MODAL SOSIAL SISTEM BAGI HASIL DALAM BETERNAK SAPI PADA
MASYARAKAT DESA PURWOSARI ATAS, KECAMATAN DOLOK
BATU NANGGAR KABUPATEN SIMALUNGUN
Studi kasus : Sistem Gaduh Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas,
Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun
Disusun oleh :
SYAMSUL SANJAYA
110901002
DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS
SUMATRA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Peternakan sapi merupakan salah satu usaha sampingan warga desa yang dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi lainnya. Seperti warga Desa Purwosari Atas yang menerapkan usaha peternakan sapi ini sejak lama. pemicu munculnya minat warga desa memelihara sapi adalah wilayah pedesaan yang dekat dengan perkebunan PTPN IV sebagai salah satu wilayah yang dijadikan sebagai tempat gembalaan sapi warga.
Melihat kondisi perusahaan yang memberikan ijin, maka semakin banyak pula warga yang memelihara ternak baik milik sendiri maupun milik orang lain. Ternak milik orang lain tersebut sengaja dipelihara kepada orang lain untuk dikembangbiakkan yang dikenal dengan istilah gaduh sapi. Gaduh sapi dikejakan mulai proses pra- produksi hingga produksi dengan sistem pembagian hasil usaha dibagi dua antara pemilik dan peternak sapi.
Dalam melaksanakan kerjasama sistem gaduh sapi, para pemilik dan peternak sapi hanya berlandaskan kepercayaan dalam menjalankan usahanya, yang merupakan wujud dari modal sosial yang sudah lama terbentuk dikalangan para peternak dan pemelihara ternak. Kepercayaan yang terbentuk memang sering dilakukan oleh para pelaku usaha ternak sapi. Para pelaku usaha lebih percaya melakukan usaha dengan kepercayaan dari pada berlandaskan hukum perjanjian secara terang – terangan.
Selama proses pemeliharaan berlangsung para pemilik ternak dan pemelihara ternak jarang mengalami kerugian, yang diakibatkan karena sesuatu hal terjadi di tengah – tengah usaha yang sedang berlangsung misalnya kematian, pencurian, dan ternak yang dipelihara sakit. Hal ini dapat diminimalisir karena para pelaku usaha adalah kerabat dekat, tetangga dan saudara yang memiliki hubungan yang erat, sehingga perjanjian secara terang – terangan tidak diperlukan. Karena adanya rasa jujur yang timbul dari dalam diri para pelaku usaha dan rasa segan jika ingin memberikan keterangan palsu mengenai kondisi ternaknya.
Selain itu karena kedekatan hubungan sosial dan adanya kepercayaan yang timbul diantara pelaku usaha. Maka setiap masalah yang muncul dalam gaduh
sapi diselsaikan dengan menempuh jalan musyawarah keluarga atau akomodasi. Dalam musyawarah keluarga para pelaku usaha tidak melibatkan pihak berwajib dalam menyelesaikan masalah timbul. Dengan tujuan untuk untuk menjaga hubungan kedekatan diantara keduanya agar dapat selalu baik – baik saja.
Usaha gaduh sapi memang banyak membantu warga desa yang ekonominya kurang baik, asal dibarengi dengan hukum penjajian yang jelas ketika memberikan sapi kepada calon pemelihara sapi. Selain itu dalam gaduh
sapi pemilik sapi harus mengenal dekat calon pemelihara sapi yang bakal diberikan amanah sapinya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam gaduh sapi karena dapat menimbulkan masalah jika asal saja dalam memilih calon pemelihara ternak bisa saja pemelihara ternak yang tidak jujur atau mau bermain curang dalam memberikan keterangan kepada pemilik ternak.
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
Skripsi yang berjudul “Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada
Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten
Simalungun”, disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara
ringkas skripsi ini menceritakan tentang bagaimana penerapan modal sosial dalam
sistem gaduh sapi dan bagaimana pemanfaatan jaringan sosial dalam sistem gaduh
sapi, pada peternak sapi di Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar,
Kabupaten Simalungun
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak
skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati,
baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan
ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Rasa hormat dan terimakasih yang tidak akan dapat penulis ucapkan dengan
kata-kata kepada Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, Selaku ketua Departemen
telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam
membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian penulisan
skripsi ini. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, dan Kak
Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan
dalam hal administrasi.
3. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
dan tiada henti-hentinya saya ucapkan kepada kedua orang tua tercinta
Ayahanda Alm Tukisno dan Ibunda Sarmi Damanik yang telah merawat
dan membesarkan serta mendidik saya dengan sepenuh hati dan kasih
sayang kebesarannya. Akhirnya inilah persembahan yang dapat saya
berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya kepada
kedua orang tua.
4. Saya ucapkan terimakasih secara khusus dan istimewa buat kakak
tersayang saya yaitu kakak Erna Kurniati S.PD dan kakak Aisyah
Rahmayani serta abang ipar saya Erik Ardiansyah dan keponakan-
keponakan saya Quinara Erly Ardana, Arsaka Firendra Ardana, yang
selalu memberikan do’a, semangat, nasehat kepada saya dan masukan
yang tidak ternilai harganya dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Penulis juga ucapkan terima kasih buat Ferry Ramadan, Syamsir
Meisyawaldi, Noviani dwita Siregar, Ismi Andari, Abdurrahman, Rama Dona
Herman, serta teman-teman sosiologi Stambuk 2011 yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu orangnya sekaligus teman – teman dari UKM Marching
Penulis bangga mempunyai sahabat seperti kalian, yang begitu banyak
membantu selama penulisan skripsi ini dan selalu menjadi teman untuk
bertukar pendapat dalam memberikan masukan.
6. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada kepala Desa Purwosari Atas Nagori
Dolok Mainu yaitu Bapak Sugeng S.Pdi, serta Para Informan yang telah
banyak membantu memberikan informasi yang sangat dibutuhkan dalam
penulisan skripsi ini. Terimakasih banyak atas waktu dan kesediaan para
informan selama proses penelitian berlangsung.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai
kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-
saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat
penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir
kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada
semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.
Medan, 15 juni 2015
(Penulis)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL……… ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.5 Defenisi Konsep ... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA... 9
2.1 Modal Sosial ... 9
2.2 Interaksi Sosial ... 14
2.3 Tinjauan Umum Usaha Peternakan Sapi ... 16
2.4 Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil ... 18
BAB III METODE PENELITIAN ...22
3.1 Jenis Penelitian ... 22
3.2 Lokasi Penelitian ... 23
3.3 Unit Analisis dan Informan ... 23
3.3.1 Unit Analisis ... 23
3.3.2 Informan ... 23
3.4 Tehnik Pengumpulan Data ... 24
3.5 Interpretasi Data ... 26
3.6 Jadwal Pelaksanaan ... 27
BAB IV TEMUAN DATA INTERPRETASI DATA ... 28
4.1 Deskripsi Desa Purwosari Atas ... 28
4.1.1. Letak dan Luas Wilayah ... 28
4.1.2. 0rbitasi Desa Purwosari Atas ... 28
4.1.3. Penduduk... 29
4.1.4. Peternakan... 33
4.1.5. Kepemilikan Aset Masyarakat ... 34
4.1.6. Sarana Penghubung Desa... 37
4.2 Gambaran Masyarakat Desa Purwosari Atas... 38
4.2.1. gambaran struktur masyarakat desa ... 38
4.3 Profil Informan ... 39
4.3.1. Pemerintahan Desa Purwosari Atas... 39
4.3.2. Pemelihara Ternak ... 40
4.3.3. Pemilik Ternak ... 46
4.4 Sistem Gaduh Sapi di Desa Purwosari Atas ... 52
4.4.1.Munculnya Sistem Gaduh Sapi di Desa Purwosari Atas ..57
4.4.4.1. Syukuran Sebagai Norma Sosial ... 59
4.4.2.Cara Penyelesaian Jika Terjadi Permasalahan Dalam Gaduh Sapi... 62
4.4.2.1. Apabila Sapi yang Dipelihara Sakit ... 63
4.4.2.2. Apabila Sapi yang Dipelihara Hilang ... 64
4.4.2.3. Apabila Sapi yang Dipelihara Mati... 65
4.4.2.5. Pemelihara Ingin Menjual Ternaknya... 67
4.4.2.6. Pemilik Ternak Mengambil Ternaknya ... 68
4.4.3.Faktor yang Mendukung Keberhasilan Dalam Gaduh Sapi Dapat Bertahan lama... 70
4.4.3.1. Adanya Sifat Mementingkan Jiwa Rasa ... 73
4.4.3.2.Adanya Sikap Senang Berlaku Rukun ... 75
4.4.3.3.Adanya Sifat Hormat Kepada Orang Lain ... 76
4.4.3.4. Adanya Kejujuran ... 77
4.4.4.Cara Bagi Hasil Dalam Gaduh Sapi... 79
4.4.4.1.Sistem Maro Anak ... 79
4.4.4.2. Sistem Maro Bathi ... 80
4.4.4.3. Sistem Maro Pro Sepuluh dan Maro ... 81
4.4.5. Pemanfaatan Jaringan Dalam Gaduh Sapi ... 85
4.4.5.1. Kedua Belah Pihak Saling Mengenal ... 87
4.4.5.2. Adanya Hubungan Tetangga ... 87
4.4.5.3. Adanya Hubungan Saudara ... 88
BAB V PENUTUP ...93
5.1. Kesimpulan ... 93
5.2. Saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA...
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin... 29
Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur ... 30
Tabel 3.Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin... 30
Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin ... 31
Tabel 5.Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama dan Jenis Kelamin ... 32
Tabel 6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis ... 32
Tabel 7. Jenis Populasi Ternak yang di Pelihara Oleh Masyarakat ... 33
Tabel 8. Ketersediaan Pakan Hijau Ternak Sapi ... 33
Tabel 9. Kepemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berdasarkan Kepada Keluarga ... 34
Tabel 10. Data Perkebunan yang Dimiliki Oleh Warga ... .34
Tabel 11. Kepemilikan Sarana Angkutan Desa ... 35
Tabel 12. Kondisi Bangunan Rumah ... 35
Tabel 13. Jenis Lantai Bangunan Rumah... 36
Tabel 14. Kepemilikan Aset Ekonomi Lainnya ... 36
ABSTRAK
Peternakan sapi merupakan salah satu usaha sampingan warga desa yang dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi lainnya. Seperti warga Desa Purwosari Atas yang menerapkan usaha peternakan sapi ini sejak lama. pemicu munculnya minat warga desa memelihara sapi adalah wilayah pedesaan yang dekat dengan perkebunan PTPN IV sebagai salah satu wilayah yang dijadikan sebagai tempat gembalaan sapi warga.
Melihat kondisi perusahaan yang memberikan ijin, maka semakin banyak pula warga yang memelihara ternak baik milik sendiri maupun milik orang lain. Ternak milik orang lain tersebut sengaja dipelihara kepada orang lain untuk dikembangbiakkan yang dikenal dengan istilah gaduh sapi. Gaduh sapi dikejakan mulai proses pra- produksi hingga produksi dengan sistem pembagian hasil usaha dibagi dua antara pemilik dan peternak sapi.
Dalam melaksanakan kerjasama sistem gaduh sapi, para pemilik dan peternak sapi hanya berlandaskan kepercayaan dalam menjalankan usahanya, yang merupakan wujud dari modal sosial yang sudah lama terbentuk dikalangan para peternak dan pemelihara ternak. Kepercayaan yang terbentuk memang sering dilakukan oleh para pelaku usaha ternak sapi. Para pelaku usaha lebih percaya melakukan usaha dengan kepercayaan dari pada berlandaskan hukum perjanjian secara terang – terangan.
Selama proses pemeliharaan berlangsung para pemilik ternak dan pemelihara ternak jarang mengalami kerugian, yang diakibatkan karena sesuatu hal terjadi di tengah – tengah usaha yang sedang berlangsung misalnya kematian, pencurian, dan ternak yang dipelihara sakit. Hal ini dapat diminimalisir karena para pelaku usaha adalah kerabat dekat, tetangga dan saudara yang memiliki hubungan yang erat, sehingga perjanjian secara terang – terangan tidak diperlukan. Karena adanya rasa jujur yang timbul dari dalam diri para pelaku usaha dan rasa segan jika ingin memberikan keterangan palsu mengenai kondisi ternaknya.
Selain itu karena kedekatan hubungan sosial dan adanya kepercayaan yang timbul diantara pelaku usaha. Maka setiap masalah yang muncul dalam gaduh
sapi diselsaikan dengan menempuh jalan musyawarah keluarga atau akomodasi. Dalam musyawarah keluarga para pelaku usaha tidak melibatkan pihak berwajib dalam menyelesaikan masalah timbul. Dengan tujuan untuk untuk menjaga hubungan kedekatan diantara keduanya agar dapat selalu baik – baik saja.
Usaha gaduh sapi memang banyak membantu warga desa yang ekonominya kurang baik, asal dibarengi dengan hukum penjajian yang jelas ketika memberikan sapi kepada calon pemelihara sapi. Selain itu dalam gaduh
sapi pemilik sapi harus mengenal dekat calon pemelihara sapi yang bakal diberikan amanah sapinya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam gaduh sapi karena dapat menimbulkan masalah jika asal saja dalam memilih calon pemelihara ternak bisa saja pemelihara ternak yang tidak jujur atau mau bermain curang dalam memberikan keterangan kepada pemilik ternak.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Simalungun sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan
perkebunan yang memiliki banyak potensi ekonomi yang dapat dikembangkan.
Salah satunya adalah usaha peternakan sapi yang digeluti oleh masyarakat yang
berada di pedesaan. Seperti halnya warga Desa Purwosari Atas yang hampir
setiap kepala rumah tangga memiliki sapi untuk dikembangkan baik secara
modern maupun secara tradisional.
Usaha peternakan sapi yang dilakukan oleh warga desa merupakan salah
satu usaha sampingan keluarga, yang sering dilakukan oleh masyarakat Desa
Purwosari Atas. Sebagai salah satu usaha yang dapat menopang perekonomian
keluarga jika mengalami masa – masa sulit. Dengan meningkatnya minat warga
dalam memelihara ternak sapi berdampak pada meningkatnya jumlah populasi
ternak yang cukup tinggi di Kabupaten Simalungun, yaitu mencapai 103, 068
ekor, yang terdiri dari 97,576 ekor sapi potong atau sapi peliharaan, 40 ekor sapi
perah dan 5,453 ekor kerbau (berdasarkan data dari Dinas Peternakan tahun
2014).
Sementara itu Kecamatan Dolok Batu Nanggar merupakan salah satu
Kecamatan yang berada pada posisi ke tiga dengan jumlah populasi ternak sapi
terbanyak di Kabupaten Simalungun, yaitu mencapai 11,584 ekor sapi yang
terdiri dari 2,428 sapi jantan, 8,996 sapi betina. Sedangkan Desa Purwosari Atas
Simalungun memiliki jumlah populasi ternak sapi yang lumayan banyak dan
sangat beragam seperti tabel dibawah ini:
No Jumlah peternak Jenis ternak Jumlah ternak dipelihara
1 584 Sapi 3.000
2 450 Ayam 1500
3 30 Bebek 450
4 25 Angsa 200
5 30 Kambing 700
6 5 Anjing 10
Total 5860
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013).
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah populasi ternak sapi yang paling
tinggi dan mendominasi. Bila dibandingkan dengan ternak lainnya yang
dipelihara oleh warga desa. Munculnya minat masyarakat Desa Purwosari Atas
dalam beternakan sapi dikarenakan, usaha ini tidak terlalu banyak memakan biaya
dan sedikit menanggung resiko dalam proses pemeliharaanya tetapi memiliki hasil
yang besar.
Factor pendukung lainnya dalam memelihara sapi adalah letak Desa
Purwosari Atas yang strategis, yaitu berada disekeliling perkebunan BUMN
PTPN IV Dolok Ilir sebagai tempat gembalakan sapi (angonan). Sehingga Sapi
yang dipelihara oleh warga desa rata – rata hanya diliarkan saja di perkebunan
BUMN PTPN IV Dolok Ilir tersebut. Dengan luas perkebunan yang di jadikan
tempat untuk mengembalakan sapi mencapai 878 hektar yang berada di kawasan
PTPN IV Dolok Ilir ( Menurut data statistik kelurahan Desa Purwosari Atas tahun
2013). Pada dasarnya perkebunan ini tidak memberikan izin kepada masyarakat
untuk mengembalakan sapi-sapi mereka. Dengan alasan lahan akan rusak dan
tandus, namun kebanyakan masyarakat masih saja tidak menghiraukan larangan
Harga sapi yang lumayan tinggi dipasaran juga sebagai salah satu dasar
daya tarik yang dapat meningkatkan minat warga desa dalam memelihara sapi.
seperti saat ini saja harga sapi jantan yang kisaran harganya mencapai delapan juta
sampai dua belas juta setiap ekornya. Sementara itu sapi betina mulai dari enam
juta sampai sepuluh juta untuk setiap ekornya. Namun terkadang harga sapi yang
berada dipasaran juga tergantung kepada besar kecilnya sapi dan gemuk tidaknya
sapi yang akan dijual. Sebab jika sapi yang dijual memiliki bobot yang fantastis
bisa melebihi dari harga yang ditentukan.
Melihat kondisi perusahaan yang memberikan izin maka semakin banyak
pula masyarakat yang terus menambah jumlah ternaknya mulai dari satu ekor
sampai puluhan ekor. Namun hanya beberapa peternak saja yang memiliki sapi
milik sendiri, ada juga beberapa peternak lainnya yang memelihara ternak sapi
milik orang lain. Peternak yang memelihara ternak milik orang lain hanya
diberikan amanah dengan imbalan yaitu, keuntungan dari pemeliharaan berupa
anakan sapi dibagi dua antara pemilik dan penggaduh sapi. Biasanya masyarakat
setempat menyebutkan sistem ini dengan istilah “gaduh atau maro”.
“ menurut (Humans, 2002) Gaduh secara sederhana dapat kita artikan sebagai seseorang yang memberikan sapi yang dimilikinya untuk dikembangbiakkan dengan orang lain, dan keuntungan dari hasil sapi yang dipelihara berupa anak sapi dibagi dua antara pemilik sapi dan pemelihara sapi, atau selisih harga dari sapi yang dibesarkan keuntungannya dibagi dua”.
Sistem bagi hasil ini dikerjakan mulai dari proses pra-produksi,
produksi, hingga pemasaran, yang saling membutuhkan dan menguntungkan
antara pemilik modal dan peternak itu sendiri. Selain itu gaduh juga sering
dilakukan pada masyarakat peternak baik sapi, kambing, maupun kerbau, dengan
telah terbukti dikalangan peternak yang kurang modal sangat membantu karena
dapat menopang kebutuhan ekonomi keluarga tanpa harus keluar modal usaha
yang besar.
Seperti hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya, oleh Dyah
Mardiningsih, dkk ( 2005 ) dikabupaten Grobokan menyatakan:
“ pola kemitraan dengan gadu ternak sapi sudah mendapat hasil yang optimal. Dengan pola pembagian hasil adalah 50% kepada peternak sapi dan 50% kepada pemilik sapi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan para peternak dan pemilik sapi. Hal ini dapat dilakukan karena kedua belah pihak dalam melakukan proses pemeliharaan menggunakan inseminasi buatan, tujuannya untuk meningkatkan hasil produksi daging yang tinggi”.
Namun penulisan skripsi terdahulu mengacu pada tingkat ekonomisnya
dan peningkatan jumlah produksi daging yang diharapkan untuk memenuhi
kebutuhan konsumen. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan lebih mengarah
pada penerapan modal sosial dan pemanfaatan jaringan sosisal dalam sistem
gaduh sapi di Desa Purwosari Atas. Maka dari itu berdasarkan uraian di atas
peneliti tertarik dalam menganalisis dan ingin mengadakan penelitian tentang
Modal Sosial Sistem Bagi Hasil dalam Beternak Sapi pada Masyarakat Desa
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagimana penerapan modal sosial dalam sistem gaduh sapi?
2. Bagaimana jaringan sosial dalam sistem gaduh sapi?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, di samping itu juga
merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dalam segi
teoritis maupun dalam segi praktis. Adapun tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menginterpretasikan penerapan modal sosial dalam
sistem gaduh sapi
2. Untuk mengetahui dan menginterpretasikan jaringan sosial dalam
melakukan gaduh sapi
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1.4.1. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan dan wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa Sosiologi
khususnya pada mata kuliah Sosiologi Pedesaan dan Sosiologi Ekonomi.
Berupa kontribusi yang dapat dijadikan rujukan dalam mengembangkan
sumbangsih pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan untuk
dijadikan sebagai perbandingan penelitian selanjutnya.
2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi
tambahan guna menambah rujukan bagi mahasiswa, khususnya mengenai
sistem bagi hasil ternak sapi (gaduh sapi) di kalangan masyarakat desa.
1.4.2. Manfaat Praktis .
1. Bagi pemerintah sebagai bahan masukan untuk bisa menerapkan sistem
bagi hasil dalam beternak sapi, guna meningkatkan pendapatan ekonomi
masyarakat lemah yang bermata pencaharian sebagai peternakan. Dengan
memanfaatkan modal sosial ekonomi yang telah ada dalam lingkungan
atau struktur masyarakat.
2. Bisa menjadi model dalam pengembangan usaha peternakan sapi bagi
pengembang usaha atau pelaku bisnis lainnya.
1.5. Defenisi Konsep
1.5.1. Institusi Lokal
Institusi yaitu seperangkat aturan yang terinstitusionalisasi dalam suatu
lembaga masyarakat (Harry M.Johnson 1960). Maka dari itu bagi hasil dalam
beternak sapi ini merupakan suatu institusi lokal yang muncul dengan sendirinya
di dalam masyarakat, dengan segala aturan dan memiliki sangsih yang tegas bagi
setiap pelanggarnya jika tidak menepati perjanjian yang telah disepakati.
1.5.2. Pemilik Sapi
Pemilik sapi adalah seseorang yang memiliki sapi namun tidak
dipelihara sendiri melainkan diamanahkan kepada orang lain yang ingin
harus susah payah dalam proses pemeliharaan sapi yang dimiliki dan keuntungan
dibagi dua.
1.5.3. Penggaduh Sapi ( pemelihara sapi )
Merupakan seseorang yang memelihara sapi milik orang lain yang
kemudian mempercayakan sapi tersebut untuk dipelihara kepadanya dan apabila
sapi tersebut berkembang biak maka anak-anak dari hasil pemeliharaan akan di
bagi dua atau selisih harga dari sapi tersebut dibagi dua.
1.5.4. Gaduh Sapi ( bagi hasil )
Gaduh secara sederhana dapat kita artikan sebagai seseorang yang
memberikan sapi yang dimilikinya untuk dikembangkan dengan orang lain.
Keuntungan dari hasil sapi yang dipelihara berupa anaknya dibagi dua antara
pemilik sapi dan pemelihara sapi, atau selisih harga dari sapi yang dibesarkan
keuntungannya dibagi dua ( Humans, 2002 ). Ada dua cara sistem gaduh sapi,
pertama adalah seseorang yang memiliki sapi kemudian sapi tersebut diberikan
untuk dipelihara kepada orang lain dan hasil dari sapi yang dipelihara tersebut
dibagi dua antara pemilik sapi dan pemelihara sapi, dengan catatan bahwa orang
pertama menaggung modal dan orang kedua hanya menggunakan tenaganya saja
dalam gaduh sapi. Kedua yaitu dengan cara kedua belah pihak sama-sama
mengumpulkan modal usaha untuk membeli sapi dan sama-sama memelihara sapi
tersebut kemudian setela memiliki hasil atau keuntungannya dibagi sama rata.
Dengan catatan sama-sama menanggung beban usaha mulai dari proses pra-
1.5.5. Kepercayaan
Kepercayaan dalam gaduh sapi merupakan faktor utama dalam
melakukan hubungan kerjasama ternak sapi. Yang mana kedua belah pihak harus
sama-sama saling mengerti sifat karakter dari keduanya. Kepercayaan biasannya
berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisasi bahaya yang berasal dari aktivitas
tertentu dalam hal ini dimana risiko telah di institusionalisasikan dalam kerangka
kerja kepercayaan menurut Giddens ( 2005: 46-47) .
1.5. 6. Jaringan Sosial
Jaringan sosial merupakan salah satu sumber informasi dalam proses
gaduhan sapi itu berlangsung. Selain itu jaringan sosial juga yang dapat
menemukan siapa orang yang pantas untuk menerima gaduhan sapi, sebab
seseorang yang melakukan gaduh sapi bukanlah seseorang yang tidak saling
mengenal mereka memiliki hubungan yang sangat erat antara pemeilik sapi dan
pemelihara sapi bisa kerabat, tetangga, bahkan saudara dekat yang saling
mengenal karakter dan tingkah laku keduanya. Hal ini ditujukan karena dapat
menekan hal-hal yang tidak diinginkan misalnya kematian, dijual secara diam-
diam, dan pencurian karena kabanyakan sapi yang dimiliki diliarkan di
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial
Modal sosial merupakan gambaran organisasi sosial sebagai jaringan-
jaringan, norma-norma, dan kepercayaan yang dapat berkoordinasi dan
bekerjasama dalam mencapai suatu keuntungan bersama seperti yang dilakukan
dalam usaha peternakan sapi. Modal sosial merupakan suatu dimensi budaya dari
kehidupan ekonomi yang sangat menentukan dalam keberhasilan suatu bidang
ekonomi masyarakat lemah. Konsep modal sosial menjadi salah satu komponen
penting untuk menunjang model pembangunan manusia. Karena dalam modal ini,
manusia ditempatkan sebagai subjek penting yang menentukan arah
penyelenggaraan pembangunan (fukuyama 1995).
Fukuyama (1995) menilai modal sosial dibentuk dan ditranmisikan
melalui mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan
historis. Mekanisme kultural tersebut membentuk nilai-nilai bersama dalam
menghadapi masalah bersama dalam komunitas. Analisi modal sosial dapat
mengacu pada komponen-komponen modal sosial antara lain komponen
mekanisme kultural, saling percaya, pranata dan norma-norma yang dimiliki
bersama dan jaringan sosial yang ada. Sehingga dalam sistem gaduh sapi
kebanyakan pemilik sapi dan pemelihara sapi adalah kerabat dekat, keluarga, dan
tetangga yang memiliki tingkat modal sosial yang lebih dalam dan lebih mengikat
antara yang satu dengan lainnya.
Keberadaan modal sosial ini digunakan dan dimanfaatkan dalam
sumber-sumber peluang bisnis usaha penggaduhan sapi dalam melakukan
hubungan kepada para pemilik sapi yang ingin menggaduhkan sapi yang mereka
miliki. Dengan cara tersedianya jaringan-jaringan sosial yang akan muncul diikuti
dengan norma-norma serta nilai-nilai yang akan berlaku dalam proses
pemeliharaan sapi yang dimiliki oleh para pemilik sapi . Serta dapat menjunjung
tinggi tingkat kepercayaan yang semakin erat antara pemilik sapi dan pemelihara
sapi ( penggaduh sapi) yang pada akhirnya menuju pada masyarakat sejahtera
pada tingkat perekonomian peternak.
Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk
mengukur kualitas hubungan dalm komunitas, organisasi, dan masyarakat. Ada
beberapa tokoh yang berperan dalam memeperkenalkan konsep modal sosial
dalam karya-karya mereka seperti Putnam, Bourdieu, Coleman dan Sabatini 2005.
Menurut Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan:
“modal sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial seperti trust, norma, jaringan sosial, yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun secara berkelompok”.
Sependapat dengan Putnam , Bourdieu (1998) menyatakan:
“bahwa modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang dengan memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang terlembaga dan ada saling mengakui antar anggota yang terlibat didalamnya”.
Dari defenisi di atas ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam
memahami modal sosial yaitu pertama: sumber daya yang saling dimiliki
seseorang berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok dan jaringan sosial.
orang tersebut memobilitasi hubungan dan jaringan dalam kelompok atau dengan
orang lain di luar kelompoknya. Kedua, kualitas hubungan antara aktor lebih
penting dari pada hubungan dalam kelompok.
Bourdieu melihat bahwa jaringan sosial tidak bersifat alami, melainkan
dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan
hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber untuk meraih
keuntungan.
Coleman melengkapi kajian Bourdieu dengan melihat modal sosial
berdasarkan fungsinya. Menurutnya :
“Modal sosial mencakup dua hal dasar yaitu modal sosial mencakup aspek tertentu dari struktur sosial dan modal sosial memfasilitasi pelaku (aktor) bertindak dalam struktur tersebut”.
Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat mendorong
kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung
modal sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai
resiprokal antar teman sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung
nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan defenisi tersebut, modal sosial dapat
disimpulkan sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi
individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien.
Empat unsur utama dalam modal sosial adalah trust ( kepercayaan ),
norms ( norma ), network (jejaring), reciprocity ( hubungan timbal balik).
1. Trust (kepercayaan) merupakan komponen penting dari adanya
masyarakat. Trust dapat mendorong seseorang untuk bekerja sama dengan
orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang
yang sangat penting yang kemudian memunculkan modal sosial.
Fukuyama (2002) menyatakan:
“trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilakukoperatif yang muncul dari dalam diri sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas tersebut”.
2. Unsur terpenting kedua dari modal sosial adalah reciprocity ( hubungan
timbal balik ) yang merupakan tindakan bersama yang ditujukan dengan
saling memberi respon. Reciprocity dapat dijumpai dalam bentuk
memberi, saling menerima, saling membantu, yang dapat muncul dari
interaksi sosial ( Soetomo, 2006:87 ).
3. Unsur yang ketiga adalah seperangkat norma dan tata nilai dalam
bertindak. Norma merupakan satu identitas khusus yang mampu
membentuk modal sosial ( social capital ). Norma merupakan pedoman
berprilaku bagi antar individu dan apa yang mesti mereka lakukan . Selain
itu, norma merupakan sebuah alat penjaga keutuhan eksistensi masyarakt
tertentu. Suatu masyarakat akan disebut eksistensinya tinggi jika mereka
memiliki norma yang berlaku dan disepakati bersama. Apabila tidak ada
maka tidak ada masyarakat melainkan hanya sekumpulan benda.
Sedangkan nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dibanggakan,
dijunjung tinggi dan ingin diperoleh manusia dalam hidupnya yang dapat
berkembang sewaktu-waktu ( Prof.Dr.Notonegoro ).
4. Unsur yang terkahir adalah network atau jaringan sosial yang merupakan
hubungan diantara para pelaku anggota masyarakat atau organisasi sosial.
Jaringan sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan
dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan
politik atau agama, hubungan geneologis, dan lain-lain. Jaringan sosial
tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusional yang memberikan
perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk
mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut ( Pratikno dkk:8 ).
Keempat unsur utama modal sosial dapat dilihat secara aktual dalam
berbagai bentuk kehidupan dengan menggunakan konsep modal sosial seperti
yang dinyatakan oleh ( Soetomo,2006:90 ):
“Dalam pandangannya modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural, dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khusus peranan, aturan, precedent, dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan”.
Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan
hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi khususnya norma, nilai,
sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama
khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentuk-
bentuk aktualisasi modal dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang
perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat selanjutanya dikembangkan dalam
usaha pengingkatan taraf hidup dan kesejahteraan.
Komponen modal sosial tersebut menjelaskan, pada level nilai, kultur,
kepercayaan dan persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati, rasa kewajiban,
rasa percaya, resiprositas,dan pengakuan timbal balik. Pada level institusi bisa
berbentuk keterlibatan umum sebagai warga negara, asosiasi, jaringan. Pada level
kelompok. Tampak jelas bahwa modal sosial bisa memberikan kontrobusi
tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial (Sortomo 2006).
2.2.Interaksi Sosial
Menurut Gillin dan Soeharjo Seokamto ( 2007: 55-56):
“Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorang, antar kelompok- kelompok manusia, maupun antar orang-perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu misalnya mulai dari menegur, berjabat tangan, saling berbicara, bahkan mungkian berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk- bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut saling berbicara atau saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebutkan perubahan-perubahandalam perasaan maupun syaraf orang- orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dll.Semua itu menimbulakan kesan didalam pikiran seseorang, yang kemudian, menentukan tindakan apa yang akan dilakukan (Soerjono Soekamto)”.
Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi kontak sosial
dalam satu komunitas. Interkasi terjadi dua orang atau kelompok saling bertanya
atau pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunitas terjadi
diantara kedua belah pihak. Kontak sosial dalam komunitas merupakan syarat
mutlak dalam proses interaksi sosial, sehingga tanpa kedua unsur ini sangatlah
mustahil jika interaksi dapat terjadi dengan baik. Interaksi sosial dimaksud
sebagai pengaruh timbal balik antara individu dengan golongan di dalam usaha
mereka untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dalam usaha untuk
mencapai tujuannya (Abu Ahmadi 2007:10).
Menurut Soleman B.Taneko ada beberapa bentuk interaksi sosial yang
1. Kerjasama
Kerjasama merupakan usaha bersama antara individu atau kelompok
untuk mencapai satu tujuan bersama. Proses terjadinya kerjasama lahir apabila
diantara individu dan kelompok yang bertujuan memiliki satu tujuan yang sama
yang ingin mereka capai. Begitu pula apabila individu atau kelompok merasa
adanya ancaman dan bahaya dari luar, maka proses kerjasama ini akan bertambah
kuat diantara mereka.
2. Persaingan
Persaingan adalah proses sosial, dimana individu atau kelompok berjuang
dan bersaing untuk mencari keuntungan pada bidang-bidang kehidupan yang
menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik dan dengan
mempertajam prasangka yang telah ada namun tanpa menggunakan ancaman atau
kekerasan.
3. Konflik
Konflik merupakan proses sosial dimana individu ataupun kelompok
menyadari perbedaan-perbadaan, misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsur-
unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi, maupun
kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut dapat mempertajam
perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian dimana
pertikaian itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan fisik.
4. Perdamaian
Akomodasi merupakan proses sosial dengan dua makna, pertama adalah
proses sosial yang menunjukan pada suatu keadaan yang seimbang dalam
hubungannya dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Kedua adalah suatu proses yang sedang berlangsung dimana
akomodasi menampakkan suatu proses untuk merendahkan suatu pertentangan
yang terjadi didalam masyarakat, baik pertentangan yang terjadi diantara individu,
kelompok dan masyarakat maupun dengan norma dan nilai yang ada
dimasyarakat.
Soehaji Soekamto menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk
umum dari interaksi sosial , yaitu asosiatif dan disosiatif ( Soleman B.Taneko
1984:115):
“Suatu interaksi sosial yang asosiatif merupakan proses yang menunjukan pada suatu kerjasama, sedangkan bentuk interaksi disosiatif dapat di artikan sebagai suatu perjuangan melawan seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu”.
2.3. Tinjauan Umum Skala Usaha Ternak Sapi
Usaha peternakan khususnya di Indonesia masih dikelola secara
taradisional, yang bercirikan dengan usaha hanya sebagai usaha keluarga atau
sebagai usaha sampingan. Menurut Soehaji ( Saragih:2000 ), tipologi usaha
peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak,
dan dan diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berikut:
1. Peternakan sebagai usaha sambilan, dimana ternak sebagai usaha sambilan
untuk mencukupi kebutuhan sendiri ( subsistence ), dengan tingkat
pendapatan usaha ternak kurang dari 30%.
2. Peternakan sebagai cabang usaha, dimana peteni peternak mengusahakan
usaha, dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak 30-70% (semi
komersial atau usaha terpadu)
3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternakan mengusahakan ternak
sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha
sambilan ( single komodity), dengan tingkat pendapatan usaha ternak 70-
100%.
4. Peternakan sebagai usaha sendiri, dimana komoditas ternak diusahakan
secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usaha
ternak 100% ( komoditi pilihan).
Ternak sapi merupakan jenis usaha yang dilakukan dalam sekala besar
khususnya di Indonesia. Ternak sapi memiliki manfaat yang lebih luas dan
bernilai ekonomis tinggi jika dibandingkan dengan ternak lainnya. Usaha ternak
sapi merupakan usaha yang lebih menarik sehingga mudah merangsang
pertumbuhan usahanya. Hal ini bisa di buktikan dengan perkembangan usaha
peternakan sapi yang ada di Indonesia jauh lebih maju jika dibandingkan dengan
ternak lain, seperti kerbau, babi, domba dan kambing. Peternakan sapi yang ada di
Indonesia semuanya adalah peternakan rakyat atau keluarga yang merupakan
usaha sambilan dan cabang usaha, yang belum bisa memenuhi permintaan daging
berkualitas. Hal ini dapat terjadi karena pengelolaannya yang masih sangat
tradisional.
Usaha ini belum dilakukan sebagai mata pencaharian utama, sehingga
tidak di kelola sebagai penghasil daging. Keadaan industri peternakan seperti ini
mempengaruhi kualitas daging yang di hasilkan dan pada gilirannya berpengaruh
kenyataan sikap konsumen yang pada umumnya belum selektif terhadap
mutu/kualitas daging yang dibelinya. Selera konsumen daging terhadap marbling
(perlemakan), warna dan keempukan, belum begitu tinggi (Azis dalam Bidiarti,
2000).
Menurut ( Wiliamson dan Payne dalam Rivai,2009 ), setidaknya ada tiga
tipe dalam peternakan sapi di daerah tropis yaitu peternakan rakyat atau
subsistem, peternakan spesialis, produsen skala besar. Purawirokusumo (1990)
menyatakan bahwa berdasarkan tingkat produksi, macam teknologi yang
digunakan, dan banyaknya hasil yang dipasarkan, maka usaha peternakan di
Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Usaha yang bersifat tradisional, yang diwakili oleh petani dangan lahan
sempit, yang mempunyai 1-2 ekor ternak.
2. Usaha backyard yang diwakili oleh peternak sapi perah yang
menggunakan teknologi seperti kandang, manajemen, pakan komersial,
bibit unggul,dan lain-lain.
3. Usaha komersial adalah usaha yang benar-benar menerapkan prinsip-
prinsip ekonomi antara lain untuk keuntungan maksimum.
2.4. Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil
Sistem gaduh sapi secara umum mirip dengan sistem paruhan atau bagi
hasil. Menurut Scheltema (1985) menyatakan:
,
Pada prinsipnya sistem bagi hasil dalam peternakan sapi tidak lepas dari modal
komunitas yang berada di lingkungan tersebut. ( Hasbullah 2006 ) menyatakan:
“Bahwa konsep pembangunan harus memiliki modal komunitas didalamnya yang terdiri dari : (a) Modal Manusia ( human capital ) berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan,kesehatan, keahlian dan keadaan terkait lainnya; (b) modal sumberdaya alam ( natural capital) seperti perairan laut; ( c ) Modal Ekonomi Produktif ( produced economic capital ) berupa aset ekonomi dan finansial serta aset lainnya, dan Modal Sosial ( sosial capital ) berupa norma/nilai, kepercayaan ( trust ) dan partisipasi dalam jaringan”.
Sedangkan Mosher dalam Tarigan (1996), Menyatkan:
“Bahwa bagi hasil adalah kerjasama yang diikat dengan perjanjian bagi hasil 50%-50%. Sistem ini banyak di lakukan karena kemiskinan dan kesukaran mendapatkan modal usaha yang memaksa seseorang untuk menerima nasibnya mengerjakan tanah atau memelihara ternak yang bukan miliknya sendiri”.
Penggaduhan ternak adalah keadaan dimana seseorang dapat memlihara
ternak sapi yang diperolehnya dari orang lain dengan disertai suatu aturan tertentu
tentang pembiayaan dengan pembagian hasilnya. Mereka yang memelihar ternak
orang lain atau pihak lainnya dengan sistem menggaduh ini, selanjutnya disebut
penggaduh ( peternak penggaduh), sedangkan di lain pihak adalah pemilik ternak
(Muhzi 1984).
Menurut (Sajogyo dalam Siswijono,1992), pada sensus pertanian 1983
menunjukakan bahwa penerapan persyaratan bagi hasil sangat bervariasi. Bahkan
Sinaga dan (Kasryno dalam Siswijono,1992) menyatakan bahwa dalam satu
komunitas pun sering dijumpai penerapan persyaratan aturan sistem bagi hasil
yang berbeda. Variasi yang dimaksud mencakup pembagian hasil serta pembagian
sarana produksi. Besarnya bagian untuk menggaduh sapi sangatlah beragam,
misalnya besarnya berkisar antara 1, 1, 1 2 dari nilai pertambahan bobot badan
selama pemeliharaannya. Dari hasil penelitian (Simatupang dalam Lole,1995),
ditemukan bahwa bagian untuk penggaduhan sebesar 2 3dari pertumbuhan bobot
badan sapi, sedangkan pada pola tradisional bahagi penggaduh sapi sebesar 1 dari
2
pertambahan nilai modal usaha.
Dalam bagi hasil usaha ternak, Scheltema (1985) menyatakan:
“Bahwa perjanjian-perjanjian dengan pembagian keuntungan dapat dibagi seperti berikut : perjanjian-perjanjian dengan penyerahan ternak kepada seseorang selama waktu tertentu untuk dipelihara dengan maksud untuk kemudian dijual dan dibagi keuntungannya, atau nilainya diperkirakan pada awal dan akhir perjanjian dan nilai tambah atau nilai kurangnya dibagi, dan perjanjian-perjanjian di mana anak-anak ternak yang dilahirkan dijual dan keuntungannya dibagi. Lebih lanjut menurut Scheltema (1985) kecuali syarat pembagian, dalam bagi usaha ternak yang penting ialah arti ekonominya, bagaimana pengaturannya, siapa yang menaggung risiko bila terjadi kematian, pencurian, dan kehilangan karena hal lari, dalam hal ini juga terdapat banyak variasi”.
Muhzi (1985) menyatakan bahwa pada pokoknya pemilik ternak di
bedakan dalam dua macam yaitu pemerintah dan non pemerintah dengan
demikian terdapat suatu perbedaan yang sangat pokok dalam pembagian hasilnya
sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap pendapatan yang
diperoleh petani dalam satu-satuan tertentu.
Bentuk kerja sama dalam sistem bagi hasil atau sistem gaduh secara
umum melibatkan peternak yang kekurangan modal atau peternak miskin. Mereka
umumnya tidak memiliki ternak sendiri atau kalaupun ada hanya dalam jumlah
yang kecil saja. Dalam keadaan demikian, petani merasa kesulitan karena
dihadapkan pada berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena
itu, upaya alternatif yang relevan adalah pengembangan intensifikasi penggunaan
lahan usaha tani, misalnya usaha penggemukan ternak sapi. Hal ini dapat diterima
Tetapi salah satu kendala utama untuk pengembangan usaha ternak tersebut
adalah keterbatasan modal usaha, khususnya untuk pengadaan ternak bakalan baik
untuk bibitan maupun untuk digemukkan ( Simatupang 1993).
Selain itu, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah tentang faktor-
faktor sosial ekonomi (fisik dan non-fisik) yang mempengaruhi besar kecilnya
bagian bagi hasil yang diterima oleh para peternak penggaduh sapi. Hal ini
penting diketahui sebab ketentuan bagi hasil yang formal belum ada, sehingga
dapat menjadi bahan rekomendasi dalam rangka menghindari terjadinya
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan
penelitian yang menghasilkan data tulisan dan tingkah laku yang didapat dan
diamati dalam subjek penelitian. Sehingga yang menjadi tujuan dalam penelitian
kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena
secara mendalam, rinci dan tuntas melalui wawancara, catatan lapangan,
dokumentasi pribadi, catatan memo dan dokumen resmi lainnya. Oleh karena itu
penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokan
antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode
studi kasus.
“Bogman mendefenisikan studi kasus adalah sebuah kajian yang rinci atas suatu latar atau peristiwa tertentu. Jadi penelitian ini mempelajari secara intensif latar belakang keadaan dan interaksi lingkungan suatu unit sosial, individu, kelompok, atau lembaga masyarakat (Idrus,2009)”.
Jenis penelitian menggunakan pendekatan kualitatif karena analisis data
yang dilakukan tidak untuk menerima atau menolak hipotesis melainkan berupa
deskripsi atas gejala-gejala yang diamati, yang tidak harus selalu berbentuk
angka-angka atau koefisien antar variabel ( Wiratha). Pelaksanaan tidak terbatas
kepada pengumpulan data melainkan juga meliputi analisa dan interpretasi dari
data itu. Dengan demikian penelitian ini berusaha mengurutkan dan menganalisis,
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu
Nanggar Kabupaten Simalungun. Alasan peneliti memilih Desa Purwosari Atas
untuk di jadikan daerah penelitian karenakan desa ini merupakan salah satu
wilayah yang memiliki potensi yang besar dalam usaha peternakan yang ada di
Kabupaten Simalungun. Selain itu Desa Purwosari Atas memiliki tingkat populasi
ternak sapi yang cukup tingggi di bandingkan wilayah lain yang ada di Kabupaten
Simalungun. Dalam lokasi penelitian kali ini juga terdapat masyarakat yang
memiliki sapi dengan menerapkan sistem bagi hasil karena yang ia miliki bukan
milik sendiri melaikan milik teman atau saudara terdekat mereka.
3.3.Unit Analisis dan Informan
3.3.1. Unit Analisis
Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek
penelitian atau unsur yang menjadi fokus dalam penelitian (Bungin:2007). Ada
dua jumlah unit analisis yang lazim digunakan dalam penelitian sosial yaitu
individu, kolompok sosial. Sementara itu yang menjadi unit analisis dalam
penelitian kali ini adalah penggaduh sapi, pemilik sapi dan juga tokoh masyarakat
yang ada di Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten
Simalungun.
3.3.2 .Informan
Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian
sebagai perilaku, dan selain itu juga orang – orang yang menjadi sumber informasi
yang sedang diangkat. Pemilihan informan peneliti menggunakan teknik
purposive sampling dalam menentukan subjek penelitian. Teknik ini digunakan
jika dalam pemilihan informan peneliti menggunakan pertimbangan–
pertimbangan tertentu. Sehingga peneliti menggunakan beberapa kriteria informan
( Idrus, 2009 ). Adapun yang menjadi informan sebagai sumber data dalam
penelitian kali ini adalah:
1. Pemelihara sapi yang telah memiliki sapi dari hasil gaduhan.
2. Pemilik sapi yang telah memiliki sapi dari hasil gaduhan.
3. Tokoh masyarakat yang mengetahui warganya telah menjalankan sistem
gaduh sapi.
3.4.Tehnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data atau informasi dalam penelitian dilapangan
nanti, maka diperlukan alat pengumpulan data seperti obserfasi wawancara, serta
mencatat dokumen-dokumen yang mendukung proses pnelitian ini. Pengumpulan
data dilakukan untuk mendapatkan informasi yang dapat menjelaskan semua
permasalahan-permasalahan yang akan muncul dilapangan yang bersangkutan
dengan penelitian ini. Dalam proses pengumpulan data peneliti menggunakan
beberapa teknik pengumpulan data agar mendapatkan kesesuaian dengan
kebutuhan penelitian dalam mengolah data informasi yang telah diperoleh
dilangan. Dalam penelitian kali ini teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan
mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati.
Banyaknya periode observasi yang perlu dilakukan dan panjangnya waktu pada
setiap periode observasi tergantung kepada jenis data yang dikumpulkan. Apabila
observasi itu akan dilakukan pada sejumlah orang, dan hasil observasi itu akan
digunakan untuk mengadakan perbandingan antar orang-orang tersebut, maka
hendaknya observasi terhadap masing-masing orang dilakukan dalam satu situasi
yang relatif sama. Dalam hal ini peneliti dapat lebih mengetahui bentuk dalam
pembagian hasil ternak usaha sapi dalam gaduh sapi yang dilakukan antara
peternak dan pemilik modal.
Selain observasi, wawancara juga dugunakan sebagai sumber data lain
dalam penelitian kali ini. Wawancara yaitu melakukan tanya jawab kepada
informan dilokasi penelitian dengan menggunakan alat bantu rekaman berupa tape
recorde. Wawancara terhadap informan ditujukan untuk memperoleh data dan
informasi secara lengkap tentang sistem bagi hasil dalam beternak sapi pada
Masyarakat Desa Purwosari Atas.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek
penelitian. Peneliti mendapatkan data yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain
dengan berbagai cara atau metode baik secara komersial maupun non komersial
yang dapat berupa dokumen-dokumen, majalah, jurnal. Namun data yang
diperoleh harus berkaitan dengan dengan sistem bagi hasil beternak sapi dengan
3.5 Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan suatu tahap pengolahan data, setelah data
terkumpul dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.
Maka akan dilakukan pengolahan, analisis, dan penafsiran data yang diperlukan
dari lapangan tadi berupa hasil observasi dan hasil wawancara. Kemudian peneliti
akan menyederhanakan dan mengedit agar lebih mudah dipahami. Data yang telah
terkumpul kemudian akan disusun lagi sedemikian rupa kemudian data tersebut
akan diinterpretasikan secara kualitatif.
Hal ini dilakukan agar peneliti lebih jelas memperoleh hasil yang lebih
mendalam dan meluas sesuai teori yang relefan. Pada akhirnya peneliti akan
menyusun sebagai laporan akhir penelitian ini. Proses ini sudah dilakukan sejak
proposal penelitian dibuat, hingga akhir penelitian. Akan menjadi sebuah laporan
penelitian yang memiliki ciri kualitatif. Bogman dan Biklen ( Moleong, 2006:248)
menjelaskan interpretasi data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerjanya data, mengorganisasikan data. Memilahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan
kepada orang lain.
3.6. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan
pengalaman yang dimiliki oleh peneliti dalam melakukan penelitian
ilmiah.Terutama dalam melakukan wawancara mendalam terhadap informan. Hal
ini dikarenakan keterbatasan pengalaman dan keterbatasan waktu yang dimiliki
hari.Terlepas dari permasalahan teknis penulisan dalam penelitian. Peneliti juga
menyadari keterbatasan mengenai metode yang digunakan sehingga,
menyebabkan lambatnya proses penelitian yang dilakukan. Selain itu masih
adanya keterbatasan bahan pendukung penelitian lainnya yang mungkin masih
sangat sedikit, namun walaupun demikian, peneliti berusaha untuk melaksanakan
kegiatan penelitian ini dengan semaksimal mungkin. Agar data yang dihasilkan
dalam penelitian dapat bersifat valid sehingga apa yang diinginkan dapat tercapai
dan dapat terlaksana secara maksimal.
3.7. Jadwal Pelaksanaan
No Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 PraObservasi x
2 Acc judul x
3 Penyusunan proposal penelitian x x
4 Seminar proposal penelitian x
5 Revisi proposal penelitian x
6 Penelitian kelapangan x x x
7 Bimbingan / laporan akhir x x x x
BAB IV
TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA
4.1. Deskripsi Umum Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar
4.1.1. Letak dan luas wilayah
Desa Purwosari Atas Nagori Dolok Mainu secara administratif terletak di
wilayah Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, Propinsi
Sumatra Utara. Desa ini terbagi atas empat dusun yang terdiri dari masing –
masing wilayah dan memiliki batas teritorial dengan desa lain seperti dibawah ini.
Sebelah Utara : Berbetasan dengan Desa Padang Mainu
Sebelah Selatan : Bebatasan dengan Kota Serbelawan
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Bahung Kahean
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Dolok Merangir 2
Luas wilayah Desa Purwosari Atas menurut penggunaannya seluas 470, 7 ha/m2,
yang terdiri dari luas pemukiman warga seluas 30 ha, luas perkebunan warga 430
ha, luas kuburan/pemakaman umum 0,5 ha, luas pekarangan 10 ha, luas
perkantoran 0,2 ha. Tanah yang dipakai sebagai sarana dan prasarana umum yaitu
berjumlah 3,02 ha, yang terdiri dari lapangan olahraga 1 ha, perkantoran
pemerintahan 0,2 ha, jalan 2 ha. Dengan ketinggian rata-rata 1.100 s/d 1.300
meter di atas permukaan laut dan Desa Purwosari Atas memiliki suhu rata-rata
minimum/maximum adalah 18˚C s/d 24˚C .
4.1.2. Orbitasi Desa Purwosari Atas
Jarak tempuh yang dapat dilalui untuk mencapai Desa Purwosari Atas
dari Kota Kecamatan menuju desa sejauh 3 km dan lama jarak tempu mencapai 15
menit. Kendaraan umum menuju kota kecamatan sebanyak 3 unit. Selanjutnya
jarak tempuh dari Desa Purwosari Atas menuju kota kabupaten sejauh 33 km, dan
jika ditempuh menggunakan kendaraan sekitar 1 jam, kendaraan menuju kota
kabupaten dengan menggunakan 3 unit kendaraan. Jarak tempuh dari Desa
Purwosari Atas menuju Kota Provinsi 133 km, jarak tempuh menggunakan
kendaraan selama 3 jam.
Melihat kondisi ini sebenarnya Desa Purwosari Atas tidak begitu
terbelakang dalam segi pembangunan karena jarak tempuh dan perjalanan yang
dibutuhkan untuk menuju wilayah – wilayah penting seperti yang dipaparkan di
atas sangatlah dekat. Dengan demikian pembanguan dan perekonomian dapat
berputar dengan cepat didukung dengan kondisi wilayah yang dekat dengan pusat
kota.
4.1.3. Penduduk
Penduduk di Desa Purwosari Atas berjumlah 4.145 jiwa dengan 840 kk.
Dengan jumlah laki-laki sebesar 2.089 jiwa, sedangkan jumlah penduduk
perempuan sebesar 2.056 jiwa. Data dapat dilihat pada tabel 1 yaitu:
Tabel 1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Total penduduk
1 Laki – Laki Perempuan
Jumlah persentasi Jumlah Persentasi Jumlah Persentasi
2089 50, 40 % 2056 49, 60 % 4145 100 %
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Jumlah penduduk Desa Purwosari Atas yang paling mendominasi adalah
Tabel 2 Komposisi penduduk Berdasarkan Umur
No Usia / tahun Jumlah penduduk Persentasi
1 00 – 10 tahun 895 21,59 %
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Tabel 3 Komposisi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis
Kelamin
Tingakat pendidikan masyarakat Desa Purwosari Atas sangatlah beragam,
hampir setiap jenjang pendidikan formal dijalani dalam dunia pendidikan oleh
masing – masing warga. Namun hanya beberapa penduduk saja yang melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti Universitas. Hal ini dipengaruhi
oleh pemahaman orang tua yang masih memandang sebelah mata dunia
pendidikan.
Tabel 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Jenis
Kelamin
No Jenis Pekerjaan
Jenis Kelamin Total Laki – Laki Perempuan frekuen
si
Persentas i frekuensi Persentasi Frekuensi Persentasi
1 Peternak
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Mata pencaharian penduduk Desa Purwosari Atas sangatlah beragam.
dan buruh tani. Hal ini didukung oleh kondisi geografis desa yang sangat
menunjang dalam sektor pertanian dan peternakan.
Tabel 5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama dan Jenis Kelamin
No Agama Jenis kelamin Total
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Agama yang paling dominan dipeluk oleh warga desa adalah Islam,
sehingga kerukunan antar umat beragama dapat selalu terjaga, kemudian di ikuti
oleh agama Kristen dan Budha.
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Warga Desa Purwosari Atas kebanyakan mayoritas bersuku atau beretnis
jawa seluruhnya, yang dapat mendominasi kebudayaan dan kebiasaan untuk hidup
rukun dan tentram. Selain itu memiliki semangat gotong royong yang tinggi dan
memiliki potensi keguyupan dalam kehidupan sehari – hari seperti rewang ( yaitu
membantu tetangga sekitar ketika hajatan seperti pernikahan, sunat rosul, dan
menabalkan nama yang didasari oleh pesta), wirit melakukan doa bersama untuk
bersih Desa atau dikenal dengan kerja bakti yang setiap sebulan sekali dilakukan
oleh warga sekitar seperti membersikan jalan, parit irigasi dan tempat ibadah
lainnya.
4.1.4. Peternakan
Potensi peternakan memang sangat mendukung untuk dikembangkan oleh
warga Desa Purwosari Atas, terlihat bahwa jumlah ternak tertinggi yang dimiliki
warga adalah ternak sapi berjumlah 3.000 ekor. Hal ini dikarenakan wilayah yang
mendukung dan masih adanya pakanan hijau yang tersedia di perkebunan milik
pemerintah. Dari sekian banyak sapi yang dipelihara termasuk didalamnya
menggunakan sistem gaduh sapi, yang diterapkan oleh warga sekitar. Dapat
dilihat pada tabel 5 dibawah ini.
Tabel 7 Jenis Populasi Ternak yang Dipelihara Oleh Masyarakat
No Jumlah peternak Jenis ternak Jumlah ternak dipelihara
1 584 Sapi 3.000
2 450 Ayam 1500
3 30 Bebek 450
4 25 Angsa 200
5 30 Kambing 700
6 5 Anjing 10
Total 5860
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Tabel 8 Ketersediaan Pakan Hijau Ternak Sapi.
Luas tanaman pakan ternak ( rumput gajah dan lain – lain ) 1 ha
Produksi hijauan pakan ternak 1 ton / ha
Luas lahan gembalaan ternak 878 ha
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Dapat terlihat sumber ketersediaan pakan hijau ternak sapi yang paling
utama bersumber dari tanah perkebunan miliki pemerintah. Dengan luas 878 ha
hijau lainnya berasal dari peternak itu sendiri yang mencari rumput yang tersedia
dibeberapa tempat, seperti pesawahan dan perkebunan lainnya. Hal ini dilakukan
guna memenuhi kebutuhan pakan sapi yang tergolong kurang. Hasil pencarian
pakan hijau lainnya bisa mencapai 1 ton, untuk setiap hektar luas lahan yang
tersedia.
4.1.5.Kepemilikan Aset Masyarakat
Penduduk yang paling banyak memiliki aset usaha maupun lahan
pertanian lainnya adalah petani. Namun pada kenyataannya banyak juga warga
yang tidak memiliki lahan pertanian dan sarana aset yang lain. Sehingga membuat
warga lainnya mencari pekerjaan sebagai buruh serabutan, dan wiraswasta. Yang
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 9 Kepemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan
Berdasarkan Kepala Keluarga
No Luas lahan Jumlah Keluarga
1 Tidak memiliki lahan pertanian 193 keluarga
2 Memiliki lahan pertanian kurang dari 1 ha 28 keluarga
3 Memiliki 1,0 – 5,0 ha 10 keluarga
4 Memiliki 5,1 – 10 ha 15 keluarga
5 Memiliki lebih dari 10 ha 3 keluarga
Total 223 orang
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Jumlah keluarga yang tidak memiliki lahan pertanian adalah yang
paling mendominasi dibandingkan dengan warga lainnya. Hal ini diikuiti oleh
pendapatan dan jenis pekerjaan yang dimilikinya.
Tabel 10 Data Perkebunan yang Dimiliki Warga
Jumlah keluarga yang memiliki lahan perkebunan 190 keluarga
Tidak memiliki 30 keluarga
Memiliki kurang dari 5 ha 16 keluarga
Warga yang memiliki lahan perkebunan ditanami oleh jenis tanaman
keras seperti karet, sawit, dan kopi, yang menjadi komoditi utama penghasilan
warga Desa Purwosari Atas. Hal ini didukung oleh kondisi geografis wilayah
yang subur, sehingga dalam bercocok tanam dapat memperoleh hasil pertanian
dengan baik dan selain itu masih mudahnya memperoleh pupuk kandang sebagai
pupuk untuk tanaman warga.
Tabel 11 Kepemilikan Sarana angkutan Desa
No Jenis angkutan Jumlah pemilik Jumlah kendaraan
1 Bus 1 2
2 Truk 3 4
3 Sepeda motor 6 6
4 Mobil 5 5
5 Becak 2 2
6 Memiliki bus 4 4
Total 21 23
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Adapun sarana angkutan umum yang tersedia sering digunakan oleh
warga sekitar untuk memudahkan warga keluar masuk desa jika ingin bepergian.
Selain itu juga digunakan sebagai alat angkutan untuk membawa hasil ternak dan
hasil perkebunan warga sekitar.
Tabel 12 Kondisi Bangunan Rumah warga
No Kondisi Rumah Jumlah Persentasi
1 Tembok 860 68,8 %
2 Kayu 380 30,4 %
3 Bambu 10 0,8 %
Total 1250 100 %
Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)
Tidak semua warga desa memiliki rumah yang permanen dan beton, ada
juga beberapa rumah warga yang masih bambu dan kayu hal ini dikarenakan