pengawasan serta pengetahuan Tuhan. Sementara yang lain porsi kekuasaan Tuhan di alam dibatasi agar otonomi manusia berkembang dan makna kebebasan dan tanggungjawab manusia menjadi berarti.

Perdebatan seputar berapa besar campur tangan Tuhan di alam ini dalam ranah teologis melahirkan faham predestination dan freewill. Predestination ialah teori Filsafat yang berpandangan bahwa semua kejadian dalam hidup manusia sebelumnya telah ditentukan oleh kehendak yang berkuasa yaitu Tuhan (Mudhofir, 1996). Freewill sebaliknya adalah faham yang berpandangan bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan dalam menentukan perbuatan-perbuatannya. Kemerdekaan berbuat menurut apa yang dikehendaki manusia dalam faham ini tidak terikat pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan (Nasution, 1975).

(2)

Teologi pada umumnya mendukung gagasan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan. Namun apakah kemutlakan itu diwujudkan di alam atau tidak, banyak aliran teologi yang berbeda pendapat. Hal ini terkait dengan sifat alam sendiri yang terbatas, yang tidak mungkin mampu menjadi wahana kemutlakan kekuasaan-Nya. Akan banyak kontradiksi yang dipahami manusia jika dunia atau alam ini menjadi media bagi Dzat Yang Tak Terbatas.

Tuhan memang berkuasa mutlak dalam arti tidak ada satu pun yang tidak terletak di bawah kekuasaan-Nya. Apa saja yang terlintas dalam benak manusia dapat diwujudkan Tuhan. Demikian pula kehendak-Nyalah yang berlaku di ala mini. Semua kehendak harus tunduk kepada kehendak-Nya. Tidak ada kehendak yang bebas dan merdeka dari kehendak Tuhan. Faham yang semacam ini yakni predestination atau Jabariah dalam teologi Islam mengantarkan pada kesimpulan bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan, dan bahkan bukan hanya dalam kehendak saja tapi juga dalam perbuatan.

Menurut Jabariah, perbuatan-perbuatan manusia sejak awal memang telah ditentukan Tuhan. Perbuatan itu tidak timbul dari daya dan kemauan manusia yang bebas. Aliran ini melihat manusia laksana wayang yang tidak bergerak kalau tidak digerakkan oleh dalang, serta tidak mempunyai kemerdekaan. Aliran ini berusaha mempertahankan kemutlakan kekuasaan dan kehendak yang dimiliki Tuhan.

Faham Qadariah meski berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat, sebenarnya menyadari keterbatasan kebebasan yang dimiliki manusia. Hal itu terkait dengan unsur materi yang ada pada diri manusia yang juga bersifat terbatas. Maka manusia dengan sendirinya terbatas dalam kekuasaan dan daya serta tenaganya. Kehendak atau kemauan manusia mungkin saja tidak terbatas tetapi daya dan tenaganya untuk mewujudkan itu sangatlah terbatas. Oleh karena itu tidak semua kehendak manusia dapat terlaksana di alam.

(3)

ada dalam dirinya dan hukum alam yang tidak dapat dilepaskannya. Jadi makna kemerdekaan manusia tidaklah berarti kemerdekaan tanpa batas.

Kekuasaaan mutlak Tuhan kalau dihubungkan dengan kondisi dan sifat alam termasuk manusia bisa disimpulkan sebagai tidak bersifat mutlak lagi. Hal ini karena dalam relasi dengan manusia, Tuhan menghadapi materi, dan materi bersifat terbatas. Kekuasaan dan kehendak Tuhan harus pula bersifat terbatas ketika menghadapi dzat yang bersifat terbatas.

Menurut Harun Nasution (1975) hukum-hukum alam yang bersifat deterministik membuat kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak lagi. Hal ini dikarenakan alam tidak berlangsung menurut suatu peraturan tertentu, tetapi berjalan sesuai kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga akan terdapat kekacauan dalam peredaran alam. Untuk menghindari kekacauan ini, Tuhan menentukan hukum-hukum alam yang bersifat deterministik. Hal ini tentu saja membatasi kemutlakan kekuasaan Tuhan atas alam, karena Tuhan akan membatasi diri dan tunduk pada hukum yang dibuatNya itu.

Demikian pula halnya dalam mewujudkan kekuasaanNya di dunia manusia, Tuhan membatasi untuk tidak semena-mena mengubah kesalahan menjadi kebenaran dan kejahatan menjadi kebaikan, serta keburukan menjadi kecantikan, dan lain sebagainya. Tuhan tidak dapat berdusta dan menyalahi janji-janji-Nya, karena jika Ia melakukan itu maka akan muncul kontradiksi pemahaman atas-Nya. Manusia mempercayai-Nya sebagai yang Maha Suci dan Maha Baik, namun jika Ia berbuat melanggar apa yang Ia janjikan, maka Ia menjadi buruk, dan itu adalah sesuatu yang bertentangan.

Tuhan memberikan kebebasan manusia untuk menentukan apa yang dikehendakinya dan apa yang diperbuatnya. Kebebasan yang diberikan Tuhan ini dengan sendirinya membatasi kekuasaan dan kehendakNya. Kalau Tuhan tidak membatasi kekuasaan dan kehendakNya dalam hal ini, maka sebenarnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan. Ini bertentangan dengan kenyataan bahwa tiap hari manusia bebas menentukan apa yang dikehendaki dan diperbuatnya. Setiap saat manusia juga dihadapkan dengan persoalan memilih dari beberapa alternatif yang ditemui dalam hidup sehari-hari.

(4)

finite God, Tuhan yang mempunyai sifat terbatas. Tuhan tidak lagi mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak karena kemutlakanNya telah dibatasi oleh beberapa hal atas kehendakNya sendiri.

Gagasan Tuhan yang terbatas dalam filsafat barat pertama kali dimunculkan oleh Leibniz di abad ketujuh belas. Lalu muncullah tokoh-tokoh seperti John Stuart Mill, William James, dan lainnya di abad kesembilan belas mengembangkan gagasan itu.

Perdebatan yang melibatkan teolog sekaligus filsuf Islam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd juga mengikutsertakan tema ini, terutama terkait pemahaman tentang hukum alam dan kausalitas yang ada di dalamnya. Al-Ghazali dengan mengikuti jejak golongan Asy’ariyah berusaha mempertahankan keutuhan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,

sehingga apa yang kita pahami sebagai hukum alam baginya tidak mempunyai ketentuan dan ikatan yang membatasi kekuasaan Tuhan, dengan meminjam teori “kasb” atau Occasionalism dari golongan Asy’ariyah. Berkebalikan dengan Al-Ghazali, maka Ibn

Rusyd berada dalam kesepahaman dengan kaum mu’tazilah yang menganggap Tuhan

tidak lagi bersifat absolut, karena terikat kewajiban untuk tetap menjaga hukum alam (sunnatullah) sesuai dengan kebijaksanaanNya dan tidak merubah-rubah secara semena-mena. Tuhan mencipta dan mengendalikan alam melalui “sebab sekunder” yaitu hukum

alam yang tetap, dimana perubahan dan kebaruan, serta kreativitas tidak mendapat tempat yang luas.

(5)

Adapun aliran dalam filsafat ketuhanan yang dengan tegas menolak adanya campur tangan Tuhan di alam adalah Deisme, yaitu paham yang menekankan pada transendensi Tuhan. Tuhan sebagai Pencipta dan Pemberi hukum memberi kebebasan pada makhluk-Nya untuk mengatur dirinya sendiri dengan hukum alam tersebut. Pendapat seperti ini populer dikenal sebagai Tuhan sebagai “The Clockmaker” Sang Pembuat Jam, karena Tuhan mencipta alat yaitu dunia, kemudian Ia membiarkan alat itu bekerja tanpa campur Tangan-Nya. Pandangan deistik ini muncul dari filsafat Isaac Newton (1642-1727) yang mengatakan bahwa Tuhan hanya sebagai Pencipta alam dan jika ada kerusakan barulah alam memerlukan kehadiran dan campur tangan-Nya untuk memperbaiki kerusakan itu (Mudhofir, 1996). Seiring kemajuan ilmu diyakini bahwa ada suatu hukum yang tetap yang berlaku di alam dan dengan begitu semakin berkuranglah kebutuhan manusia untuk mengisi kekosongan penjelasan atas apa yang terjadi di alam, karena semua dianggap selesai dan terjelaskan lewat hukum alam itu sendiri.

Kekuasaan Tuhan atas alam terutama dalam domain kehidupan manusia dalam ranah filsafat menghantarkan pada perbincangan soal kebebasan dan otonomi manusia yang melahirkan gagasan-gagasan existensialisme. Di barat aliran existensialisme muncul dan berkembang demikian pesat terutama setelah gugatan–gugatan yang diarahkan pada kehadiran atau keberadaan Tuhan. Sebut saja Tokoh-tokoh existensialis-ateis barat semacam Sartre, Camus, dll.

Perbincangan mengenai campur tangan Tuhan di alam sesungguhnya juga menyangkut salah satu problem klasik dalam filsafat ketuhanan yakni soal Imanensi Tuhan.Mereka para pendukung konsep transendensi Tuhan relatif tidak dipusingkan dengan bagaimana hubungan Tuhan dan alam karena mereka mengambil jarak dan berusaha membebaskan dan mensucikan konsepsi ketuhanan dari kehidupan manusia. Meski hal ini berakibat pada keringnya makna ketuhanan dari kehidupan para pendukung dan penghayat transendensi Tuhan ekstrim. Sebut saja misalnya aliran Mu’tazilah . Sementara itu para pendukung konsep ketuhanan yang cenderung imanen

(6)

Ajaran Kristen mengenalkan gagasan Trinitas yang salah satu inti ajarannya adalah imanensi Tuhan dalam diri Yesus. Kristen telah menjadikan sesosok manusia (Yesus) sebagai pusat kehidupan religius melalui cara yang unik di sepanjang sejarah agama (personalisme ekstrem). Injil menyebut bahwa Tuhan telah memberi Yesus beberapa kekuatan ilahiah yang bagaimanapun akan membuat dia, meskipun hanya seorang manusia biasa, mampu untuk menjalankan tugas-tugas seperti Tuhan: menyembuhkan penyakit dan mengampuni dosa. Oleh karena itu, ketika orang-orang menyaksikan perbuatan Yesus, tindakan itu tampak memiliki citra yang hidup mengenai Tuhan. (Armstrong: 2002). Paulus sendiri tidak percaya bahwa Yesus merupakan inkarnasi dari Tuhan.

Contoh lain, ajaran Hindu memperkenalkan gagasan awatara untuk menjembatani hubungan Tuhan dan alam. Dijelaskan bahwa ketika dunia kacau dan penuh kelaliman maka aku (Wisnu) akan hadir.

"Yadā yadā hi dharmasya glānir bhavati bhārata abhyutthānam adharmasya tadātmanam srjāmy aham paritrānāya sādhūnām vināśāya ca duskrtām dharma

samsthāpanarthāya sambavāmi yuge yuge" (Bhagavad Gītā, 4.7-8)

Arti: manakala kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itulah Aku akan turun menjelma ke dunia, wahai keturunan Bharata (Arjuna) untuk menyelamatkan orang-orang saleh dan membinasakan orang jahat dan menegakkan kembali kebenaran, Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman

Awatara (Bahasa Sansekerta, avatāra, baca: awatara) adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang saleh.

(7)

terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.

Menurut kitab-kitab purana, tak terhitung banyaknya Awatara yang pernah turun ke dunia ini. Awatara-awatara tersebut tidak selamanya merupakan “inkarnasi langsung” atau “penjelmaan langsung” dari Sang Hyang Wisnu. Beberapa Awatara diyakini

memiliki “jiwa yang terberkati” atau mendapat “kekuatan Tuhan” sebagai makhluk yang

terpilih. Akhirnya konsep awatara menjadi tempat bagi upaya menjelaskan beberapa fenomena penghayatan ketuhanan yang personal dan membumi (imanen).

Demikianlah problem ketuhanan yang sesungguhnya tidak berhenti pada pembahasan ada tidak nya Tuhan dan seperti apa Tuhan, tetapi juga berlanjut pada implikasi keberadaan Tuhan dalam kehidupan manusia akan dihayati seberapa besar oleh mereka yang meyakini ada-Nya.

Referensi

Dokumen terkait

persepsi tentang kota santri dengan dukungan sosial masyarakat terhadap. muncuhlya kom:mitas gay di Situbor.do st:bagai

Salah satu faktor utama penyusun dasar peradaban atau Masyarakat Madani atau Civil Society, yang juga merupakan bagian dari kapital sosial, adalah faktor

17Loko va twa leswaku Simoni makwavo wa Yonatani ú vekiwile ku va Muprista lonkulu ematshan'wini ya hosi yakwe ni leswaku Simoni a fuma tiko ra Yudiya ni miti ya rona, 18va

Di samping ketiga fungsi di atas, bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai alat yang memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai suku bangsa yang memiliki latar belakang sosial

Di era globalisasi ini dunia industri tumbuh dan berkembang dengan cepat yang menyebabkan kebutuhan terhadap energi semakin meningkat. Tingginya harga minyak mentah

Pendekatan yang dilakukan dapat melalui berbagai macam tindakan seperti menghimbau para tamu untuk melakukan efisiensi dalam menggunakan listrik di

Interaksi energi yang dihasilkan dari perhitungan dengan menggunakan kombinasi himpunan basis tersebut diteliti ada tidaknya efek perpindahan muatan, maka terdapat 8 buah kombinasi

56.Om Sarve Sharyai Namaha 57.Om Sarva Matrukayai Namaha 58.Om Vishnu Svashre Yase Namaha 59.Om Deva Matre Namaha. 60.Om Sarva Sampatpra Daeinyai Namaha 61.Om