• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran pola asuh orang tua dalam upaya me

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran pola asuh orang tua dalam upaya me"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Peran pola asuh orang tua dalam upaya mengeliminir tindakan kekerasan melalui

menumbuhkembangkan self regulated learning pada anak

Rahmad Agung Nugraha, S.Psi, M.Si Dosen Progdi BK Universitas Pancasakti Tegal

Abstrak

Dalam proses pendidikan, dapat diketemukan bahwa masih adanya siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Dengan melihat masih adanya siswa yang mengalami kesulitan belajar dan tidak mendapatkan perhatian khusus maka siswa tersebut akan menjadi warga negara yang tidak produktif, menjadi beban sosial, memiliki masalah perilaku dan emosional sehingga terlibat dalam berbagai tindakan kriminal, kekerasan dan berbagai dampak negatif lainnya yang nantinya akan semakin melemahkan daya saing bangsa Indonesia dalam era globalisasi ini. Pola asuh dan gaya pengasuhan orang tua merupakan faktor utama dalam pertumbuhan dan pembelajaran anak-anak Gaya pengasuhan tertentu membantu anak-anak mengembangkan self regulated learning dan mendorong mereka untuk melakukan kontrol atas pembelajaran mereka sendiri. Hubungan antara pola asuh dan keterlibatan siswa dalam self regulated learning banyak membuktikan bahwa pola asuh yang demokratis yang bisa digunakan untuk menangkap variasi normal dalam upaya orang tua untuk mengontrol dan mensosialisasikan anak-anak mereka

Kata kunci : Pola asuh, kekerasan dan self regulated Learning

A. Pendahuluan

Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan upaya mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan

tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami hambatan dalam belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Prestasi belajar yang dicapai siswa pada dasarnya merupakan sinergi dari faktor potensi (Intelegensi dan bakat) dengan faktor kepribadian (motivasi,minat, dan sikap) (Anastasi & Urbina,1997).

Untuk mencapai keterampilan belajar, siswa membutuhkan self regulated learning (SRL) dalam belajar. SRL dibutuhkan siswa agar mengarahkan dirinya sendiri, mandiri dan tanggung jawab peserta didik untuk mengatur sendiri proses belajarnya. Kesuksesan self-regulated learners harus dapat mengenali kebutuhan untuk belajar misalnya, dapat melihat signifikan kesenjangan saat ini atau yang akan datang dalam pengetahuan mereka, membuat pilihan yang bijak dalam kaitannya dengan kebutuhan tentang apa yang harus dipelajari, bagaimana dan ketika belajar , dan dengan siapa dan dari siapa harus belajar, dan memenuhi kebutuhan yang efisien dan terjangkau misalnya, dengan mendapatkan data tentang pengalaman pelajar lain, kemudian menggunakan data tersebut untuk menetapkan dan mencapai tujuan studi mereka sendiri. Selain itu, karena belajar adalah suatu proses dan usaha, self-regulated learners harus mampu mempertahankan motivasi mereka sampai pekerjaan dilakukan.

(2)

kepada siswa yang mengalami berkesulitan belajar.

Dengan melihat masih adanya siswa yang mengalami kesulitan belajar dan tidak mendapatkan perhatian khusus maka siswa tersebut akan menjadi warga negara yang tidak produktif, menjadi beban sosial, memiliki masalah perilaku dan emosional sehingga terlibat dalam berbagai tindakan kriminal dan berbagai dampak negatif lainnya yang nantinya akan semakin melemahkan daya saing bangsa Indonesia dalam era globalisasi ini. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakuakan oleh Berlin dan Sum, dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa yang mengalami kegagalan akademik: sebanyak 69 % pernah ditangkap polisi karena terlibat tindak kriminalitas, sebanyak 79 % pemenuhan kebutuhan hidupnya bergantung pada orang lain, sebanyak 85 % menjadi ibu tanpa menikah, sebanyak 85 % keluar sekolah, dan sebanyak 72 % menjadi pengangguran. (The California Department of Education, 2000;2)

Berdasarkan penelitian Berlin dan Sum diatas, keterlibatan kriminalitas karena siswa tersebut tidak mengetahui secara pasti tujuan dari belajar sehingga melakukan dengan tindakan kekerasan. Banyaknya tawuran yang terjadi ini dikalangan pelajar dan mahasiswa sekarang ini selain ditekankan pendidikan karakter bangsa juga perlunya arah yang jelas tujuan belajarnya. Selain itu pola asuh dan gaya pengasuhan orang tua merupakan faktor utama dalam pertumbuhan dan pembelajaran anak-anak (Steinberg, Elmen, & Mounts, 1989; Pratt, 1988; Xie, 1996). Penelitian di budaya barat secara konsisten telah menunjukkan bahwa pola asuh orang tua atau gaya pengasuhan secara langsung berkaitan dengan prestasi sekolah anak-anak (Dornbusch, Ritter, Leiderman, Roberts, & Fraleigh, 1987; Steinberg, Dornbusch & Brown, 1992 dalam Huang, et.all, 2004 ). Keberhasilan akademis selain tergantung pada guru, serta orang tua yang sangat mendukung (Lowden, 1998), selain kerja keras dari siswa itu sendiri. Gaya pengasuhan tertentu membantu anak-anak mengembangkan self regulated learning dan mendorong mereka untuk melakukan kontrol atas pembelajaran mereka sendiri. Hubungan antara pola asuh dan keterlibatan siswa dalam self regulated learning

banyak membuktikan bahwa pola asuh yang demokratis yang bisa digunakan untuk menangkap variasi normal dalam upaya orang tua untuk mengontrol dan mensosialisasikan anak-anak mereka (Baumrind, 1991 dalam Huang, et.all,2004). Gaya pengasuhan adalah membangun dunia mencerminkan pada emosi keseluruhan dari hubungan orangtua-anak. Dimana gaya pengasuhan menangkap dua unsur penting dari pengasuhan: respon orang tua dan permintaan orangtua (Darling & Steinberg, 1993). Permintaan orangtua mengacu pada "klaim orangtua pada anak-anak untuk menjadi terintegrasi ke seluruh keluarga, dengan tuntutan waktu, pengawasan, upaya disiplin dan kesediaan untuk menghadapi anak yang tidak mentaati" (Baumrind, 1991, hal. 61), sedangkan respon orangtua adalah "sejauh mana orang tua sengaja mendorong individualitas, pengaturan diri, dan penegasan diri dengan menjadi selaras, mendukung, dan sepakat untuk kebutuhan dan tuntutan anak-anak secara ".(Huang, et.all,2004). Dengan melihat Kasus kekerasan terhadap anak yang cenderung meningkat di Indonesia. Dimana sebagian besar atau 70,5%, pelakunya adalah orang di sekitar rumah, hal ini sesusai apa yang dikatakan oleh Menko Kesra Agung Laksono, terkait hasil Rakor Tingkat Menteri mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Sementara itu, data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2012, masalah KTA yang dilaporkan masyarakat ke lembaga itu ada sebanyak 3.871 kasus. Adapun hasil pemantauan KPAI melalui survei cepat terhadap 1.026 siswa SD, SMP, dan SMU di 9 provinsi, menemukan anak sebagai pelaku kekerasan mencapai 78,3%. Selain itu kekerasan anak di masyarakat sebesar 80,2%, dan kekerasan anak di sekolah 87,6%, serta kekerasan anak dalam keluarga tercatat 91%. Menko Kesra mengatakan memang belum ada data kekerasan terhadap anak (KTA), secara nasional yang up to date. "Penyebab KTA ini salah satunya pola asuh orang tua (Inggried Dwi Wedhaswary dalam kompas.com)

B. Gaya Pengasuhan Orang Tua

(3)

boleh menghukum ataupun menjauhkan diri, melainkan, mereka harus mengembangkan peraturan untuk anak-anak dan pada saat yang bersamaan juga bersikap suportif dan mengasuh. Ratusan studi penelitian, termasuk penelitiannya sendiri, mendukung pemikirannya (Collins & Steinberg,2006). Terdapat 4 bentuk utama gaya pengasuhan :

1. Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) Pola asuh otoriter (authoritarian parenting) bersifat membatasi dan menghukum. Orang tua yang otoriter mendesak anak-anak untuk mengikuti perintah mereka dan menghormati mereka. Mereka menempatkan batas dan kendali yang tegas terhadap anak-anak mereka dan mengizinkan sedikit komunikasi verbal.

2. Pola asuh otoritatif (authoritative parenting) Pola asuh otoritatif (authoritative parenting) mendorong anak-anak untuk mandiri, tetapi masih menempatkan batas-batas dan mengendalikan tindakan mereka. Pemberian dan penerimaan verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orang tua bersikap mengasuh dan mendukung.

3. Pola asuh yang mengabaikan (neglectful parenting)

Pola asuh yang mengabaikan (neglectful parenting) adalah gaya pengasuhan di mana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka.

4. Pola asuh yang memanjakan (indulgent parenting)

Pola asuh yang memanjakan (indulgent parenting) adalah gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dengan anak-anak mereka, tetapi hanya menempatkan sedikit batasan atau larangan atas perilaku mereka. Orang tua ini membiarkan anak-anak mereka melakukan apa yang mereka inginkan dan mendapatkan keinginan mereka karena mereka yakin bahwa kombinasi dari pengasuhan yang mendukung dan kurangnya batasan, akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Hasilnya adalah anak-anak ini biasanya tidak belajar untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Orang tua dengan pola asuh yang memanjakan tidak mempertimbangkan perkembangan diri anak secara menyeluruh.

C. Self regulated Learning

Self regulated learning dapat didefinisikan sebagai proses yang aktif-konstruktif di mana siswa mencanangkan tujuan belajarnya dan kemudian berusaha memonitor, meregulasi dan mengontrol kognisi, motivasi, perilaku, dan karakter konteks lingkungan belajar guna mencapai tujuan belajarnya tersebut (Pintrich dalam Montalvo & Torres, 2004; Zimmerman, 1989).

Zimmerman dan Schunk berpendapat bahwa Self Regulated Learning mengacu pada proses dimana siswa secara sistematis mengarahkan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan tindakan-tindakan mereka kepada pencapaian tujuan-tujuan mereka (Schunk, 2012:35). Self Regulated Learning (SRL) menekankan kemandirian dan tanggung jawab peserta didik untuk mengatur sendiri proses belajarnya. Secara umum terminologi ini terangkum dalam sub-sub terminologi dalam Strategi Kognitif, Meta-Kognitif, Motivasi yang koheren yang terkonstruksi dalam “Bagaimana Diri’ menjadi agen untuk menetapkan tujuan dan taktik pembelajaran dan bagaimana setiap individu mempersepsikan diri dan tugas yang mempengaruhi tugas dan menghasilkan kualitas tugas yang baik”.( Scott G. Paris & Alison H. Paris,2001:3)

Secara Detail Self Regulated Learning (SRL) dikembangkan oleh Zimmerman, dalam sebuah Research Spectrum bahwa Self Regulated Learning (SRL) adalah upaya meningkatkan Metakognitif, motivasi dan perilaku partisipasi aktif peserta didik yang juga melibatkan pertanyaan mengenai aturan emosi yang dimiliki oleh peserta didik.

(4)

self regulated learning apabila siswa tersebut memiliki strategi mengaktifkan metakognisi, motivasi, dan tingkah laku dalam proses belajar mereka sendiri (Zimmerman dan Martinez-Ponz, Zimmerman, 1989).

Menurut Zimmerman dan Martinez-Pons (1989:4) siswa yang mampu mengarahkan dirinya saat belajar (Self-regulated learning) dapat dilihat dari cara mereka merencanakan, mengorganisasikan mengarahkan diri sendiri, serta melakukan evaluasi diri pada berbagai tingkatan selama proses perolehan informasi. Siswa yang memiliki self regulated dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki kemampuan (self efficator), memiliki otonomi (autonomous) dan memiliki motivasi dalam diri sendiri (instrinsically motivated)

Zimmerman (1989:4 ) mengemukakan tiga unsur self Regulated learning (SRL), yaitu :

a.

Meta-Cognitive yang meliputi proses pemahaman akan kesadaran dan kewaspadaan diri serta pengetahuan dalam menentukan pendekatan pembelajaran sebagai salah satu cara didalam proses berpikir. Corni et al, 1986 mengemukakan kemampuan metakognisi mendukung proses self-regulated learning (SRL) dengan merencanakan, menetapkan tujuan, memonitor, mengorganisasikan dan mengevaluasi bermacam-macam kegiatan selama proses peningkatan kemampuan (Zimmerman, 1990:5).

b.

Motivationally. Individu yang memiliki motivasi adalah individu yang memiliki fokus terhadap pentingnya usaha luar biasa dan ketekunan dalam belajar. Menurut Borkowski et al 1986, motivasi dalam Self Regulation Learning (SRL) adalah situasi karakteristik yang menunjukkan efficacy yang tinggi, serta sifat diri dan ketertarikan terhadap tugas, adanya persepsi siswa mampu menyelesaikan tugas dan potensi siswa akan mencapai kesuksesan dan berani menghadapi kegagalan (Zimmerman, 1990:5).

c.

Behaviorally active participants. Perilaku partisipasi aktif merupakan respon yang dipengaruhi oleh beberapa proses seperti perilaku yang baik yang ditampilkan pada sebuah lingkungan, perilaku partisipasi

aktif adalah perilaku yang dapat diamati, dapat dilatih dan dikembangkan serta sifatnya adalah interaksi. Proses perilaku dalam self-regulated learning yang dikemukakan oleh Henderson et al, 1986 diantaranya memilih, menyusun dan menciptakan lingkungan untuk belajar. Siswa mencari nasihat, informasi dan tempat yang disukai untuk belajar. Siswa juga melatih kemahiran dan menguatkan pembentukan performa (Zimmerman, 1990:5).

Menurut Albert Bandura (Zimmerman 1989:2) perspektif dari social kognitif memandang self-regulation sebagai proses interaksi dari personal, behavioral dan lingkungan. Perilaku adalah produk dari pengaruh akan proses dalam diri (self-generated) serta sumber dari luar. Diasumsikan terdapat hubungan timbal balik diantara tiga aspek. Self-Regulated Learning tidak semata-mata ditentukan oleh proses personal saja, namun juga dipengaruhi oleh behavioral dan lingkungan secara timbal balik.

Bandura (Zimmerman 1989:3) menegaskan dalam hubungan timbal balik antara diri, perilaku dan lingkungan, masing-masing pengaruh tidak harus memiliki kekuatan atau pola-pola temporal yang sama. Pengaruh lingkungan bisa lebih kuat daripada personal atau behavioral dalam konteks tertentu atau pada waktu tertentu.

a.

Faktor dalam Diri (Personal)

Self-regulated learning pada siswa salah satunya dipengaruhi oleh proses dalam diri yang saling berhubungan. Proses diri atau personal diantaranya, pengetahuan yang dimiliki siswa, proses pengambilan keputusan metakognitif, tujuan akademis dan kondisi afektif. Berikut dijelaskan lebih lanjut.

1)

Pengetahuan yang dimiliki siswa Zimmerman (1989:5) membedakan dua jenis pengetahuan yang saling mempengaruhi dalam self-regulated learning, yaitu:

(5)

dengan kejadian- kejadian di dunia luar, serta tidak dipengaruhi situasi dan kondisi (Zimmerman 1989:5). Informasi yang diterima berupa pengetahuan yang didapat sesuai dengan lingkungan tanpa melalui proses pemikiran lebih lanjut. b) Pengetahuan tentang bagaimana

mengarahkan diri (self-regulative knowledge). Menurut Zimmerman (1989:6) pengetahuan ini

diasumsikan terdiri atas

pengetahuan prosedural dan

pengetahuan kondisional.

Pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu strategi, misalnya untuk mengerjakan suatu tugas seseorang membagi waktu pengerjaannya. Pengetahuan kondisional berarti pengetahuan yang dimiliki mengenai kapan dan mengapa strategi menjadi efektif. Misalnya dengan meneruskan atau memberhentikan strategi yang digunakan.

2)

Proses pengambilan keputusan metakognitif

Berkaitan dengan proses metakognitif, Zimmerman(1989:7) membedakan dua tingkat self-regulation yang saling mempengaruhi, yaitu umum dan khusus. Pada self-regulation tingkat umum, siswa melakukan analisa tugas atau perencanaan melalui proses-proses pengambilan keputusan untuk memilih dan mengganti strategi-strategi yang akan digunakan. Perencanaan diasumsikan berlangsung berdasarkan bentuk tugas dan lingkungan yang dihadapi siswa, tujuan yang akan dicapainya, persepsi tentang kemampuannya, kondisi perasaannya serta hasil dari proses mengendalikan perilakunya (behavioral control) . Pada self- regulation tingkat khusus, siswa melaksanakan rencana yang telah dibuat dengan menerapkan proses pengendalian perilaku. Proses pengendalian perilaku, mengarahkan perhatian, pelaksanaan, ketekunan dan

pengawasan respon-respon yang berupa strategi ataupun non str ategi dalam situasi-situasi khusus. Selanjutnya hasil yang telah diperoleh menjadi umpan balik bagi proses perencanaan.

3)

Tujuan akademis

Tujuan akademis menjadi alasan adanya variasi dalam penggunaan strategi self-regulated learning diantara siswa yang berprestasi tinggi dan rendah. Siswa pada dasarnya memiliki potensi serta alasan yang berbeda untuk berprestasi. Setiap alasan mempengaruhi cara pendekatan, keterlibatan dan respon terhadap situasi akademis. Bandura mengemukakan orang yang mempunyai self efficacy tinggi menetapkan tujuan yang lebih menantang untuk dicapainya (Zimmerman 1989:8).

4)

Kondisi afektif

Afeksi diartikan sebagai bentuk emosi yang dimiliki peserta didik. Bentuk emosi yang dimiliki siswa dapat bersifat menghambat atau memperlancar pencapaian akademis. Misalnya kecemasan, terdapat bukti kecemasan dapat menghalangi proses mengendalikan perilaku (Zimmerman, 1989:8).

b.

Faktor Perilaku (Behavioral)

(6)

tujuannnya. Metode self-observation yang sering digunakan adalah laporan lisan maupun tulisan dan catatan kuantitatif tentang aksi dan reaksi seseorang.

Self-judgement adalah respon siswa yang melibatkan perbandingan sistematis antara hasil yang sudah dicapai dengan suatu hasil standar. Self-judgement membantu meregulasi perilaku melalui proses mediasi kognitif. Proses penilaian bergantung pada empat hal: standar pribadi, performa-performa acuan, nilai aktivitas, dan penyempurnaan performa. Dua cara yang biasa digunakan oleh siswa untuk melakukan self-judgement adalah dengan meneliti kembali dan membandingan hasil yang diperoleh dengan hasil yang diperoleh orang lain atau dengan standar tertentu. Self-reaction adalah respon siswa terhadap hasil yang dicapainya. Individu merespon positif atau negatif perilaku tergantung bagaimana perilaku diukur dan apa standar pribadinya. Berdasarkan teori sosial kognitif, terdapat tiga jenis self-reaction (Zimmerman, 1989:8), yaitu: behavioral self-reaction yang digunakan siswa untuk mengoptimalkan respon belajarnya (misalnya memuji atau mengkritik diri sendiri), personal self- reaction yang digunakan siswa untuk meningkatkan proses-proses dalam dirinya selama belajar (misalnya mengulang materi dan menghapalkan), dan environmental self-reaction yang digunakan siswa untuk meningkatkan atau memperbaiki lingkungan belajarnya (misalnya, menyusun buku sedemikian rupa agar mudah dijangkau).

c.

Faktor Lingkungan (Environmental)

Menurut Zimmerman (1989:9) dua jenis pengaruh lingkungan yang mempengaruhi self-regulated learning adalah pengalaman sosial dan struktur lingkungan belajar. . Keduanya diasumsikan berhubungan secara timbal balik. Penjelasannya sebagai berikut : 1) Pengalaman sosial. Salah satu

pengalaman sosial yang berpengaruh bagi self-regulated learning adalah belajar melalui pengamatan secara langsung terhadap perilaku diri sendiri dan hasil yang diperoleh dari

(7)

Inisiasi lingkungan merupakan salah satu formula yang mendukung keberhasilan self-regulated Learning (SRL).

Zimmerman (1989:11) menekankan untuk dapat dikatakan self-regulated , proses belajar siswa harus melibatkan penggunaan strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan akademisnya. Strategi dalam self-regulated learning mengarah pada tindakan dan proses yang diarahkan pada perolehan informasi atau keterampilan yang melibatkan pengorganisasian (agency), tujuan (purpose) dan persepsi instrumental individu. Agency adalah kemampuan individu untuk memulai dan mengarahkan suatu tindakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.Purpose adalah tujuan yang diharapkan untuk tercapai dari pelaksanaan setiap tindakan yang dapat membantu meraih tujuan. Cara siswa mengarahkan proses belajarnya dapat dilihat dari penggunaan strategi-strategi self- regulated learning dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik yang diberikan kepadanya. Strategi self-regulated learning dapat pula didefinisikan sebagai strategi-strategi spesifik yang digunakan oleh siswa dalam tugas-tugas belajar, untuk melatih pengendalian terhadap proses pembelajaran. Strategi dianggap penting karena dengan melakukan strategi, individu dapat belajar dan meningkatkan performa serta keterampilannya (Zimmerman, 1989:11). Self-Regulated Learning (SRL) atau pengelolaan diri dalam belajar merupakan strategi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam melakukan kegiatan belajar, sehingga diperoleh hasil belajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Zimmerman dan Martinez-pons mengidentifikasi 14 strategi dalam self-regulated learning yang diperoleh dari teori kognitif sosial, didalamnya melibatkan unsur-unsur metakognitif, lingkungan dan motivasi. Setiap

strategi bertujuan meningkatkan regulasi diri siswa pada fungsi personal, behavioral, dan environmental.

D. KESIMPULAN

Pola asuh dan gaya pengasuhan orang tua merupakan faktor utama dalam pertumbuhan dan pembelajaran anak-anak Keberhasilan akademis selain tergantung pada guru, serta orang tua yang sangat mendukung selain kerja keras dari siswa itu sendiri. Gaya pengasuhan tertentu membantu anak-anak mengembangkan self regulated learning dan mendorong mereka untuk melakukan kontrol atas pembelajaran mereka sendiri. Hubungan antara pola asuh dan keterlibatan siswa dalam self regulated learning banyak membuktikan bahwa pola asuh yang demokratis yang bisa digunakan untuk menangkap variasi normal dalam upaya orang tua untuk mengontrol dan mensosialisasikan anak-anak mereka. Gaya pengasuhan adalah membangun dunia mencerminkan pada emosi keseluruhan dari hubungan orangtua-anak. Dimana gaya pengasuhan menangkap dua unsur penting dari pengasuhan: respon orang tua dan permintaan orangtua. Permintaan orangtua mengacu pada "klaim orangtua pada anak-anak untuk menjadi terintegrasi ke seluruh keluarga, dengan tuntutan waktu, pengawasan, upaya disiplin dan kesediaan untuk menghadapi anak yang tidak mentaati", sedangkan respon orangtua adalah "sejauh mana orang tua sengaja mendorong individualitas, pengaturan diri, dan penegasan diri dengan menjadi selaras, mendukung, dan sepakat untuk kebutuhan dan tuntutan anak-anak secara khusus.

(8)

terlibat dalam berbagai tindakan kriminal dan berbagai dampak negatif lainnya yang nantinya akan semakin melemahkan daya saing bangsa Indonesia dalam era globalisasi ini. Gaya pengasuhan tertentu membantu anak-anak mengembangkan self regulated learning dan mendorong mereka untuk melakukan kontrol atas pembelajaran mereka sendiri. Hubungan antara pola asuh dan keterlibatan siswa dalam self regulated learning banyak membuktikan bahwa pola asuh yang demokratis yang bisa digunakan untuk menangkap variasi normal dalam upaya orang tua untuk mengontrol dan mensosialisasikan anak-anak mereka sehingga bisa menumbuhkembangkan self regulated learning anak dan selalu menggunakannya.

REFERENSI

Anastasi, A & Urbina, S.1997. Psychological Testing. Edisi ke-7. PT Prehallindo. Jakarta

Boekaerts, M., Pintrich, P., & Zeidner, M. 2000. Handbook of self regulation. California: Academic Press.

Classroom Management A California Resource Guide for for Teachers and Administrators of Elementary and Secondary Schools,2002. Los Angeles County Office of Education Division of Student Support Services Safe Schools Center, Developed with funding and support from The California Department of Education Safe Schools and Violence Prevention Office

Depdiknas, 2007. Pusat Statistik Pendidikan.

(Diakses melalui

http://www.psp.depdiknas.go.id/index.php ?option=com_wrapper&Itemid=43

Huang, Juan, Prochner, Larry. 2004, Chinese Parenting Styles and Children's Self-Regulated Learning, Journal of Research in Childhood Education sumber Journal of Research in Childhood Education, Spring

Inggried Dwi Wedhaswary, 2010, 25 Juta Anak Indonesia Alami Kekerasan, WWW, KOMPAS.com

Montalvo, F.T. & Torres, M.C.G. 2004. Self Regulated Learning: Current and Future Direction. Electronic Journal of Research in Educational Psychology. 2 (1), 1-34.

Scott W. Vanderstoep and Paul R. Pintrich.1996, Disciplinary Differences in Self-Regulated Learning in College Students, CONTEMPORARY EDUCATIONAL PSYCHOLOGY 21, 345–362 (1996) ARTICLE NO. 0026

Scott G. Paris & Alison H. Paris . 2001 Classroom Applications of Research on Self-Regulated Learning EDUCATIONAL PSYCHOLOGIST, 36(2), 89–101, Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Scott G. Paris and Peter Winograd. The Role of Self –Regulated Learning in contextual teaching: Principles and Practices for Teacher Preaparation, Paris/Winograd CIERA Archive #01–03,

Schunk, D. H. 2012. Learning Theories An Education al Perspective Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan Edisi Keenam Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Zimmerman, B. 1989. A social cognitive view of self-regulated academic learning. Journal of Educational Psychology 81 (September): 329–339. Diakses pada 27 Nopember 2012.

Zimmerman, B., and M. Martinez-Pons. 1988. Construct validation of a strategy model of student self-regulated learning. Journal of Educational Psychology 80 (September): 284–290. Diakses pada 27 Nopember 2012.

(9)

Zimmerman, B. and Schunk, D., ’Self-Regulated Learning and Academic Thought’, Lawrence Erlbaum Associates, Diakses pada 27 Nopember 2012.

Zimmerman, B.J. 2002. Becoming A Self Regulated Learner: An Overview. Theory into Practice. (Diakses melalui www.findarticles.com Diakses pada 27 Nopember 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasihnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan

Tabel V.12 Hubungan antara Adiksi dengan Perilaku Cybersex pada Remaja Di Sekolah Lanjut Tingkat Atas di Kubu Raya

Pilus dan fimbria adalah struktur berbentuk seperti rambut halus yang menonjol dari dinding sel, pilus mirip dengan flagelum tetapi lebih pendek, kaku dan berdiameter lebih kecil

Unuk terciptanya integrasi nasional, perlu adanya suatu jiwa, suatu ass spiritual, suatu solidaritas yang besar yang terbentuk dari perasaan yang timbul sebagai akibat pengorbanan

Filsafat dimulai dengan ragu-ragu akan sesuatu dan rasa ingin tahu akan sesuatu ( kebenaran/kepastian). Pengertian filsafat secara garis besar adalah ilmu yang mendasari suatu

dari lembaga kolektif dalam mengawasi pelaksanaan dan memantau setiap perjanjian lisensi oleh lagu ciptaan yang dilakukan oleh pencipta lagu / pemegang hak cipta

Penderajatan utk NSCLC ditentukan menurut International Staging System For Lung Cancer berdasarkan sistem TNM. Pengertian T tumor yg dikatagorikan atas

Analisis statistik pemberian TDT sebagai bahan substitusi tepung ikan dalam pakan tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan berat harian patin.Pakan uji B