• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuli sensorineural pasca kemoradiasi pada pasien karsinoma nasofaring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tuli sensorineural pasca kemoradiasi pada pasien karsinoma nasofaring"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Tuli sensorineural pasca kemoradiasi pada pasien karsinoma nasofaring

Lia Natalia, Zanil Musa

ABSTRACT

Cisplatin and radiation, a combined modality therapy in nasopharyngeal carci-noma can cause sensoryneural hearing impairment. Chronic exposure to ra-diation and cisplatin can destruct temporal bone, organ Corti, hair cells leading to sensoryneural hearing loss. The effect was influenced by age, gender, and dose. Post radiation otitis media and sensorineural hearing loss appear as early as completion of radiotherapy. Early changes may be transient, but chronic exposure can make persistent damage. Audiologic examination is important for early detection of sensorineural hearing loss.

Key words: nasopharyngeal carcinoma, cisplatin, radiation, sensorineural hear-ing loss, hair cells.

Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL, Rumah Sakit/Fakultas

Kedokteran Unika Atma Jaya, Jl. Pluit Raya 2, Jakarta 14440

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan keganasan kepala leher terbanyak, terutama di benua Asia. Sebanyak 60% dari jenis penyakit ini adalah tumor kepala dan leher.1 Insiden karsinoma nasofaring sebesar 30-50

kasus per 100.000 orang pertahun dengan, lebih sering pada laki-laki dibanding perempuan (2,3:1).1, 2

Karsinoma nasofaring dapat menyebar ke segala arah dan menimbulkan gangguan organ sekitar. Yang

Ming-shiang et.al3 melaporkan bahwa sebanyak 38%

pen-derita kanker nasofaring mengalami otitis media efusi dan sebanyak 18% mengalami sindroma gangguan pendengaran.

Kombinasi terapi radiasi dan cisplatin merupakan te-rapi yang efektif untuk karsinoma nasofaring.4-6 Na-mun

demikian, kombinasi radiasi dan cisplatin pada penderita kanker nasofaring dapat menyebabkan ke-tulian. Jenis ketulian akibat radiasi dapat bersifat kon-duktif maupun sensorineural sedangkan cisplatin ha-nya menyebabkan tuli sensorineural.7 Oleh sebab itu,

jenis tuli sensorineural adalah jenis ketulian yang lebih sering dijumpai pada penderita karsinoma nasofaring pasca kemoradiasi.

Tuli akibat pemberian cisplatin pada kanker nasofaring dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pedalini et.al8

menyatakan bahwa gangguan pendengaran akibat cisplatin sangat dipengaruhi oleh cara pemberian, le-tak tumor, ada tidaknya gangguan fungsi ginjal, umur pasien, dan faktor individual yaitu adanya riwayat ra-diasi dan gangguan pendengaran sebelumnya serta dosis kumulatif yang diberikan. Dosis ototoksik cispla-tin yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran adalah pada pemberian dosis 90-360 mg/m2. Di sam-ping itu, kombinasi cisplatin dengan radioterapi akan meningkatkan risiko terjadinya tuli sensorineural sebesar 60-80%.4

INSIDEN DAN FAKTOR RISIKO

Usia tua meningkatkan risiko terjadinya tuli akibat kemoradiasi. Chua dan Tan9 serta Oh et.al4

melapor-kan bahwa insiden tuli sensorineural pada pasien ber-usia 50 tahun atau lebih adalah sebesar 37% pasien sedangkan pada pasien berusia kurang dari 50 tahun sebesar 25%. Chua dan Tan9 juga melaporkan

pening-katan kejadian tuli sensorineural persisten sebanyak 17%-37% pada usia pasien 30-50 tahun dan akan me-ningkat pada usia >55 tahun. Faktor risiko lain yang memengaruhi terjadinya tuli jenis kelamin. Kwong dkk9

melaporkan pria lebih banyak mengalami tuli senso-rineural persisten dibandingkan wanita, yakni sebesar 29% vs 15%.

(2)

Hantaran suara pada frekuensi tinggi lebih mudah mengalami gangguan akibat efek kemoradiasi. Wang dkk13 mencatat bahwa pada 261 telinga pasca

radio-terapi mengalami perburukan hantaran tulang >10 dB sebesar 8,9-28,8% pada frekuensi percakapan dan pada frekuensi 4KHz sebesar 18-34,2%. Perburukan terjadi selama tiga bulan pertama pada frekuensi per-cakapan sebesar rata-rata 5 dB dan pada frekuensi 4KHz sebesar 3 dB. Tuli sensorineural yang terjadi bersifat progresif dan biasanya akan terjadi pada bulan pertama sampai 1 tahun pasca radiasi.9

Sementara itu, Somefun dkk10 juga melaporkan pada

40 pasien (80 telinga) yang mendapatkan terapi radiasi tanpa kemoterapi dengan kisaran umur 4-79 tahun, pemeriksaan pendengaran preradiasi dilaporkan pada 62 telinga (77,5%) dengan ambang normal, 8 telinga (10%) dengan tuli sensorineural ringan dan 5 telinga (6,25%) dengan tuli konduktif ringan sedang. Kemu-dian setelah 6 bulan pasca radiasi didapatkan 64 te-linga (80%) dengan pendengaran normal, 11 tete-linga (13,8%) dengan tuli sensorineural ringan dan 2 telinga (2,5%) dengan tuli campur.

PATOFISIOLOGI TULI AKIBAT PEMBERIAN CISPLATIN

Patofisiologi ototoksik cisplatin adalah multifaktor. Pe-nelitian yang dilakukan pada binatang menunjukkan penurunan fungsi pendengaran disebabkan oleh ada-nya radikal bebas dan hambatan antioksidan. Ini me-nyebabkan terjadinya perubahan pada stria vaskularis, organ Corti dan sel-sel ganglion spiral. Kerusakan pa-da stria terutama terjadi papa-da sel marginal pa-dan sel-sel intermediate. Perubahan sel-sel-sel-sel tersebut be-rupa mengecilnya ukuran sel-sel yang akan menye-babkan penipisan stria. Pada pemberian cisplatin do-sis tinggi akan menyebabkan degenerasi sel-sel ram-but yang secara histopatologi menunjukkan ruptur sel-sel mar-ginal dan atrofi stria. Hilangnya sel-sel rambut luar terutama terjadi pada bagian basal. Sel-sel rambut dalam juga mengalami kerusakan dan degenerasi bila 3 baris sel-sel rambut luar telah berdegenerasi. Di samping itu, dosis tinggi cisplatin akan menimbulkan kerusakan lokal pada sel-sel penunjang lainnya.11

Cisplatin pada dosis rendah akan menyebabkan

ke-rusakan terutama pada stereosilia sel-sel rambut di organ Corti.

Efek ototoksik cisplatin akan terjadi akut yaitu 3-4 hari pasca pemberian cisplatin dengan karakteristik tuli sensorineural pada frekuensi tinggi, ireversibel, bila-teral dan simetris. Dengan pemberian dosis kumu-latif yang tinggi akan menimbulkan gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang lebih berat dan akan menimbulkan pula progresifitas gangguan pendengar-an pada frekuensi rendah. Hal tersebut di atas tergpendengar-an- tergan-tung pada dosis pemberian cisplatin.12,13 Gratton dan

Smyth11 juga menyampaikan karakteristik ototoksik

cisplatin antara lain tinitus, tuli sensorineural pada fre-kuensi tinggi, adanya progresifitas penurunan pada frekuensi rendah, bersifat bilateral dan permanen, hal tersebut akan terjadi pada dosis kumulatif lebih dari 200 mg.

Jongh dkk sebagaimana dikutip oleh Gratton dan Smyth11 mengungkapkan pada penelitiannya tahun

1990-2001 terdapat 42% dari 400 pasien yang menda-patkan dosis tinggi cisplatin (75-85 mg/m2 dengan dosis kumulatif 400 mg) mengalami gejala ototoksik menyimpulkan bahwa dosis ototoksik yang akan menimbulkan tuli sensorineural adalah >600 mg/m2. Pemeriksaan audiometri harus dilakukan sebagai deteksi dini gejala ototoksik. Menurut Fausti dkk12

fre-kuensi yang biasa diperiksa adalah 5 frefre-kuensi di atas 8000 Hz. Perubahan pada hantaran udara diklasi-fikasikan dalam tuli konduktif dan perubahan hantaran tulang diklasifikasikan pada tuli sensorineural. Selain itu, timpanometri dan refleks akustik juga dapat mem-bantu untuk menentukan tipe gangguan pendengaran yang terjadi.8

Chen et.al14 meyebutkan bahwa hantaran udara

fre-kuensi tinggi biasa digunakan untuk mendeteksi dini adanya gejala ototoksik. Tetapi bila terdapat otitis me-dia yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba Eustachius maka biasanya akan didapatkan tuli campur atau tuli konduktif. Maka hantaran udara tidak digunakan lagi untuk menilai adanya kerusakan sen-sorineural koklea dan yang digunakan adalah hantaran tulang yang lebih tidak berefek akibat gangguan telinga tengah.

(3)

American Speech and Hearing Association (ASHA)

memberikan beberapa kriteria tanda ototoksik antara lain yaitu setiap penurunan 20 dB atau lebih di satu frekuensi atau penurunan 10 dB pada dua frekuensi yang berdekatan atau penurunan respon pada 3 frekuensi yang berdekatan serta perubahan yang konstan pada 2 kali pemeriksaan yang dilakukan berkala.15

PATOFISIOLOGI TULI AKIBAT KEMOTERAPI

Tiga prinsip terapi radiasi adalah menimbulkan hipok-sia, hipovaskularisasi dan hiposeluler tumor sinar X dan sinar gamma dapat menimbulkan kerusakan bio-logi secara tak langsung. Dengan elektron yang berge-rak cepat dan sinar-sinar tersebut mengeluarkan ener-gi akan menimbulkan kerusakan sel sampai kematian sel. Sinar radiasi yang menggunakan neutron dan pro-ton memerlukan tenaga yang kuat untuk menggerak-kannya. Proton memiliki kelebihan menimbulkan hi-poksia pada tumor secara tepat dan tetap tidak meru-sak jaringan sekitarnya dan organ-organ penting. Berdasarkan data tentang sensitifitas telinga dalam terhadap radiasi sampai saat ini masih diperdebat-kan. Dosis radiasi 30 Gy merupakan dosis yang di-rekomendasikan untuk mempertahankan fungsi te-linga. Sedangkan dosis radiasi yang biasa diberikan adalah 70 Gy yang akan menyebabkan gangguan peendengaran.16,17

Daerah target radiasi pada karsinoma nasofaring ada-lah suatu daerah yang terdiri dari beberapa struktur kulit, mukosa, subkutaneus, otot, tulang, gigi, kelenjar ludah, telinga, mata, aksis endokrin, saraf-saraf,

spi-nal cord dan otak. Efek samping terjadi cukup sering

dan tidak dapat dihindari, antara lain eritema kutaneus, mukositis dan xerostomia.9 Tan dkk2 membagi

kompli-kasi akibat terapi radiasi atas komplikompli-kasi akut dan komplikasi lanjut, yang akan mengakibatkan kondisi yang progresif dan bersifat irreversibel karena terapi radiasi menimbulkan kerusakan jaringan sampai ter-jadinya osteoradionekrosis.

Aplikasi radiasi terhadap tulang temporal akan menye-babkan perubahan-perubahan patologis pada telinga

luar, telinga tengah, telinga dalam dan susunan saraf pusat. Pada keadaan lanjut, radiasi dapat menimbul-kan endarteritis obliteratif yang mengakibatmenimbul-kan berku-rangnya vaskularisasi jaringan dan mengganggu pro-ses penyembuhan.4-6

Gangguan tuli konduktif terjadi akibat adanya otitis media setelah radioterapi. Ionisasi radiasi akan nyebabkan gangguan pada tuba Eustachius, otitis me-dia efusi atau otitis meme-dia kronis, hal tersebut di atas bersifat sementara. Pada pemeriksaan histopatologis didapatkan gambaran mukosa yang edema akibat ra-diasi yang mempengaruhi patensi tuba Eustachius dan menyebabkan akumulasi produksi cairan di telinga te-ngah. Seperti dikutip oleh Sataloff dan Rosen (1962), Borsanyi dan Blanchard melaporkan 14 pasien yang menerima radiasi sebesar 4000-6000 Rad di daerah telinga mendapatkan adanya gambaran audiogram berupa penurunan di frekuensi 2 dan 4 KHz. Gejala rekruitmen juga terjadi selama fase pengobatan tetapi kemudian dapat kembali normal secara spontan. Te-tapi pada laporan tersebut tidak dilakukan pemerik-saan audiogram untuk selanjutnya. Hipotesa terdapat-nya gejala rekruitmen selama radiasi diakibatkan vas-kulitis sementara pada stria vaskularis dan arachnoid mesh di daerah perilimfatik. Kerusakan pembuluh da-rah karena edema dan degenerasi kolagen akhirnya mengganggu fungsi koklea, labirin dan tulang-tulang pendengaran, sedangkan perubahan pada tulang tem-poral akan terjadi dalam waktu lama.6

Gangguan tuli sensorineural terjadi akibat radiasi langsung pada batang otak atau hanya proses endar-tritis obliteratif. Radiasi akan menganggu proses mito-sis sel dan menimbulkan perubahan pada pembuluh darah, walaupun hanya sementara biasanya vaskulitis bersifat progresif dan mengawali terjadinya hambatan pada pembuluh darah yang memperdarahi koklea. Pada akhirnya terjadi degenerasi koklea pada organ Corti, seperti pada sel-sel rambut, stria vaskularis, ganglion spiral dan neuron-neuron koklea. Hal tersebut didukung dengan pemeriksaan histologis, didapatkan gambaran perubahan anatomi antara lain nekrosis pada tulang-tulang pendengaran, kerusakan pada organ Corti atau sel-sel rambut luar, degenerasi stria vaskularis, dan

(4)

osteoradionekrosis pada tulang temporal.8,6 Wang et.al18

mengemukakan bahwa insiden tuli sensorineural pasca radioterapi adalah bervariasi terhadap organ-organ dan tergantung jumlah radiasi yang diberikan yang dipengaruhi oleh reaksi jaringan yang terkena radiasi, mutasi genetik dan induksi dari kanker.

Radiasi menimbulkan eksitasi molekul dan me-lepaskan ion-ion dan radikal bebas yang mampu mem-pengaruhi aktivitas enzim. Gangguan pendengaran terjadi akibat efek kumulatif radiasi atau tingginya pa-paran radiasi yang diberikan.10,12 Schuknect dan

Kar-mody sejak tahun 1965, seperti yang dikutip oleh Men-cher dkk melaporkan perubahan jaringan lunak akibat radiasi yaitu peradangan daun telinga, liang telinga, dan mukosa membran telinga tengah, atrofi pada or-gan Corti, destruksi sel-sel rambut dan atrofi membran basilaris dan spiral ligamen serta atrofi pada stria vas-kularis. Apabila sinar radiasi yang diberikan terserap baik oleh tulang maka efek samping yang akan terjadi biasanya lama, tetapi hal ini akan menyebabkan kematian osteofit, peningkatan pembentukan tulang baru dan hilangnya substansi sumsum tulang. Kejadian nekrosis pada struktur telinga luar dan te-ngah termasuk tulang-tulang pendengaran bukanlah suatu yang biasa terjadi. Hal ini diakibatkan karena fokus dan dosis radiasi yang diberikan sangat berva-riasi maka tidak ada suatu pengertian yang mendefi-nisikan besarnya gangguan pendengaran yang ter-jadi.12 Tuli sensorineural akan terjadi pada awal 3 bulan

pertama pasca radiasi yaitu adanya perburukan am-bang dengar akibat kekakuan membran timpani dan tulang-tulang pendengaran. Liberman dkk8 mengutip

bahwa terdapat beberapa penelitian yang telah me-nunjukkan adanya tuli sensorineural setelah radiote-rapi yang mempunyai masa laten 12 hari lebih. Se-dangkan tuli konduktif pasca terapi radiasi akan mun-cul pada awal terapi radiasi. Ho dkk seperti dikutip oleh Adunka dan Buchman melaporkan pasien karsi-noma nasofaring yang menerima radiasi kemudian dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, dida-patkan hasil adanya tuli sensorineural yang terjadi

lambat.19 Begitu pula Akmansu dkk yang melakukan

pemeriksaan otoacoustic emission (OAE) pada bina-tang percobaan yang menggambarkan adanya

ke-rusakan fungsi sel-sel rambut akibat radiasi.12,20

Penelitian yang dilakukan Wang et.al18 melaporkan

bahwa pemeriksaan audiometri dibagi menjadi dua bagian, yakni frekuensi percakapan dan frekuensi 4 KHz pada hantaran tulang. Setelah ditindaklanjuti di-peroleh informasi bahwa frekuensi 4 KHz menjadi memburuk dibandingkan frekuensi percakapan dan perubahan tersebut akan terus meningkat setelah tiga bulan. Dengan demikian, dalam beberapa kasus karsi-noma nasofaring yang mendapat terapi kemoradiasi akan menimbulkan tuli sensorineural yang lebih berat dibandingkan pada pemberian terapi radiasi saja.20 PENCEGAHAN DAN DETEKSI DINI

Pencegahan dan deteksi dini perubahan yang ter-jadi akibat komplikasi terapi radiasi perlu diketahui se-hingga dapat dilakukan penanganan lebih lanjut. Un-tuk daerah telinga luar diperlukan pencegahan dan deteksi dini karena perubahan penting akibat radiasi, yaitu berupa tanda-tanda iritasi kulit, sehingga diperlu-kan tatalaksana yang benar pada saat dilakudiperlu-kan pem-bersihan telinga dan otoskopi. Keluhan yang menetap antara lain nyeri tellinga dan otore biasanya menunjuk-kan adanya osteoradionekrosis tulang temporal yang merupakan komplikasi serius pasca radioterapi. Hao Sheng-Po dkk26 melaporkan gejala dan tanda

osteo-radionekrosis pada liang telinga luar, antara lain krusta, otore, otalgia, gangguan pendengaran, bau sekret yang tidak sedap dan fistula preaurikula. Osteora-dionekrosis dapat terjadi bila dosis radiasi sebesar 60 Gy, seperti dikutip oleh Adunka dan Buchman, kom-plikasi osteoradionekrosis tulang temporal berupa otitis me-dia, paresis fasialis dan tuli sensorineural masih bisa terjadi. 25

Adanya penurunan ambang dengar sebesar 10 dB ti-dak akan memengaruhi kehidupan pasien kecuali per-ubahan tersebut sebesar sama dengan atau lebih dari 30 dB, karena akan mengakibatkan gangguan komu-nikasi yang memerlukan suatu rehabilitasi pendengar-an.13 Gangguan pendengaran yang terjadi dapat

bersi-fat ireversibel dan menyebabkan tuli total. Bila hal ter-sebut sudah terjadi, dapat dipertimbangkan dilakukan implan koklea atau implan batang otak.23

(5)

KESIMPULAN

Modalitas kemoradiasi merupakan kombinasi terapi yang efektif untuk karsinoma nasofaring namun dapat memberikan efek samping, yakni gangguan pende-ngaran baik pada awal terapi maupun pada akhir te-rapi. Tuli sensorineural merupakan jenis ketulian yang lebih sering ditemukan akibat pemberian kemoradiasi dan sering bersifat progresif. Insiden tuli sensorineural pasca radioterapi bervariasi antara 0-50%. Dosis terapi radiasi yang menimbulkan ketulian adalah 60-70 Gy, sedangkan dosis cisplatin sebesar >600 mg/m2. Pemberian cisplatin akan memberikan gambaran tuli sensorineural yang lebih tinggi dibandingkan terapi radiasi saja.

Tuli akibat pemberian kemoradiasi disebabkan oleh nekrosis tulang-tulang pendengaran, destruksi organ corti atau sel-sel rambut luar, degenerasi stria vasku-laris dan osteoradionekrosis. Tuli biasanya pada han-taran frekuensi tinggi karena karena sel-sel rambut luar terletak pada bagian basal dan bertanggung jawab terhadap transduksi suara frekuensi tinggi, sedangkan sel-sel rambut di bagian apeks yang bertanggung ja-wab untuk suara pada frekuensi rendah.

Kerusakan koklea akan dibuktikan dengan pemeriksa-an audiometri nada murni, namun biaspemeriksa-anya bukpemeriksa-an pada periode awal. Deteksi dini dengan pemeriksaan

audio-metry merupakan tindakan penting untuk mengetahui

tuli akibat kemoradiasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Oh Young-Taek et al. Sensorineural hearing loss af-ter concurrent cisplatin and radiation therapy for nasopha-ryngeal carcinoma. Radiotherapy and On-cology 2004;72;p.79-82.

2. Balraj A, Raman R and Rangad F. Effect of radiation on hearing in patient with malignancies of head and neck. Singapore Med J 1992;33;p.481-3.

3. Sataloff RT and Rosen Deborah C. Effect of cranial irradiation on hearing acuity: A review of the literature. The American Journal of Otology 1994; 15 (6);p.772-80.

4. Wee Joseph et al. Randomized trial of radiotherapy versus concurrent chemo-radiotherapy followed by adjuvant chemotherapy in patients with American

Joint Committee on Cancer / International Union Against Cancer Stage II and IV Nasopharyngeal Can-cer of the Endemic Variety. J Clin Oncol 2005;23;p. 6370-6738.

5. Tan LCS, Sitoh YY and Tjia HTL. Radiation-induced neurogical complica-tions of nasopharyngeal carci-noma. Neurol J Southeast Asia 1999;4;p.83-8 6. Yang Ming-Shiang et al. Nasopharyn-geal carcinoma

spreading along the Eustachian tube: the imaging appearance. J Chin Med Assoc 2004;67:p.200-3. 7. Wolden et al. Accelerated concomitant boost

radio-therapy and chemoradio-therapy for advanced nasopha-ryngeal carcinoma spreading along the Eustachian tube: The imaging appearance. J Chin Med Assoc 2004;67:p.200-3.

8. Khademi Bijan et al. Treatment result of nasopha-ryngeal carcinoma: A 15 year single institutional ex-perience. J of Egyptian Nat Cancer Inst 2006;18(2); p. 147-55.

9. Honore Henriette B et al. Sensorineural hearing loss after radiotherapy for naso-pharyngeal carcinoma: Individualized risk estimation. Radiotherapy and Onco-logy 2002(65);p.9-16.

10. Liberman et al. Auditory effects after organ preserva-tion protocol for larynge-al/hypolaryngeal carcinomas. Arch Oto-laryngolog Head Neck Surg 2004;130: p.1265-8.

11. Chua Dennis and Tan Henry. Succesful rehabilita-tion Induced Hearing Loss in Nasopharyngeal Car-cinoma Patient. Ann Acad Med Singapore 2007;36:74-7

12. OA Somefun et al. Post irradiation hearing loss in head / neck patients in Lagos, Nigeria. West African Journal of Radiology 2005;12(1);p.1-7.

13. Wang Ling-Feng et al. Hearing loss o patients with nasopharyngeal carcinoma after chemotherapy and radiation. Kao-hsiung J med Sci 2003;19(4);p.163-9.

14. Austin D F. Anatomi dan embriologi telinga. Dalam: editor staf ahli bagian THT RSCM FKUI, edisi 13: Ballenger JJ Penyakit telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997. Hal: 101-5.

15. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran (tuli). Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 6 editor Prof Dr. Efiaty Arsyad Soepardi Sp.THT(K) dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007. Hal: 22-10.

(6)

16. Wei William I. Nasopharyngeal cancer: current sta-tus of management. Arch Otolaryng. Head Neck Surg 2001;127; 766-9.

17. Ho SL, Fee W E. Malignant Nasopharyngeal Tumor. Department of otolaryn-gology Head and Neck Surgery,Wayne State University, Detroit Medical Cen-tre. Last update: Dec 21, 2007. cited February 5, 2009 from: www.emedi cine.com

18. NCCN. Cancer of Nasopharynx. In Head and Neck Cancer version 1. Clinical Practices Guidelines in Onco-logy, NCCN, 2006.

19. Mencher George T et al. Ototoxicity and irradiation: additional etiologies of hearing loss in adults. J Am Acad Audiol 1995;6:351-7.

20. Gratton MA and Smyth Brendan J. Ototoxicity of plati-num compounds. In: Roland Peter S, Rutka John A, Ototoxicity. Editor BC Denver Inc Hamilton London, 2004: p. 74-60.

21. Chen W illiam C et al. Sensorineural hearing loss in combined modality treatment of nasopharyngeal car-cinoma. Cancer 2006; 106; p. 820-9.

22. Low W ong Kein et al. Sensorineural Hearing Loss After Radiotherapy and Chemotherapy: A single, Blinded, Randomized Study. Journal of Clinical On-cology 2006;24:12;1904-9.

23. Formanek M et al. Cochlear impantation as a suc-cessful rehabilitation for radiation-induced deafness. Eur Arch Oto-rhinolaryngol 1998;255:175-8.

24. Wang Ling-Feng et al. A Long term study on hearing status patient with nasopharyngeal carcinoma after radio-therapy. Otology & Neurootology 2004; 25:p.168-73.

25. Adunka OF and Buchman CA. Cochlear implanta-tion in the irradiated temporal bone. The Journal of Laryngology and otology 2007;121;p.83-6.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Pengaruh Return on Asset (ROA), Debt to Equity Ratio (DER), dan Asset Growth terhadap Dividend Payout Ratio (DPR) Perusahaan Property , Real Estate , dan

1. Evaluasi kebijakan pemilihan Kepala Desa berbasis electronic Voting Menunjukkan 6 indikator yaitu: 1) Efektifitas, Dalam pemilihan kepala desa menggunakan

Selain mengatur tentang harga jual untuk penyediaan tenaga listrik, Kepmen ini juga menetapkan persentase minimal penjualan batu bara untuk kepentingan dalam

Penanganan antar fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c merupakan tindakan rujukan terhadap Korban/Pasien Gawat Darurat dari suatu

perhitungan II didapat 10 (sepuluh) faktor-faktor risiko yang paling berpengaruh karena memiliki frekuensi kejadian sangat sering dan dampak tingkat pengaruh sangat

Huruf kanji yang termasuk ke jenis shookei adalah kanji yang terbentuk dengan menggambarkan atau meniru bentuk dari sebuah benda.. Gambar 2.1 Contoh

Aspek yang kedua adalah material pendukung, material yang digunakan pada pembangunan vernakular biasanya meliputi bahan bahan sederhana yang mudah didapatkan di sekitar

Ia harus mengerjakan PR yang diberikan oleh gurunya pada siang hari, supaya pada malam hari ia bisa kembali mendengarkan cerita nenek tentang kisah Tajul Muluk.. Ia