• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Ekonomi Luar Negeri Indonesia (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebijakan Ekonomi Luar Negeri Indonesia (1)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Kebijakan Ekonomi Luar Negeri Indonesia dan Dampaknya Bagi Perkembangan Ekonomi Indonesia 1950an-1980an

A. Pengantar

Ben Anderson dalam artikelnya “Old State, New Society” mencatat bahwa memasuki tahun 1950an ada tiga dimensi penting yang menjadi kelemahan negara: administrasi, militer dan ekonomi.1 Masalah ekonomi merupakan permasalahan paling serius dalam ketiga aspek

tersebut. Dalam bidang ekonomi situasinya begitu paradoksal, ada semacam optimisme menyambut dasawarsa baru dalam diri para pembuat kebijakan ekonomi untuk mewujudkan suatu ekonomi nasional menggantikan ekonomi kolonial. Namun, pada kenyatannya situasinya begitu sulit karena banyak infrastuktur ekonomi yang rusak akibat perang dan revolusi, utang begitu menumpuk dan terdapat defisit yang besar dalam anggaran.2

Untuk menghadapi berbagai masalah tersebut dirancanglah berbagai konsep kebijakan ekonomi nasional untuk mendapatkan pemasukan dan melaksanakan pembangunan negara. Pada aspek kerangka kebijakan ekonomi nasional ini, kebijakan ekonomi luar negeri merupakan salah satu dimensi penting yang diintegrasikan dengan perekonomian nasional. Dalam melaksanakan kebijakan ekonomi luar negeri terdapat situasi dimana kebijakan tidak bisa dilepaskan dari beberapa aspek, yaitu (1) pengaruh global (2) kuatnya kepentingan asing (3) kondisi sosial-politik. Bila diteliti lebih jauh lagi ketiga aspek ini kenyataannya begitu memengaruhi pengambilan keputusan kebijakan ekonomi sehingga aspek-aspek yang berhubungan dengan pandangan global dan kebijakan luar negeri Indonesia menjadi penting.

Dalam hal ini, artikel ini ingin melihat sejauh manakah kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia – terutama dalam tiga hal: investasi asing, perdagangan ekspor-impor dan bantuan asing – berdampak pada pembangunan ekonomi Indonesia dalam kurun tiga periode pemerintahan. Perubahan-perubahan apakah yang terjadi pada kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia pada tiga periode pemerintahan itu. Apakah kebijakan ekonomi luar negeri dan perubahan-perubahan itu berdampak secara nyata pada pembangunan negara?

B. Diantara Kebimbangan atau Bersikap Netral

Pada periode demokrasi liberal, kebijakan ekonomi Indonesia menurut Thee Kian Wie berkisar pada “kebijakan saling memengaruhi masalah-masalah sosial ekonomi objektif yang menghadapkan negara dan gagasan ekonomi dasar dari para perumus kebijakan ekonomi yang utama”.3 Para aktor kebijakan ini seringkali dibagi menurut asosiasi kepartaiannya,

yaitu Masyumi atau PNI oleh karena dua partai ini berkuasa dan mempunyai pandangan ekonomi yang bertolak belakang. Namun, Benjamin Higgins secara presisional membagi aliran pemikiran ekonomi pada periode ini, menjadi “economics-minded” atau

“development-1 Ben Anderson, “ Old State, New Society : Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective,” The Journal of Asian Studies, Vol.42, No.3, Mei 1963, hlm 482.

2 Howard Dick, “Formation of the Nation State, 1930s-1966,” dalam Howard Dick, Vincent Houben, J. Thomas Lindblad, Thee Kian Wie. The Emerge of a National Economy: An Economic History of Indonesia, 1900-2000

(Crows Nest, NSW 2065, 2002), hlm 170-4.

(2)

minded” dan “history-minded”, yang pertama cenderung pragmatis, kedua cenderung terjebak dalam romantisme sejarah sehingga cenderung idealis dan radikal dalam menyikapi isu-isu ekonomi tertentu.4 Perdebatan sering terjadi dalam dua kelompok pemikiran ekonomi ini

terutama bila menyangkut kebijakan ekonomi mengenai peran negara, pribumisasi, investasi asing, bantuan asing dan nasionalisasi.

Secara sadar pemerintah melihat keadaan ekonomi Indonesia pada awal 1950an mempunyai struktur yang foreign dominated dan privately owned.5 Sektor-sektor penting

ekonomi Indonesia yang menguasai hajat hidup orang Indonesia terlalu didominasi oleh perusahaan asing. Terdapat lima perusahaan Belanda yang sering disebut sebagai big five menguasai dan memonopoli sektor perdagangan dalam negeri dan luar negeri Indonesia. Perusahaan-perusahaan Indonesia tidak bisa menyaingi kekuatan perusahaan-perusahaan asing tersebut karena kekuatan modal mereka yang telah terbentuk sejak masa kolonial. Sumitro Djojohadikusumo yang diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian dibawah Kabinet Natsir lalu berinisiatif untuk melakukan kebijakan untuk mengantisipasi agar lapangan ekonomi Indonesia tidak dikuasai asing sepenuhnya.

Pada tahun 1951, Sumitro meluncurkan kebijakan ekonomi yang dinamakan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Rencana ambisius ini ingin mengkonsolidasikan usaha-usaha industrialisasi dengan jalan mengaitkan kegiatan industri besar dengan industri kecil terutama di pedesaan.6 Industri-industri besar yang berperan selama ini dalam ekonomi kebanyakan

bergerak dalam penyosohan beras, minyak kelapa, perbengkelan dan pertukangan besi, pabrik es serta penenunan tekstil. Dalam RUP Sumitro berinisiatif untuk membangun industri percetakan, karet, semen, pemintalan, ban, perajutan dan karung goni dalam jangka pendek dan proyek peleburan alumunium, proyek soda, proyek peleburan besi, pupuk dan industri pengganti impor untuk proyek industri jangka panjang.7 Dengan berbagai proyek ini, dengan

jujur Sumitro ingin menandingi kekuatan perusahaan-perusahaan asing di Indonesia.

Dalam proyek-proyek industrialisasi besar, Sumitro menekankan bahwa modal asing tidak boleh menguasai. Sumitro mengatakan bahwa “bilamana kita membiarkan proses yang sekarang berlaku di lapangan perniagaan – yaitu kekuatan golongan asing masih selalu diperkuat – maka hal itu akan membahayakan di kemudian hari”.8 Dia juga begitu gelisah

terhadap perdagangan luar negeri Indonesia yang semakin lama semakin didominasi asing. Untuk mereduksi kekuatan perdagangan luar negeri perusahaan asing maka dikeluarkan kebijakan Program Benteng yang merupakan bagian integral dari RUP. Rencana Program

4 Benjamin Higgins. Indonesia’s Economic Stabilization and Development (New York: Institute of Pacific Relations, 1957), hlm 103.

5 Bruce Glassburner, “Economic Policy Making in Indonesia, 1950-7”, Economic Development and Cultural Change, Vol.10, No.2, Jan 1962, hlm 120.

6 Yahya Muhaimin. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1991) hlm 25.

7 Bisuk Siahaan. Industrialisasi di Indonesia, Sejak Utang Kehormatan Sampai Banting Stir (Bandung: Penerbit ITB, 2000), hlm 194-200.

(3)

Benteng, negara berniat untuk mengamankan dominasi pribumi dalam sektor impor dengan mengintervensi langsung dalam hal mengontrol alokasi lisensi impor.9 Agar para importir ini

bisa sedikit demi sedikit mengatasi dominasi perusahaan asing dalam sektor impor. Pemerintah setidaknya beralasan kenapa memilih sektor impor, pertama sektor tersebut hanya membutuhkan investasi yang minim, dapat mencakup jenis banyak barang dan penanganannya membutuhkan kompetensi teknis yang minim saja dibandingkan sektor ekspor yang perlu waktu untuk bisa bersaing dengan perusahaan asing, kedua, perusahaan Belanda yang besar di Indonesia sangat memanfaatkan sektor impor sebelum mereka memperluas berbagai usahanya di berbagai bidang.10 Akibat kebijakan Program Benteng

sekitar 70% perdagangan impor Indonesia dikuasai oleh pengusaha Indonesia pada pertengahan 1950an. Pada tahun 1951 setidaknya 250 pengusaha bergabung dalam program ini, tahun 1952 naik menjadi 741 dan 1.500 pengusaha tahun 1953 dan meningkat drastis menjadi 2.211 pengusaha tahun 1954.11

Terhadap berbagai rencana ambisius pemerintah ini, bukannya tanpa cela sama sekali. Bahkan kritikan datangnya dari ahli kebijakan ekonomi Indonesia yang utama pada periode 1950an selain Sumitro, yaitu Sjafrudin Prawiranegara. Sjafrudin yang secara struktural bersanding dengan Sumitro, bahu membahu membangun perekonomian Indonesia dengan kritis menganggap bahwa pendekatan Sumitro sangat nasionalistis. Sjafrudin mengatakan bahwa rencana RUP tidak jelas karena bagian dari masyarakat Indonesia yang akan menjadi pemeran utama dalam proses industrialisasi ini masih buram. Kritikan terberat khususnya ditunjukkan kepada Program Benteng yang menurutnya hanya terfokus kepada warga negara Indonesia bukan golongan selain pribumi. Program Benteng memang pada kenyataannya hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha Indonesia khususnya banyak dari Sumatera yang menurut Peter Post “telah terbentuk pada masa perang dan terbantu dengan koneksi Jepang”.12

Sjafrudin juga mengkritik tentang ketidakberpihakan pemerintah dengan investasi asing dan bantuan asing. Secara lugas dia berujar “kita boleh mempunyai 1001 macam keberatan terhadap perusahaan asing/investasi asing karena mereka hanya bekerja pada sektor ekspor namun kita harus ingat tidak ada satu negara pun yang membangun ekonominya secara autarkis”.13 Terhadap investasi asing inilah Sjafrudin menaruh harapan bahwa investasi

asing akan memenuhi ukuran (1) modal asing harus membantu pembangunan Indonesia (2) modal asing harus berkontribusi meningkatkan produktivitas.14 Sumitro sebetulnya tidak

antipati terhadap investasi asing namun dia meminta beberapa syarat, yaitu investasi asing tidak boleh memasuki ranah strategis dan mereka harus membawa partisipasi minimum

9 Richard Robison. Indonesia :The Rise of Capital (Sydney : Allen & Unwin, 1987), hlm 44.

10 Yahya Muhaimin. Bisnis dan Politik...., hlm 30.

11 Thee Kian Wie, “Indonesia’s First Affirmative Policy : The “Benteng” Program in the 1950s,” Lembaran Sejarah, Vol.8, No.2, 2005, hlm 40.

12 Peter Post, “The Formation of the Pribumi Business Elite in Indonesia 1930s-1940s”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, No.4, 1996, hlm 611-629.

13 Sjafrudin Prawiranegara, “Herorientasi di Lapangan Pembangunan Ekonomi”, dalam Hadi Soesatro..., hlm 214.

(4)

modal domestik orang Indonesia dan melatih tenaga Indonesia dalam proyek mereka. Akibat terlalu banyak perhitungan inilah banyak investasi asing yang ragu menanamkan investasinya di Indonesia.

Dalam sebuah laporan dari perusahaan AS untuk Indonesia, dilaporkan pada tahun 1952 total investasi asing di Indonesia sebesar 2,240 juta dolar terdiri atas: Belanda 65,6%, AS 15,6%, Inggris 11,7% dan Perancis serta Belgia 4,7%.15 Investasi yang baru dibuka pada

awal tahun 1950an terfokus atas sumber daya minyak yang diminati oleh Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. Periode awal 1950an produksi minyak Indonesia hanya 1,4% dari total produksi dunia. Kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi minyak bumi dengan bekerjasama dengan asing berefek pada meningkatnya hasil produksi dari 6,4 milyar ton tahun 1950 menjadi 10 milyar ton tahun 1953, hasil ini merupakan imbas dari dibukanya ladang baru Caltex di Sumatera Tengah.16 Selain itu pada awal 1950an Standard Vacuum

Company berinvestasi sekitar 70 juta dolar untuk membuka pengeboran baru di Sumatera Tengah dan membuka kembali kilang minyak di Sungai Gerong.

Investasi asing yang barangkali benar-benar dibuka untuk asing adalah minyak. Besarnya pertumbuhan 40% pada GDP antara tahun 1953-7 menurut Van der Eng tidak bisa dilepaskan dari sektor minyak. Rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan pada sektor pertambangan memang cukup besar, tahun 1953-7 sebesar 25,6% sedangkan di sektor manufaktur hanya 13,9%.17 Nilai produksi kotor untuk minyak tanah meningkat dari sekitar

102,6 juta gulden tahun 1950 menjadi 128,4 juta gulden tahun 1952.18 AS sebenarnya telah

memperlihatkan minat yang serius untuk berinvestasi di Indonesia. Demi mendukung pembangunan Indonesia, AS menjanjikan 100 juta dolar dari Bank Ekspor-Impor pada tahun 1950.19 AS juga begitu bergantung kepada ekspor karet disamping ekspor minyak dari

Indonesia. Jumlah ekspor dari Indonesia ke AS selama kurun waktu dua puluh tahun telah meningkat kurang lebih 10% dari kurun waktu 1938-1960.20 Namun, keinginan AS untuk

berinvestasi nampaknya masih mendapatkan kendala dari beberapa pihak yang merasa bahwa AS ingin memonopoli sektor-sektor penting di Indonesia, misalnya karet. Penolakan keras dari golongan kiri atas keinginan untuk memperat hubungan ekonomi dan pertahanan yang ditunjukkan dengan kerjasama Mutual Security Act pada masa Sukiman merupakan bentuk nyata bahwa keterlibatan AS masih dipandang sebagai ancaman. Kebimbangan sikap inilah yang membuat Herb Feith menyatakan bahwa “dalam tiga era kabinet pertama masa demokrasi liberal kebijakan terhadap investasi asing berjalan tidak konsisten”.21

15 Hong Lan Oei,”Implications of Indonesia's New Foreign Investment Policy for Economic Development”,

Indonesia, No. 7, Apr 1969, hlm 42.

16 D.W. Fryer, “Indonesia’s Economic Prospects”, Far Eastern Survey, Vol.23, No.12, Des 1954, hlm 181.

17 Anne Booth, “Pertumbuhan dan Kemandekan dalam Era Pembangunan Bangsa: Penampilan Ekonomi Indonesia dari 1950-1965”, dalam J. Thomas Lindblad (ed). Fondasi Historis..., hlm 489.

18Ibid, hlm 488.

19 Franklin B. Weinsten. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence From Sukarno to Soeharto (Jakarta: Equinox, 2007), hlm 208.

20 Anne Booth. Colonial Legacies, Economic and Social Development in East and Southeast Asia. Univ of Hawai Press, 2007), hlm 117.

(5)

Kebimbangan terhadap keinginan AS untuk berkerjasama di Indonesia, bila dibandingkan dengan negara-negara di regional Asia Tenggara dan Asia Timur jelas memperlihatkan sikap berbeda. Di Korea Selatan, Thailand dan Taiwan dalam kurun waktu 1953-1961 bantuan dari Amerika Serikat mempunyai andil yang besar dalam pemulihan dan pembangunan ekonomi. Terutama di Taiwan, menurut Anne Booth bantuan asing AS dari tahun 1946-1961 memberikan dampak signifikan bagi pemulihan dan pembangunan ekonomi Taiwan, bantuan ini terutama didistribusikan untuk proyek infrastruktur, seperti transportasi dan listrik, rata-rata AS memberikan bantuan sebesar 35,16 juta dolar dalam kurun 1953-1961 yang merupakan bantuan terbesar AS untuk wilayah region Asia.22

Pengaruh situasi global tidak sedikit memberikan perspektif kepada para tokoh pemerintahan Indonesia dalam mengambil keputusan kebijakan. Situasi pada era 1950an adalah dimulainya perebutan hegemoni antara AS dan Soviet untuk menjadi satu-satunya negara adikuasa yang mengontrol jalannya politik dunia. Pada tiga kabinet awal pemerintahan – walaupun ada kecondongan bersahabat dengan Barat – para pemangku kebijakan ekonomi berusaha menjaga perimbangan dengan bersikap netral. Hal ini dapat dilihat pada kasus ditolaknya Soviet yang menawar harga karet Indonesia 10% di bawah harga pasar dunia pada awal tahun 1950an.23 Pada periode 1950an karet beserta minyak dan

kopra merupakan penghasil ekspor terbesar Indonesia. Pemerintah mendorong sektor ekspor karet untuk mendapatkan keuntungan yang besar.

Terjadinya Perang Korea tahun 1950 membuat harga karet di pasar dunia melambung tinggi. Dalam situasi global yang menguntungkan bagi produsen karet Indonesia, kondisi ini direspon dengan peningkatan jumlah ekspor. Mackie berpendapat bahwa terjadi peningkatan tingkat ekspor dari karet rakyat dalam jumlah signifikan dari 146 metrik ton pada 1938 menjadi 579 metrik ton tahun 1951 dan pada perkebunan karet jumlahnya naik dari 157 menjadi 214 metrik ton.24 Jumlah produksi karet rakyat setelah boom Perang Korea hilang

perlahan, secara bertahap turun 477, 395, 496, 477, 429 metrik ton dalam kurun waktu 1952-6.25 Pendapatan yang diperoleh dari ekspor karet pada tahun 1952 sebesar 558 juta gulden

naik hampir 30 juta gulden tahun 1950.26 Secara keseluruhan produksi karet tahun 1952

menguasai 46% total ekspor Indonesia.27 Sedangkan pada tanaman kopra produksi tahun

1952 menghasilkan pendapatan sebesar 133,1 juta gulden, pada tahun 1950 pendapatan hanya 46,4 juta gulden.28

Hasil-hasil ekspor yang mendominasi sebelum perang dan revolusi seperti tembakau, teh dan terutama gula mengalami penurunan akibat kerusakan pada infrastruktur akibat perang. Pemerintah sepertinya kesulitan untuk mengembalikan nilai produksi sama seperti

22 Anne Booth. Colonial Legacies..., hlm 167-8.

23 Franklin B. Weinsten. Indonesian Foreign Policy..., hlm 210.

24 J.A.C Mackie, “The Indonesian Economy 1950-1963”, dalam Bruce Glassburner (ed). The Economy of Indonesia: Selected Reading (Jakarta: Equinox, 2007), hlm 29.

25 Ibid.

26 Anne Booth, “Pertumbuhan dan Kemandekan....”, hlm 488.

27Anne Booth. The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunities (London: Macmillan, 1998), hlm 208.

(6)

saat masa kolonial, pada gula misalnya ekspornya pada tahun 1956 hanya 20% dibandingkan 85% saat masa menjelang perang.29

Implikasi dari boom Perang Korea tidak hanya berakibat positif bagi pemerintah tetapi ada juga efek negatif, yaitu meningkatnya penyelundupan. Penyelundupan karet dari Sumatera ke Penang dan Singapura serta penyelundupan kopra dari Minahasa ke Pulau Mindanao, Filipina telah menjadi hal rutin. Menurut Schmitt, perdagangan ekspor di daerah-daerah kepulauan terluar misalnya di Sumatera Utara begitu kuat selama periode 1950an namun Jakarta begitu sulit untuk mengawasinya.30 Oleh sebab itu, penyelundupan sulit

ditahan di daerah itu sejak awal 1950an.

Lalu, masalah-masalah politik daerah, nasional dan internasional semakin mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia. Meningkatnya pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah, tensi terhadap nasionalisasi dan isu Irian Barat yang semakin panas membuat para pemangku kebijakan menjelang era bergulirnya Demokrasi Terpimpin secara bertahap merubah haluan. Kasus nasionalisasi adalah isu sentral sudah menjadi perdebatan ekonomi semenjak awal tahun 1950an. Dimulai dengan nasionalisasi Javasche Bank yang diambil alih dijadikan sebagai Bank Indonesia pada tahun 1951 yang menurut Lindblad dilakukan karena “negara yang merdeka dan berdaulat harus mempunyai bank sentral yang bersifat nasional”.31 Kebijakan nasionalisasi semakin

“keras” ketika mendapat momentum pada kasus Irian Barat yang pembahasannya menjadi bertele-tele. Isu Irian Barat inilah membuat kelompok-kelompok politik yang tadinya terfragmentasi menjadi bersatu. Rex Mortimer mengatakan bahwa “Soekarno dan sekutu-sekutu nasionalis radikalnya melihat bahwa isu ini sentral bagi “penuntasan revolusi” karena melalui isu inilah kesatuan nasional dan rasa kebanggaan untuk mengatasi masalah dalam negeri bisa diraih”.32

Akhirnya, pengambilalihan seluruh perusahaan Belanda tuntas pada tahun 1959. Beberapa perusahaan asing lain selamat seperti Shell, Heineken Brewery, Unilever dan perusahaan minyak asing lainnya karena menggunakan berbagai strategi. Keberpihakan AS kepada Belanda dalam isu Irian Barat membuat para tokoh Indonesia kecewa terhadap komitmen AS untuk membantu Indonesia. Kekecewaan ini berubah menjadi sikap tidak percaya ketika ditemukan bukti-bukti bahwa AS telibat dalam pendanaan pada kasus PRRI. Soekarno kemudian menjalin kerjasama dengan Soviet yang memberikan bantuan dana militer dan ekonomi yang sampai perang berakhir berjumlah 750 juta dolar.33 Secara tegas

Soekarno mendesak perubahan haluan dalam kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia yang tadinya kebijakan politik pada tiga kabinet pertama 1949-1953 lebih pro Barat menjadi

29 D.W. Fryer, “Economic Aspects of Indonesian Disunity,” Pacific Affairs, Vol. 30, No. 3, Sep 1957, hlm 201.

30 Hans O. Schmitt, “Economic Interest and Indonesian Politics Once Again”, Economic Development and Cultural Change, Vol.12, No.1, Okt 1963, hlm 88.

31 J. Thomas Lindblad, “From Java Bank to Bank Indonesia : A Case Study of Indonesianisasi in Practice,”

Lembaran Sejarah, Vol.8, No.2, 2005, hlm 39.

32 Rex Mortimer. Indonesian Communism Under Sukarno : Ideology and Politics, 1959-1965 (Jakarta: Equniox, 2006) hlm 176.

(7)

menjelang pemerintahan Demokrasi Terpimpin – empat kabinet terakhir – lebih sosialis, nasionalis dan pro Soviet.

C. Dari Kebimbangan Menuju Sentralisme dan Konfrontasi

Kegeraman Soekarno terhadap Demokrasi Parlementer semakin menjadi-jadi setelah pengesahan anggota parlemen baru hasil pemilu demokratis pertama tahun 1955. Pada dasarnya, Soekarno memang tidak terlalu menyukai partai politik. Ketidaksukaannya bertambah ketika orang-orang parpol yang menguasai arena politik nasional hanya saling memperebutkan pengaruh, kekuasaan dan melegitimasi kepentingan partai. Pada akhirnya, kebijakan dalam bidang ekonomi terkena imbas akibat pertarungan gagasan dan kepentingan dari kelompok-kelompok yang mempunyai pengaruh kuat di pemerintahan.

Soekarno merasa bahwa situasi politik dan kebijakan ekonomi Indonesia tidak revolusioner lagi. Ini menyebabkan munculnya empat dualisme, yaitu dualisme antara kepemimpinan pemerintah dan revolusi, dualisme antara masyarakat makmur dan kapitalis, dualisme antara anggapan revolusi sudah selesai dan belum selesai dan dualisme demokrasi untuk rakyat atau sebaliknya.34 Soekarno merasa bahwa revolusi belum selesai dan Indonesia

harus dikembalikan pada jalur rel revolusi. Dalam sebuah pidato kenegaraan berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” Soekarno mengatakan “mulai tahun 1956 dengan tahun ini kita ingin memasuki periode baru, periode revolusi sosial ekonomis untuk mencapi tujuan terakhir dari revolusi kita, yaitu satu masyarakat adil dan makmur, “tata tentram kerta raharja”.35

Pembentukan Demokrasi Terpimpin, menurut Mortimer “meletakkan fondasi yang kuat bagi pembentukan masyarakat sosialis di Indonesia”.36 Terbentuknya masyarakat sosialis

yang kuat mesti didukung tidak hanya dengan sistem politik yang kuat tetapi juga konsep ekonomi berciri kerakyatan. Konsep ekonomi ini lalu dinamakan oleh Soekarno sebagai Ekonomi Terpimpin dalam membangun fondasi “Sosialisme ala Indonesia”. Seorang ekonom pada periode 1960an, Soerjadi, menyatakan Ekonomi Terpimpin sebagai lawan dari Ekonomi Liberal. Selanjutnya dia mendefiniskan Ekonomi Terpimpin sebagai “Ekonomi Berencana” dimana pemerintah merencanakan perekonomian nasional demi kenaikan produksi sebesar-besarnya dan keadilan pendapatan nasional.37 Prinsip-prinsip dari Ekonomi Terpimpin

Soekarno adalah (1) koordinasi dan regulasi oleh negara terhadap semua sektor ekonomi, memastikan integrasi produksi dan investasi untuk tujuan sosial politik Indonesia (2) menghancurkan kapitalisme dan subordinasi modal asing (3) menggantikan export/import colonial dengan self-suffiicient dan industrialised economy.38

34 Herb Feith. Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Jakarta:Sinar Harapan, 1995), hlm 80.

35 Soekarno, “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dalam Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi jilid II(Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1965), hlm 352.

36 Mortimer. Indonesian Communism..., hlm 250.

37 Soerjadi, “Ekonomi Terpimpin” dalam Hadi Soesastro, dkk. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: Ekonomi Terpimpin 1959-1966 (Yogyakarta: Kanisius & ISEI, 2005), hlm 51.

(8)

Program utama dalam ekonomi adalah Rencana Semesta Delapan Tahun yang dirancang oleh Dewan Perancang Nasional dipimpin oleh Moh. Yamin. Para ahli memang mengatakan bahwa Rencana Semesta merupakan plan yang fantastis tetapi tidak realistis. Rencana ekonomi ini dipenuhi dengan simbolisme politik yang bisa dilihat pada rancangan Rencana Semesta Delapan Tahun yang melambangkan proklamasi Indonesia terdiri dari 17 jilid, 8 bagian dan 1945 pasal.39 Plan pembangunan ekonomi dari konsep Rencana Semesta

Delapan Tahun dilaksanakan dalam dua tahap: dalam tiga tahun pertama Indonesia direncanakan telah swasembada pangan, sandang dan kebutuhan pokok lain, pada periode lima tahun berikutnya Indonesia akan berkembang sampai ke tahap lepas landas memasuki era pertumbuhan berkelanjutan mandiri.40 Dalam mewujudkan maksud itu, diadakan dua

rencana besar, yaitu proyek A dan proyek B. Proyek A mempunyai rencana terdiri dari 355 proyek kecil, yang meliputi delapan bidang yang memerlukan pembiayaan sebesar Rp.240.000 juta. Tujuan dari 355 proyek ini untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat meliputi pembangunan pertahanan dan keamanan. Sedangkan proyek B merupakan perencanaan pinjaman asing yang digunakan membiayai proyek A.

Sepanjang periode Ekonomi Terpimpin, kebijakan ekonomi diarahkan kepada pembentukan industri nasional dalam kerangka state-owned capital.41 Perusahaan-perusahaan

negara diberi otoritas yang besar untuk mengontrol ekonomi negara dalam pembangunan ekonomi. Keadaan ini seperti yang dikatakan Eric Hobsbawm merupakan karakteristik dari negara yang baru terbebas dari penjajahan dan mempunyai ambisi besar ingin melakukan transisi dari model pedesaan ke model industrial sistematis, entah itu mengikuti sentralisme Soviet atau subtitusi impor.42 Model sentralisasi ekonomi seperti yang diberlakukan di

beberapa negara komunis dipilih oleh Soekarno karena dengan sistem ini imperialisme asing yang ingin mengontrol ekonomi negara-negara eks kolonial tidak bisa berkuasa. Dalam perspektif kebijakan ekonomi luar negeri pun terjadi perubahan haluan kebijakan dari sebelumnya pragmatis menjadi condong ke negara-negara komunis. Ketertarikan Soviet untuk berkoalisi dengan Indonesia dimulai kembali tahun 1952, Soviet menjalin kerjasama dengan Indonesia lewat dukungan kepada Kabinet Wilopo dan tahun 1954 keduanya mulai bertukar duta besar dengan Jakarta serta tahun 1956 dengan Kamboja dan Laos. Soviet hanya memberikan bantuan luar negeri terbatas ke beberapa negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Myanmar, Kamboja dan Vietnam karena negara tersebut mempunyai massa komunis yang besar.43

Dalam proyek pembangunan industri pada program Rencana Semesta, Indonesia menjalin kerjasama dengan negara-negara komunis untuk membangun industri-industri besar. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Soviet memberikan kredit bantuan kepada proyek industri-industri, seperti industri besi baja Cilegon dan Kalimantan, industri pupuk di Cilacap, industri

39 Herb Feith. Soekarno-Militer dalam Demokrasi..., hlm 100.

40 Yahya Muhaimin. Bisnis dan Politik..., hlm 44. Lihat juga Sarbini, “Pengerahan Modal dalam Pembinaan Masyarakat Sosialis Indonesia”, dalam Hadi Soesastro,dkk. Pemikiran dan Permasalahan..., hlm 88-93.

41 Richard Robison. Indonesia: The Rise of Capital..., hlm 80.

42 Eric Hobsbawm. The Age of Extremes: The Short Twentieth Century 1914-1991 (London: Abacus, 1995), hlm 350.

(9)

aluminium di Sumatera Utara, industri soda di Padang dan Tuban serta industri belerang di Telaga Bodas, Jawa Barat. Dari Polandia, Indonesia menerima bantuan untuk pembangunan industri perkapalan di Bitung dan Gresik, galangan kapal di Makassar dan Padang, Semen di Sumatera Utara serta dari Cekoslovakia proyek semen tonasa di Sulawesi Selatan. Total kredit asing dalam megaproyek ini mencapai ratusan juta dolar, dengan persentase paling besar dari Soviet yang memberikan pinjaman 250 juta dolar.44

Pada periode ini negara-negara komunis total memberikan bantuan pinjaman sebesar 1,4 milyar dolar dan negara-negara Barat total memberikan 587 juta dolar dari jumlah total bantuan pinjaman 2,3 milyar dolar. Rinciannya Soviet memberikan 990 juta dolar, Polandia dan Yugoslavia 100 juta dolar dan 115 juta dolar dan AS memberikan 179 juta dolar serta Jerman Barat dan Perancis sebesar 122 dan 115 juta dolar.45

Keinginan untuk mengikis ketergantungan terhadap negara-negara Barat semakin besar ketika masalah Irian Barat semakin panas memasuki tahun 1960an. Situasi global yang bergejolak akibat Perang Dingin, yang menurut Fukuyama adalah perebutan hegemoni antara demokrasi liberal dan kapitalisme melawan komunisme, membawa perubahan pada kebijakan luar negeri Indonesia menjadi konfrontatif dan militan. Soekarno yang dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu ideologi marxis, situasi politik Indonesia dan dunia serta karakter psikologis dari Soekarno yang revolusioner,46 merasa bahwa Indonesia bersama dengan negara-negara Asia

dan Afrika yang baru merdeka serta negara sosialis-komunis harus melawan dominasi dari negara-negara Barat kolonialis dan imperialis yang tergabung dalam “the Old Established Forces”. Menariknya, dalam hal ini Soekarno menganggap bahwa dirinyalah pemimpin besar Asia yang mesti bergerak mewujudkan suatu keadaan dunia baru yang lebih adil.

Terhadap masalah politik Irian Barat, sikap militan Soekarno ini ditunjukkan dengan tidak hanya konfrontasi secara politik tetapi juga militer. Selama melakukan kampanye Irian Barat, Soekarno beranggapan bahwa penambahan kekuatan militer harus dilakukan agar negara-negara Barat merasa segan untuk melakukan intervensi. Pada Januari 1961, Soviet memberikan bantuan dana sebesar 450 juta dolar untuk membeli peralatan perang seperti pesawat jet pembom, tank dan roket. Kennedy yang agak gusar dengan sikap yang diperlihatkan Indonesia mengambil langkah baru dengan bersikap lunak terhadap Indonesia. Kennedy berjanji akan menyelesaikan masalah Irian Barat secara damai dan akan menaikkan bantuan luar negeri AS ke Indonesia. Perubahan sikap AS ini menimbulkan angin segar di kalangan diplomat dan ekonom Indonesia yang merasa bahwa kebijakan Soekarno terlalu mementingkan aspek politik daripada mengurusi hal ekonomi. Mereka berharap ketika masalah Irian Barat selesai, Soekarno bisa mengurus masalah pembangunan ekonomi Indonesia yang tersendat.

Inflasi yang terjadi selama kampanye Irian Barat telah menembus angka 100%. Situasi ekonomi Indonesia yang terpuruk ini membuat Djuanda berpikir untuk melakukan kerjasama dengan AS dan IMF karena mereka menyediakan bantuan dana untuk

44 Bisuk Siahaan. Industrialisasi di Indonesia..., hlm 399.

45 Franklin B. Weinstein. Indonesian Foreign Policy..., hlm 369.

(10)

merehabilitasi ekonomi. Pada Mei 1963 peraturan yang cukup liberal diperkenalkan sesuai dengan haluan IMF dan Barat berupa penghapusan pajak ekspor, pengendalian harga dan subsidi, revisi ke atas dan penyerdehanaan nilai tukar, pemotongan anggaran, pemanfaatan cadangan devisa untuk industri.47 IMF dan AS dengan hal ini akan memberikan bantuan

sebesar 300-350 juta dolar dalam bentuk bantuan dan pinjaman dana asing. Tapi, tekanan politik begitu kuat terutama dari PKI yang merasa bahwa Indonesia telah menerima klausul dari negara-negara kolonialis yang hanya ingin menguntungan dirinya sendiri. Resistensi yang begitu besar membuat kebijakan ini berjalan tidak jelas apalagi ditambah dengan konfrontasi dengan Malaysia yang mengembalikan posisi Indonesia kembali semula. Namun, Harold Crouch berpendapat bahwa alasan Soekarno untuk memilih konfrontasi daripada rehabilitasi sangatlah kompleks “di satu pihak kebutuhan akan bantuan asing untuk membiayai stabilisasi ekonomi menghambatnya untuk melakukan konfrontasi, di lain pihak faktor-faktor dalam negeri menyebabkan proses itu semakin cepat”.48

Pada dasarnya Soekarno merasa bahwa pembentukan Malaysia merupakan bentuk neo-kolonialisme Inggris dan Malaysia untuk mengepung Indonesia. Soekarno lalu memutuskan hubungan dagang antara Indonesia dan Malaysia yang berimplikasi pada turunnya secara drastis nilai perdagangan kedua negara. Sebelum konfrontasi nilai ekspor Indonesia ke Malaysia kurang lebih 30,2% dari seluruh nilai ekspor, terdiri atas Singapura 21,4%, Penang dan Semenanjung Malaaka 8,8%, tahun 1962 nilai ekspor Indonesia ke Malaysia mencapai 9,3 milyar dolar dan tahun 1964 hanya 128 milyar dolar atau 0,4% dari nilai seluruh ekspor.49 Dalam investasi asing, tahun 1965 pemerintah mengambil sikap untuk

mengambil semua aset perusahaan Barat yang masih beroperasi seperti AS, Jerman, Belgia, Swiss, Australia di bawah pemerintahan dengan dalih proteksi terhadap serikat buruh.

Sebelumnya, di bawah tekanan anti Barat hanya ada dua kepentingan asing yang masih mendapatkan pengecualian dari pemerintah, yaitu kerjasama dengan Jepang dan perusahaan minyak AS.50 Indonesia dan Jepang berhasil melakukan perbaikan hubungan

dengan menandatangi pakta kerjasama untuk memberikan pembayaran ganti rugi sebesar 223 juta dolar untuk 12 tahun, 400 juta dolar untuk bantuan asing dan 176 juta dolar untuk kredit perdagangan. Sebaliknya dalam sektor minyak, produksi di Indonesia walaupun tidak sebesar produksi di negara-negara Timur Tengah tetap strategis karena kebutuhan AS akan minyak begitu besar. Produksi Stanvac pada tahun 1959 mencapai 4.602.000 metrik ton, Caltex di ladang Minas dan Duri untuk tahun 1958 memproduksi sebanyak 7.318.000 metrik ton dan produksi ini meningkat menjadi 11.534.000 metrik ton tahun 1964 atau 52 persen dari produksi Indonesia.51 Sejak pemerintah bersikap konfrontatif terhadap perusahaan asing,

industri minyak asing agak terancam. Pemerintahan Kennedy sampai mengambil intervensi melalui kerjasama production-sharing pada tiga perusahaan, yaitu Stanvac, Caltex dan Shell dengan bagi hasil 60-40 untuk Indonesia setelah melalui proses yang berliku-liku.52

47 Bradley Simpson. Economists with Guns..., hlm 147.

48 Harold Crouch. The Army and Politics in Indonesia (Singapura: Equinox, 2007), hlm 58.

49 Bisuk Siahaan. Industrialisasi di Indonesia...., hlm 411.

50 Howard Dick, “Formation of Nation State....”, hlm 118.

51 Alex Hunter, “The Indonesian Oil Industry”, dalam Bruce Glassburner (ed). The Economy of Indonesia..., hlm 278.

(11)

Secara keseluruhan pengaruh global dan kepentingan asing serta kondisi politik dalam negeri, yang dalam banyak hal mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia, berdampak serius pada kondisi pembangunan ekonomi Indonesia. Biaya pemulihan hasil dari pemberontakan DI/TII dan PRRI/PERMESTA menelan biaya 35% dari anggaran pemerintah tahun 1961. Akibat politik konfrontatif Irian Barat dan Malaysia anggaran yang tersedot untuk membiayai perjuangan tersebut sangat besar. Proyek-proyek besar kerjasama dengan negara komunis banyak yang menemui hambatan dan gagal. Dalam kondisi yang terus memburuk ini Soekarno seharusnya memperhatikan kondisi pembangunan ekonomi Indonesia namun sekali lagi Soekarno lebih tertarik pada permasalahan “nilai-nilai” daripada ekonomi. Saat pidato di Kairo tahun 1964 Soekarno mengatakan “penghapusan pengaruh Barat pada politik, ekonomi dan budaya harus dilakukan sebelum pembangunan ekonomi”.53Ambisi politik yang besar tidak diikuti dengan kapasitas ekonomi yang memadai.

Pengeluaran pemerintah yang lebih besar dari penerimaan pemerintah menyebabkan inflasi yang tinggi. Pada tahun 1962 penerimaan Indonesia berjumlah Rp 74 milyar sedangkan pengeluaran Rp 122 milyar, tahun 1963 penerimaan berjumlah Rp 162,1 milyar sedangkan pengeluaran Rp 285,5 milyar, parahnya pada tahun 1964 jumlah penerimaan bertambah menjadi Rp 283,38 milyar tapi pengeluaran begitu jauh Rp 681,328 milyar dan puncaknya pada tahun 1965 penerimaan sebesar Rp 923,4 milyar namun pengeluaran mencapai Rp 2.224 milyar defisit sekitar Rp 1.320 milyar.54 Demi menekan inflasi yang

tinggi pemerintah hanya mengeluarkan solusi mencetak uang.

Kondisi inflasi yang tinggi, mencapai 600% pada tahun 1966, ditambah keadaan alat produksi ekspor serta kekurangan bahan impor menyebabkan kemunduran pada sektor ekspor. Radius Prawiro memberikan perbandingan kemunduran ekspor Indonesia antara tahun 1953 dan 1964. Pada karet perkebunan hanya menghasilkan 72% dari hasil tahun 1953, teh dalam tahun 1964 berkurang hasilnya sebesar 27%, kopra berkurang dengan 58% dan hasil-hasil hutan sebesar 20%.55 Dalam sektor pertambangan hasilnya lebih buruk lagi, ekspor

batubara berkurang 97%, biji mangan sebesar 62% dan biji timah putih 61%.56

Keseluruhannya ekspor Indonesia tahun 1964 hanyalah 74% dari hasil yang dicapai pada tahun 1953. Sektor yang agak stabil mungkin ada pada minyak bumi dimana pada tahun 1960 total ekspor mencapai 280 juta dolar, tahun 1962 sebesar 241 juta dolar dan menurun pada tahun 1964 sebesar 206 juta dolar. Rata-rata pertumbuhan GDP tahunan periode 1958-67 menurut Bank Dunia hanya 1,7% mengalami penurunan drastis dari periode 1950-7 yang tingkat pertumbuhan rata-ratanya sebesar 5,4%.57

D. Mengupayakan Rehabilitasi, Membuka Keran Liberalisasi

Peristiwa Gerakan 30 September membuat konstelasi politik Indonesia berbalik seratus delapan puluh derajat. Soekarno yang menguasai pemerintahan, PKI yang menguasai

53 Fred Bunnel, “Guided Democracy Foreign...”, hlm 43.

54 Radius Prawiro, “Perkembangan Moneter Hingga Permulaan 1966”, dalam Hadi Soesastro, dkk. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi..., hlm 193.

55Ibid, hlm 199

56Ibid.

(12)

massa, perlahan mulai disingkirkan oleh militer – menguasai senjata – dalam ranah kekuasaan. Militer dengan sigap mengambil peran untuk mengamankan situasi keamanan di masyarakat. Penumpasan elemen-elemen komunis di daerah tidak terelakkan. Di perkotaan, demonstrasi untuk membubarkan PKI dan menurunkan Soekarno semakin nyaring. Soeharto mengambil momentum untuk menjadi shadow leader dan akhirnya ditasbihkan menjadi pemimpin baru Indonesia, titik ini menandakan bahwa militer adalah pemenang dalam gesekan konflik panjang dengan komunis yang telah berlangsung sejak masa revolusi.

Fokus utama pemerintahan baru bukan hanya masalah stabilisasi politik, namun yang tidak kalah pentingnya rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi. Inflasi telah melewati batas kewajaran, defisit anggaran begitu besar dan utang juga menumpuk mencapai 2,3 milyar dolar dimana 60% merupakan utang ke negara komunis (40% hanya untuk Soviet).58

Harga-harga yang melambung tinggi serta produksi barang-barang dalam negeri yang menurun membuat kondisi masyarakat menjadi limbung. Melihat kondisi Indonesia yang tanpa harapan, komentar pesimis datang dari para sarjana Barat. Benjamin Higgins mengatakan bahwa Indonesia sebagai chronic dropout sedangkan Gunnar Myrdal berpendapat bahwa ekonomi Indonesia sejak 1966 sangat kecil prospeknya untuk berkembang pesat.59

Untuk menghadapi situasi yang sedang kritis, militer mengadakan berbagai pertemuan untuk mendiskusikan masalah ekonomi politik. Salah satunya yang terkenal adalah Seminar Angkatan Darat Kedua Agustus 1966 di Bandung yang mengundang para ekonom UI yang baru pulang dari luar negeri. Pada seminar ini Widjojo Nitisastro mengusulkan perencanaan ekonomi, yaitu negoisasi kesediaan Barat untuk menjadwal ulang utang, memperoleh bantuan luar negeri untuk impor pangan, mengurangi inflasi dengan mengendalikan uang beredar dan liberalisasi foreign exchange untuk merangsang perdagangan.60 Dalam berbagai analisisnya

tentang ekonomi Indonesia, Widjojo selalu menekankan bahwa pengelolaan ekonomi tidak bisa dikerjakan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip ekonomi rasional.61 Soeharto yang

terkesan dengan pandangan-pandangan Widjojo dan tim ekonom UI kemudian memasukkan mereka ke dalam tim penasihat ekonomi. Mulai dari sinilah terjalin relasi yang disebut oleh R.S. Milne sebagai kolaborasi “teknorat-militer” dalam membangun dan memodernisasi ekonomi Indonesia.62

Dalam lima tahun pertama para teknokrat mengeluarkan dua kebijakan penting untuk menstabilkan ekonomi, pertama anggaran berimbang dan pembukaan investasi asing.63

Berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki pengeluaran pemerintah, alokasi pengeluaran diperketat termasuk kebutuhan militer serta anggaran dibuat berimbang setiap tahunnya.

58 Hong Lan Oei,”Implications of Indonesia's....”, hlm 88.

59 Hal Hill, “The Economy”, dalam Hal Hill (ed). Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-economic Transformation (Allen & Unwin, 1994), hlm 54.

60 R. William Liddle, “The Relative Autonomy of Third World Politician: Soeharto and Economic Development in Comparative Perspective”, International Studies Quarterly, Vol.35, No.4, Des 1941, hlm 412-413.

61 Widjojo Nitisastro, “Menyusun Kembali Sendi-Sendi Ekonomi Indonesia dengan Prinsip-Prinsip Ekonomi”, dalam Widjojo Nitisastro. Pengalaman Pembangunan Indonesia (Jakarta: Kompas, 2010), hlm 43-53.

62 R.S. Milne, “Technocrats and Politics in the ASEAN Countries”, Pacific Affairs, Vol.55, No.3, 1982, hlm 412.

(13)

Hasilnya inflasi turun secara drastis pada akhir tahun 1967 sebesar 100% dan tahun 1970 hanya sebesar 9%. Pada kebijakan ekonomi luar negeri dimulailah suatu periode yang baru dimana terjadi perubahan kebijakan dari, meminjam istilah Hla Myint, inward looking menjadi outward looking.64 Tidak seperti pemerintahan sebelumnya yang begitu menutup diri

dengan pihak Barat, pada kebijakan outward looking perekonomian dibuka lebar-lebar kepada pihak Barat dengan cara liberalisasi investasi asing, kerjasama perdagangan dan bantuan asing. Respon Barat begitu antusias terhadap perubahan kebijakan Indonesia karena merasa bahwa perubahan menjadi liberalis daripada sosialis dalam hal ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip Barat. Selain itu Barat merasa senang karena kekuatan komunis di Indonesia dibabat habis secara cepat.

Indonesia secara sadar dalam situasi saat ini, mereka tidak bisa membangun perekonomian tanpa bantuan dari pihak Barat. Elemen pembangunan ekonomi dalam kebijakan luar negeri semestinya “dilakukan dengan mengamankan bantuan luar negeri demi kepentingan ekonomi”.65 Maka lobi dengan negara-negara Barat mulai dilakukan kembali

untuk memberikan pinjaman dan bantuan dana serta menginvestasikan modalnya di Indonesia. Pertemuan dengan negara-negara Barat mulai dilakukan di Tokyo pada September dan di Paris bulan Desember, selain membahas penjadwalan utang terdapat permintaan untuk membantu pembangunan ekonomi Indonesia dengan bantuan dana bunga rendah. Pada awal tahun 1967 terbentuklah konsorsium lingkaran Barat seperti AS, Jepang, Perancis, Belanda, Inggris dan negara Barat lain yang mendapat masukan dari IMF dan Bank Dunia, bernama Inter-Governmental Group for Indonesia (IGGI) untuk memberikan donor kepada pembangunan ekonomi Indonesia. Dalam sebuah pertemuan di Amsterdam bulan November disepakati pinjaman sebesar 200 juta dolar, kemudian untuk tahun 1968 Indonesia meminta 325 juta dolar bantuan kepada IGGI.66

Dalam membangun kebijakan ekonomi Indonesia yang lebih rasional diadakan dua tahap kebijakan ekonomi luar negeri yang dianggap sebagai titik tolak perubahan orientasi ekonomi Indonesia. Pertama, regulasi Oktober 1966 yang berusaha menyederhanakan sistem perdagangan luar negeri. Menurut Arndt “para eksportir bebas menjual hasil penerimaan valuta asing mereka di pasar bebas lalu keseluruhan kurs berganda direduksi menjadi dua, yaitu tarif BE (Bonus Ekspor) bagi impor barang utama dan DP (Devisa Pelengkap) untuk barang kurang penting dan pemindahan modal”.67 Kedua, adalah UU Penanaman Modal

Asing (PMA) No.1/1967 untuk mengatur investasi asing di Indonesia. UU PMA ini bersifat liberal karena mengandung poin-poin, seperti (1) jaminan tidak akan ada nasionalisasi aset perusahaan asing, bilapun ada akan diberi kompensasi yang sesuai (2) jangka waktu operasi perusahaan asing adalah 30 tahun (3) pembebasan bea masuk dan pajak pada waktu tertentu (4) perusahaan asing bisa memilih manajemen dan pekerja teknis serta mereka bisa

64 Anne Booth. Colonial Legacies...., hlm 173. Awalnya Hla Myint menyimpulkan kebijakan ekonomi negara Asia Tenggara pada tahun 1950an dalam dua tipe yaitu inward looking dan outward looking negara-negara yang termasuk dalam kategori pertama adalah Myanmar dan Indonesia dan kategori kedua adalah Thailand, Malaysia, Filipina.

65 Rizal Sukma, “The Evolution of Indonesia’s Foreign Policy: An Indonesian View”, Asian Survey, Vol.35, No.3, Mar 1995, hlm 312.

66 Guy Pauker, “Indonesia: The Age of Reason?”, Asian Survey, Vol.8, No.2, Feb 1968, hlm 140.

(14)

membawa keuntungan modal dengan bebas.68 UU PMA ini lalu diikuti dengan UU

Penanaman Modal Dalam Negeri untuk menarik investasi pengusaha dalam negeri dan bersifat lebih proteksionis.

Senapas dengan UU PMA pemerintah Indonesia telah mengembalikan aset beberapa perusahaan asing besar kepada pemilik aslinya, seperti Unilever dan Goodyear. Bank-bank luar negeri dari AS kemudian beroperasi di Indonesia, seperti First National City Bank dan Bank of America. Proyek investasi baru terbesar yang masuk adalah Freeport Indonesia, cabang dari Freeport Sulphur Company. Freeport mengidentifikasi laporan geolog Belanda tentang penemuan sebuah lokasi tambang tembaga dan emas. Sebelum Orde Baru lahir, Freeport sulit untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, setelah Orde Baru menjalankan roda pemerintahan, Freeport berhasil menginvestasikan dana sampai 75 juta dolar untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi tambang Erstsberg.69 Salah satu investasi asing terbesar

di Indonesia pada dekade pertengahan 1960an.

Investasi asing langsung di Indonesia pada tahun 1968 jumlahnya memang masih kecil yaitu 3 juta dolar AS (menurut harga 1975).70 Hong Lan Oei mencatat bahwa sampai

September 1968 jumlah aplikasi investasi asing yang disetujui sebanyak 84 dengan total nilai 342,13 juta dolar.71 AS menanamkan investasi yang paling besar sampai 114, 6 juta dolar,

dimana pembagiannya: tambang satu investasi, yaitu freeport, manufaktur tujuh investasi sebesar 25, 1 juta dolar dan industri telekomunikasi dan publik sebesar 11,5 juta dolar untuk tiga investasi. Pada sektor perhutanan, investasi terbesar ditanamkan oleh perusahaan Korea Selatan, Korea Development Company yang berinvestasi sebesar 48,5 juta dolar untuk bisa mengekspor kayu-kayu di Indonesia.72 Investasi asing terus meningkat seiring semakin

stabilnya kondisi perekonomian dan politik Indonesia. Situasi ini sesuai dengan cita-cita dari konsep perjuangan militer pada awal Orde Baru, reformulasi dari Tri Ubaya Cakti yang mensinergikan antara doktrin keamanan dan doktrin pembangunan.73

Pada kenyataannya, jumlah investasi langsung di Indonesia naik seratus kali lipat dari tahun 1968 dimana total investasi asing langsung berjumlah 302 juta dolar tahun 1972. Jumlah kenaikan ini secara fantastis bertahap dari naik hanya 52 juta dolar tahun 1969, tahun 1970 jumlahnya telah 130 juta dolar dan 1971 sebesar 210 juta dolar.74 Investasi asing dari

data yang disetujui pada tahun 1967-1973 mempunyai nilai sebesar 2,8 milyar dolar, lokasi terbesar dari investasi asing ini berlokasi di Jawa dengan nilai 1.277 milyar dolar (492 proyek) – Jakarta sendiri 706,5 juta dolar (333 proyek), dan terbesar kedua dan ketiga berlokasi di Papua dan Kalimantan sebesar 439,2 juta dolar (10 proyek) dan 411, 5 juta dolar (57 proyek).75 Dari total proyek ini investasi pada pertambangan nilainya begitu besar 860, 5

juta dolar padahal hanya mengalokasikan 19 proyek. Jumlah negara yang menginvestasikan

68 Rizal Mallarangeng. Mendobrak Sentralisme Ekonomi, Indonesia 1986-1992 (Jakarta: Gramedia & Freedom Institute, 2008), hlm 53.

69 Guy Pauker, “Indonesia: The Age of Reason...”, hlm 141.

70 Hal Hill. Investasi Asing...., hlm 51.

71 Hong Lan Oei, “Implication of Indonesia’s....”, hlm 51

72Ibid, hlm 52.

73 Geoffrey C. Gunn, “Ideology and the Concept of Government in Indonesian New Order”, Asian Survey, Vol.19, No.8, Agu 1979, hlm 754.

(15)

dananya paling banyak berasal dari AS dan Kanada dengan jumlah total sebanyak 959, 6 dolar dengan proyek berjumlah 118 kedua adalah Jepang berjumlah 623,4 juta dolar sebanyak 149 proyek.76

Tidak kalah pentingnya peran bantuan ekonomi untuk membantu rehabilitasi dan menstabilkan ekonomi Indonesia pada periode 1966-1970. Bantuan dalam rangka program bantuan pembangunan masih dominan sampai tahun 1972, setelah itu bantuan proyek yang lebih dominan. Hal Hill berpendapat bahwa bantuan luar negeri penting dalam membuat situasi yang kondusif bagi kebijakan dan membangun akses ke pasar modal internasional.77

Weinstein lain lagi mengatakan bahwa kebijakan untuk memilih strategi bantuan asing karena militer dan teknokrat mampu melumpuhkan persaingan politis, namun tetap rawan terhadap kritikan atas kebijakan ini.78 Total bantuan luar negeri pada tahun 1966-68 berjumlah 687 juta

dolar serta tahun 1969 dan 1970 sebesar 534 dan 571 juta dolar. Jumlah penyumbang terbanyak adalah AS sebesar 814 juta dolar.

Ekonomi Indonesia menjelang tahun 1970an sudah pulih dari krisis. Kebijakan ekonomi luar negeri Orba banyak berperan penting dalam mengembalikan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan GDP tumbuh rata-rata 5,0% dalam kurun 1965-70. Di bidang pertanian pertumbuhan tahunan rata-rata 3,2% naik dari 1,4% pada periode 1960-5, sedangkan pada bidang industri dan jasa pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 4,8% dan 5,3% naik dari sekitar 1,7% dan 3,0% dari periode 1960-5.79

E. Pertumbuhan dan Tantangan

Menjelang tahun 1970, pemerintah merancang sebuah rencana pembangunan lima tahun. Tujuan dari rencana pembangunan ini adalah membangun sarana dengan bantuan asing, meningkatkan produksi pangan khususnya beras dan perluasan produksi dengan bantuan luar negeri terutama pada sektor pertambangan dan manufaktur. Kebijakan untuk meningkatkan produksi beras ternyata berhasil dengan penerapan teknologi dalam pertanian. Pertumbuhan produksi beras meningkat sebesar 4,5% dalam kurun 1969 dan 1973.80 Namun,

pertumbuhan produksi beras antara tahun 1973-7 cenderung menurun bila dibandingkan kurun 1969-73.

Ditengah tren pertumbuhan ekonomi positif, pemerintah diuntungkan dengan kenaikan harga minyak pada tahun 1973/1974. Kenaikan ini merupakan efek dari konflik Arab-Israel yang telah berlangsung sejak akhir 1960an. Pada November 1973 Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) menyetujui untuk menaikkan harga minyak empat

75 J. Panglaykim. Indonesia’s Economy and Business Relation with ASEAN and Japan (Jakarta: CSIS, 1977), hlm 160.

76 Franklin B. Weinstein. Indonesian Foreign Policy..., hlm 371. Data ini sama dengan yang dipakai J. Panglaykim dan para peneliti lain. Weinstein mengambil dari Bulletin of Indonesian Economic Studies yang asalnya berasal dari BKPM, Indonesia.

77 Hal Hill. Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm 115.

78 Franklin B. Wenstein. Indonesian Foreign Policy

79 H.W. Arndt (ed). Pembangunan dan Pemerataan: Indonesia di Masa Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm 3.

80 L.A. Mears dan S. Moeljono, “Kebijaksanaan Pangan”, dalam Anne Booth dan Peter McCawley (eds).

(16)

kali lipat. Harga minyak mentah Indonesia segera terkatrol dari 2,93 dolar per barel pada April 1972 menjadi 3,70 dolar di bulan April 1973 dan naik drastis menjadi 12,60 dolar per barel pada Juli 1974.81 Produksi minyak di Indonesia memang terus naik akibat efek dari

pembukaan investasi asing. Dari tahun 1970-4 jumlah investasi untuk pengeksplorasian minyak meningkat 700 juta dolar. Total produksi minyak di Indonesia pada tahun 1969 hanya 742.000 barel per hari, jumlah ini melonjak 1.081.000 barel per hari tahun 1972 dan naik lagi menjadi 1.375.000 barel per hari tahun 1974.82 Jumlah produksi pada tahun 1974

persentasenya merupakan 2,4% dari total produksi dunia.

Dampak dari naiknya harga minyak, ekspor dari minyak makin mendominasi sektor ekspor Indonesia dan penerimaan pemerintah naik berkali-lipat. Ekspor minyak hanya menyumbang 17% dari total ekspor tahun 1969 dan tahun 1975 minyak menyumbang 47% total ekspor Indonesia. Sebagai perbandingan tahun 1974 ekspor kayu di Indonesia hanya 10% dan karet hanya 6,7% dari total ekspor.83 Pendapatan pemerintah dari minyak pada saat

permulaan tahun 1970 hanya sebesar 345 juta dolar, saat harga minyak sedang berada pada titik tertinggi tahun 1974 penerimaan pemerintah dari minyak naik secara fantastis menjadi 1,754 milyar dolar.84 Uang dari minyak ini lalu digunakan untuk rencana pembangunan

ekonomi kedua yang awalnya fokus untuk tujuan ekonomi lalu diubah menjadi tujuan sosial.85 Pemerintah menaikkan gaji pegawai negara sebesar tiga kali lipat. Pembangunan

sekolah-sekolah diperbanyak dan penambahan jumlah guru-guru dilakukan. Duit dari minyak juga digunakan untuk membiayai proyek pembangunan infrastuktur pemerintah di desa-desa.

Situasi positif lain terjadi pada skala global, ekonomi Indonesia tumbuh paling pesat diantara negara-negara Asia Tenggara dalam kurun waktu 1970an. Dari negara yang hampir bangkrut pada pertengahan 1960an, pendapatan ekspor Indonesia tahun 1974 telah mengalahkan ekspor Malaysia dan Singapura. Pada waktu harga minyak meledak nilai ekspor Malaysia 4,409 milyar dolar sedangkan negara tetangganya Singapura jumlah nilai ekspornya sebesar 6,128 milyar dolar, masih kalah dengan Indonesia yang saat itu mempunyai nilai ekspor sampai 7,361 milyar dolar.86 Perdagangan antara negara-negara ASEAN ini banyak

dilakukan dengan mitra-mitra Barat mereka terutama, AS dan Jepang. Kasus Indonesia, nilai perdagangan dengan kedua negara ini terus melonjak dalam periode 1970-3. Ekspor Indonesia pada tahun 1970 ke Jepang hanya 297 juta dolar melonjak hingga 1,707 milyar dolar tahun 1973 di saat yang sama, ekspor ke AS dari 111 juta dolar melonjak menjadi 465 juta dolar AS.87 Sebaliknya dalam impor, ketergantungan Indonesia akan Jepang begitu

tinggi. Impor pemerintah dari Jepang tahun 1973 sebesar 800 juta dolar sedangkan dari AS sebesar 513 juta dolar.88

81 H.W. Arndt, “Oil and the Indonesian Economy”, Southeast Asian Affairs, 1983, hlm 138.

82Ibid.

83 J. Pangklaykim. Indonesia’s Economic and Business...., hlm 322.

84 H.W. Arndt, “Oil and the Indonesian ...”, hlm 140.

85 H.W. Arndt. Pembangunan Ekonomi..., hlm 136.

86 J. Panglaykim. Indonesia’s Economic and Business, hlm 321.

87 Franklin B. Weinstein. Indonesian Foreign...., hlm 370

(17)

Rezeki melimpah dari minyak tidak selalu mendatangkan untung bagi pemerintah. Inflasi akibat bonanza minyak merupakan dampak serius yang mesti ditanggulangi. Dalam pemerintahan, korupsi semakin rakus menggerogoti birokrasi negara. Birokrasi yang terbentuk pada masa Orba dianalisis oleh Karl D. Jackson merupakan konsekuensi dari bureaucratic authority, yaitu birokrasi pemerintahan yang mempunyai struktur patron-client.89 Pengaruh keunikan kebudayaan Jawa selalu mendapatkan perhatian lebih oleh para

Indonesianis dalam menganalisis struktur kekuasaan Orba. Menurut mereka latar belakang budaya Jawa memberikan pengaruh besar dalam struktur kekuasaan Orba. Salah satu analisis penting dilukiskan Harold Crouch yang memandang bahwa struktur kekuasaan politik Orba dibentuk atas pola patrimonialisme politik precolonial Javanese empires.90

Masalah yang paling menyita energi pemerintah dari kecolongan memanfaatkan bonanza minyak adalah kasus Pertamina dibawah Ibnu Sutowo. Tidak bisa dipungkiri bonanza minyak membuat Pertamina menjadi lembaga negara yang paling basah dan menjadi sumber dana penting bagi pemerintah. Ibnu Sutowo mengira bahwa kenaikan harga minyak akan berlangsung lama sehingga dia menambah unit bisnis Pertamina dengan bersandar pada pinjaman jangka pendek luar negeri. Ternyata semuanya meleset, Pertamina mesti membayar utang-utang jangka pendek yang berjumlah besar. Akhirnya pemerintah mengambil alih membayar utang-utang Pertamina dengan dua cara: melalui pendapatan devisa dan pinjaman bank-bank luar negeri.

Selain kesembronoan Pertamina, pemerintah dihadapkan pada situasi politik dalam negeri yang bergejolak dimana terjadi kritik bertubi-tubi mengenai liberalisasi ekonomi. Para pengkritik ini adalah tokoh-tokoh penting Indonesia, seperti Moh. Hatta, Soedjatmoko, Sarbini dan Mochtar Loebis yang menjadi pedoman kelompok aktivis, seperti Sjahrir, Kwik Kian Gie, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Marsillam Simandjuntak dan Mari’e Muhammad. Walaupun mereka tidak membentuk jaringan, lontaran gagasan mereka sering membuat kuping panas para teknokrat yang semakin mendapatkan posisi strategis di pemerintahan dengan memegang kursi menteri. Kritikan-kritikan yang semakin keras mencapai puncaknya saat kunjungan PM Jepang Tanaka tahun 1974. Beredar kabar aktivis dan mahasiswa menuding investasi asing khususnya modal Jepang terlalu mendominasi perekonomian Indonesia. Gelombang protes berubah menjadi anarkisme yang tidak terkendali berupa aksi kekerasan, pembakaran dan pembunuhan.

Soeharto menganggap peristiwa Malari merupakan sinyal bahwa kekuasaan politiknya sedang digoyang. Pasca persitiwa Malari, pemerintah mengambil sikap untuk mengubah kebijakan ekonomi dari liberalis menjadi sentralistis. Perubahan paradigma membawa konsekuensi arus investasi asing yang masuk dibatasi, jumlah bank asing diperketat, kredit-kredit dibatasi sedangkan usaha pribumi diberikan prioritas lewat berbagai program. Widjojo dan para teknokrat bagaimanapun harus menyesuaikan pilihan kebijakan yang diambil pemerintah. Menurut Sadli, “Widjojo menganggap kebijakan sentralistis

89 Baca Karl D. Jackson, “Bureaucratic Polity: A Theoretical Frame-work for the Analysis of Power and Communications in Indonesia”, dalam Karl D. Jackson and Lucian W. Pye (eds). Political Power and Communication in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1978).

(18)

bukanlah pilihan yang negatif apabila kebijakan ekonomi dirancang dengan rasional dan hati-hati”.91 Faktanya, kebijakan sentralistis tidak berlangsung lama ketika negara dihadapkan

pada kesulitan setelah harga minyak dunia jatuh setelah tahun 1982. Harga minyak melambung lebih tinggi dari harga 1974, pada tahun 1982 harga minyak mencapai 35 dolar per barel, tapi kemudian terus turun sampai hanya 12 dolar per barel awal tahun 1986.92

Ekspor dari minyak pun turun secara drastis dari 20,7 milyar dolar tahun 1981 menjadi 8,3 milyar dolar tahun 1986.

Disinilah para teknokrat kembali menekankan pentingnya kembali kepada deregulasi untuk lebih memberikan kepercayaan kepada mekanisme pasar. Kebijakan pertama dimulai tahun 1983 dengan deregulasi banking system: menetapkan suku bunga, secara substansial mengurangi kredit likuiditas bank sentral dan menghapus administratively plafon kredit. Kebijakan reformasi perbankan kemudian diikuti pada tahun 1984-5 dengan pemeriksaan menyeluruh atas sistem pajak pendapatan khususnya yang menyangkut cakupan dan penyederhanaan tarif dan memperkenalkan pajak pertumbuhan nilai. Langkah yang strategis berikutnya adalah kebijakan reformasi sertifikat ekspor pada Mei 1986. Saat kebijakan sentralistis bergulir pemerintah memberlakukan alokasi impor pada beberapa barang tertentu. Sayangnya kebijakan ini ternyata hanya menguntungkan beberapa individu dan kelompok tertentu. Tak ayal, menurut Hadi Soesatro terjadilah rent-seeking activities yang merupakan efek dari kebijakan dan mendominasi aktivitas ini.93

Masalah terjadinya rent-seeking activities ini dianalisis oleh Robison merupakan ciri dari terbentuknya relasi kekuasaan ekonomi politik masa Orde Baru. Robison dengan cara pandang marxis melihat formasi Indonesia mesti dilihat dalam konteks capitalist revolution. Penekanan diberikan pada sejarah kapitalisme, yang menurutnya telah berkembang pesat dari enclave export-commodity production kemudian berubah menjadi industrialization and the economic ascendancy of an international industrial bourgeoisie.94 Kekuatan sosial yang

paling kuat pada masa Orba menurutnya terbentuk dari relasi antara asing, pengusaha Tionghoa dan borjuis pribumi (termasuk militer) yang membentuk struktur kekuasaan yang mendominasi sektor ekonomi Indonesia. Pembentukan terjadi dalam grup bisnis mengambil pola joint venture partnerships, bagian terbesar modal disediakan oleh asing, lalu distribution, subcontracting, dan management disediakan oleh kaum Tionghoa dan proteksi politik dijamin oleh pejabat pribumi (militer).95

Akibat adanya kebijakan Paket Mei 1986 sektor ekspor non-minyak terutama industri manufaktur menjadi terstimulasi untuk meningkatkan ekspor. Pemerintah mengurangi kerumitan dalam ekspor manufaktur, seperti membebaskan impor komponen tanpa batas kuota. Pada Oktober 1986 pemerintah mempermudah industri manufaktur dengan menambah

91 Rizal Mallarangeng. Mendobrak Sentralisme..., hlm 111.

92 H.W. Arndt dan Hal Hill, “The Indonesian Economy: Structural Adjustment after the Oil Boom”, Southeast Asian Affairs, 1988, hlm 108.

93 Hadi Soesastro, “The Political Economy of Deregulation in Indonesia”, Asian Survey, Vol.29, No.9, Sep 1989, hlm 858.

94 Richard Robison, “Culture, Politics, and Economy in the Political History of the New Order”, Indonesia, Vol.31, Apr 1981, hlm 28.

(19)

perubahan peraturan yang mengatur barang impor. Keberlanjutan ini terus diikuti kebijakan Desember 1987 yang kembali melonggarkan penanaman modal asing.96 Dengan kebijakan ini

penyertaan modal domestik diturunkan dari 71% menjadi 51% dan bisa 45% asalkan 20% saham dijual dalam pasar modal lalu bidang investasi asing semakin bertambah dari 475 bidang tahun 1986 menjadi 926 pada 1988.97 Di lapangan makroekonomi pemerintah

melakukan devaluasi 31% atas nilai rupiah supaya memberikan insentif harga pada peralihan sumber daya bagi industri yang menghasilkan perdagangan.

Liberalisasi perdagangan tidak sampai disini, kebijakan pemerintah yang dikenal dengan Paket November 1988 menambah deretan panjang paket-paket deregulasi. Pada kebijakan November 1988, pemerintah meliberalisasikan perdagangan antarpulau, membebaskan sepenuhnya impor plastik yang begitu penting dalam industri dan mengurangi monopoli yang dinikmati oleh Krakatau Steel. Bisa dibilang berbagai kebijakan deregulasi ini ingin memberantas kolusi dalam birokrasi negara dengan pengusaha tetapi yang lebih penting mendorong sektor ekspor melalui pengurangan ekonomi biaya tinggi. Pengurangan hambatan non tarif terjadi hingga 839 hambatan dan tingkat tarif diturunkan dalam 2.481 kasus, dari nilai barang yang diimpor hambatan non tarif turun dari 43% menjadi 17% dalam kurun 1986-9.98

Investasi asing yang masuk setelah beberapa paket kebijakan ini diimplementasikan mengalir terutama kepada sektor non migas, seperti industri manufaktur dan perbankan. Sektor industri manufaktur pertumbuhannya paling cepat dalam kurun waktu 1980an. Dalam catatan Booth, pendapatan dari sektor manufaktur naik secara cepat dari 6,5 juta dolar tahun 1986 menjadi 14,6 juta dolar.99 Sektor-sektor manufaktur yang menjadi andalan ekspor yaitu

kayu lapis, garmen, tekstil, sepatu, pupuk, baju dan elektronik. Data dari Hal Hill yang disadur dari BPS menunjukkan bahwa sektor kayu, terutama kayu lapis menyumbang hampir 50% ekspor manufaktur kurun 1980an, tahun 1990 sumbangan kayu lapis berjumlah 2,791 milyar dolar, kemudian yang terbesar berikutnya adalah pakaian sebesar 1,646 milyar dolar yang melonjak menjadi 3,164 milyar dolar tahun 1992.100 Pertumbuhan yang juga begitu

pesat terdapat dalam industri tekstil dan sepatu, tekstil pada tahun 1988 menyumbang hanya 571 juta dolar melonjak secara fantastis sampai 2,494 milyar dolar tahun 1992, begitu pula sepatu dari 82 juta dolar menjadi 1,324 milyar dolar.101 Pemilik saham asing yang berada

dalam sektor manufaktur pada tahun 1988 sebesar 16,7%, konsentrasi terjadi pada produk pangan sebesar 27,6%, minuman 26,6%, tekstil 24,8%, produk kertas 39,7%, produk kimia 38,6%, produk logam 26,8%, mesin non listrik 37,1%, peralatan listrik 26,3% dan peralatan transportasi 27,2%.102

Walaupun awalnya tantangan begitu berat, pertumbuhan rata-rata GDP Indonesia kurun waktu 1980-9 sebesar 5,3%, berada di bawah Thailand yang tumbuh rata-rata 7,0% dan

96 Hadi Soesastro, “The Political Economy of Deregulation...”, hlm 861.

97 Rizal Mallarangeng. Mendobrak Sentralisme...., hlm 173.

98Ibid, hlm 175-6

99 Anne Booth, “An Economic Overview of Southeast Asia,” Southeast Asian Affairs, 1992, hlm 32

100 Hal Hill. Indonesia’s Industrial Transformation (Singapura: ISEAS, 1997), hlm 39-41.

101Ibid.

(20)

Singapura 6,1%.103 Tapi pertumbuhan di tahun-tahun yang berat ini melahirkan masalah baru

yaitu semakin tingginya pinjaman dari luar negeri. Tahun 1969 konsorsium IGGI menyumbangkan pinjaman sebesar 536 juta dolar jumlah ini telah meningkat drastis lebih dari 2,5 milyar dolar tahun 1986.104 Saat Soeharto sedang membangun perekonomian kembali

mulai tahun 1987, IGGI memberikan donor sebesar 3,2 milyar dolar. Beban utang yang diperoleh dari pinjaman luar negeri pada pertengahan tahun 1980an meningkat dua kali lipat. Dana pemerintah yang diperoleh dari bantuan luar negeri ini ternyata banyak yang dikorupsi oleh pejabat-pejabat pemerintahan. Pemerintah sebetulnya tahu akan hal ini namun terkesan membiarkan selama kekuasaannya tidak digoyang. Kebebasan politik yang dipasung membuat praktik ini menjadi keseharian yang terjadi dalam lingkungan kekuasaan.

F. Penutup

Pada Demokrasi Parlementer kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia belum menemukan bentuknya yang jelas, entah itu bersikap pragmatis atau berusaha netral. Hal ini diakibatkan banyak faktor, antara lain: pergantian kabinet yang begitu cepat, benturan ideologis kaum pragmatis dan nasionalis radikal terhadap kepentingan asing serta kondisi global Perang Dingin yang baru mulai. Secara umum pertumbuhan ekonomi cukup baik serta kebijakan luar negeri investasi asing dan bantuan asing membantu pertumbuhan ekonomi dalam sektor minyak.

Masa Demokrasi Terpimpin kebijakan ekonomi luar negeri lebih jelas daripada periode sebelumnya. Kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia bersikap nasionalis, konfrontatif terhadap Barat dan lebih condong bekerjasama dengan blok komunis. Hal ini disebabkan faktor: pengambilalihan kekuasaan oleh Soekarno, ideologi nasionalis-marxis Soekarno yang menganggap Barat dan kepentingannya sebagai bentuk neo-kolonialisme dan neo-imperialisme, pembacaan Soekarno bahwa dalam situasi global yang semakin memanas antara blok kapitalis dan blok komunis Indonesia harus mengambil peran dengan membantu negara komunis dan negara Asia-Afrika untuk menciptakan konstruksi dunia yang lebih adil, serta kondisi politik dalam negeri dimana PKI semakin mempunyai basis massa yang semakin besar. Pertumbuhan ekonomi dalam era ini begitu buruk karena banyak proyek investasi asing yang tidak diproyeksikan dengan matang dan akhirnya berhenti di tengah jalan. Bantuan luar negeri cukup besar terutama dari negara-negara komunis namun banyak pula yang diinvestasikan ke militer untuk konfrontasi Irian Barat dan Malaysia serta memperkuat kekuatan pertahanan. Pertumbuhan ekspor menurun dari era sebelumnya sedangkan impor menaik. Perdagangan dan ekspor yang terus menurun menyebabkan terjadinya defisit anggaran yang hanya ditanggulangi dengan mencetak uang sehingga inflasi makin tidak terkendali.

Pada awalnya pemerintahan Orde Baru menghadapi krisis dalam hal ekonomi politik. Pertama-tama kebijakan ekonomi luar negeri diintegrasikan untuk membantu merehabilitasi dan menstabilisasi perekonomian dalam negeri. Terjadi perubahan kebijakan ekonomi dari masa Soekarno dimana pemerintahan ini lebih cenderung liberal dan memihak ke Barat.

103 Laporan Bank Dunia diambil dari tulisan Anne Booth, “An Economic Overview..”, hlm 21.

(21)

Indonesia melihat negara komunis bukan role model yang baik dalam pembangunan ekonomi tetapi Barat lah yang mempunyai konsep yang lebih baik sehingga negaranya maju. Investasi asing dibuka secara leluasa kepada Barat dan bantuan luar negeri dialirkan begitu deras untuk membantu pembangunan ekonomi. Investasi asing dan bantuan asing banyak membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia berbeda dengan masa Demokrasi Parlementer dan Terpimpin. Pertumbuhan ekspor terus naik dan naiknya harga minyak dunia pada periode awal 1970an dan awal 1980an memberikan dampak signifikan bagi kemajuan perekonomian Indonesia. Secara umum kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia membantu dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Fokus Orba yang berorientasi pada pembangunan ekonomi membawa implikasi terhadap lari pertumbuhan ekonomi diatas pembangunan politik, seperti kritik yang dilontarkan Samuel Huntington pada beberapa negara Asia dan Afrika.105 Huntington melihat

bahwa kecenderungan negara seperti Indonesia adalah pembangunan negara harus memberikan prioritas kepada political order daripada democratisation process, inilah sebuah konsep pembangunan yang dianggap sebagai authoritarian transition.106 Dalam sebuah

perspektif lain dalam paradigma pembangunan ekonomi, Amartya Sen mengatakan bahwa paradigma pembangunan ekonomi begitu kontras dengan kebebasan manusia.107

Pembangunan ekonomi mengutamakan industrialisasi, ukuran pertumbuhan ekonomi dan modernisasi. Namun, melupakan sesuatu hal yang esensial, yaitu “pembangunan manusia”. Sen mengatakan bahwa pembangunan ekonomi bukan hanya membangun ekonomi tetapi membangun manusia – kebebasan politik dan kualitas kehidupan, dimana harus ada proporsi sinergi dengan pembangunan institusi politik, demokrasi, pemenuhan hak warga negara, pendidikan serta kesehatan. Dalam kasus Orba kritik Sen berlaku setelah ekonomi mulai stabil, fokus Orba seharusnya tidak hanya memperhatikan aspek-aspek ekonomi tetapi juga “pembangunan manusia” sehingga masalah yang muncul berkaitan dengan hal ini seperti korupsi atau demokratisasi bisa mendapatkan porsi perhatian lebih.

Daftar Pustaka Artikel

Anderson, Ben “ Old State, New Society : Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective,” The Journal of Asian Studies, Vol.42, No.3, Mei 1963, pp. 477-496.

Arndt, H.W, “Oil and the Indonesian Economy”, Southeast Asian Affairs, 1983, pp. 136-150.

Arndt, H.W. dan Hill, Hal, “The Indonesian Economy: Structural Adjustment after the Oil Boom”, Southeast Asian Affairs, 1988, pp. 106-119.

105 Baca ulasan kritis Fukuyama atas Huntington dalam Francis Fukuyama. The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution (New York: Farrar, Straus & Giroux, 2012), hlm 460.

106 Samuel Huntington. Political Order in Changing Societies (New Haven: Yale University Press, 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Rumahtangga yang termasuk ke dalam kategori ini adalah St (62 tahun). St adalah seorang janda yang hidup sendiri dan tidak memiliki anak. Ia tidak bekerja namun

Aset tetap adalah aset berwujud yang memounyai masa manfaat lebih dari satu tahun untuk digunakan dalam kegiatan ekonomi sebuah instansi.. Aset tetap diklasifikasikan berdasarkan

kan dapat berenang dan disarankan pula semua penyelam memakai rompi apung yang dilengkapi tabung CCL atau yang dihubung- kan dengan scuba sehingga dapat dikembang- kan dengan

The switching value analysis for the 10,000 bird capacity broiler production shows that the maximum increase in DOC price that generates a zero NPV is 5.91%. This

Berkaitan dengan tidak adanya pengaruh FMA terhadap produksi bahan kering akar, lebih tingginya rasio tajuk-akar pada tanaman bermikoriza dibandingkan tanaman tanpa

Perubahan metode pembelajaran yang semula pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran online mengalami beberapa kendala mulai dari kuota internet yang kurang

Modul juga didefinisikan sebagai satu unit program belajarmengajar terkecil yag menggariskan: Tujuan pengajaran yag akan dicapai; Topik yang akan dijadikan dasar proses

Bank Syari’ah Mandiri Kantor Caba ng Pembantu Bagan Batu, Dari hasil wawancara kepada pihak Bank, bahwa indikator kepuasan nasabah terhadap produk pembiayaan murabahah adalah