• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL PENERAPAN MODEL CORE DALAM PEMBE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ARTIKEL PENERAPAN MODEL CORE DALAM PEMBE"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN MODEL CORE

DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS SISWA

(Studi Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas XI pada Salah Satu SMA Negeri di Kota Bandung)

Arsinah Rokhaeni 1) Tatang Herman 2) Asep Syarif Hidayat 2)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan eksperimen yang difokuskan pada peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa dengan menerapkan model CORE dalam pembelajaran matematika. Masalah yang melatarbelakangi penelitian ini diantaranya adalah kemampuan koneksi matematis yang masih rendah sehingga diperlukan alternatif pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan koneksi matematis siswa. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan model CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan metode ekspositori serta memperoleh informasi tentang sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model CORE. Penelitian ini menggunakan Pretest and Posttest Control Group Design. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI program IPA di salah satu SMA Negeri di kota Bandung. Indikator kemampuan koneksi matematis yang diukur dalam penelitian ini adalah, mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama, mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur representasi lain yang ekuivalen, menggunakan dan menilai keterkaitan antar topik matematika dan keterkaitan di luar matematika, dan menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Pokok bahasan yang dijadikan sebagai bahan ajar dalam penelitian ini adalah statistika. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan koneksi matematis siswa, angket siswa, lembar observasi, dan jurnal harian siswa. Berdasarkan hasil pengolahan secara statistik, diperoleh kesimpulan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional dan sebagian besar siswa menunjukkan sikap yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model CORE yang telah dilakukan.

Kata kunci: model pembelajaran CORE (Connecting Organizing Reflecting Extending), kemampuan koneksi matematis.

Keterangan: 1) Alumnus Jurusan Pendidikan Matematika UPI

2)

(2)

1. Pendahuluan

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dewasa ini semakin pesat, sehingga memungkinkan diperolehnya informasi yang melimpah dengan cepat dan mudah. Agar dapat bertahan pada keadaan yang selalu berubah

dan kompetitif ini, setiap orang dituntut untuk memiliki kemampuan memperoleh, memilih, dan mengelola informasi, kemampuan untuk dapat berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, dan kemampuan untuk bekerja sama secara efektif. Hal tersebut tercantum dalam standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah pada mata pelajaran matematika tahun 2007. Sikap dan cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran.

Pembelajaran matematika, khususnya di bangku sekolah merupakan proses belajar-mengajar yang di dalamnya memuat unsur mendidik yang sangat kental. Sehingga, ketika siswa sudah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah, siswa diharapkan dapat memiliki dan mengaplikasikan kemampuan dan nilai-nilai matematika dalam kehidupan sehari-hari, baik ketika siswa mengenyam pendidikan di bangku kuliah maupun ketika siswa sudah berada di dunia kerja.

Menurut Suherman, dkk. (2001: 59) salah satu fungsi matematika sekolah adalah sebagai pembentukan pola pikir dan pengembangan penalaran untuk mengatasi berbagai permasalahan, baik masalah dalam mata pelajaran ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Pendapat tersebut senada dengan Coernellius (dalam

Marlina, 2004: 20) yang mengemukukan bahwa, “Tujuan pembelajaran

matematika di sekolah diantaranya adalah untuk memberikan perangkat dan

keterampilan yang perlu untuk penggunaan dalam dunianya, kehidupan

sehari-hari, dan dengan mata pelajaran lain.” Pendapat-pendapat tersebut juga sejalan dengan Davis (dalam Marlina, 2004: 21) yang menyatakan bahwa “Tujuan pembelajaran matematika salah satunya memberikan sumbangan pada permasalahan sains, teknik, filsafat, dan bidang-bidang lainnya.”

(3)

berargumentasi (reasoning); (3) Kemampuan berkomunikasi (communication); (4) Kemampuan membuat koneksi (connection); dan (5) Kemampuan representasi (representation). Kelima hal tersebut oleh NCTM (1999) dikenal dengan istilah standar proses daya matematis (mathematical power process standards), di mana kemampuan-kemampuan ini juga termasuk ke dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi (high-order mathematical thinking).

Salah satu komponen dari berpikir matematis tingkat tinggi (high-order mathematical thinking) adalah koneksi matematis. Menurut House dan Coxford (Darhim, 2008: 9) koneksi matematis merupakan pengaitan antar topik matematika, matematika dengan mata pelajaran lain atau topik lain, serta pengaitan matematika dengan kehidupan. Koneksi matematis bertujuan untuk membantu persepsi siswa dengan cara melihat matematika sebagai bagian yang terintegrasi dengan kehidupan. Tujuan pembelajaran koneksi matematis di sekolah dapat dirumuskan ke dalam tiga bagaian yaitu memperluas wawasan pengetahuan siswa, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri, serta mengenal relevansi dan manfaat matematika dalam konteks dunia nyata.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan secara umum bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi, khususnya kemampuan koneksi matematis, sangat penting dimiliki oleh siswa. Tetapi sayangnya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Programme for International Student Assesment bahwa Indonesia menduduki peringkat 58 dari 65 negara partisipan (PISA, 2009). Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kemampuan siswa dalam menerapkan konsep-konsep matematika ke dalam masalah-masalah yang berkitan (yang dikenal

dengan istilah koneksi matematis) sangat rendah. Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa 69% siswa Indonesia hanya mampu mengenali tema

masalah, tetapi tidak mampu menemukan keterkaitan antara tema masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Keterkaitan yang dimaksud di sini adalah koneksi antara tema masalah dengan segala pengetahuan yang ada.

(4)

rendahnya pemahaman siswa dalam pembelajaran matematika diantaranya karena proses pembelajaran yang belum optimal. Pada proses pembelajaran, umumnya guru hanya sibuk sendiri menjelaskan apa yang telah dipersiapkan sebelumnya, sedangkan siswa hanya sebagai penerima informasi. Akibatnya, siswa hanya mengerjakan apa yang dicontohkan oleh guru, tanpa tahu makna dan pengertian dari apa yang ia kerjakan. Hal tersebut menyebabkan siswa kurang memiliki

kemampuan mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama, mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur representasi lain yang ekuivalen, menggunakan dan menilai keterkitan antar topik matematika dan keterkaitan topik di luar matematika, dan menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Keempat kemampuan tersebut merupakan indikator kemampuan koneksi matematis dalam pembelajaran matematika. Dengan demikian, kemampuan koneksi matematis siswa harus dikembangkan agar kemampuan koneksi matematis siswa dapat meningkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran membuat para praktisi dan peneliti pendidikan untuk mengembangkan teknik pembelajaran. Teknik pembelajaran yang digunakan di lapangan diantaranya kegiatan pembelajaran yang berpusat pada guru dan kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pada kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa, keaktifan siswa dalam pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan daya ingat siswa terhadap materi yang disampaikan. Berdasarkan hasil penelitian, diungkapkan bahwa pada umumnya manusia mampu mengingat 20 % dari apa yang dibaca, 30 % dari apa yang didengar, 40 % dari apa yang dilihat, 50 % dari apa yang dikatakan, 60 % dari apa yang dikerjakan dan 90 %

dari apa yang dilihat, didengar, dikatakan dan dikerjakan (Rose dan Nicholl, 2009: 192).

(5)

perkembangan pengetahuan siswa (Jacob, 2005: 13). Jacob menambahkan bahwa dengan diskusi, siswa dapat mengkoneksikan diri untuk balajar, dapat meningkatkan berpikir berpikir reflektif dan dapat memperluas pengetahuan siswa.

Model CORE merupakan salah satu model pembelajaran dengan metode diskusi. Model CORE mencakup empat proses, yaitu Connecting Organizing

Reflecting Extending (Calfee et. al, dalam Jacob, 2005: 13). Dalam Connecting, siswa diajak untuk dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuannya terdahulu. Organizing membantu siswa untuk dapat mengorganisasikan pengetahuannya. Reflecting, siswa dilatih untuk dapat menjelaskan kembali informasi yang telah mereka dapatkan. Terakhir yaitu Extending atau proses memperluas pengetahuan siswa, salah satunya dengan jalan diskusi.

Model pembelajaran CORE siswa dapat menjembatani siswa untuk mengenali representasi ekuivalen dari konsep yang sama, mengenali hubungan prosedur matematika suatu representasi ke prosedur representasi lain yang ekuivalen, menggunakan dan menilai keterkitan antar topik matematika dan keterkaitan topik di luar matematika, dan menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan koneksi matematis siswa. Oleh karena itu, peneliti tertarik melaksanakan suatu penelitian

dengan judul “Penerapan Model CORE dalam Pembelajaran Matematika untuk

Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa.”

Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa

yang mendapatkan pembelajaran menggunakan model CORE lebih baik dari pada siswa yang mendapat pembelajaran mengunakan model ekspositori.

2. Metode Penelitian

(6)

bertujuan untuk melihat hubungan sebab akibat dan perlakuan yang dilakukan terhadap variabel bebas kemudian dilihat hasilnya pada variabel terikat. Pembelajaran dengan model CORE sebagai variabel bebas dan variabel terikatnya adalah kemampuan koneksi matematis siswa.

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Pretest-Postest-Control Group Design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 6 Bandung dan dipilih sampel secara acak diperoleh kelas XI IPA 5 sebagai kelas kontrol dan kelas XI IPA 4 sebagai kelas eksperimen kemudian kedua kelompok tersebut mendapatkan tes awal dan tes akhir.

Adapun instrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen penelitian yang berbentuk tes adalah tes kemampuan koneksi matematis, sedangkan instrumen penelitian yang berbentuk non-tes adalah angket siswa, lembar observasi, dan jurnal harian siswa.

Pengolahan tes kemampuan berpikir kreatif matematis dilakukan dengan menggunakan uji statistik terhadap kemampuan awal koneksi matematis siswa, kemampuan akhir koneksi matematis siswa, dan indeks gain untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis pada kedua kelas. Data yang diperoleh melalui angket siswa, lembar observasi, dan jurnal harian siswa diolah dan dianalisis untuk mengetahui respons siswa terhadap model pembelajaran CORE.

3. Hasil Penelitian

Hasil rata-rata tes awal untuk kelas eksperimen adalah 31,875; sedangkan rata-rata tes awal untuk kelas kontrol adalah 34,575. Setelah dilakukan uji

normalitas, didapat bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dan untuk kemampuan

(7)

Sig sebesar 0,686. Nilai ini tidak kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas kontrol dan eksperimen memiliki varians yang homogen. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap kesamaan dua rata-rata. Berdasarkan uji kesamaan dua rata-rata diperoleh nilai Sig sebesar 0,262. Nilai ini tidak kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas

kontrol adalah sama.

Langkah pengujian statistik selanjutnya dilakukan terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa, yaitu dengan melakukan pengujian terhadap kemampuan akhir koneksi matematis dan peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa. Peningkatan kemampuan koneksi matematis dalam penelitian ini digambarkan oleh indeks gain kemampuan koneksi matematis yang telah diolah.

Hasil rata-rata tes akhir untuk kelas eksperimen adalah 70,875; sedangkan rata-rata tes akhir untuk kelas kontrol adalah 58,675. Setelah dilakukan uji normalitas, didapat bahwa kemampuan akhir koneksi matematis siswa kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dan untuk kemampuan akhir koneksi matematis siswa kelas eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Karena kelas kontrol dan eksperimen berdistribusi normal, maka disimpulkan bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Langkah pengolahan data selanjutnya adalah menguji homogenitas kedua sampel. Berdasarkan uji homogenitas diperoleh nilai Sig sebesar 0,286. Nilai ini tidak kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan awal koneksi matematis siswa kelas kontrol dan eksperimen

memiliki varians yang homogen. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap perbedaan dua rata-rata. Berdasarkan uji perbedaan dua rata-rata diperoleh nilai

Sig sebesar 0,001. Nilai ini kurang dari 0,05; maka diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan akhir koneksi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah berbeda.

(8)

terdapat perbedaan rata-rata indeks gain pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Setelah dilakukan uji normalitas, didapat bahwa kemampuan akhir koneksi matematis siswa kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dan untuk kemampuan akhir koneksi matematis siswa kelas eksperimen berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Karena salah satu sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal, maka disimpulkan bahwa kemampuan

akhir koneksi matematis siswa berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Langkah pengolahan data selanjutnya adalah menguji perbedaan dua rata-rata non parametrik. Berdasarkan uji kesamaan dua rata-rata-rata-rata diperoleh nilai Sig sebesar 0,000. Nilai ini kurang dari 0,05; sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapatkan model pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang mendapatkan model pembelajaran ekspositori.

Hasil pengolahan data angket, dan pedoman wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memberikan respons baik terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran CORE.

4. Penutup

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada seluruh tahapan penelitian yang dilakukan di kelas XI SMA Negeri 6 Bandung, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang pembelajarannya dengan model pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan model pembelajaran ekspositori dan sebagian besar siswa menunjukkan respons yang baik terhadap pembelajaran matematika dengan

menggunakan model pembelajaran CORE.

Adapun saran bagi yang hendak menerapkan model pembelajaran CORE

(9)

agar waktu yang digunakan saat diskusi kelas lebih efektif; siapkan rencana lain kemudian siapkan pula perlengkapan yang dibutuhkan dalam rencana pembelajaran yang dibuat. Misalkan, jika kita merencanakan menggunakan infokus dalam menyajikan materi pengantar dalam proses pembelajaran, siapkan pula perlengakapan yang dibutuhkan jika mati listrik ataupun perlengkapan tidak dapat digunakan yaitu dengan menggunakan karton sebagai alat bantu visual

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Arini, S. (2010). Penerapan Model Computer-Based Learning dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Baharuddin. dan Wahyuni, E.N. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.

Darhim. (2008). Pembuktian, Penalaran, dan Komunikasi Matematika. Bandung: Tidak diterbitkan.

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Permendiknas tentang Pelaksanaan Standar Isi. Jakarta: depdiknas. [On line] Tersedia: http://palembang.bpk.go.id/web/files/2009/10/Lampiran-Permen-Dik-NAs-No.14-Thn.2007-Standar-Isi-untuk-Program-Paket-A-B-C.pdf. [12 April 2011].

Jacob, C. (2005). Pengembangan Model CORE dalam Pembelajaran Logika dengan Pendekatan Reciprocal Teaching bagi Siswa SMA Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang. Bandung: Laporan Piloting FPMIPA UPI. tidak diterbitkan.

Justicia, M. (2010). Penerapan Model CORE dalam Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Katerampilan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Logis Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Kusumah, Y.S. (2003). Desain dan Pengembangan Bahan Ajar Matematika Interaktif Berbasiskan Teknologi Komputer. Makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan MIPA IMSTEP-JICA. Bandung: FPMIPA UPI.

Kusumah, Y.S. (2008). Konsep, Pengembangan, dan Implementasi Computer-Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan High-Order Mathematical Thinking. Bandung: UPI Press.

Marlina, D. (2004). Pembelajaran Matematika Melalui Penyusunan Peta Konsep Untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMA. Skripsi UPI Bandung: tidak diterbitkan.

(11)

Nurhasanah, L. (2009). Meningkatkan Kompetensi Strategis (Strategic Competence) Siswa SMP Melalui Model PBL (Problem Based Learning). Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.

PISA. (2009). Pisa Country Profiles. [On line]. Tersedia: //www.pisa.oecd.org. [12 April 2011].

Priyatno, D. (2009). 5 Jam Belajar Olah Data dengan SPSS 17. Yogyakarta: Andi.

Rahman, R. (2010). Pengaruh Pembelajaran Berbantuan Geogebra terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif dan Self-concept Siswa. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Rose, C., dkk. Penerjemah: Dedi Ahimsa. (2009). Accelerated Learning for The Century, Cara Belajar Cepat Abad XXI. Bandung: Nuansa.

Ruseffendi, E. T. (1998). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan Bidang Eksakta dan Non Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematika. Tesis UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Setiawan, A. (2008). Implementasi Model Pembelajaran Conceptual Understanding Procedures (CUPs) Sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa. Skripsi UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2011). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

(12)

Suherman, E., dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA UPI.

Suherman, E. (2008). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Hands Out Perkuliahan Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (2003). Berpikir Matematik Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan Pada Siswa SD dan SM dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah Seminar Nasional dan Lokakarya FKIP Unsri. Palembang, 20-21 Agustus 2003.

Sumarmo, U. (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika Pada Siswa Sekolah Menengah. [On line]. Tersedia: http: //www.docstoc.com/docs/62326333/Pembelajaran-Matematika [12 April 2011]

Suzanna, Y. (2003). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Tresnawati, Y. (2006). Penerapan Model CORE dengan pendekatan Keterampilan Metakognitif pada Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Skripsi Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Tusniawati. (2007). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah Terstruktur terhadap Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Uyanto, S. S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yaniawati, R.P. (2001). Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Referensi

Dokumen terkait

digunakan dalam menentukan masing- masing liabilitas manfaat polis masa depan, premi yang belum merupakan pendapatan dan estimasi liabilitas klaim, berdasarkan

Masalah keamanan menjadi bagian penting untuk developer perangkat lunak.Kebutuhan keamanan dalam pengembangan perangkat lunak menghasilkanpenciptaan yang disebut Secure

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, produksi padi di Jawa Barat selama triwulan III-2010 tumbuh melambat, yaitu dari sebesar 6,8% (yoy) menjadi

Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan kadar bilirubin plasma terutama asam taurokholat menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas mukosa yang dapat mendasari

Sedangkan upaya sekolah yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam kegiatan tidak terprogram (kegiatan rutin, kegiatan spontan, kegiatan keteladanan) yaitu; (a)

Akibat hukum terhadap Bank Indonesia atas peralihan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 21

1) Ukuran celah pelolosan yang efektif dan dapat digunakan pada bubu lipat kepiting bakau adalah 50 x 50 mm dan 60 x 36 mm. Celah pelolosan berbentuk persegi

Kajian kualitas perairan pesisir di Kabupaten Subang bertujuan untuk mengetahui kualitas perairan di Kawasan Pesisir Subang dan kelayakannya untuk kegiatan budidaya udang