• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami Mekanisme Peradilan Adat Masyar (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memahami Mekanisme Peradilan Adat Masyar (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MEMAHAMI MEKANISME

PERADILAN ADAT

Peradilan Adat Margo Jurukalang Sebagai Proses Resolusi Sengketa

AKAR FOUNDATION

(2)

Lokasi : Desa Tanjung Bajok

Unit Sosial : Desa

Pada tanggal 21 Mei 2016, peneiti melakukan simulasi Peradilan Adat bersama Masyarakat Hukum Adat Margo Jurukalang di Desa Tanjung Bajok, Kabupaten Lebong. Peserta yang hadir dalam acara tersebut adalah perangkat Desa dan Lembaga Adat (Kuteui dan BMA) serta tokoh masyarakat adat dari Desa Talang Ratu, Suka sari, Tanjung Bajok, Teluk Diyen, Talang Donok 1 dan Talang Donok.

Total seluruh peserta yang hadiradalah 40 orang.

Acarainilangsungdifasilitasiolehpeneliti.

Sebelum simulasi dimulai peneliti melakukan assasment terlebih dahulu untuk mengenal Peradilan Adat Rejang di komunitas adat Margo Jurukalang.

Pertama, Peneliti mengajak masyarakat untuk mengidentifikasi beberapa hal yang berperan dalam penyelesaian sengketa melalui peradilanadat.

Dinamika Hukum dan Kelembagaan Tradisional Masyarakat Hukum Adat Rejang

Masyarakat Hukum Adat Rejang memahami peradilan adat sebagai wujud dari mekanisme kontrol sosial yang tumbuh dan berkembang di alam tradisi masyarakat Hukum Adat Rejang. Hukum adat Rejang merupakan aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat pada terganggunya keseimbangan masyarakat sehingga diperlukan suatu

penyelesaian agar keseimbangan dapat terwujud.

Hukum yang mengatur semua kehidupan masyarakat adat tidak dapat

dilepaskan dengan alam pikiran kosmis yang hidup dalam masyarakat. Ia memiliki nilai-nilai yang mengikat hubungan antara Tuhan, alam dan manusia. Sehingga hukum adat ini tidak semerta-merta tumbuh dan berkembang untuk mengatur perbuatan antar manusia saja.

(3)

adat Rejang mengenal adat sebagai aturan dan pedoman dalam menjalankan kehidupan.

Sedangkan peradilan adat Masyarakat hukum adat Rejang merupakan sebuah bentuk reaksi adat terhadap pelanggaran hukum adat yang terdapat dibeberapa komunitas masyarakat lainnya. Masyarakat adat Jurukalang

berpendapat bahwa peradilan adat ini dilakukan untuk merawat tradisi-tradisi kepercayaan adat agar tidak goyah dan keseimbangan dapat terwujud.

Keseimbangan yang dimaksudkan oleh masyarakat adalah bahwa apapun bentuk kebijakan atau keputusan yang lahir dari hasil peradilan adat ini tidak boleh memberatkan pihak mana pun. Prinsip peradilan adat Rejang ini disebutkan salah satunya dengan So Samo Kamo Bamo, artinya prinsip dasar yang mengakui

adanya hak bersama, prinsip kekeluargaan dan mengutamakan kepentingan orang banyak.

Kemudian dalam Adat Rejang terdapat istilah Pendok Dik Sudo Panjang Gik Igai yang artinya bahwa masalah yang telah diselesaikan melalui peradilan adat tidak akan menimbulkan masalah turunan, baik di dunia maupun diakhirat. Hal ini menjamin bahwa setiap sengketa/perkara yang diselesaikan melalui peradilan adat tersebut dapat diterima oleh setiap pihak yang bertikai dan secara tidak langsung memberikan efek jera atau dapat dipertanggungjawabkan dimuka umum.

Keputusan hasil peradilan adat ini, selain adil juga harus

mempertimbangakan mudarat dan manfaatnya secara mendalam agar keputusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau dalam istilah adatnya adalah

Betimbang Samo Benek, Bekilo Samo Kelengan. Azaz penentuan sanksi materil terhadap suatu kasus dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi para pihak yang bersengketa atau Mu’eak Kakane Ade, Beripit Kakea Ne Coa.

Dan dari beberapa prinsip yang umumnya dikenal dalam melaksanakan peradilan adat Rejang ini, terdapat suatu istilah yang menjelaskan bahwa proses penyelesaian sengketa haruslah mengikuti aturan yang telah digariskan seperti menapaki anak tangga satu persatu, tidak boleh terburu-buru ataupun melangkahi aturan yang ada, hal ini disebut dengan Bepatet Bekenek, Bejenjang Tu’un. Inilah prinsip yang terdapat dalam norma dan kaidah peradilan adat Rejang yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh suku bangsa Rejang.

(4)

atau sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua etika, yang mengatur nilai-nilai yang terdapat dimasyarakat atau dalam bahasa Rejang Ireak Cao. Dan ketiga adalah ritual/upacara yang pada hakikatnya merupakan cara-cara untuk tetap melakukan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan Alamnya.Ini merupakan suatu pola berpikir dan bertindak masyarakat adat Rejang untuk memberikan tuntutan dalam melaksanakan ajaran-ajarannya.

Secara historis, sistem pemerintahan Margo dibentuk oleh Belanda yakni yang dikenalkan oleh asisten-residen Belanda J. Walland yang dipindahtugaskan dari Keresidenan Palembang ke Bengkulu pada tahun (1861-1865)dengan

memasukan istilah Margo ini dalam Keresidenan Bengkulu. Ia mengadakan

perubahan-perubahan secara drastis. Dimulai dengan menghapuskan kabupaten-kabupaten diwilayah Bengkulu dan menggantikannya dengan Marga-marga seperti yang dijumpainya di Keresidenan Palembang. Kemudian argumentasi

tersebutdiperkuat dengan dipaksakannya pemberlakukan undang-undang Simbur Cahaya pada tahun 1862 untuk pengadilan Keresidenan Bengkulu yang isinya hampir sama dengan undang-undang Simbur Cahaya yang dibuat oleh Van Bosche pada tahun 1854 untuk wilayah Keresidenan Palembang. Undang-undang Simbur Cahaya ini merupakan kodifikasi hukum adat Kesultanan Palembang yang

diintroduksir menjadi pedoman hukum adat yang terdapat dalam Keresidenan Palembang. Saat itu, Lebong merupakan daerah yang masuk dalam Keresidenan Palembang, yakni sesuai dengan Keputusan PHB dalam S.1860-30 a untuk Rejang dan Keputusan PBH pertanggal 9 Juni 1861-14 untuk

Lebong.1Padahal menurut beberapa tokoh masyarakat adat setempat, margo hadir jauh sebelum Belanda menjajah hukum dan wilayah adat masyarakat Rejang. Hanya saja, penamaan margo ini berbeda-beda penyebutannya. Ada yang

menyebutkan Petulai, Depati, Banggo, dan Bang-Mego. Semua sebutan tersebut memiliki makna yang sepadan dengan istilah/sebutan Margo. Bahwa istilah tersebut merujuk pada kesatuan kelembagaan masyarakat hukum adat Rejang yang mengatur lembaga, wilayah, masyarakat, serta hukum adat Rejang yang terdapat didalamnya.2Argumen ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh William Marsden yang menyatakan bahwa dalam kesatuan masyarakat Rejang terdapat Tribes. Tribesyang dimaksudkan adalah Petulai/Bang/Mego yang

merupakan satu kesatuan masyarakat adat Rejang yang timbul dari sistem unilateral dengan garis keturanan yang patrilineal dan cara perkawinan yang eksogami meskipun tersebar dimana-mana.

Sejak dihapusnya Pemerintahan Margo sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, melalui UU No 5/1979 yang kemudian diaplikasian dalam Keputusan

Gubernur Kdh. Tingkat 1 Bengkulu 1-08/1982 maka sejak itu pula otonomi Margo berakhir. Pertama hal ini tentu berdampak pada pranata tradisional yang hidup

1Abd Siddik. Sejarah Bengkulu 1500-1990. Jakarta;1996

(5)

bersamaan dengan hukum serta masyarakat adatnya. Seluruh unsur-unsur yang membentuk kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diintroduksikan dengan pengaturan yang didasari oleh kriteria administrasi negara yang tentu saja pengaturan tersebut dimuatani hanya oleh kepentingan Negara. Isu pokok yang dibahas dalam Keputusan Gubernur Bengkulu tersebut adalah pertama,

dibubarkannya Margo. Kedua, Pasirah dan semua perangkat Margo diberhentikan dengan hormat. Ketiga, mendefinisikan dusun, dalam eks-Margo, sebagai Desa dalam pengertian UU No.5 tahun 1979. Keempat¸ diputuskan bahwa para mantan Kerio/kepala Adat, Pemimpin dusun, menjabat sebagai kepala Desa sampai

diadakannya pemilihan kepala Desa sesuai dengan UU No. 5 tahun 1979. Sehingga sistem pemerintahan Margo ini tidak berlaku lagi di dalam kehidupan masyarakat dan tidak diakui legistimasinya oleh Negara. 3

Dengan konsep yang diterapkan oleh Belanda tersebut, Marga dipakai sebagai konsep kesatuan territorial pemerintahan diwilayah Rejang. Padahal bila dilihat struktur masyarakat Rejang asli, mereka tidak mengenal istilah Marga, melainkan Kuteui. Artinya dalam struktur yang berkuasa pada masyarakat Rejang bukanlah petulai, tetapi Kuteui dengan sistem dan normanya. Jika pada mulanya Kuteui adalah suatu masyarakat hukum adat tunggal dan geneologis, dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan dibawah pimpinan Tuwai Kuteui, maka sekarang Kuteui yang disebut dusun itu merupakan satu masyarakat hukum adat yang territotiral dibawah kekuasaan seorang kepala marga yang bergelar Pesirah, kepala dusun disebut Proatin/Ginde/Depati dan semuanya takluk pada kekeuasaan Pesirah mereka masing-masing. Ginde di dusun Pesirah disebut Pembarap. Sebagai pemimpin, Kuteuidipilih dari penduduk asli Kuteui tersebut, yaitu suku yang membuka perkampungan/dusun yang diwariskan secara turun menurun.

Dengan perkembangan selanjutnya, samakin kuatnya konsep marga maka suatu dusun tidak lagi dihuni oleh orang Rejang, tetapi juga dihuni oleh siapa saja yang mau menetap didaerah tersebut atas izin Pesirah. Sehingga konsep Kuteui yang hanya didiami oleh orang asli Rejang, tidak berlaku lagi dan posisinya semakin rendah dibawah marga. sehingga marga menjadi kesatuan territorial pemerintahan yang terdiri dari beberapa dusun. Seorang pesirah tidak lagi harus penduduk asli dan tidak turun temurun melainkan hasil dari pemelihan masyarakat dalam wilayah marga tersebut.

Uniknya, peneliti menemukan dokumentasi dan informasi ritual pemilihan Pesirah Margo Jurukalang yang dilaksanakan pada tahun 2015 lalu. Kemudian dari hasil pemilihan tersebut, muncullah salah seorang tokoh yang bernama Maryono sebagai Pesirah terpilih saat itu. Tujuan dilaksanakannya pemilihan pesirah

tersebut pada dasarnya merupakan bentuk ceremonial bagi masyarakat setempat

(6)

untuk menghargai sejarah dan nilai-nilai leluhur yang masih terkandung dalam adat. Menurut informasi beberapa responden, pemilihan terakhir Pesirah adalah pada kisaran tahun 1960-an yakni Sabirin Wahid sebagai Pesirah dari Margo Jurukalang. Informasi lainnya yakni berdasarkan catatan pengakuan

(Acknowledgement) M.A. Jaspan dalam risetnya,Folk Literature of South Sumatra; Redjang Ka-Ga-Nga Texts; The Australian National University Canberra;1964 yang menyatakan rasa terimakasinya kepadaPesirah A. Sani dari Sadei Sawea, Margo Bermani. Pesirah Hadji Amin dari Sadeui Amen, Margo Suku IX. Dan Pesirah Ali Raman dari Tabea Da’eut margo Slupua Lebong. Ini menunjukan bahwa kedudukan Pesirah untuk margo-margo terdokumentasikan terkakhir kali pada tahun 1964.

Setelah masuknya sistem marga, konsep Kuteui semakin memudar dan diistilahkan dengan dusun serta merupakan bagian dari struktur marga. Padahal pada tingkat Kuteui, segala norma, aktifitas masyarakat diatur sehingga peranan Kuteui sangat penting bagi masyarakat Rejang, seperti pelanggaran adat yang dikenakan denda Kuteui, dan pelaksanaan perkawinan yang diatur oleh Kuteui. Intinya pada tingkat Kuteui-lah segala aspek kehidupan masyarakat diatur termasuk dalam pengaturan pola pemukiman.

Berkaitan dengan hal tersebut, Siddik menyebutkan bahwa di daerah Rejang dan Lebong, pembagian Marga sejalan dengan pembagian Petulai. Oleh karena itu petulai tidak memiliki kekuasaan dalam marga melainkan Kuteui. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adat asli Rejang adalah Kuteui, bukan Marga.

Danfakta lapangan yang peneliti temukan adalah komponen inti yang mendukung bekerjanya Hukum Adat Rejang diwilayah penelitian yakni Margo Jurukalang di (6 Desa), masih terbukti eksis hidup di lingkup masyarakat setempat. Komponen inti tersebut adalah Lembaga Pembuat Aturan, Penetap Aturan dan Pemegang Peran itu sendiri atau yang disebut dengan Kuteuiitu dalam Bahasa Rejang.

Menurut beberapa informasi yang diperoleh, kesatuan masyarakat Rejang dikelompokan dalam Kuteui. Pada dasarnya, sebelum adanya sistem Marga, Kuteui ini merupakan sistem yang mengatur dan memastikan Adat dilaksanakan oleh setiap komponen masyarakatanya. Prinsip Kuteui ini sangat penting dan memiliki ketentuan yang sangat ketat. Dalam Kuteui, ideologi territorial dan politik

mencakup kesadaran patrilineal atau kesadaran sedarah dan seketurunan dari warga Kuteui (anak Kuteui). Artinya yang menjadi warga kuteui adalah keturunan langsung (hubungan darah) atau hubungan akibat perkawinan dengan keluarga Mulo Jejai (pembuka Kuteui).

Kuteui adalah satu Masyarakat Hukum Adat Asli Rejang, yang berdiri sendiri, bersifat geneologis dan merupakan tempat berdiamnya Jurai-Jurai, sedangkan Petulainya adalah Patrilineal eksogam.4 Sistem kelembagaan yang pada tataran

(7)

implementasi dijalankan secara kekeluargaan dan setiap keputusan yang bersinggungan dengan komunitas yang lebih luas sehingga mengganggu keseimbangan komunitas Kuteui, maka setiap persoalan ini selalu

dimusyawarahkan di forum-forum adat secara bersama-sama oleh orang tua Dusun, Cerdik Pandai, Kepala Sukau, dibawah pimpinan Tuwai Kuteui yang

berpodoman pada Hukum Adat yang ditinggalkan oleh leluhurnya yang dianggap suci.

Kuteui ini merupakan satu-satunya unit sosial kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Rejang yang sampai pada saat ini masih berfungsi dalam mengatur dan mengontrol norma-norma yang ada dan berkembang di masyarakat. Kuteui juga mengalami pergeseran makna yang mempengaruhi keputusan yang berkaitan dengan adat istiadat dan sistem kelembagaan masyarakat Hukum Adat Rejang sampai pada saat ini. Kuteui ini ditemukan pertama kali ketika keturunan Para Biku (Abdullah Siddik, 1983;32) melalukan ekspansi kekuasaan dan wilayah adatnya dengan mendiami suatu wilayah yang saat itu dinamakan dusun atau Kuteui. Misalnya keturunan dari Biku Bermani yang mendiami Kuteui Rukam. Kemudian pecahan keturunan dari petulai lainnya membuka dusun-dusun baru yang diistilahkankan dengan nama dusun atau Kuteui. Sedangkan menurut hasil penelitian Abdullah Siddikbeliau menyatakan bahwa;

...“Kenyataan, bahwa tidak ada satupun dusun-dusun tua itu

mempergunakan perkataan Dusun. Paling ada perkataan talang sebagai bagian dari Kuteui. Seperti talang Leak, talang Bunut diwilayah Lebong; talang Rimbo, talang Benih di dekat Curup di wilayah Rejang; talang-talang itu semuanya merupakan dusun-dusun yang besar dewasa ini.”

Selain itu, sampai saat ini masyarakat masih memilih Kuteui sebagai wadah untuk meyelesaikan konflik. Lembaga Kuteui dipilih sebagai lembaga penyelesaian konflik karena masyarakat menilai bahwa keputusan di Kuteui lebih seimbang dan adil ketimbang dengan lembaga pengadilan formal seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim.

Kemudian, dalam prinsip dasar Hukum Adat Rejang atau Punen Pegong Pakai, peneliti tidak menemukan adanya kata-kata Marga yang tercantum atau tersebutkan didalamnya. Yang ada hanya penyebutan Kuteui. Dan dalam Punen Pegong Pakai tersebut, beberapa istilah yang berkaitan dengan Kuteui disebutkan sebagai berikut;

(8)

empat Kepalo Sukau ditambah dengan Kepala Desa/Ginde/Kepalo Sadei serta Kepala Adat.

- Hok Kuteui; Taneak Tanai, Imbo Piadan, adalah ungkapan untuk menjelaskan tata cara dalam pengelolaan sumber daya alam dalam wilaya adat yang terdiri atas tanah, air dan hutan.

- Mulughuk Kuteui, artinya mengumpulkan seluruh lapisan masyarakat yang ada diwilayah adat untuk sesuatu yang dianggap penting

- Dik nadeak anok Kuteui adeba kute tun dik ade neak do Sadei, baik si tun setautin sadei o, awei o kulo tun teko kedong, artinya yang diaktakan

sebagai anak Kuteui adalah setiap orang yang ada dalam suatu dusun/desa, seluruh masyarakatnya, baik mereka yang merupakan penduduk asli

maupun pendatang

- Tip-tip Kuteui mustai ade pat sukau kentuwai Tuwai Kuteui, artinya setiap Kuteui terdiri dari empat suku/clan, yang dikepalai oleh Ketua Kuteui

- Tip sukau kentuwai ketuwai Sukau, artinya setiap suku diketuai oleh ketua Suku

- Ketuwai sukau tentep sesuwoi ngen selusua muko jijai dik made sadei o, artinya ketua suku ditetapkan sesuai dengan riwayat orang-orang yang pertamakali mendiami dusun/desa tersebut

- Kundei pat kutuwai sukau dik ade neak Kuteui, tenunjuk dikup nta’iane ijai ketuwai Kuteui., artinya dari empat ketua suku ini, ditunjuk satu orang menjadi Ketua Kuteui.

- Ketuwai Sukau ngen Ketuwai Kuteui adeba semanie, artinya Kepala Suku dan Ketua Kuteui adalah lelaki

- Maso megong ketuwai sukau ngen ketuwai Kuteui coa tekadeak,

belek/menighea, si cigai lok, kenlok anok sukau supayo genitei, artinya masa bakti Ketua Suku dan Ketua Kuteui tak ada ketentuan kecuali, meninggal dunia, tidak mau lagi, atau diinginkan pergantian oleh anak Kuteui.

Dari berbagai macam fakta dan argumentasi diatas, dapat disimpulkan bahwa Kuteui merupakan lembaga murni yang lahir sebagai ide dan gagasan masyarakat adat Rejang yang kemudian diakui keberadaanyan secara sosial dan dilegistimasikan dalam hukum adat Rejang itu sendiri. Meskipun mengalami beberpa kali pergeseran secara politik, Kuteui ini tetap tidak terbantahkan kehadirannya dan dibutuhkan demi menjaga keseimbangan adat Rejang.

Struktur Pemerintahan Margo

Bagan 1

MARGO PESIRAH

PEMBARAP

DEWAN MARGO

(9)

Strutur Pemerintahan Desa

Struktur Desa Talang Donok I; Monografi Desa 2013

Struktur Kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Rejang

Kuteui adalah lembaga otonomi asli Suku Bangsa Rejang, yaitu otonomi yang muncul dari kelahiran Kuteui itu sendiri. Kuteui memiliki hak atau kekuasaan untuk mengatur dan mengurus warganya, sehinga segala kepentingannya dapat

dipertemukan. Untuk membuktikan otonomi asli Kuteui tersebut, adalah :

1. Otonomi dibidang kelembagaan, yakni kekuasaan Kuteui dalam mengorganisir kehidupan warganya, seperti membentuk aturan dan menetapkan hak serta kewajiban warganya

BPD

KAUR PEMBANGUNA

N

KETUA

WAKIL KETUA

ANGGOTA

KADUS I KADUS II KADUS III KAUR UMUM

SEKRETARIS DESA KEPALA DESA

KAUR PEMERINTA

KEPALO SUKAU

KUTEUI TUWAI KUTEUI

CERDIK PANDAI, ALIM ULAMA, DUKUN, TUKANG KEPALO SUKAU

KLAN KELUARGA PATRIAKI

KEPALO SUKAU KEPALO SUKAU KEPALO SUKAU

(10)

2. Otonomi dalam bidang sosial dan ekonomi, yaitu mengatur dan mengelola harto pusako Adat

Sebagai lembaga tradisional adat, Kuteui, selain unit teritorial juga

merupakan sebuah unit politik yang mengatur hubungan sesama warganya dan hubungan dengan Kuteuilain. Sistem pemerintahan dijalankan secara kekeluargaan dan demokratis.Segala keputusan selalu diambil atas dasar musyawarah dengan para tuwai sukau (ketua suku).Dengan demikian tuwai Kuteui tidak berhak

mengubah, mengurangi, atau menambah hukum adat yang sudah ada atau yang sudah berlaku tanpa persetujuan dengan para ketua suku.

Struktur kelembagaan Adat dan Desa di wilayah penelitian ini sangat bervariasi. Perbedaan variasi kedua lembaga tersebut bergantung pada

persekutuan hukum yang berlaku dalam masyarakatnya. Pada dasarnya, ada dua faktor utama yang menjadi dasar pengikat dari anggota kelompok masyarakat adat Rejang yakni faktor genealogis (keturunan) dan faktor teritorial (wilayah). Berdasarkan dua faktor pengikat itu, maka persekutuan hukum dapat dibedakan menjadi 3 tipe pokok, yaitu pertama, Persekutuan hukum Genealogis. Kedua, Persekutuan hukum Teritorial dan ketiga persekutuan hukum genealogis-teritorial.5

Persekutuan hukum genealogis adalah persekutuan hukum dimana dasar pengikat utama anggota kelompok masyarakat adalah persamaan keturunan. Untuk masyarakat hukum adat Rejang, jenis persekutuan ini dikenal dengan Kuteui dengan garis keturunan yang patrlineal. Namun sebenarnya Kuteui bukanlah

sebuah lembaga struktural, melainkan sebuah sistem yang mengatur masyarakat yang berada dibawah wilayahnya atau tempat bernaungnya para Jurai-jurai.

6Pemimpin pada masa ini adalah seorang Kepala Adat/Sukau yang memiliki

keturunan dari para Mulo Jejai (Pembuka Kuteui). Kemudian Kuteui ini berkembang sesuai dengan kebutuhan untuk mempermudah alur koordinasi antara Kuteui-Kuteui yang saat itu bersebaran dimana-mana dengan membagikan wilayah berdasarkan hasil musyawarah para Biku yang kemudian dikenal dengan sistem Petulai/Banggo. Tujuan dibentuknya Petulai adalah sebagai wadah untuk

mengakomodir kepentingan anggota/kelompok masyarakat dan aturan serta keputusan dalam batas-batas wilayah adat masyarakatnya. Pada masa Petulai ini dipimpin oleh Depati atau Rajo.

Persekutuan hukum teritorial adalah persekutuan hukum yang dasar pengikat anggota-anggota masyarakatnya adalah karena adanya ikatan pada tempat tinggal yang sama atau menjalani kehidupannya di wilayah yang sama. Persekutuan hukum ini berlaku di Rejang pada Era kolonialsasi Belanda yakni

dengan sebutan Margo. Pemimpin Margo ini disebut dengan Pesirah. Di Kabupaten Lebong sendiri terdapat lima Margo yang dibentuk pada tahun 1860-an, kelima

(11)

margo tersebut adalah Jurukalang, Tubei, Bermani, margo suku IX dan margo suku VIII. Munculnya margo ini memarjinalkan posisi serta peran Kuteui dalam politik kelembagaan adat. Meskipun beberapa hal penting seperti pengaturan tentang wilayah, peradilan dalam penyelesaian konflik dan hak serta kewajiban warganya diatur oleh Kuteui dan tidak boleh dipindahtangakan karena hal tersebut telah tertera dalam hukum adat Rejang. Beberapa asumsi tentang margo ini salah

satunya adalah bahwa sistem Margo ini merupakan intervensi wilayah adat Rejang oleh Penjajah (Belanda) untuk mengontrol dan menguasai lahan serta sumber daya alam milik adat.

Persekutuan hukum genealogis-teritorial adalah persekutuan hukum yang dasar pengikatnya adalah karena adanya kesamaan baik pada faktor genealogis maupun teritorial. Dalam masyarakat hukum adat Rejang, jenis persekutuan hukum ini mengembalikan posisi Margo yang saat itu berkuasa, kembali pada sistem Kuteui. Setelah dihapusnya sistem Margo, maka kewenangan dan kekusasan terkait persoalan adat jatuh kepada Tuwai Kuteui. Tuwai Kuteui ini muncul karena kebutuhan politik kuasa untuk menggantikan posisi dan peran Pesirah yang dulunya memimpin Margo-Margo. Dan dari sinilah otonomi Kuteui kembali menguat kemudian berubah menjadi sebuah lembaga adat tradisional yang memegang peran untuk menjaga dan mengendalikan keseimbangan antara masyarakat, lembaga dan hukum adat yang dipatuhi oleh masyarakat yang

dipimpin oleh Tuwai Kuteui.7

Kondisi Desa dan Kuteui saat ini saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. Pemerintahan Desa mengurus hal-hal administratif yang berkaitan dengan kepentingan negara. Sedangkan pemerintahan Kuteui berjalan sebagai lembaga yang mengurus persoalan yang berkaitan dengan adat yang diatur dalam Hukum Adat Rejang khusunya sebagai lembaga penyelesaian sengketa.

Hukum dan Peradilan Adat Rejang

Keberadaan peradilan adat di tanah Rejang sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama, jauh sebelum agama Islam masuk ke Tanah Rejang dimulai ketika zaman Ajai dan Bikau, negeri yang terletak disepanjang Bukit Barisan ini penduduknya sudah lama melaksanakan tata tertib peradilannya menurut hukum adat. Pada masa penjajahan peradilan adat tetap bertahan sebagai suatu bentuk peradilan “orang asli” berhadapan dengan peradilan “gouvernement rechtsspraak” terutama di daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda, tetapi ada pengakuan dari Pemerintahan Belanda terhadap peradilan adat, pengakuan ini dilakukan secara berbeda dengan landasan hukumnya masing-masing. Setelah Indonesia merdeka peradilan adat ini menjadi tidak berdaya setelah disyahkannya UU Darurat No 1 Tahun 1950 yang menghapus

(12)

beberapa peradilan yang tidak sesuai dengan Negara Kesatuan atau menghapus secara berangsur-angsur peradilan swapraja di beberapa daerah dan semua peradilan adatnya.8

Secara sosiologispun aspek hukum dan peradilan adat dalam kehidupan masyarakat Rejang di pandang sebagai penjaga keseimbangan, keseimbangan yang dimaksud adalah kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat dan antar masyarakat dengan alam.Karena itu peradilan di pandang sebagai media penjaga keseimbangan daripada sebuah institusi pemberi dan penjamin keadilan sebagaimana yang dipahami dalam hukum modern atau hukum positif.Dalam kerangka inilah masyarakat hukum adat Rejang memandang hukum adat sebagai salah satu dari tiga unsurepenjaga keseimbangan disamping hukum negara

(pemerintah) dan hukum agama.

Dalam sejarah Adat Rejang proses Hukum meliputi semua aspek kehidupan warganya yang tidak hanya mengatur sangsi tetapi lebih jauh mengatur hak dan kewajiban baik dengan sesama warga komunitas maupun dengan kepercayaan tertentu yang biasanya bersifat magis, dengan demikian Hukum Adat yang

terdapat di Jurukalang merupakan alam pikiran tradisional yang umumnya bersifat kosmis dan totaliter tidak ada pemisahan dari berbagai macam larangan hidup, tidak ada pemisahan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antar manusia dengan makluk lainnya, segala sesuatu bercampur baur,

bersangkut paut dan saling berpengaruhi yang paling penting jika dilihat lebih jauh di Jurukalang hukum adat adalah manisfestasi dari keseimbangan, keselarasan, keserasian (evenwicht), segala yang mengangu keseimbangan tersebut

merupakan pelangaran Hukum. 9

Patokan-patokan umum dalam sistem Hukum Adat di Rejang mengacu pada;

1. Adat Sejati, yang disebut dengan Adat sejati adalah Adat peninggalan nenek moyang atau leluhur yang sering dikatan tidak lapuk kena hujan dan tidak lekang karena panas adalah Adat yang memahat sepanjang garis, bertarah di dalam sifat, bertanam di dalam pagar berjalan di hati jalan dan berkata dalam Adat

2. Adat yang diadatkan adalah Adat tambahan pada sejati Adat baik yang

merupakan suatu peraturan dari Tuai Kuteui merupakan hasil kesepakatan dan musyawarah dalam Kuteui maupun kebiasan tertentu yang sudah menjadi Adat yang teradat, seperti berbagi sama banyak, bermuka sama terang dan

bertanak di dalam periuk, bersumpah bersemanyo, berjanji bersetio dan yang terpenting adalah kalah Adat karena janji.

8http://amarta.wordpress.com/2007/11/14/hello-world/

(13)

Kebiasan hukum adat adalah tidak tertulis begitu juga bagi masyarakat hukumAdat Rejang. Hukum Adat ini juga tidak tertulis, sehingga pada tahun 1862 Van Bossche menetapkan aturan tertulis kemudian disebut dengan

Undang-Undang Simbur Cahayo, ada beberapa persoalan dari Undang-Undang-Undang-Undang Simbur Cahayo ini sehingga tahun 1866 Asisten Resident A. Pruys Van Der Hoevan meminta pendapat para Kepala Marga ternyata banyak sekali yang tidak sesuai dengan dengan Hukum Adat Rejang yang berlaku karena itu banyak dilakukan perubahan-perubahan.

Dalam penyelesaian sebuah kasus biasanya tata aturan yang dimaksud di atas hanya sebagai referency dimana keputusan Adat di pegang oleh Tuai Kuteui yang merupakan hasil musyawarah dari masing-masing Kepala Sukau yang pada kasus tertentu yang menimpa warga Sukaunya bertindak sebagai Pembela. Ayam kumbang terbang malam hingap di kayu rimbunan tidak bekas naik dan tidak pula bekas turun tidak bertali jangan ditarik, tidak bertangkai jangan dijinjing, jika

ditarik panjang, jika dilerai cabik danayam putih terbang siang hinggap di kayu kerangasan, berjejak naik, berbekas turun, terang dan nyata namanya terang bersalah merupakan pepatah Adat untuk menyebut istilah praduga tidak bersalah sebelum semuanya di tetapkannya status hukun yang bersengketa.10

Perdamaian Adat disebut dengan Mulo Bangun atau Mulo Tepung, sehingga dalam pelaksanaannya adalah meletakkan, menentukan dan melaksanakannya atau di istilahkan Mengipar Sayap Menukat Paruh yang artinya menyangupi membayar atau beban yang ditimpahkan. Ada beberapa hal pokok dalam sistem Hukum Adat Rejang, antara lain;

1. Membunuh membangun 2. Salah Berhutang

3. Gawal Mati

4. Melukai menepung 5. Selang Berpulang 6. Suarang Bagiak

7. Sumbing Titip, Patah Berkipal 8. Kalah Adat Karena Janji

9. Pemberian Habis Saja

10. Buruk Puar Aling Jelupuh, Patah Tumbuh Hilang Berganti

Sementara untuk delik pidana adat sering dikenal dengan iram berdarah (kasus yang mengelurkan darah) dan iram tiado berdarah (tidak mengelurkan darah), Bayar bangun untuk kasus yang meghilangkan nyawa seseorang dan cepalo untuk penyebutan kasus-kasus asusila, dalam pelaksanaan hukum adat ini peran ketua Sukau sering bertindak sebagai pembela terhadap komunitas atau clan-nya proses

(14)

penetapan hukum adat dimana sangsi sosial sangat dominant biasanya diputuskan oleh Kepala Kuteui atau Ketua Adat setelah proses peradilan atau damai adat dilakukan dengan meminta pendapat dari elemen kampong seperti cerdik pandai, alim ulama, dukun, tukang, ini menunjukan penyelesian kasus yang holistic

melibatkan para pihak dalam menuju keseimbangan akibat dari suatu cepalo yang dilakukan seseorang dan berdampak kepada semua elemen yang ada di komunitas tersebut, bukti penyelesaian kasus dan penetapan hasil damai desa adalah sirih dan pinang yang disertai dengan serawo dan melaksanakan Tepung Setawar.11

Praktek-praktek pelaksaan penyelesaian adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat hukum adat Rejang, secara umum di atur sebagai berikut;12

1. Masyarakat Adat Jang adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari system unilateral (kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja) dengan system garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada di mana-mana

2. Kuteui adalah salah satu kesatuan Hukum masyarakat Adat asli Jang yang berdiri sendiri, genelogis dan tempat berdiamnya jurai-Jurai atau suku-suku 3. Hukum adat Jang adalah norma yang tumbuh dan berkembang serta dipatuhi

dan mengikat masyarakat adat Jang dalam satu kesatuan wilayah hukum adat Jang, didalamnya mengandung nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong,

musyawarah, mufakat, kepatutan, magis, religius, arif dan bijaksana dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul di batas-batas wilayah hukum adat Jang

4. Peradilan Adat Jang adalah mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat Rejang menciptakan keseimbangan dan mendorong

memberikan daya Koersif kepada warga supaya mau tunduk pada aturan yang hidup dalam masyarakat tersebut.

5. Kelpiak Ukum Adat adalah kumpulan dokumen yang berisikan tentang tata aturan penyelesaian sengketa adat yang terjadi di satu kesatuan wilayah hukum adat Jang

6. Jenang Kuteui adalah perangkat peradilan adat yang teridiri dari beberapa personal yang merupakan representatif dari struktur pemerintahan adat Jang dan memiliki kewenangan dan kapasitas untuk menjalankan sistem tata aturan hukum adat

7. Tempat Penyelesaian sengketa dilaksanakan di wilayah hukum adat Jang

dimana terjadi perselisihan atau persengketaan atau tempat terjadinya perkara adat

11Aliansi Masyarakat Adat Rejang Topos Pat Petulai (AMARTA). Laporan Proses SimulasiPeradilanAdat di DesaTalangDonok. 2007

(15)

Dalam pelaksanaan dan penyelesaian konflik adat, hukum adat Rejang mengenal azaz hukum sebagai berikut;13

1. Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah berarti ; Adat yang berdasarkan Hukum Agama atau Adat yang berlaku dalam komunal adat sebagai mana yang dimaksud.

2. Adat Coa Melkang Keno Panes, Coa Mobok Nukoi Ujen adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang yang berlaku tetap dan tegas dalam kondisi apapun.

3. Saleak Cong Bepapet adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang untuk pemulihan kondisi keseimbangan atas perselisihan atau persengketaan atau terjadinya perkara adat di dalam wilayah hukum adat Jang.

4. Adat Aleak Nukoi Janjai adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang untuk menyatakan bahwa adat terikat oleh sistem

perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak.

5. Saleak Kunuak Tebangun adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang untuk menyatakan akibat perbuatan

menghilangkan nyawa seseorang maka diwajibkan diwajibkan untuk membayar denda yang disebut ”Bangun” dan terdiri dari:

a. Bangun Mayo, yaitu bila seseorang meninggal atas perbuatan orang lain yang memang telah direncanakan

b. Bangun Penuak (penuh), yaitu seorang yang meninggal dunia sebagai akibat perbuatan seseorang yang sebelumnya tidak direncanakan

c. Bangun Soa atau Bangun Sesalan (penyesalan), sesorang yang meninggal dunia yang memang tidak di kehendaki atau diluar kemampuan pelaku dan masih mempunyai hubungan kekerabatan diantara keduanya.

6. Piawang Mecuak Timbo, Nukum Lipet adalah kondisi pelangaran adat yang dilakukan oleh orang yang terhormat karena memiliki kedudukan dan tanggung jawab didalam struktur adat Jang atau struktur pemerintahan dan perangkat agama maka sangsi yang dikenakan adalah Sanksi Lipat dari kutentuan sanksi bila dilakukan oleh masyarakat biasa.

7. Tepung Setabea adalah seperangkat perlengkapan yang digunakan untuk mengembalikan keadaan kesehatan seseorang yang terdiri dari: daun sergayu atau daun sedingin, daun sirih, daun kundur, diikat menjadi satu dan diletakan dalam mangkuk lalu diberi air kemudian kita percikkan pada seseorang yang habis berkelahi atau dalam keadaan sadar ataupun telah siuman dari pingsan demikian juga orang yang masih dalam keadaan pingsan.

(16)

8. Selengan-Lengan Dendo Adeba Iben Desaghen Sebenek-Benek Dendo Adeba Bangun Mayo adalah kiasan yang menyatakan bahwa Setiap perbuatan yang melaggar adat atau melanggar hukum adat, sudah pasti mereka yang

melanggarnya akan mendapat sanksi yang berupa :

1. Sanksi yang paling ringan adalah Iben Desaghen atau seperangkat sirih yang berjumlah tujuh atau sembilan lembar daun sirih, dilipat memanjang, diikat dengan benang tiga warna, ditambah dengan perlengkapan sirih lainnya dan dimasukkan dalam SELUP (bakul kecil).

2. Sanksi yang tertinggi dalam menyelesaikan suatu persoalan yang dapat diberikan oleh jenang Kuteui adalah Bangun Mayo atau denda adat apabila ada seseorang meninggal akibat perbuatan orang lain yang memang sudah direncanakan sebelumnya.

9. Benek Mbeak Temambeak Lengan Mbeak Mapoi adalah kiasan untuk acuan bertindak yang mempunyai Pengertian sesuatu yang berat jangan tambahkan bebannya dan yang ringan janganlah dianggap enteng.

10. Neak Ipe Bumai Nelat Diba Lenget JenunjungPernyataan ini mengandung pengertian bahwa dimana kita berada, kita harus mengikuti, melaksanakan dan menghargai serta mendahulukan adat istiadat masyarakat ditempat kita

tinggal.

11. Kecek Menepat, Janjai Menughau, Menginjem Mengelek, Utang Mengasen, Mengelai Abis Bae, Bepanuo Neak Atai Dalen, Betareak Ngen Maet Lem Ga’isungkapkan ini mengandung pengertian:

1. Kata-kata yang pernah ucapkan harus kita tepati.

2. Janji yang pernah dibuat atau sepakati harus kita penuhi.

3. Kalau meminjam sesuatu wajib kembalikan.

4. Kalau berhutang wajib membayar hutang tersebut.

5. Kalau memberikan sesuatu kepada seseorang, maka menyatakan apa yang kita beri tersebut habis dan tidak boleh memintanya kembali.

6. Kalau mengerjakan sesuatu yang diumpamakan berjalan, maka berjalan harus pada jalan yang benar.

7. Kalau kita memahat dan bertara harus mempedomani garis yang ada.

(17)

Prinsip

Pertama, mekanisme peradilan adat ini berlaku untuk menyelesaiakan semua sengketa/konflik yang terjadi didalam atau dibatas-batas wilayah hukum adat Margo Jurukalang. Harus dipahami bahwa tugas dan kewenangan margo meliputi kewenangan peradilan, kewenangan kepolisian/keamanan, hak ulayat serta pengelolaan sumber daya alamnya. Ini artinya, siapapun yang berada dalam wilayah adat margo Jurukalang, wajib patuh terhadap aturan yang telah dibuat oleh Margo.

Kedua, Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah, artinya hukum adat tidak boleh bertentangan dengan hukum agama.

Ketiga, salah satu peserta yang hadir menyatakan bahwa semua masyarakat Adat Jurukalang mesti tahu bahwa prinsip pertama dalam penyelesaian sengketa adalah “Adat Aleak Nukoi Janjai” Adat kalah karena janji, artinya jika para pihak yang bersengketa telah melakukan janji, maka janji tersebutlah yangharus disepakati.

Keempat, masalah yang telah diselesaikan melalui peradilan adat tidak akan menimbulkan masalah turunan baik didunia maupun diakherat.

Kelima, bahwa azas penetuan sangsi materil terhadap suatu kasus harus dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi para pihak yang bersengketa.

Keenam, proses penyelesaian sengketa haruslah mengikuti aturan yang telah digariskan yakni “bejenjang kenek, betanggo tu’un” artinya tidak boleh terburu-buru ataupun melangkahi aturan yang ada.

Jenis Sengketa

1. Pidana, meliputi; pencurian, pembunuhan, pelecehan, pemerkosaan, dll

2. Perdata, meliputi; KDRT, kawin-cerai, hak waris, dll

Proses

Proses penyelesaain sengketa yang dilaksanakan saat ini tidak jauh berbeda dengan proses penyelesaian yang terjadi sebelum dibubarkannya Margo. Hanya saja saat ini keputusan tertinggi dalam peradilan adat tersebut disahkan oleh Kepala Desa dimana persengketaan itu terjadi.

Pada umunya proses penyelesaian suatu kasus menggambarkan proses resolusi sengketa yang sering digunakan, seperti berikut :

1. Untuk kasus tertentu biasanya kepala desa menggunakan intuisinya dalam menilik suatu perkara (mendengarkan berita burung dsbg..)

(18)

3. Pencarian fakta; mediator yang dalam hal ini adalah Kepala Desa/Kepala Dusun, mendiskusikan kasus secara terpisah dengan pihak yang

bersengketa, saksi mata, dan tokoh masyarakat dari wilayah tinggal mereka (dusun)

4. Pertibangan fakta kasus; bisa dilakukan sendirian (antara Kepala Desa dengan pihak yang bersengketa), bersama hakim Adat atau dalam musyawarah berbagai pihak.

5. Mediasi; mediator mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk mencoba menengahi, atau menyampaikan saran penyelesaian dan/atau sanksi yang berdasaarkan pada prinsip hukum adat.

6. Kesepakatan atau penolakan; pihak yang bertikai bisa menerima dan menolak penyelesaian yang ditawarkan. Kesepakatan terkadang disertai dengan intimidasi/ancaman, keinginan untuk menghindari sistem hukum formal atau ketakutan terhadap kemungkinan balas dendam. Jika

kesepakatan penyelesaian sengketa tidak tercapai, mereka beralih kemediator lain dengan membawa kasus ke hukum formal atau menghentikan tuntutanya.

7. Penerapan; kesepakatan seringkali dalam bentuk tertulis dan ditandatangi. Hal ini memperkuat tekanan dalam penerapanya. Keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa bisa menjadi faktor tambahan sebagai sanksi sosial. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, pelaksanaan kesepakatan ini bergantungan pada kemauan dan kondisi para pihak yang bersengketa.

Meskipun secara umum prosedur ini sering digunakan dalam upaya

penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat, namun tentu saja terdapat variasi terkait standar prosedurnya yang sesuai dengan hukum adat yang berlaku pada masing-masing wilayah adatnya. Atau dalam kasus ini, terjadi perbedaan antara alur dan proses peradilan adat sebelum diberlakukanyan UU No 5 Th 197914 dan setelahnya. Maka berikut tata cara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam simulasi peradilan adat Margo Jurukalang pada tanggal 21 April 2016 lalu;

Contoh kasus : Pencurian beras Kopi di Kebun Warga

14http://rahabillah.wordpress.com/author/rahabillah. 2008

Kasus pencurian ini terjadi diantara Pak Erwan (sang pemilik kebun) dan Pak Shamir (tetangga satu Dusun Pak Erwan) di Desa Talang Donok 1. Beberapa penduduk Desa Talang Donok saat itu tengah menikmati masa panen kopi. Kecuali Pak Shamir, ia hanya bermata pencaharian sebagai buruh tani. Sehingga penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang saat itu sangat terpuruk.

Suatu hari pak Shamir sedang berjalan melawati kebun Pak Erwan. Dipondoknya yang ditengah kebun, Pak Erwan meninggalkan dua karung beras kopi yang sengaja dia tinggalkan, karena terlalu berat jika diangkut sendiri kerumah. Pak Shamir yang saat itu sedang melewati kebunnya, terpaksa mengambil 1 karung beras kopi tersebut dan membawanya kerumah. Saat Pak Shamir mengambil karung beras kopi tersebut, dia tidak sadar bahwa ada beberapa orang yang melihat aksinya saat itu.

(19)

Penyelesaian sengketa;

1. Kepala Desa menilik kasus tersebut melalui kabar burung 2. Korban melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Dusun 3. Kepala Dusun melapor kepada Kepala Desa

4. Kepala Desa memanggil orang yang dituduhkan sebagai pelaku pencurian dan meminta penjelasan pelaku,

5. Kepala Desa memanggil korban pencurian dan meminta keterangan

6. Kepala Desa mengundang para pihak yang bertikai tersebut dan bersama-sama perangkat Desa serta Kepala Dusun masing-masing pihak bertikai untuk menetapkan opsi keputusan terhadap kasus yang terjadi

7. Keputusannya selanjutnya adalah menyelesaikan sengketa melalui peradilan adat

Tertib beracara peradilan adat;

Peradilan adat dapat berlangsung jika dihadiri oleh :

1. Perangkat peradilan adat terdiri dari 6 orang Jenang Kuteui

2. Kedua belah pihak yang bersengketa

3. Saksi-saksi yang hadir terdiri dari saksi para pihak yang berperkara, saksi ahli

Tahapan sidang;

1. Kepala Desa membacakan duduk permasalahan kasus

2. Mendengarkan tuntutan dan keberatan atas sengketa yang terjadi melalui pihak korban terlebih dahulu kemudian dilanjutkan oleh pihak yang tertuduh 3. Mendengarkan keterangan para saksi

4. Musyawarah Jenang Kuteui untuk menganalisis/menelaah masalah yang terjadi

5. Penetapan keputusan atau vonis oleh Jenang Kuteui atas sengketa atau permasalahan yang sedang berlangsung

Ketetapan hasil keputusan;

1. Kedua belah pihak wajib menjujung tinggi dan mematuhi segala macam bentuk hasil yang telah diputuskan Jenang Kuteui dalam peradilan adat. 2. Ketua Sukau/Kepala Dusun/Kepala Desa berkewajiban untuk memastikan dan

mengawasi jalannya hasil keputusan Jenang Kuteui terhadap para pihak yang bersengketa

3. Jika pihak yang bersengketa mangkir dari hasil keputusan peradilan adat maka Kepala Desa berwenang untuk mengambil tindakan tegas sesuai dengan tata atiran adat yang berlaku

(20)

dituangkan dalam mangkok, ditambah dengan Sergayau, kunyit, daun

perenggi/labu. Kemudian dipercikan pada kedua telapak tangan para pihak yang bertikai, hal tersebut untuk memastikan bahwa tidak boleh ada dendam antara kedua belah pihak yang tadinya bertikai.

Field notes : Pada hari dimana acara simulasi peradilan adat dimulai, Kepala Desa

Tanjung Bajok sedang melakukan proses penyelesaian sengketa yang terjadi dianatara masyarakatnya. Siang itu, hari Sabtu pukul 13.30 di kediaman rumah Kepala desa Tanjung Bajok, tengah terjadi proses penyelesaian sengketa. Kasus yang saat itu tengah terjadi adalah pengancaman yang dilalukan antara menantu dengan mertuanya dengan senjata tajam. Ternyata, proses penyelesaain sengketa yang dilaksanakan dikediaman Kepala desa Tanjung Bajok saat itu merupakan proses penyelesaian tahap 3, yakni pembacaan hasil keputusan sangsi yang diterapkan oleh Majelis/Hakim adat. Sebelumnya, proses penyelesaian sengketa tahap 1 dilakukan pada pagi hari saat pihak yang bersangkutan melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Desa. Karena menurut Kepala Desa kasus tersebut sangat genting, maka tahap kedua proses penyelesaian sengketa langsung dilaksanakan dengan malakukan musyawarah antara para pihak yang bertikai, Kepala Desa dan Tuwai Kuteui. Dalam tahap kedua tersebut, Tuwai Kuteui dan BMA yang menjadi Hakim Adat,

mendengarkan duduk perkara kasus dari masing-masing pihak yang bertikai. Tahap selanjutnya yaitu tahap ketiga adalah jeda sementara waktu untuk Hakim Adat dan Kepala Desa menganalisis perkara dan menetapkan sangsi yang tepat untuk pelaku kasus tersebut. Sementara itu, para ibu-ibu baik itu dari pihak yang bertikai maupun masyarakat yang hadir dalam sidang tersebut melakukan ritual Masak Serawo yang menjadi simbol bahwa permasalahan tersebut dapat diselesaikan saat itu juga. Tahap terakhir yakni pembacaan hasil putusan sidang yang dibacakan oleh Tuwai Kuteui kepada pihak yang bertikai dengan disaksikan oleh masyarakat yang hadir dalam sidang tersebut. Setelah pembacaan hasil keputusan itu selesai, acara selanjutnya yaitu pembacaan doa yang pimpin oleh Alim Ulama dan kedua belah pihak yang bertikai saling memaafkan. Proses penutupan sidang peradilan adat ditutup juga dengan acara Makan Serawo dan Tepung Tawar sebagai penanda bahwa acara peradilan adat telah selesai dan diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai.

Referensi

Dokumen terkait

SKAI atau Pejabat Eksekutif yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan fungsi audit intern telah menyampaikan laporan pelaksanaan audit intern kepada Direktur Utama dan Dewan

Namun jika dilihat secara keseluruhan, nilai peserta didik lebih banyak berada di atas rata-rata (jumlah dari kategori cukup, baik, baik sekali), rata-rata nilai

Pada Sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Medan yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan ( internal auditornya ) adalah bendahara rutin dan bendahara bos, bendahara

Pendidikan Kristiani seperti apakah yang perlu diberikan oleh jemaat GMIT wilayah Kota Kupang pada remaja untuk menghentikan perkelahian

Dengan demikian, dalam beberapa kasus karsi- noma nasofaring yang mendapat terapi kemoradiasi akan menimbulkan tuli sensorineural yang lebih berat dibandingkan pada pemberian

Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan aturan pangkat, akar dan logaritma, fungsi aljabar sederhana, fungsi kuadrat dan grafiknya, persamaan dan pertidaksamaan kuadrat,

Sistem pengoperasian angkutan umum harus memperhatikan jam puncak dan jam tidak puncak sehingga untuk jam puncak dapat dioperasikan dengan waktu antara yang rendah

Persimpangan tak bersinyal dan jalan masuk pada jalan raya dengan lalulintas cepat adalah keadaan dimana lalulintas lain menggunakan sebagian kapasitas yang