BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budaya Massa Dan Budaya Populer
Salah satu fenomena penting yang menandai lahirnya era postmodern
adalah tumbuhnya budaya massa dan budaya populer. Dalam realitas kebudayaan
dimana konsumsi mengalahkan produksi, nilai-tanda dan nilai-simbol
mengalahkan nilai-guna dan nilai-tukar, penampilan menjadi tujuan, tuntutan
mengejar keuntungan adalah satu-satunya pegangan, maka tak pelak, budaya
massa dan budaya populer adalah jawaban bagi masyarakat yang demikian.
Sebagai semangat zaman baru, budaya massa dan budaya populer pun
membawakan nilai-nilai baru, kegairahan baru dan etos kerja baru. Dalam rentang
sejarah yang panjang, kebudayaan pop telah menarik minat para akademis,
teoritis, analisis, kritisi, dan para pendukung kajian budaya yang mencuat
bersamaan dengan kian derasnya gelombang kebudayaan pop dengan segala
pernik, warna, dan nuansa yang menyertainya serta dengan muatan budaya yang
dikandungnya (Ibrahim, 1997 :17).
Budaya massa dan budaya populer kemudian semakin berkembang dengan
awal kebangkitan era ekonomi pasar pada abad ke-17 M. Dalam kurun ini, budaya
massa dan budaya populer telah menjadi bagian ekonomi politik kapitalisme yang
dituntun oleh prinsip kemajuan, keuntungan dan perluasan produksi.
Prinsip-prinsip seperti mass production (produksi massal), minimization of cost
(pembiayaan yang rendah), standarization (standarisasi), homogenization of taste
acceleration (percepatan konstan) menjadi hukum baru proses produksi (Ibrahim,
1997: 19).
Allan O’Connor adalah salah seorang pengkaji budaya, saat menyoroti
topik “popular culture”, menjelaskan bahwa terma ini mengacu pada “proses
budaya yang berlangsung di antara masyarakat umumnya (general public)”
(Ibrahim, 1997 :18). Lalu, kalau budaya massa tak bisa dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari, sebelum ia menjadi bagian di dalam masyarakat, pasti ada kelompok
atau bagian masyarakat yang merancang atau memproduksinya. Bagian produk
budaya itu sampai ke masyarakat, dan produk yang bagaimana pula yang
“dibutuhkan” oleh sejumlah massa yang besar. Semua ini tidak mungkin tanpa
ada melibatkan teknologi. Pertumbuhan teknologi adalah hasil peradaban manusia
yang penting tidak hanya menghasilkan produk budaya yang dibuat dalam jumlah
besar (massa production), tapi berkat teknologi pula produk budaya bisa
disebarkan (dissemination) (Ibrahim, 1997 :19).
Dalam perkembangan lebih lanjut, industrialisasi tidak hanya
memungkinkan proses massifikasi, yang menurut standartisasi produk budaya dan
homogenisasi cita rasa, tapi juga ia telah membawa perkembangan baru dengan
semakin terbentangnya peluang pasar. Inilah yang menandai komersialisasi atas
produk budaya. Dengan komersialisasi, produk budaya (massa) berubah seirama
dengan percepatan tuntutan komersial atas produk budaya dan sasaran
berondongan iklan. Kalau kenyataan inilah yang tidak bisa ditolak, yang muncul
dalam pertumbuhan masyarakat modern yang terjadi hamper pada semua wilayah
adalah munculnya pasar, keunggulan korporasi raksasa, dan tersedianya teknologi
Masyarakat yang terbentuk dari hasil polesan industri inilah yang kemudian
dikenal sebagai masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa adalah suatu
kategori masyarakat industrial. Sementara budaya massa mewakili korelasi
budaya dari masyarakat massa dan media massa. Budaya massa dibedakan
berdasarkan standar produksi massa dan pemasarannya. Tentu saja industri media
massa memegang peran penting dalam drama ini. Tak heran, kalau media massa
merupakan basis bagi apa yang disebut “industri kebudayaan”. Dan, sebagai
output media yang penting adalah kebudayaan pop (Ibrahim, 1997 :21).
Budaya populer yang saat ini banyak menarik perhatian dunia adalah
kebudayaan populer dari Korea Selatan. Fenomena Hallyu (Korean wave) telah
membawa aliran nilai-nilai budaya Korea meluas ke berbagai negara dan menarik
banyak massa. Hallyu merupakan fenomena dalam dunia industri hiburan modern
Korea. Produk-produk hallyu antara lain adalah drama, film dan musik (K-pop).
2.2 Budaya Populer dan Hiburan, sebagai Realitas Sosial
Pemikiran tentang budaya populer menurut Ben Agger (1992:24) dalam
dikelompokkan pada empat aliran, (a) budaya di bangun berdasarkan kesenangan
namun tidak berdasarkan substansial, dan mengentaskan orang dari kejenuhan
kerja sepanjang hari; (b) kebudayaan populer menghancurkan budaya tradisional;
(c) kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Marx kapitalis;
dan (d) kebudayaan populer merupakan budaya yang menetas dari atas (Burhan
Bungin, 2008 :49).
Kebudayaan populer banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang
mega bintang, kendaraan pribadi,fashion, model rumah, perawatan tubuh dan
semacamnya.
Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan, maka budaya itu
umumnya menempatkan unsur populer sebagai unsur utamanya. Dan budaya akan
memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran
pengaruh di masyarakat (Burhan Bungin, 2008 :50).
Sebagaimana yang di jelaskan bahwa budaya populer lebih banyak
mempertontonkan sisi hiburan, yang kemudian mengesankan lebih konsumtif.
Richard Dyer (During, 1993: 217-272) mengatakan, hiburan merupakan
kebutuhan pribadi masyarakat yang telah di pengaruhi oleh stuktur kapitalis.
Hiburan menyatu dengan makna-makna hiburan dan saat ini di dominasi oleh
musik. Saat musik merupakan perangkat hiburan yang lengkap yang di padukan
dengan berbagai seni lainnya. Hampir tidak dapat ditemui sebuah hiburan tanpa
mengabaikan peran musik, sebaliknya musik menjadi sebuah bangunan hiburan
yang besar dan paling lengkap (Burhan Bungin, 2008 :51).
2.3 Kaum Muda dan Musik Pop
Kajian Cultural Studies berkenaan dengan budaya musik pop lebih tepat
dimulai dengan karya Stuart Hall dan Paddy Whannel (1964). Sebagaimana
mereka tegaskan, potret anak muda sebagai orang lugu yang di ekploitasi oleh
industri musik-pop ‘terlalu disederhanakan’. Menanggapi hal ini, mereka
berpendapat bahwa terdapat konflik yang sangat sering antara penggunaan teks
atau praktik yang di pahami oleh khalayak, dan penggunaan yang dimaksudkan
secara khusus menjadi ciri ranah hiburan remaja sampai pada tingkat tertentu,
konflik ini juga jamak bagi keseluruhan wilayah hiburan massa dengan sebuah
setting komersial. Budaya musik pop lagu, majalah, konser, festival, komik,
wawancara dengan bintang pop, film, dan sebagainya membantu memperlihatkan
pemahaman akan identitas dikalangan kaum muda.
Budaya yang disediakan oleh pasar komersial memainkan peran penting. Ia
mencerminkan sikap dan sentimen yang telah ada disana, dan pada saat
bersamaan menyediakan wilayah yang penuh ekspresi serta sederet simbol yang
melalui simbol itu sikap tersebut dapat di proyeksikan. Ia adalah area ekspresi diri
bagi kaum muda dan padang rumput yang subur bagi provider komersial. Selain
itu, lagu-lagu pop merefleksikan kesulitan remaja dalam menghadapi kekusutan
persoalan emosional. Lagu-lagu pop menyerukan kebutuhan untuk menjalani
kebutuhan untuk menjalani kehidupan secara langsung dan intens. Lagu-lagu itu
mengekspresikan dorongan akan keamanan didunia emosional yang tidak pasti
dan berubah-ubah. Fakta bahwa lagu-lagu itu diproduksi bagi pasar komersial
berarti bahawa lagu dan setting itu kekurangan autensitas. Kendati demikian,
lagu-lagu itu mendramatisasi perasaan-perasaan autentik (John Storey, 1996
:126).
2.4 Media Sosialisasi
Media sosialisasi merupakan tempat di mana sosialisasi itu terjadi atau
disebut juga sebagai agen sosialisasi atau sarana sosialisasi. Yang dimaksud
dengan agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang membantu seorang individu
2.4.1 Kelompok Bermain
Kelompok bermain baik berasal dari kerabat, tetangga, maupun teman sekolah
merupakan agen sosialisasi yang pengaruhnya besar dalam membentuk pola-pola
perilaku seseorang. Di dalam kelompok bermain individu mempelajari norma
nilai, kultural, peran, dan semua persyaratan lainnya yang dibutuhkan individu
untuk memungkinkan partisipasinya yang efektif di dalam kelompok
permainannya. Singkatnya, kelompok bermain ikut menentukan dalam
pembentukan sikap untuk berprilaku yang sesuai dengan kelompoknya.
2.4.2 Media Massa
Dalam kehidupan masyarakat modern, komunikasi merupakan sesuatu kebutuhan
yang sangat penting terutama untuk menerima dan menyampaikan informasi dari
satu pihak ke pihak lain. Akibat pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam waktu yang sangat singkat, informasi-informasi tentang
peristiwa-peristiwa, pesan, berita, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya dengan
mudah diterima masyarakat.
2.5 Adaptasi Gaya Hidup
Mengutip dalam Ritzer (2007: 121) menjelaskan bahwa adaptasi
(adaptation) merupakan sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal
yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya.
Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan
beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:
3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan
dan sistem.
6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.
Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan
proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial
terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.
Dalam Narwoko (2004: 163) menjelaskan gaya hidup sebagai berikut:
Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kelas sosial satu dengan kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidak sama, bahkan ada kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup yang eksklusif untuk membedakan dirinya dengan kelas yang lain. Berbeda dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersikap konservatif di bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru perawatan kesehatan, cara mendidik anak dan hal-hal lainnya, gaya hidup dan penampilan sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif (Dickson, 1968).
Gaya hidup sebagai pembeda kelompok akan muncul dalam masyarakat
yang terbentuk atas dasar stratifikasi sosial. Setiap kelompok dalam stratum sosial
tertentu akan memiliki gaya hidup yang khas. Dapat dikatakan bahwa gaya hidup
inilah yang menjadi simbol prestise dalam sistem stratifikasi sosial (Ibrahim,
1997: 228).
Masuk pada level konsumsi, yang dikonsumsi masyarakat pada level ini
bukan lagi sesuatu berdasar nilai guna, nilai pakai, tetapi sesuatu yang kalau
disebut dalam iatilah teoritis adalah simbol. Di sini kemudian citra atau image
di mana informasi bukan lagi sekedar sebagai alat atau modal untuk berdagang,
melainkanmenjadi produk sendiri (Ibrahim, 1997: 181)\
2.6 Interaksionisme Simbolik
Teori Interaksionalisme simbolik (symbolic interactionism) adalah
pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antara manusia dan masyarakat.
Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah bahwa tindakan dan interaksi
manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran simbol atau komunikasi yang
sarat makna.
Interaksionisme simbolik memandang manusia bukan dilihat sebagai
produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak
sebagian, merupakan aktor-aktor bebas. Menurut Blumer, interaksionisme
simbolis bertumpu pada tiga premis (Poloma, 2004: 258).
a. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasar makna-makna yang ada
pada sesuatu itu.
b. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang
lain”.
c. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial
berlangsung.
Sama halnya dengan Blumer, para penganut interaksionisme simbolik
seperti Manis dan Meltzer, A Rose dan Snow mencoba mengemukakan prinsip
dasar dari teori interaksionisme simbolik ( Ritzer, 2009:392) antara lain;
a. Manusia ditopang oleh kemampuan berfikir yang membedakan
Kemampuan berfikir memungkinkan orang untuk bertindak secara
reflektif, mengonstruksi dan mengarahkan apa yang mereka lakukan.
Penganut interaksionisme simbolik memandang bahwa pikiran muncul
dalam sosialisasi kesadaran.
b. Kemampuan berfikir dibentuk oleh interaksi sosial. Kemampuan
berfikir manusia berkembang pada saat masa kanak-kanak dan dipoles saat
masa sosialisasi dewasa.
c. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol yang
memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berfikir tersebut.
d. Makna dan simbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan
interaksi khas manusia
e. Orang mampu mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan
dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir mereka dalam situasi
tersebut
f. Jalinan pola tindakan dengan interaksi ini kemudian menciptakan
kelompok dan masyarakat
Dilihat dari perspektif teori interaksionisme simbolik, remaja yang fanatik
terhadap budaya pop Korea memaknai budaya populer Korea sebagai sesuatu
yang menarik sehingga membuat mereka menyukai hal tersebut. Musik K-pop
atau drama-drama Korea diartikan sebagai simbol yang mengarahkan tindakan
mereka sehingga banyak perilaku remaja yang yang berkiblat pada budaya Korea.
Penggemar fanatik akan cenderung menjadi Korea-sentris, yakni tidak hanya
budaya populer Korea lainya, seperti seni budaya asli Korea, bahasa Korea,
produk-produk teknologi buatan Korea, bahkan negara Korea itu sendiri.
2.7 Identitas
Identitas merupakan suatu penyadaran yang dipertajam akan diri sendiri
dan sebagai suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa
lampaunya sendiri bagi orang lain dan bagi diri sendiri (Erikson, 1989). Konsepsi
yang kita yakini tentang diri kita disebut dengan identitas diri, sementara itu
harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial (Barker, 2008: 173).
Giddens mengatakan bahwa identitas diri adalah apa yang kita pikirkan
tentang diri kita sebagai pribadi (Barker, 2008). Identitas bukanlah
kumpulan sifat-sifat yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa
kita tunjuk. Giddens menyebut identitas sebagai proyek yakni identitas
merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses,
suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk
apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut situasi masa lalu dan
masa kini, bersama dengan apa yang kita pikir dan inginkan sebagai
lintasan harapan kedepan.
Budaya media menkonstruksikan identitas penggemar melalui
tayangan-tayangan budaya populer Korea. Tayangan tersebut membentuk bentuk identitas
penggemar sebagai pecinta budaya pop Korea. Identitas tersebut kemudian
terekspresi dari cara berpenampilan (fashion), penggunaan bahasa Korea dalam