• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian dan Paradoks Beras Miskin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pertanian dan Paradoks Beras Miskin"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Pertanian dan Paradoks Beras Miskin

Dalam Perspektif Praksiologi

By Admin ⋅ March 31, 2008 ⋅ Print This Post ⋅ Kirim komentar

Oleh: Giyanto

Jurnal Kebebasan: Akal dan Kehendak Vol. II, Edisi 23, Tanggal 31 Maret 2008

Beras Bulog

Setiap pulang kampung, saya terkadang disuruh ibunda tercinta untuk mengambil jatah beras miskin di Balai Desa. Barangkali karena administratur desa mengkategorikan kami sebagai keluarga miskin, jadi kami mendapat jatah beras miskin. Saat mengambil jatah beberapa waktu lalu, di jalanan sambil naik sepeda, saya bertanya-tanya. “Bukankah bapak saya petani dan punya beras sendiri? Mengapa kami dikasih beras miskin? Memangnya pemerintah lagi panen padi, kokngasih beras murah?”

Itulah paradoks. Situasi dikatakan paradoks ketika sesuatu itu dianggap benar dia mengandung kesalahan, juga ketika dianggap salah, dia mengandung kebenaran. Artinya, pengertian tersebut saling bertentangan. Kenyataan bahwa kami dikasih beras miskin dengan alasan kami miskin bisa jadi merupakan alasan yang benar, tapi bisa juga keliru karena kami petani yang notabene punya beras sendiri.

Antonim dari istilah kemiskinan ialah kesejahteraan. Di seantero jagad, pemaknaan terhadap kesejahteraan berbeda-beda dalam setiap wilayah. Di Afrika, khususnya Nigeria, orang dikatakan makmur ketika memiliki banyak hewan ternak. Sedangkan di Swedia, orang dikatakan sejahtera ketika memiliki banyak waktu senggang untuk keluarga—dengan syarat sudah memiliki pendapatan yang cukup bagi kehidupan sehari-hari. Di Amerika, orang dikatakan kaya jika memiliki banyak duit. Sedangkan di India, orang cukup memiliki perasaan bahagia itu sudah dianggap sejahtera. Berbeda lagi dengan masyarakat Iban di Malaysia, orang dikatakan sejahtera bila hasil panen padi melimpah ruah. [1] Dengan demikian, dalam ukuran kesejahteraan di berbagai belahan dunia itu berbeda-beda. Tergantung pada persepsi budaya masing-masing.

Lalu apa yang menjadi acuan bagi pengertian kesejahteraan yang didefinisikan pemerintah kita? Barangkali ini yang menjadi alasan mengapa kita dikasih beras miskin, karena sehari-hari kita makan nasi. Saya menyebutnya sebagai pandangan populer.

Petani sebagai Komoditas Politik

(2)

Mari mencoba merefleksi, sebenarnya apa solusi permasalahan pangan kita? Bukankah sumber daya alam kita sangat subur, karena berada di daerah vulkan yang sangat sesuai untuk lahan pertanian? Bukankah jumlah masyarakat petani kita cukup banyak? Bukankah, tidak seperti di wilayah lain di dunia, sawah kita bisa menghasilkan panen per tiga bulan atau satu tahun bisa tiga kali panen?

Yang menjadi awal mula isu pangan menjadi heboh, ialah terkait proses alamiah dari kenaikan harga-harga beras. Harga beras naik itu, biasanya, berhubungan penurunan stok, seperti terkondisi oleh belum datangnya musim panen, dan lain hal. Penurunan stok beras di pasar menyebabkan harga beras sedikit naik. Apabila hal tersebut diserahkan secara

alamiah kepada mekanisme pasar, dalam waktu dekat toh harga beras akan kembali normal

seiring dengan kenaikan stok, misalnya dengan datangnya musim panen yang di berbagai tempat dan waktu di seluruh pulau Jawa sangat bervariasi. Apalagi bila hal itu dibandingkan dengan seluruh kawasan di Indonesia. [Bagaimana dengan kenaikan permintaan?]

Kalaupun ada kenaikan permintaan terhadap beras yang menyebabkan harga naik, setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, karena adanya pertambahan penduduk secara pesat, sehingga menyebabkan permintaan beras menjadi lebih banyak. Yang kedua, disebabkan oleh permintaan oleh tengkulak yang berharap menimbun beras.

Bagi kemungkinan pertama, untuk jaman sekarang, saya kira pengaruhnya tidak terlalu signifikan dikarenakan sudah banyak keluarga yang ikut program KB, dan apabila ada pertumbuhan penduduk yang rata-rata 1-2% per tahun. Bukanlah lahan di luar jawa masih banyak yang belum tergarap? Atau, bukankah hasil penelitian terbaru mengenai benih unggul yang dapat memperpendek masa tanam?, atau apakah benar jumlah penduduk semakin bertambah, kalau demikian, lihat saja piramida penduduk Amerika ataupun Rusia

yang menunjukkan penurunan?, toh kalau mentok, masih banyak kemungkinan adanya

diversifikasi bahan makanan, karena kita mempunyai ikan dilaut yang belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk alternatif pengganti makanan pokok selain beras.

Bagi kemungkinan kedua, hanya pengusaha atau spekulan beras yang kurang pengalaman saja yang menyimpan beras atau gabah berlama-lama. Karena fluktuasi harga beras yang tidak pasti, kemungkinan spekulan tidak mau mengambil resiko menyimpan beras terlalu lama. Saya sering mendapat pengalaman memiliki tetangga spekulan yang sering mengeluh karena sebelumnya saat membeli beras harganya tinggi tapi setelah beberapa saat harganya turun. Sehingga beliau mengalami kerugian. Jadi seandainya ada anggapan bahwa penimbun selalu untung, itu hanya orang yang tidak pernah menjadi spekulan. Karena spekulan juga tidak tahu pasti mengenai masa depan akan fluktuasi harga beras.

Dengan demikian, sangat tidak beralasan bahwa reaksi-reaksi yang disebabkan oleh fluktuasi harga beras membuat kita khawatir serta takut akan kekurangan pangan. Seandainya ini terlalu dibesar-besarkan, bukan tidak mungkin akan menjadi isu yang seksi bagi politisi maupun pemerintah untuk mengambil kebijakan yang bisa jadi merugikan petani. Walaupun hal tersebut didasarkan dengan niat baik ataupun untuk mencari popularitas. Dengan demikian akan mempermudah politisi untuk bersilat lidah demi keuntungan dirinya sendiri.

Berawal dari Persoalan Epistemologis

Alasan lain pemicu pengambilan kebijakan pangan serta pertanian yang paradoksial ialah, tentu, adanya dukungan berupa hasil-hasil penelitian akademis. Namun, sejauh penulusuran yang saya lakukan, terlepas dari segala keterbatasannya, belum ada yang

menggunakan praksiologi (praxeology). Kalaupun ada penelitian yang metodenya

(3)

persawahan pantai utara Jawa Barat, beliau menyimpulkan, bahwa petani ternyata memiliki kemampuan sendiri untuk meningkatkan produktivitas pertanian.[2]

Saya bisa memahami kecermatan hasil penelitian tersebut, karena hanya para antropolog

yang mengawali penggunaan metodegrounded research. Metode yang digunakan adalah

“terjun” langsung ke lapangan, serta melibatkan diri secara langsung dengan para petani desa untuk beberapa tahun dan bahkan bertahun-tahun. [3] Jadi, sebagaimana dalam gugatan saya terhadap epistemologi ilmu sosial dalam artikel Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial [1 dan 2], salah satu kesalahan terbesar kita ialah penggunaan angka-angka serta menggeneralisasi manusia yang sebenarnya memiliki sifat masing-masing dan “keunikan” tersendiri.

Landasan bagi penggunaan individualisme metodis sangat sederhana. Bahwa individu, dalam hal ini petani, sebenarnya dapat membuat pilihannya sendiri.[4] Dengan mengamati pilihan-pilihan individu yang tercermin dari cara-cara mereka dalam meraih tujuan, sebenarnya cukup mudah untuk mendapatkan gambaran realitas secara keseluruhan. Apabila obyek kita pertanian dan para petani, kita tidak dapat menanggalkan pengamatan terhadap apa-apa dan bagaimana perilaku petani sehari-hari. Bagi saya, hal yang demikian sudah sangat mendarah daging, karena sebelum masuk Taman Kanak-Kanak, saya sudah bergumul dengan petani baik masa-masa bahagia maupun masa-masa sulit (walaupun sebenarnya lebih banyak masa sulitnya).

Perbedaan grounded research dengan praksiologi adalah pada penekanannya. Grounded

research masih memandang individu dalam kerangka kolektif, sedangkan praksiologi melihat

individu sebagai makhluk yang otonom. Dalam pandangan sejumlah pemikir-termasuk Rothbard, praksiologi bersifat individualisme metodis. Metode ini dilandasi prinsip bahwa hanya individulah yang mempunyai pikiran, memiliki kemampuan meraba, melihat, serta indera dan perasa. Dengan demikian, hanya individu tersebutlah yang dapat melakukan penilaian-penilaian atau membuat pilihan-pilihan, yang pada akhirnya mengambil tindakan. Dalam pemahaman ini, hanya individu-individulah yang sebenarnya bertindak, bukan kesatuan kolektif. [5]

Konsekuensi logis dari penggunaan metodologi ini ialah bahwa kita sebelumnya perlu menerima dan meyakini subyektivitas ilmu pengetahuan sosial, yang legalitasnya mendapat dukungan dari beberapa filsuf kontemporer seperti Fritjof Capra ataupun Thomas S Khun. Dengan demikian, penggunaan angka-angka hanya diperlukan jika hal demikian tidak terkait secara langsung dengan manusia. Misalnya: dalam perhitungan luas lahan pertanian, perhitungan anggaran biaya pertanian dan lain sebagainya yang terkait dengan benda-benda mati.

Pamanfaatan Pengetahuan Masyarakat

Asumsi yang mendasari kebijakan beras miskin adalah bahwa pengetahuan atau informasi hanya dimiliki oleh pemerintah (pusat). Oleh karena itu informasi dan pengetahuan mengenai pasokan beras dianggap hanya dimiliki oleh Bulog, BPS serta Kementerian Ekonomi. Dengan demikian hal-hal tersebut memberikan alasan dan pembenaran bagi kebijakan impor beras ataupun operasi pasar, kendati sebenarnya asumsi yang demikian mudah dibantah.

(4)

Pengetahuan mengenai tempat misalnya. Saya kira, Ibu pemilik warung di sebelah tempat kos, atau rata-rata penduduk dewasa di Semarang, lebih mengetahui bahwa beras

dari Dlangu Klaten dan Tegal itu lebih cocok dengan lidah orang Semarang.

Atau, tengkulakdari Pati barangkali lebih peka terhadap informasi berkurangnya stok beras di Yogyakarta, sehingga menarik dia untuk melempar beras ke Jogja. Bisa jadi penebas dari Kudus lebih gesit mencari informasi bahwa di Bandung sedang musim panen,

sehingga menggoda dia untuk men-spekulasi-kan modalnya untuk menebas padi di sana.

Pengetahuan-pengetahuan seperti itu hanya dimiliki oleh para tengkulak, penebas, serta penjual nasi. Jadi tidak beralasan jika data-data yang sering disiarkan di televisi serta media cetak tersebut bisa sesuai dengan realitas. Jika semua data ini dijadikan landasan bagi kebijakan-kebijakan pertanian serta pengendalian harga beras, validitasnya perlu ditanyakan lagi.

Dalam hal pengetahuan mengenai waktu, misalnya, petani-petani di daerah memahami hal ini lebih dari siapapun. Dalam menghadapi ketidakpastian akan masa depan, mereka biasanya menyimpan beras di rumah masing-masing. Setelah musim panen, tidak semua hasil panen itu langsung dijual. Karena masa depan tidak pasti, bapak saya biasanya akan

menyimpan sebagian gabahnya untuk persiapan modal musim tanam selanjutnya;

sedangkan sisanya dicadangkan sebagai sarana antisipasi bagi kebutuhan-kebutuhan lain yang mendesak.

Dengan demikian, apa yang dikhawatirkan Bulog bahwa stok beras kurang sebenarnya jauh dari realita. Coba cek dan geledah rumah-rumah petani di pedesaan. Biasanya, mereka memiliki stok pasokan gabah sebagai tabungan. Dengan demikian mereka toh suatu saat pasti menjualnya entah untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk modal musim tanam maupun penyemaian, dan biaya-biaya rutin dari proses pengolahan pertanian selanjutnya.

Akan tetapi persoalan menjadi lain ketika terjadi intervensi terhadap harga beras oleh pemerintah. Tabungan dalam bentuk beras, nilainya semakin turun karena harga beras, secara riil tetap dan bahkan turun, karena adanya intervensi kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyebabkan inflasi. Termasuk di sini program kredit palsu, percetakan uang fiat, serta program beras miskin dan lain sebagainya, yang pada akhirnya menyebabkan harga-harga komoditas yang lain terus naik, termasuk faktor-faktor produksi dan sarana-sarana produksi pertanian; sementara, harga beras mengalami penurunan akibat program beras miskin dan segala bentuk operasi pasar.

Alasan klise diterapkannya kebijakan beras miskin, lebih banyak, terkait laporan media mengenai busung lapar atau malnutrisi. Tanpa mengecek lebih dahulu, laporan-laporan tersebut langsung menjadi justifikasi bagi para “spekulator legal” untuk mendatangkan beras dari negeri tetangga. Alih-alih untuk mengatasi kelaparan, momen tersebut bisa langsung dijadikan pembenaran bagi perjuangan imoral yang hanya dimotifkan demi keuntungan dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan efeknya pada tingkat mikro.

Kesimpulan

(5)

apabila pemerintah sekarang melakukan berbagai bentuk intervensi, hal tersebut bukan semakin menyelesaikan permasalahan, melainkan malah membunuh dan menusuk langsung ke jantung agen yang paling produktif di negeri kita: yaitu para petani. [ ]

(* Kontributor adalah penggiat Komunitas Embun Pagi. Hak cipta ada pada penulis.)

Referensi:

[1] Geography of Wealth. www.nationalgeographic.com.

[2] Winarto, YT. “Pengendalian Hama Terpadu Setelah Lima Belas Tahun Berlalu: Adakah Perubahan dan Kemandirian?Dalam Jurnal Analisis Sosial Vol 11: Tantangan Masa Depan Pertanian Indonesia. Yayasan AKATIGA: Bandung.

[3] Mustain. Petani vs Negara: Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. (Pendapat Disertasi ini tidak saya cantumkan dalam artikel diatas karena kajiannya terfokus pada Sejarah Reklaiming petani terhadap lahan di Jawa Timur. Karena Ilmu Sejarah berbeda dengan Praksiologi). [4] Gene Callahan. Economics for Real People: An Introduction to the Austrian School, 2nd Edition. Ludwig von Mises Institute: Auburn, Alabama. [5] Murray N. Rothbard. Praxeology as the method of social sciences. (dalam mendefinisikan Praksiologi antara Rothbard dengan Mises ada perbedaan. Jika Mises lebih memandang Praksiologi sebagai satu cabang ilmu tindakan manusia, Rothbard lebih mengartikannya sebagai metode. Hal ini bisa dimengerti karena masa hidup dari kedua tokoh ini berbeda. Mises hidup ketika ilmu-ilmu sosial belum berkembang pesat seperti di jaman Rothbard). Bisa sebagai tambahan, lihat Amir Azad. EconomicDevelopment: An Individualist Methodology (artikel singkat menyinggung sejarahperdebatanmetodologi dari jaman Socrates hingga Rothbard, dari Pemikiran Yunani hingga Aliran Skolastik di Spanyol serta Hegel dan Marx dari Jerman).

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai contoh, jika lembaga keuangan memiliki tiga reksadana: reksadana pasar uang, reksadana pendapatan tetap, dan reksadana saham, apakah masing-masing dari

Pada usia dini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat pada otak manusia dalam menerima berbagai masukan dari lingkungan sekitar (Chamidah, 2009).Hasil penelitian di

Proses pengolahan minyak kelapa sawit di PT Sukses Tani Nusasubur memiliki kapasitas 45 Ton/Jam dengan output yaitu.. PT Sukses Tani Nusasubur memiliki kapasitas 45 Ton/Jam

We observed, that in the European mink Mustela lutreola , the duration of the oestrus period is 1–10 days, wherein oestrus in unmated females may recur two to three times during

[r]

Dengan menggunakan bahasa pemrograman Borland Delphi 6.0 penulis membuat aplikasi media player yang dapat mengenali dan menjalankan file-file tersebut pada sistem operasi

Selain itu, pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) juga diajarkan hanya sebatas teori saja tidak dibarengi dengan kegiatan observasi, eksperimen yang

Pada Proses ini dilakukan bebarapa tahapan penelitian antara lain, tahap pemilihan cover parent, tahap pemilihan data child (child image dan teks), tahap enkripsi child teks,