• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten Simalungun"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

MODAL SOSIAL SISTEM BAGI HASIL DALAM BETERNAK SAPI PADA

MASYARAKAT DESA PURWOSARI ATAS, KECAMATAN DOLOK

BATU NANGGAR KABUPATEN SIMALUNGUN

Studi kasus : Sistem Gaduh Sapi Pada Masyarakat Desa Purwosari Atas,

Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun

Disusun oleh :

SYAMSUL SANJAYA

110901002

DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU

SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS

SUMATRA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Peternakan sapi merupakan salah satu usaha sampingan warga desa yang dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi lainnya. Seperti warga Desa Purwosari Atas yang menerapkan usaha peternakan sapi ini sejak lama. pemicu munculnya minat warga desa memelihara sapi adalah wilayah pedesaan yang dekat dengan perkebunan PTPN IV sebagai salah satu wilayah yang dijadikan sebagai tempat gembalaan sapi warga.

Melihat kondisi perusahaan yang memberikan ijin, maka semakin banyak pula warga yang memelihara ternak baik milik sendiri maupun milik orang lain. Ternak milik orang lain tersebut sengaja dipelihara kepada orang lain untuk dikembangbiakkan yang dikenal dengan istilah gaduh sapi. Gaduh sapi dikejakan mulai proses pra- produksi hingga produksi dengan sistem pembagian hasil usaha dibagi dua antara pemilik dan peternak sapi.

Dalam melaksanakan kerjasama sistem gaduh sapi, para pemilik dan peternak sapi hanya berlandaskan kepercayaan dalam menjalankan usahanya, yang merupakan wujud dari modal sosial yang sudah lama terbentuk dikalangan para peternak dan pemelihara ternak. Kepercayaan yang terbentuk memang sering dilakukan oleh para pelaku usaha ternak sapi. Para pelaku usaha lebih percaya melakukan usaha dengan kepercayaan dari pada berlandaskan hukum perjanjian secara terang – terangan.

Selama proses pemeliharaan berlangsung para pemilik ternak dan pemelihara ternak jarang mengalami kerugian, yang diakibatkan karena sesuatu hal terjadi di tengah – tengah usaha yang sedang berlangsung misalnya kematian, pencurian, dan ternak yang dipelihara sakit. Hal ini dapat diminimalisir karena para pelaku usaha adalah kerabat dekat, tetangga dan saudara yang memiliki hubungan yang erat, sehingga perjanjian secara terang – terangan tidak diperlukan. Karena adanya rasa jujur yang timbul dari dalam diri para pelaku usaha dan rasa segan jika ingin memberikan keterangan palsu mengenai kondisi ternaknya.

Selain itu karena kedekatan hubungan sosial dan adanya kepercayaan yang timbul diantara pelaku usaha. Maka setiap masalah yang muncul dalam gaduh

sapi diselsaikan dengan menempuh jalan musyawarah keluarga atau akomodasi. Dalam musyawarah keluarga para pelaku usaha tidak melibatkan pihak berwajib dalam menyelesaikan masalah timbul. Dengan tujuan untuk untuk menjaga hubungan kedekatan diantara keduanya agar dapat selalu baik – baik saja.

Usaha gaduh sapi memang banyak membantu warga desa yang ekonominya kurang baik, asal dibarengi dengan hukum penjajian yang jelas ketika memberikan sapi kepada calon pemelihara sapi. Selain itu dalam gaduh

sapi pemilik sapi harus mengenal dekat calon pemelihara sapi yang bakal diberikan amanah sapinya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam gaduh sapi karena dapat menimbulkan masalah jika asal saja dalam memilih calon pemelihara ternak bisa saja pemelihara ternak yang tidak jujur atau mau bermain curang dalam memberikan keterangan kepada pemilik ternak.

(3)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala

limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

Skripsi yang berjudul “Modal Sosial Sistem Bagi Hasil Dalam Beternak Sapi Pada

Masyarakat Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar, Kabupaten

Simalungun”, disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana

pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara

ringkas skripsi ini menceritakan tentang bagaimana penerapan modal sosial dalam

sistem gaduh sapi dan bagaimana pemanfaatan jaringan sosial dalam sistem gaduh

sapi, pada peternak sapi di Desa Purwosari Atas, Kecamatan Dolok Batu Naggar,

Kabupaten Simalungun

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak

skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati,

baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan dengan tepat waktu.

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan

ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu

penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Rasa hormat dan terimakasih yang tidak akan dapat penulis ucapkan dengan

kata-kata kepada Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, Selaku ketua Departemen

(4)

telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam

membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian penulisan

skripsi ini. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, dan Kak

Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan

dalam hal administrasi.

3. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

dan tiada henti-hentinya saya ucapkan kepada kedua orang tua tercinta

Ayahanda Alm Tukisno dan Ibunda Sarmi Damanik yang telah merawat

dan membesarkan serta mendidik saya dengan sepenuh hati dan kasih

sayang kebesarannya. Akhirnya inilah persembahan yang dapat saya

berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya kepada

kedua orang tua.

4. Saya ucapkan terimakasih secara khusus dan istimewa buat kakak

tersayang saya yaitu kakak Erna Kurniati S.PD dan kakak Aisyah

Rahmayani serta abang ipar saya Erik Ardiansyah dan keponakan-

keponakan saya Quinara Erly Ardana, Arsaka Firendra Ardana, yang

selalu memberikan do’a, semangat, nasehat kepada saya dan masukan

yang tidak ternilai harganya dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Penulis juga ucapkan terima kasih buat Ferry Ramadan, Syamsir

Meisyawaldi, Noviani dwita Siregar, Ismi Andari, Abdurrahman, Rama Dona

Herman, serta teman-teman sosiologi Stambuk 2011 yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu orangnya sekaligus teman – teman dari UKM Marching

(5)

Penulis bangga mempunyai sahabat seperti kalian, yang begitu banyak

membantu selama penulisan skripsi ini dan selalu menjadi teman untuk

bertukar pendapat dalam memberikan masukan.

6. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada kepala Desa Purwosari Atas Nagori

Dolok Mainu yaitu Bapak Sugeng S.Pdi, serta Para Informan yang telah

banyak membantu memberikan informasi yang sangat dibutuhkan dalam

penulisan skripsi ini. Terimakasih banyak atas waktu dan kesediaan para

informan selama proses penelitian berlangsung.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai

kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-

saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat

penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir

kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada

semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, 15 juni 2015

(Penulis)

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL……… ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.5 Defenisi Konsep ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 9

2.1 Modal Sosial ... 9

2.2 Interaksi Sosial ... 14

2.3 Tinjauan Umum Usaha Peternakan Sapi ... 16

2.4 Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil ... 18

BAB III METODE PENELITIAN ...22

3.1 Jenis Penelitian ... 22

3.2 Lokasi Penelitian ... 23

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 23

3.3.1 Unit Analisis ... 23

3.3.2 Informan ... 23

3.4 Tehnik Pengumpulan Data ... 24

3.5 Interpretasi Data ... 26

(7)

3.6 Jadwal Pelaksanaan ... 27

BAB IV TEMUAN DATA INTERPRETASI DATA ... 28

4.1 Deskripsi Desa Purwosari Atas ... 28

4.1.1. Letak dan Luas Wilayah ... 28

4.1.2. 0rbitasi Desa Purwosari Atas ... 28

4.1.3. Penduduk... 29

4.1.4. Peternakan... 33

4.1.5. Kepemilikan Aset Masyarakat ... 34

4.1.6. Sarana Penghubung Desa... 37

4.2 Gambaran Masyarakat Desa Purwosari Atas... 38

4.2.1. gambaran struktur masyarakat desa ... 38

4.3 Profil Informan ... 39

4.3.1. Pemerintahan Desa Purwosari Atas... 39

4.3.2. Pemelihara Ternak ... 40

4.3.3. Pemilik Ternak ... 46

4.4 Sistem Gaduh Sapi di Desa Purwosari Atas ... 52

4.4.1.Munculnya Sistem Gaduh Sapi di Desa Purwosari Atas ..57

4.4.4.1. Syukuran Sebagai Norma Sosial ... 59

4.4.2.Cara Penyelesaian Jika Terjadi Permasalahan Dalam Gaduh Sapi... 62

4.4.2.1. Apabila Sapi yang Dipelihara Sakit ... 63

4.4.2.2. Apabila Sapi yang Dipelihara Hilang ... 64

4.4.2.3. Apabila Sapi yang Dipelihara Mati... 65

(8)

4.4.2.5. Pemelihara Ingin Menjual Ternaknya... 67

4.4.2.6. Pemilik Ternak Mengambil Ternaknya ... 68

4.4.3.Faktor yang Mendukung Keberhasilan Dalam Gaduh Sapi Dapat Bertahan lama... 70

4.4.3.1. Adanya Sifat Mementingkan Jiwa Rasa ... 73

4.4.3.2.Adanya Sikap Senang Berlaku Rukun ... 75

4.4.3.3.Adanya Sifat Hormat Kepada Orang Lain ... 76

4.4.3.4. Adanya Kejujuran ... 77

4.4.4.Cara Bagi Hasil Dalam Gaduh Sapi... 79

4.4.4.1.Sistem Maro Anak ... 79

4.4.4.2. Sistem Maro Bathi ... 80

4.4.4.3. Sistem Maro Pro Sepuluh dan Maro ... 81

4.4.5. Pemanfaatan Jaringan Dalam Gaduh Sapi ... 85

4.4.5.1. Kedua Belah Pihak Saling Mengenal ... 87

4.4.5.2. Adanya Hubungan Tetangga ... 87

4.4.5.3. Adanya Hubungan Saudara ... 88

BAB V PENUTUP ...93

5.1. Kesimpulan ... 93

5.2. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA...

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin... 29

Tabel 2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur ... 30

Tabel 3.Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin... 30

Tabel 4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin ... 31

Tabel 5.Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama dan Jenis Kelamin ... 32

Tabel 6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis ... 32

Tabel 7. Jenis Populasi Ternak yang di Pelihara Oleh Masyarakat ... 33

Tabel 8. Ketersediaan Pakan Hijau Ternak Sapi ... 33

Tabel 9. Kepemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berdasarkan Kepada Keluarga ... 34

Tabel 10. Data Perkebunan yang Dimiliki Oleh Warga ... .34

Tabel 11. Kepemilikan Sarana Angkutan Desa ... 35

Tabel 12. Kondisi Bangunan Rumah ... 35

Tabel 13. Jenis Lantai Bangunan Rumah... 36

Tabel 14. Kepemilikan Aset Ekonomi Lainnya ... 36

(10)

ABSTRAK

Peternakan sapi merupakan salah satu usaha sampingan warga desa yang dijadikan sebagai sumber pendapatan ekonomi lainnya. Seperti warga Desa Purwosari Atas yang menerapkan usaha peternakan sapi ini sejak lama. pemicu munculnya minat warga desa memelihara sapi adalah wilayah pedesaan yang dekat dengan perkebunan PTPN IV sebagai salah satu wilayah yang dijadikan sebagai tempat gembalaan sapi warga.

Melihat kondisi perusahaan yang memberikan ijin, maka semakin banyak pula warga yang memelihara ternak baik milik sendiri maupun milik orang lain. Ternak milik orang lain tersebut sengaja dipelihara kepada orang lain untuk dikembangbiakkan yang dikenal dengan istilah gaduh sapi. Gaduh sapi dikejakan mulai proses pra- produksi hingga produksi dengan sistem pembagian hasil usaha dibagi dua antara pemilik dan peternak sapi.

Dalam melaksanakan kerjasama sistem gaduh sapi, para pemilik dan peternak sapi hanya berlandaskan kepercayaan dalam menjalankan usahanya, yang merupakan wujud dari modal sosial yang sudah lama terbentuk dikalangan para peternak dan pemelihara ternak. Kepercayaan yang terbentuk memang sering dilakukan oleh para pelaku usaha ternak sapi. Para pelaku usaha lebih percaya melakukan usaha dengan kepercayaan dari pada berlandaskan hukum perjanjian secara terang – terangan.

Selama proses pemeliharaan berlangsung para pemilik ternak dan pemelihara ternak jarang mengalami kerugian, yang diakibatkan karena sesuatu hal terjadi di tengah – tengah usaha yang sedang berlangsung misalnya kematian, pencurian, dan ternak yang dipelihara sakit. Hal ini dapat diminimalisir karena para pelaku usaha adalah kerabat dekat, tetangga dan saudara yang memiliki hubungan yang erat, sehingga perjanjian secara terang – terangan tidak diperlukan. Karena adanya rasa jujur yang timbul dari dalam diri para pelaku usaha dan rasa segan jika ingin memberikan keterangan palsu mengenai kondisi ternaknya.

Selain itu karena kedekatan hubungan sosial dan adanya kepercayaan yang timbul diantara pelaku usaha. Maka setiap masalah yang muncul dalam gaduh

sapi diselsaikan dengan menempuh jalan musyawarah keluarga atau akomodasi. Dalam musyawarah keluarga para pelaku usaha tidak melibatkan pihak berwajib dalam menyelesaikan masalah timbul. Dengan tujuan untuk untuk menjaga hubungan kedekatan diantara keduanya agar dapat selalu baik – baik saja.

Usaha gaduh sapi memang banyak membantu warga desa yang ekonominya kurang baik, asal dibarengi dengan hukum penjajian yang jelas ketika memberikan sapi kepada calon pemelihara sapi. Selain itu dalam gaduh

sapi pemilik sapi harus mengenal dekat calon pemelihara sapi yang bakal diberikan amanah sapinya. Hal ini sangat dibutuhkan dalam gaduh sapi karena dapat menimbulkan masalah jika asal saja dalam memilih calon pemelihara ternak bisa saja pemelihara ternak yang tidak jujur atau mau bermain curang dalam memberikan keterangan kepada pemilik ternak.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Simalungun sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan

perkebunan yang memiliki banyak potensi ekonomi yang dapat dikembangkan.

Salah satunya adalah usaha peternakan sapi yang digeluti oleh masyarakat yang

berada di pedesaan. Seperti halnya warga Desa Purwosari Atas yang hampir

setiap kepala rumah tangga memiliki sapi untuk dikembangkan baik secara

modern maupun secara tradisional.

Usaha peternakan sapi yang dilakukan oleh warga desa merupakan salah

satu usaha sampingan keluarga, yang sering dilakukan oleh masyarakat Desa

Purwosari Atas. Sebagai salah satu usaha yang dapat menopang perekonomian

keluarga jika mengalami masa – masa sulit. Dengan meningkatnya minat warga

dalam memelihara ternak sapi berdampak pada meningkatnya jumlah populasi

ternak yang cukup tinggi di Kabupaten Simalungun, yaitu mencapai 103, 068

ekor, yang terdiri dari 97,576 ekor sapi potong atau sapi peliharaan, 40 ekor sapi

perah dan 5,453 ekor kerbau (berdasarkan data dari Dinas Peternakan tahun

2014).

Sementara itu Kecamatan Dolok Batu Nanggar merupakan salah satu

Kecamatan yang berada pada posisi ke tiga dengan jumlah populasi ternak sapi

terbanyak di Kabupaten Simalungun, yaitu mencapai 11,584 ekor sapi yang

terdiri dari 2,428 sapi jantan, 8,996 sapi betina. Sedangkan Desa Purwosari Atas

(12)

Simalungun memiliki jumlah populasi ternak sapi yang lumayan banyak dan

sangat beragam seperti tabel dibawah ini:

No Jumlah peternak Jenis ternak Jumlah ternak dipelihara

1 584 Sapi 3.000

2 450 Ayam 1500

3 30 Bebek 450

4 25 Angsa 200

5 30 Kambing 700

6 5 Anjing 10

Total 5860

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013).

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah populasi ternak sapi yang paling

tinggi dan mendominasi. Bila dibandingkan dengan ternak lainnya yang

dipelihara oleh warga desa. Munculnya minat masyarakat Desa Purwosari Atas

dalam beternakan sapi dikarenakan, usaha ini tidak terlalu banyak memakan biaya

dan sedikit menanggung resiko dalam proses pemeliharaanya tetapi memiliki hasil

yang besar.

Factor pendukung lainnya dalam memelihara sapi adalah letak Desa

Purwosari Atas yang strategis, yaitu berada disekeliling perkebunan BUMN

PTPN IV Dolok Ilir sebagai tempat gembalakan sapi (angonan). Sehingga Sapi

yang dipelihara oleh warga desa rata – rata hanya diliarkan saja di perkebunan

BUMN PTPN IV Dolok Ilir tersebut. Dengan luas perkebunan yang di jadikan

tempat untuk mengembalakan sapi mencapai 878 hektar yang berada di kawasan

PTPN IV Dolok Ilir ( Menurut data statistik kelurahan Desa Purwosari Atas tahun

2013). Pada dasarnya perkebunan ini tidak memberikan izin kepada masyarakat

untuk mengembalakan sapi-sapi mereka. Dengan alasan lahan akan rusak dan

tandus, namun kebanyakan masyarakat masih saja tidak menghiraukan larangan

(13)

Harga sapi yang lumayan tinggi dipasaran juga sebagai salah satu dasar

daya tarik yang dapat meningkatkan minat warga desa dalam memelihara sapi.

seperti saat ini saja harga sapi jantan yang kisaran harganya mencapai delapan juta

sampai dua belas juta setiap ekornya. Sementara itu sapi betina mulai dari enam

juta sampai sepuluh juta untuk setiap ekornya. Namun terkadang harga sapi yang

berada dipasaran juga tergantung kepada besar kecilnya sapi dan gemuk tidaknya

sapi yang akan dijual. Sebab jika sapi yang dijual memiliki bobot yang fantastis

bisa melebihi dari harga yang ditentukan.

Melihat kondisi perusahaan yang memberikan izin maka semakin banyak

pula masyarakat yang terus menambah jumlah ternaknya mulai dari satu ekor

sampai puluhan ekor. Namun hanya beberapa peternak saja yang memiliki sapi

milik sendiri, ada juga beberapa peternak lainnya yang memelihara ternak sapi

milik orang lain. Peternak yang memelihara ternak milik orang lain hanya

diberikan amanah dengan imbalan yaitu, keuntungan dari pemeliharaan berupa

anakan sapi dibagi dua antara pemilik dan penggaduh sapi. Biasanya masyarakat

setempat menyebutkan sistem ini dengan istilah “gaduh atau maro”.

menurut (Humans, 2002) Gaduh secara sederhana dapat kita artikan sebagai seseorang yang memberikan sapi yang dimilikinya untuk dikembangbiakkan dengan orang lain, dan keuntungan dari hasil sapi yang dipelihara berupa anak sapi dibagi dua antara pemilik sapi dan pemelihara sapi, atau selisih harga dari sapi yang dibesarkan keuntungannya dibagi dua”.

Sistem bagi hasil ini dikerjakan mulai dari proses pra-produksi,

produksi, hingga pemasaran, yang saling membutuhkan dan menguntungkan

antara pemilik modal dan peternak itu sendiri. Selain itu gaduh juga sering

dilakukan pada masyarakat peternak baik sapi, kambing, maupun kerbau, dengan

(14)

telah terbukti dikalangan peternak yang kurang modal sangat membantu karena

dapat menopang kebutuhan ekonomi keluarga tanpa harus keluar modal usaha

yang besar.

Seperti hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya, oleh Dyah

Mardiningsih, dkk ( 2005 ) dikabupaten Grobokan menyatakan:

“ pola kemitraan dengan gadu ternak sapi sudah mendapat hasil yang optimal. Dengan pola pembagian hasil adalah 50% kepada peternak sapi dan 50% kepada pemilik sapi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan para peternak dan pemilik sapi. Hal ini dapat dilakukan karena kedua belah pihak dalam melakukan proses pemeliharaan menggunakan inseminasi buatan, tujuannya untuk meningkatkan hasil produksi daging yang tinggi”.

Namun penulisan skripsi terdahulu mengacu pada tingkat ekonomisnya

dan peningkatan jumlah produksi daging yang diharapkan untuk memenuhi

kebutuhan konsumen. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan lebih mengarah

pada penerapan modal sosial dan pemanfaatan jaringan sosisal dalam sistem

gaduh sapi di Desa Purwosari Atas. Maka dari itu berdasarkan uraian di atas

peneliti tertarik dalam menganalisis dan ingin mengadakan penelitian tentang

Modal Sosial Sistem Bagi Hasil dalam Beternak Sapi pada Masyarakat Desa

(15)

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagimana penerapan modal sosial dalam sistem gaduh sapi?

2. Bagaimana jaringan sosial dalam sistem gaduh sapi?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang

bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, di samping itu juga

merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dalam segi

teoritis maupun dalam segi praktis. Adapun tujuan yang akan dicapai dalam

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menginterpretasikan penerapan modal sosial dalam

sistem gaduh sapi

2. Untuk mengetahui dan menginterpretasikan jaringan sosial dalam

melakukan gaduh sapi

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah

pengetahuan dan wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa Sosiologi

khususnya pada mata kuliah Sosiologi Pedesaan dan Sosiologi Ekonomi.

Berupa kontribusi yang dapat dijadikan rujukan dalam mengembangkan

(16)

sumbangsih pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan untuk

dijadikan sebagai perbandingan penelitian selanjutnya.

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi

tambahan guna menambah rujukan bagi mahasiswa, khususnya mengenai

sistem bagi hasil ternak sapi (gaduh sapi) di kalangan masyarakat desa.

1.4.2. Manfaat Praktis .

1. Bagi pemerintah sebagai bahan masukan untuk bisa menerapkan sistem

bagi hasil dalam beternak sapi, guna meningkatkan pendapatan ekonomi

masyarakat lemah yang bermata pencaharian sebagai peternakan. Dengan

memanfaatkan modal sosial ekonomi yang telah ada dalam lingkungan

atau struktur masyarakat.

2. Bisa menjadi model dalam pengembangan usaha peternakan sapi bagi

pengembang usaha atau pelaku bisnis lainnya.

1.5. Defenisi Konsep

1.5.1. Institusi Lokal

Institusi yaitu seperangkat aturan yang terinstitusionalisasi dalam suatu

lembaga masyarakat (Harry M.Johnson 1960). Maka dari itu bagi hasil dalam

beternak sapi ini merupakan suatu institusi lokal yang muncul dengan sendirinya

di dalam masyarakat, dengan segala aturan dan memiliki sangsih yang tegas bagi

setiap pelanggarnya jika tidak menepati perjanjian yang telah disepakati.

1.5.2. Pemilik Sapi

Pemilik sapi adalah seseorang yang memiliki sapi namun tidak

dipelihara sendiri melainkan diamanahkan kepada orang lain yang ingin

(17)

harus susah payah dalam proses pemeliharaan sapi yang dimiliki dan keuntungan

dibagi dua.

1.5.3. Penggaduh Sapi ( pemelihara sapi )

Merupakan seseorang yang memelihara sapi milik orang lain yang

kemudian mempercayakan sapi tersebut untuk dipelihara kepadanya dan apabila

sapi tersebut berkembang biak maka anak-anak dari hasil pemeliharaan akan di

bagi dua atau selisih harga dari sapi tersebut dibagi dua.

1.5.4. Gaduh Sapi ( bagi hasil )

Gaduh secara sederhana dapat kita artikan sebagai seseorang yang

memberikan sapi yang dimilikinya untuk dikembangkan dengan orang lain.

Keuntungan dari hasil sapi yang dipelihara berupa anaknya dibagi dua antara

pemilik sapi dan pemelihara sapi, atau selisih harga dari sapi yang dibesarkan

keuntungannya dibagi dua ( Humans, 2002 ). Ada dua cara sistem gaduh sapi,

pertama adalah seseorang yang memiliki sapi kemudian sapi tersebut diberikan

untuk dipelihara kepada orang lain dan hasil dari sapi yang dipelihara tersebut

dibagi dua antara pemilik sapi dan pemelihara sapi, dengan catatan bahwa orang

pertama menaggung modal dan orang kedua hanya menggunakan tenaganya saja

dalam gaduh sapi. Kedua yaitu dengan cara kedua belah pihak sama-sama

mengumpulkan modal usaha untuk membeli sapi dan sama-sama memelihara sapi

tersebut kemudian setela memiliki hasil atau keuntungannya dibagi sama rata.

Dengan catatan sama-sama menanggung beban usaha mulai dari proses pra-

(18)

1.5.5. Kepercayaan

Kepercayaan dalam gaduh sapi merupakan faktor utama dalam

melakukan hubungan kerjasama ternak sapi. Yang mana kedua belah pihak harus

sama-sama saling mengerti sifat karakter dari keduanya. Kepercayaan biasannya

berfungsi untuk mereduksi atau meminimalisasi bahaya yang berasal dari aktivitas

tertentu dalam hal ini dimana risiko telah di institusionalisasikan dalam kerangka

kerja kepercayaan menurut Giddens ( 2005: 46-47) .

1.5. 6. Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan salah satu sumber informasi dalam proses

gaduhan sapi itu berlangsung. Selain itu jaringan sosial juga yang dapat

menemukan siapa orang yang pantas untuk menerima gaduhan sapi, sebab

seseorang yang melakukan gaduh sapi bukanlah seseorang yang tidak saling

mengenal mereka memiliki hubungan yang sangat erat antara pemeilik sapi dan

pemelihara sapi bisa kerabat, tetangga, bahkan saudara dekat yang saling

mengenal karakter dan tingkah laku keduanya. Hal ini ditujukan karena dapat

menekan hal-hal yang tidak diinginkan misalnya kematian, dijual secara diam-

diam, dan pencurian karena kabanyakan sapi yang dimiliki diliarkan di

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Modal Sosial

Modal sosial merupakan gambaran organisasi sosial sebagai jaringan-

jaringan, norma-norma, dan kepercayaan yang dapat berkoordinasi dan

bekerjasama dalam mencapai suatu keuntungan bersama seperti yang dilakukan

dalam usaha peternakan sapi. Modal sosial merupakan suatu dimensi budaya dari

kehidupan ekonomi yang sangat menentukan dalam keberhasilan suatu bidang

ekonomi masyarakat lemah. Konsep modal sosial menjadi salah satu komponen

penting untuk menunjang model pembangunan manusia. Karena dalam modal ini,

manusia ditempatkan sebagai subjek penting yang menentukan arah

penyelenggaraan pembangunan (fukuyama 1995).

Fukuyama (1995) menilai modal sosial dibentuk dan ditranmisikan

melalui mekanisme kultural, seperti agama, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan

historis. Mekanisme kultural tersebut membentuk nilai-nilai bersama dalam

menghadapi masalah bersama dalam komunitas. Analisi modal sosial dapat

mengacu pada komponen-komponen modal sosial antara lain komponen

mekanisme kultural, saling percaya, pranata dan norma-norma yang dimiliki

bersama dan jaringan sosial yang ada. Sehingga dalam sistem gaduh sapi

kebanyakan pemilik sapi dan pemelihara sapi adalah kerabat dekat, keluarga, dan

tetangga yang memiliki tingkat modal sosial yang lebih dalam dan lebih mengikat

antara yang satu dengan lainnya.

Keberadaan modal sosial ini digunakan dan dimanfaatkan dalam

(20)

sumber-sumber peluang bisnis usaha penggaduhan sapi dalam melakukan

hubungan kepada para pemilik sapi yang ingin menggaduhkan sapi yang mereka

miliki. Dengan cara tersedianya jaringan-jaringan sosial yang akan muncul diikuti

dengan norma-norma serta nilai-nilai yang akan berlaku dalam proses

pemeliharaan sapi yang dimiliki oleh para pemilik sapi . Serta dapat menjunjung

tinggi tingkat kepercayaan yang semakin erat antara pemilik sapi dan pemelihara

sapi ( penggaduh sapi) yang pada akhirnya menuju pada masyarakat sejahtera

pada tingkat perekonomian peternak.

Modal sosial adalah salah satu konsep baru yang digunakan untuk

mengukur kualitas hubungan dalm komunitas, organisasi, dan masyarakat. Ada

beberapa tokoh yang berperan dalam memeperkenalkan konsep modal sosial

dalam karya-karya mereka seperti Putnam, Bourdieu, Coleman dan Sabatini 2005.

Menurut Putnam (1993, 1996, 2000) menyatakan:

“modal sosial mengacu pada esensi dari organisasi sosial seperti trust, norma, jaringan sosial, yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan lebih terkoordinasi, dan anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan bekerjasama secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bersama, dan mempengaruhi produktifitas secara individual maupun secara berkelompok”.

Sependapat dengan Putnam , Bourdieu (1998) menyatakan:

“bahwa modal sosial sebagai sumber daya yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang dengan memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang terlembaga dan ada saling mengakui antar anggota yang terlibat didalamnya”.

Dari defenisi di atas ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam

memahami modal sosial yaitu pertama: sumber daya yang saling dimiliki

seseorang berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok dan jaringan sosial.

(21)

orang tersebut memobilitasi hubungan dan jaringan dalam kelompok atau dengan

orang lain di luar kelompoknya. Kedua, kualitas hubungan antara aktor lebih

penting dari pada hubungan dalam kelompok.

Bourdieu melihat bahwa jaringan sosial tidak bersifat alami, melainkan

dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan

hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber untuk meraih

keuntungan.

Coleman melengkapi kajian Bourdieu dengan melihat modal sosial

berdasarkan fungsinya. Menurutnya :

“Modal sosial mencakup dua hal dasar yaitu modal sosial mencakup aspek tertentu dari struktur sosial dan modal sosial memfasilitasi pelaku (aktor) bertindak dalam struktur tersebut”.

Fukuyama (1999) menambahkan norma-norma informal dapat mendorong

kerjasama antara dua atau beberapa orang. Norma-norma yang mengandung

modal sosial memiliki ruang lingkup yang cukup luas, mulai dari nilai-nilai

resiprokal antar teman sampai dengan yang sangat kompleks dan mengandung

nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan defenisi tersebut, modal sosial dapat

disimpulkan sebagai jaringan dan nilai-nilai sosial yang dapat memfasilitasi

individu dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara efektif dan efisien.

Empat unsur utama dalam modal sosial adalah trust ( kepercayaan ),

norms ( norma ), network (jejaring), reciprocity ( hubungan timbal balik).

1. Trust (kepercayaan) merupakan komponen penting dari adanya

masyarakat. Trust dapat mendorong seseorang untuk bekerja sama dengan

orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama yang

(22)

yang sangat penting yang kemudian memunculkan modal sosial.

Fukuyama (2002) menyatakan:

“trust sebagai harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilakukoperatif yang muncul dari dalam diri sebuah komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas tersebut”.

2. Unsur terpenting kedua dari modal sosial adalah reciprocity ( hubungan

timbal balik ) yang merupakan tindakan bersama yang ditujukan dengan

saling memberi respon. Reciprocity dapat dijumpai dalam bentuk

memberi, saling menerima, saling membantu, yang dapat muncul dari

interaksi sosial ( Soetomo, 2006:87 ).

3. Unsur yang ketiga adalah seperangkat norma dan tata nilai dalam

bertindak. Norma merupakan satu identitas khusus yang mampu

membentuk modal sosial ( social capital ). Norma merupakan pedoman

berprilaku bagi antar individu dan apa yang mesti mereka lakukan . Selain

itu, norma merupakan sebuah alat penjaga keutuhan eksistensi masyarakt

tertentu. Suatu masyarakat akan disebut eksistensinya tinggi jika mereka

memiliki norma yang berlaku dan disepakati bersama. Apabila tidak ada

maka tidak ada masyarakat melainkan hanya sekumpulan benda.

Sedangkan nilai merupakan sesuatu yang dihargai, dibanggakan,

dijunjung tinggi dan ingin diperoleh manusia dalam hidupnya yang dapat

berkembang sewaktu-waktu ( Prof.Dr.Notonegoro ).

4. Unsur yang terkahir adalah network atau jaringan sosial yang merupakan

hubungan diantara para pelaku anggota masyarakat atau organisasi sosial.

Jaringan sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan

(23)

dibentuk karena berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan

politik atau agama, hubungan geneologis, dan lain-lain. Jaringan sosial

tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusional yang memberikan

perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk

mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut ( Pratikno dkk:8 ).

Keempat unsur utama modal sosial dapat dilihat secara aktual dalam

berbagai bentuk kehidupan dengan menggunakan konsep modal sosial seperti

yang dinyatakan oleh ( Soetomo,2006:90 ):

“Dalam pandangannya modal sosial dapat dilihat dalam dua kategori, fenomena struktural, dan kognitif. Kategori struktural merupakan modal sosial yang terkait dengan beberapa bentuk organisasi sosial khusus peranan, aturan, precedent, dan prosedur yang dapat membentuk jaringan yang luas bagi kerjasama dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan”.

Modal sosial dalam kategori kognitif diderivasi dari proses mental dan

hasil pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi khususnya norma, nilai,

sikap, kepercayaan yang memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kerjasama

khususnya dalam bentuk tindakan bersama yang saling menguntungkan. Bentuk-

bentuk aktualisasi modal dalam fenomena struktural maupun kognitif itulah yang

perlu digali dari dalam kehidupan masyarakat selanjutanya dikembangkan dalam

usaha pengingkatan taraf hidup dan kesejahteraan.

Komponen modal sosial tersebut menjelaskan, pada level nilai, kultur,

kepercayaan dan persepsi modal sosial bisa berbentuk simpati, rasa kewajiban,

rasa percaya, resiprositas,dan pengakuan timbal balik. Pada level institusi bisa

berbentuk keterlibatan umum sebagai warga negara, asosiasi, jaringan. Pada level

(24)

kelompok. Tampak jelas bahwa modal sosial bisa memberikan kontrobusi

tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial (Sortomo 2006).

2.2.Interaksi Sosial

Menurut Gillin dan Soeharjo Seokamto ( 2007: 55-56):

“Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang-perorang, antar kelompok- kelompok manusia, maupun antar orang-perorang dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi dimulai pada saat itu misalnya mulai dari menegur, berjabat tangan, saling berbicara, bahkan mungkian berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk- bentuk interaksi sosial. Walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut saling berbicara atau saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebutkan perubahan-perubahandalam perasaan maupun syaraf orang- orang yang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan, dll.Semua itu menimbulakan kesan didalam pikiran seseorang, yang kemudian, menentukan tindakan apa yang akan dilakukan (Soerjono Soekamto)”.

Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi kontak sosial

dalam satu komunitas. Interkasi terjadi dua orang atau kelompok saling bertanya

atau pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunitas terjadi

diantara kedua belah pihak. Kontak sosial dalam komunitas merupakan syarat

mutlak dalam proses interaksi sosial, sehingga tanpa kedua unsur ini sangatlah

mustahil jika interaksi dapat terjadi dengan baik. Interaksi sosial dimaksud

sebagai pengaruh timbal balik antara individu dengan golongan di dalam usaha

mereka untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dalam usaha untuk

mencapai tujuannya (Abu Ahmadi 2007:10).

Menurut Soleman B.Taneko ada beberapa bentuk interaksi sosial yang

(25)

1. Kerjasama

Kerjasama merupakan usaha bersama antara individu atau kelompok

untuk mencapai satu tujuan bersama. Proses terjadinya kerjasama lahir apabila

diantara individu dan kelompok yang bertujuan memiliki satu tujuan yang sama

yang ingin mereka capai. Begitu pula apabila individu atau kelompok merasa

adanya ancaman dan bahaya dari luar, maka proses kerjasama ini akan bertambah

kuat diantara mereka.

2. Persaingan

Persaingan adalah proses sosial, dimana individu atau kelompok berjuang

dan bersaing untuk mencari keuntungan pada bidang-bidang kehidupan yang

menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik dan dengan

mempertajam prasangka yang telah ada namun tanpa menggunakan ancaman atau

kekerasan.

3. Konflik

Konflik merupakan proses sosial dimana individu ataupun kelompok

menyadari perbedaan-perbadaan, misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsur-

unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi, maupun

kepentingan dengan pihak lain. Perbedaan ciri tersebut dapat mempertajam

perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian dimana

pertikaian itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan fisik.

4. Perdamaian

Akomodasi merupakan proses sosial dengan dua makna, pertama adalah

proses sosial yang menunjukan pada suatu keadaan yang seimbang dalam

(26)

hubungannya dengan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Kedua adalah suatu proses yang sedang berlangsung dimana

akomodasi menampakkan suatu proses untuk merendahkan suatu pertentangan

yang terjadi didalam masyarakat, baik pertentangan yang terjadi diantara individu,

kelompok dan masyarakat maupun dengan norma dan nilai yang ada

dimasyarakat.

Soehaji Soekamto menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk

umum dari interaksi sosial , yaitu asosiatif dan disosiatif ( Soleman B.Taneko

1984:115):

“Suatu interaksi sosial yang asosiatif merupakan proses yang menunjukan pada suatu kerjasama, sedangkan bentuk interaksi disosiatif dapat di artikan sebagai suatu perjuangan melawan seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu”.

2.3. Tinjauan Umum Skala Usaha Ternak Sapi

Usaha peternakan khususnya di Indonesia masih dikelola secara

taradisional, yang bercirikan dengan usaha hanya sebagai usaha keluarga atau

sebagai usaha sampingan. Menurut Soehaji ( Saragih:2000 ), tipologi usaha

peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak,

dan dan diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berikut:

1. Peternakan sebagai usaha sambilan, dimana ternak sebagai usaha sambilan

untuk mencukupi kebutuhan sendiri ( subsistence ), dengan tingkat

pendapatan usaha ternak kurang dari 30%.

2. Peternakan sebagai cabang usaha, dimana peteni peternak mengusahakan

(27)

usaha, dengan tingkat pendapatan dari usaha ternak 30-70% (semi

komersial atau usaha terpadu)

3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternakan mengusahakan ternak

sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai usaha

sambilan ( single komodity), dengan tingkat pendapatan usaha ternak 70-

100%.

4. Peternakan sebagai usaha sendiri, dimana komoditas ternak diusahakan

secara khusus (specialized farming) dengan tingkat pendapatan usaha

ternak 100% ( komoditi pilihan).

Ternak sapi merupakan jenis usaha yang dilakukan dalam sekala besar

khususnya di Indonesia. Ternak sapi memiliki manfaat yang lebih luas dan

bernilai ekonomis tinggi jika dibandingkan dengan ternak lainnya. Usaha ternak

sapi merupakan usaha yang lebih menarik sehingga mudah merangsang

pertumbuhan usahanya. Hal ini bisa di buktikan dengan perkembangan usaha

peternakan sapi yang ada di Indonesia jauh lebih maju jika dibandingkan dengan

ternak lain, seperti kerbau, babi, domba dan kambing. Peternakan sapi yang ada di

Indonesia semuanya adalah peternakan rakyat atau keluarga yang merupakan

usaha sambilan dan cabang usaha, yang belum bisa memenuhi permintaan daging

berkualitas. Hal ini dapat terjadi karena pengelolaannya yang masih sangat

tradisional.

Usaha ini belum dilakukan sebagai mata pencaharian utama, sehingga

tidak di kelola sebagai penghasil daging. Keadaan industri peternakan seperti ini

mempengaruhi kualitas daging yang di hasilkan dan pada gilirannya berpengaruh

(28)

kenyataan sikap konsumen yang pada umumnya belum selektif terhadap

mutu/kualitas daging yang dibelinya. Selera konsumen daging terhadap marbling

(perlemakan), warna dan keempukan, belum begitu tinggi (Azis dalam Bidiarti,

2000).

Menurut ( Wiliamson dan Payne dalam Rivai,2009 ), setidaknya ada tiga

tipe dalam peternakan sapi di daerah tropis yaitu peternakan rakyat atau

subsistem, peternakan spesialis, produsen skala besar. Purawirokusumo (1990)

menyatakan bahwa berdasarkan tingkat produksi, macam teknologi yang

digunakan, dan banyaknya hasil yang dipasarkan, maka usaha peternakan di

Indonesia dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:

1. Usaha yang bersifat tradisional, yang diwakili oleh petani dangan lahan

sempit, yang mempunyai 1-2 ekor ternak.

2. Usaha backyard yang diwakili oleh peternak sapi perah yang

menggunakan teknologi seperti kandang, manajemen, pakan komersial,

bibit unggul,dan lain-lain.

3. Usaha komersial adalah usaha yang benar-benar menerapkan prinsip-

prinsip ekonomi antara lain untuk keuntungan maksimum.

2.4. Sistem Gaduh Sapi Dengan Bagi Hasil

Sistem gaduh sapi secara umum mirip dengan sistem paruhan atau bagi

hasil. Menurut Scheltema (1985) menyatakan:

(29)

,

Pada prinsipnya sistem bagi hasil dalam peternakan sapi tidak lepas dari modal

komunitas yang berada di lingkungan tersebut. ( Hasbullah 2006 ) menyatakan:

“Bahwa konsep pembangunan harus memiliki modal komunitas didalamnya yang terdiri dari : (a) Modal Manusia ( human capital ) berupa kemampuan personal seperti pendidikan, pengetahuan,kesehatan, keahlian dan keadaan terkait lainnya; (b) modal sumberdaya alam ( natural capital) seperti perairan laut; ( c ) Modal Ekonomi Produktif ( produced economic capital ) berupa aset ekonomi dan finansial serta aset lainnya, dan Modal Sosial ( sosial capital ) berupa norma/nilai, kepercayaan ( trust ) dan partisipasi dalam jaringan”.

Sedangkan Mosher dalam Tarigan (1996), Menyatkan:

“Bahwa bagi hasil adalah kerjasama yang diikat dengan perjanjian bagi hasil 50%-50%. Sistem ini banyak di lakukan karena kemiskinan dan kesukaran mendapatkan modal usaha yang memaksa seseorang untuk menerima nasibnya mengerjakan tanah atau memelihara ternak yang bukan miliknya sendiri”.

Penggaduhan ternak adalah keadaan dimana seseorang dapat memlihara

ternak sapi yang diperolehnya dari orang lain dengan disertai suatu aturan tertentu

tentang pembiayaan dengan pembagian hasilnya. Mereka yang memelihar ternak

orang lain atau pihak lainnya dengan sistem menggaduh ini, selanjutnya disebut

penggaduh ( peternak penggaduh), sedangkan di lain pihak adalah pemilik ternak

(Muhzi 1984).

Menurut (Sajogyo dalam Siswijono,1992), pada sensus pertanian 1983

menunjukakan bahwa penerapan persyaratan bagi hasil sangat bervariasi. Bahkan

Sinaga dan (Kasryno dalam Siswijono,1992) menyatakan bahwa dalam satu

komunitas pun sering dijumpai penerapan persyaratan aturan sistem bagi hasil

yang berbeda. Variasi yang dimaksud mencakup pembagian hasil serta pembagian

sarana produksi. Besarnya bagian untuk menggaduh sapi sangatlah beragam,

misalnya besarnya berkisar antara 1, 1, 1 2 dari nilai pertambahan bobot badan

(30)

selama pemeliharaannya. Dari hasil penelitian (Simatupang dalam Lole,1995),

ditemukan bahwa bagian untuk penggaduhan sebesar 2 3dari pertumbuhan bobot

badan sapi, sedangkan pada pola tradisional bahagi penggaduh sapi sebesar 1 dari

2

pertambahan nilai modal usaha.

Dalam bagi hasil usaha ternak, Scheltema (1985) menyatakan:

“Bahwa perjanjian-perjanjian dengan pembagian keuntungan dapat dibagi seperti berikut : perjanjian-perjanjian dengan penyerahan ternak kepada seseorang selama waktu tertentu untuk dipelihara dengan maksud untuk kemudian dijual dan dibagi keuntungannya, atau nilainya diperkirakan pada awal dan akhir perjanjian dan nilai tambah atau nilai kurangnya dibagi, dan perjanjian-perjanjian di mana anak-anak ternak yang dilahirkan dijual dan keuntungannya dibagi. Lebih lanjut menurut Scheltema (1985) kecuali syarat pembagian, dalam bagi usaha ternak yang penting ialah arti ekonominya, bagaimana pengaturannya, siapa yang menaggung risiko bila terjadi kematian, pencurian, dan kehilangan karena hal lari, dalam hal ini juga terdapat banyak variasi”.

Muhzi (1985) menyatakan bahwa pada pokoknya pemilik ternak di

bedakan dalam dua macam yaitu pemerintah dan non pemerintah dengan

demikian terdapat suatu perbedaan yang sangat pokok dalam pembagian hasilnya

sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap pendapatan yang

diperoleh petani dalam satu-satuan tertentu.

Bentuk kerja sama dalam sistem bagi hasil atau sistem gaduh secara

umum melibatkan peternak yang kekurangan modal atau peternak miskin. Mereka

umumnya tidak memiliki ternak sendiri atau kalaupun ada hanya dalam jumlah

yang kecil saja. Dalam keadaan demikian, petani merasa kesulitan karena

dihadapkan pada berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena

itu, upaya alternatif yang relevan adalah pengembangan intensifikasi penggunaan

lahan usaha tani, misalnya usaha penggemukan ternak sapi. Hal ini dapat diterima

(31)

Tetapi salah satu kendala utama untuk pengembangan usaha ternak tersebut

adalah keterbatasan modal usaha, khususnya untuk pengadaan ternak bakalan baik

untuk bibitan maupun untuk digemukkan ( Simatupang 1993).

Selain itu, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah tentang faktor-

faktor sosial ekonomi (fisik dan non-fisik) yang mempengaruhi besar kecilnya

bagian bagi hasil yang diterima oleh para peternak penggaduh sapi. Hal ini

penting diketahui sebab ketentuan bagi hasil yang formal belum ada, sehingga

dapat menjadi bahan rekomendasi dalam rangka menghindari terjadinya

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai pendekatan

penelitian yang menghasilkan data tulisan dan tingkah laku yang didapat dan

diamati dalam subjek penelitian. Sehingga yang menjadi tujuan dalam penelitian

kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena

secara mendalam, rinci dan tuntas melalui wawancara, catatan lapangan,

dokumentasi pribadi, catatan memo dan dokumen resmi lainnya. Oleh karena itu

penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokan

antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode

studi kasus.

“Bogman mendefenisikan studi kasus adalah sebuah kajian yang rinci atas suatu latar atau peristiwa tertentu. Jadi penelitian ini mempelajari secara intensif latar belakang keadaan dan interaksi lingkungan suatu unit sosial, individu, kelompok, atau lembaga masyarakat (Idrus,2009)”.

Jenis penelitian menggunakan pendekatan kualitatif karena analisis data

yang dilakukan tidak untuk menerima atau menolak hipotesis melainkan berupa

deskripsi atas gejala-gejala yang diamati, yang tidak harus selalu berbentuk

angka-angka atau koefisien antar variabel ( Wiratha). Pelaksanaan tidak terbatas

kepada pengumpulan data melainkan juga meliputi analisa dan interpretasi dari

data itu. Dengan demikian penelitian ini berusaha mengurutkan dan menganalisis,

(33)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu

Nanggar Kabupaten Simalungun. Alasan peneliti memilih Desa Purwosari Atas

untuk di jadikan daerah penelitian karenakan desa ini merupakan salah satu

wilayah yang memiliki potensi yang besar dalam usaha peternakan yang ada di

Kabupaten Simalungun. Selain itu Desa Purwosari Atas memiliki tingkat populasi

ternak sapi yang cukup tingggi di bandingkan wilayah lain yang ada di Kabupaten

Simalungun. Dalam lokasi penelitian kali ini juga terdapat masyarakat yang

memiliki sapi dengan menerapkan sistem bagi hasil karena yang ia miliki bukan

milik sendiri melaikan milik teman atau saudara terdekat mereka.

3.3.Unit Analisis dan Informan

3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek

penelitian atau unsur yang menjadi fokus dalam penelitian (Bungin:2007). Ada

dua jumlah unit analisis yang lazim digunakan dalam penelitian sosial yaitu

individu, kolompok sosial. Sementara itu yang menjadi unit analisis dalam

penelitian kali ini adalah penggaduh sapi, pemilik sapi dan juga tokoh masyarakat

yang ada di Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar Kabupaten

Simalungun.

3.3.2 .Informan

Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian

sebagai perilaku, dan selain itu juga orang – orang yang menjadi sumber informasi

(34)

yang sedang diangkat. Pemilihan informan peneliti menggunakan teknik

purposive sampling dalam menentukan subjek penelitian. Teknik ini digunakan

jika dalam pemilihan informan peneliti menggunakan pertimbangan–

pertimbangan tertentu. Sehingga peneliti menggunakan beberapa kriteria informan

( Idrus, 2009 ). Adapun yang menjadi informan sebagai sumber data dalam

penelitian kali ini adalah:

1. Pemelihara sapi yang telah memiliki sapi dari hasil gaduhan.

2. Pemilik sapi yang telah memiliki sapi dari hasil gaduhan.

3. Tokoh masyarakat yang mengetahui warganya telah menjalankan sistem

gaduh sapi.

3.4.Tehnik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi dalam penelitian dilapangan

nanti, maka diperlukan alat pengumpulan data seperti obserfasi wawancara, serta

mencatat dokumen-dokumen yang mendukung proses pnelitian ini. Pengumpulan

data dilakukan untuk mendapatkan informasi yang dapat menjelaskan semua

permasalahan-permasalahan yang akan muncul dilapangan yang bersangkutan

dengan penelitian ini. Dalam proses pengumpulan data peneliti menggunakan

beberapa teknik pengumpulan data agar mendapatkan kesesuaian dengan

kebutuhan penelitian dalam mengolah data informasi yang telah diperoleh

dilangan. Dalam penelitian kali ini teknik pengumpulan data yang digunakan

adalah data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan

(35)

mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati.

Banyaknya periode observasi yang perlu dilakukan dan panjangnya waktu pada

setiap periode observasi tergantung kepada jenis data yang dikumpulkan. Apabila

observasi itu akan dilakukan pada sejumlah orang, dan hasil observasi itu akan

digunakan untuk mengadakan perbandingan antar orang-orang tersebut, maka

hendaknya observasi terhadap masing-masing orang dilakukan dalam satu situasi

yang relatif sama. Dalam hal ini peneliti dapat lebih mengetahui bentuk dalam

pembagian hasil ternak usaha sapi dalam gaduh sapi yang dilakukan antara

peternak dan pemilik modal.

Selain observasi, wawancara juga dugunakan sebagai sumber data lain

dalam penelitian kali ini. Wawancara yaitu melakukan tanya jawab kepada

informan dilokasi penelitian dengan menggunakan alat bantu rekaman berupa tape

recorde. Wawancara terhadap informan ditujukan untuk memperoleh data dan

informasi secara lengkap tentang sistem bagi hasil dalam beternak sapi pada

Masyarakat Desa Purwosari Atas.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek

penelitian. Peneliti mendapatkan data yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain

dengan berbagai cara atau metode baik secara komersial maupun non komersial

yang dapat berupa dokumen-dokumen, majalah, jurnal. Namun data yang

diperoleh harus berkaitan dengan dengan sistem bagi hasil beternak sapi dengan

(36)

3.5 Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan suatu tahap pengolahan data, setelah data

terkumpul dalam catatan lapangan, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.

Maka akan dilakukan pengolahan, analisis, dan penafsiran data yang diperlukan

dari lapangan tadi berupa hasil observasi dan hasil wawancara. Kemudian peneliti

akan menyederhanakan dan mengedit agar lebih mudah dipahami. Data yang telah

terkumpul kemudian akan disusun lagi sedemikian rupa kemudian data tersebut

akan diinterpretasikan secara kualitatif.

Hal ini dilakukan agar peneliti lebih jelas memperoleh hasil yang lebih

mendalam dan meluas sesuai teori yang relefan. Pada akhirnya peneliti akan

menyusun sebagai laporan akhir penelitian ini. Proses ini sudah dilakukan sejak

proposal penelitian dibuat, hingga akhir penelitian. Akan menjadi sebuah laporan

penelitian yang memiliki ciri kualitatif. Bogman dan Biklen ( Moleong, 2006:248)

menjelaskan interpretasi data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan

bekerjanya data, mengorganisasikan data. Memilahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang

penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan

kepada orang lain.

3.6. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan

pengalaman yang dimiliki oleh peneliti dalam melakukan penelitian

ilmiah.Terutama dalam melakukan wawancara mendalam terhadap informan. Hal

ini dikarenakan keterbatasan pengalaman dan keterbatasan waktu yang dimiliki

(37)

hari.Terlepas dari permasalahan teknis penulisan dalam penelitian. Peneliti juga

menyadari keterbatasan mengenai metode yang digunakan sehingga,

menyebabkan lambatnya proses penelitian yang dilakukan. Selain itu masih

adanya keterbatasan bahan pendukung penelitian lainnya yang mungkin masih

sangat sedikit, namun walaupun demikian, peneliti berusaha untuk melaksanakan

kegiatan penelitian ini dengan semaksimal mungkin. Agar data yang dihasilkan

dalam penelitian dapat bersifat valid sehingga apa yang diinginkan dapat tercapai

dan dapat terlaksana secara maksimal.

3.7. Jadwal Pelaksanaan

No Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 PraObservasi x

2 Acc judul x

3 Penyusunan proposal penelitian x x

4 Seminar proposal penelitian x

5 Revisi proposal penelitian x

6 Penelitian kelapangan x x x

7 Bimbingan / laporan akhir x x x x

(38)

BAB IV

TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA

4.1. Deskripsi Umum Desa Purwosari Atas Kecamatan Dolok Batu Nanggar

4.1.1. Letak dan luas wilayah

Desa Purwosari Atas Nagori Dolok Mainu secara administratif terletak di

wilayah Kecamatan Dolok Batu Nanggar, Kabupaten Simalungun, Propinsi

Sumatra Utara. Desa ini terbagi atas empat dusun yang terdiri dari masing –

masing wilayah dan memiliki batas teritorial dengan desa lain seperti dibawah ini.

Sebelah Utara : Berbetasan dengan Desa Padang Mainu

Sebelah Selatan : Bebatasan dengan Kota Serbelawan

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Bahung Kahean

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Dolok Merangir 2

Luas wilayah Desa Purwosari Atas menurut penggunaannya seluas 470, 7 ha/m2,

yang terdiri dari luas pemukiman warga seluas 30 ha, luas perkebunan warga 430

ha, luas kuburan/pemakaman umum 0,5 ha, luas pekarangan 10 ha, luas

perkantoran 0,2 ha. Tanah yang dipakai sebagai sarana dan prasarana umum yaitu

berjumlah 3,02 ha, yang terdiri dari lapangan olahraga 1 ha, perkantoran

pemerintahan 0,2 ha, jalan 2 ha. Dengan ketinggian rata-rata 1.100 s/d 1.300

meter di atas permukaan laut dan Desa Purwosari Atas memiliki suhu rata-rata

minimum/maximum adalah 18˚C s/d 24˚C .

4.1.2. Orbitasi Desa Purwosari Atas

Jarak tempuh yang dapat dilalui untuk mencapai Desa Purwosari Atas

dari Kota Kecamatan menuju desa sejauh 3 km dan lama jarak tempu mencapai 15

(39)

menit. Kendaraan umum menuju kota kecamatan sebanyak 3 unit. Selanjutnya

jarak tempuh dari Desa Purwosari Atas menuju kota kabupaten sejauh 33 km, dan

jika ditempuh menggunakan kendaraan sekitar 1 jam, kendaraan menuju kota

kabupaten dengan menggunakan 3 unit kendaraan. Jarak tempuh dari Desa

Purwosari Atas menuju Kota Provinsi 133 km, jarak tempuh menggunakan

kendaraan selama 3 jam.

Melihat kondisi ini sebenarnya Desa Purwosari Atas tidak begitu

terbelakang dalam segi pembangunan karena jarak tempuh dan perjalanan yang

dibutuhkan untuk menuju wilayah – wilayah penting seperti yang dipaparkan di

atas sangatlah dekat. Dengan demikian pembanguan dan perekonomian dapat

berputar dengan cepat didukung dengan kondisi wilayah yang dekat dengan pusat

kota.

4.1.3. Penduduk

Penduduk di Desa Purwosari Atas berjumlah 4.145 jiwa dengan 840 kk.

Dengan jumlah laki-laki sebesar 2.089 jiwa, sedangkan jumlah penduduk

perempuan sebesar 2.056 jiwa. Data dapat dilihat pada tabel 1 yaitu:

Tabel 1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Total penduduk

1 Laki – Laki Perempuan

Jumlah persentasi Jumlah Persentasi Jumlah Persentasi

2089 50, 40 % 2056 49, 60 % 4145 100 %

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Jumlah penduduk Desa Purwosari Atas yang paling mendominasi adalah

(40)

Tabel 2 Komposisi penduduk Berdasarkan Umur

No Usia / tahun Jumlah penduduk Persentasi

1 00 – 10 tahun 895 21,59 %

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Tabel 3 Komposisi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis

Kelamin

(41)

Tingakat pendidikan masyarakat Desa Purwosari Atas sangatlah beragam,

hampir setiap jenjang pendidikan formal dijalani dalam dunia pendidikan oleh

masing – masing warga. Namun hanya beberapa penduduk saja yang melanjutkan

pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi seperti Universitas. Hal ini dipengaruhi

oleh pemahaman orang tua yang masih memandang sebelah mata dunia

pendidikan.

Tabel 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Jenis

Kelamin

No Jenis Pekerjaan

Jenis Kelamin Total Laki – Laki Perempuan frekuen

si

Persentas i frekuensi Persentasi Frekuensi Persentasi

1 Peternak

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Mata pencaharian penduduk Desa Purwosari Atas sangatlah beragam.

(42)

dan buruh tani. Hal ini didukung oleh kondisi geografis desa yang sangat

menunjang dalam sektor pertanian dan peternakan.

Tabel 5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama dan Jenis Kelamin

No Agama Jenis kelamin Total

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Agama yang paling dominan dipeluk oleh warga desa adalah Islam,

sehingga kerukunan antar umat beragama dapat selalu terjaga, kemudian di ikuti

oleh agama Kristen dan Budha.

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Warga Desa Purwosari Atas kebanyakan mayoritas bersuku atau beretnis

jawa seluruhnya, yang dapat mendominasi kebudayaan dan kebiasaan untuk hidup

rukun dan tentram. Selain itu memiliki semangat gotong royong yang tinggi dan

memiliki potensi keguyupan dalam kehidupan sehari – hari seperti rewang ( yaitu

membantu tetangga sekitar ketika hajatan seperti pernikahan, sunat rosul, dan

menabalkan nama yang didasari oleh pesta), wirit melakukan doa bersama untuk

(43)

bersih Desa atau dikenal dengan kerja bakti yang setiap sebulan sekali dilakukan

oleh warga sekitar seperti membersikan jalan, parit irigasi dan tempat ibadah

lainnya.

4.1.4. Peternakan

Potensi peternakan memang sangat mendukung untuk dikembangkan oleh

warga Desa Purwosari Atas, terlihat bahwa jumlah ternak tertinggi yang dimiliki

warga adalah ternak sapi berjumlah 3.000 ekor. Hal ini dikarenakan wilayah yang

mendukung dan masih adanya pakanan hijau yang tersedia di perkebunan milik

pemerintah. Dari sekian banyak sapi yang dipelihara termasuk didalamnya

menggunakan sistem gaduh sapi, yang diterapkan oleh warga sekitar. Dapat

dilihat pada tabel 5 dibawah ini.

Tabel 7 Jenis Populasi Ternak yang Dipelihara Oleh Masyarakat

No Jumlah peternak Jenis ternak Jumlah ternak dipelihara

1 584 Sapi 3.000

2 450 Ayam 1500

3 30 Bebek 450

4 25 Angsa 200

5 30 Kambing 700

6 5 Anjing 10

Total 5860

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Tabel 8 Ketersediaan Pakan Hijau Ternak Sapi.

Luas tanaman pakan ternak ( rumput gajah dan lain – lain ) 1 ha

Produksi hijauan pakan ternak 1 ton / ha

Luas lahan gembalaan ternak 878 ha

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Dapat terlihat sumber ketersediaan pakan hijau ternak sapi yang paling

utama bersumber dari tanah perkebunan miliki pemerintah. Dengan luas 878 ha

(44)

hijau lainnya berasal dari peternak itu sendiri yang mencari rumput yang tersedia

dibeberapa tempat, seperti pesawahan dan perkebunan lainnya. Hal ini dilakukan

guna memenuhi kebutuhan pakan sapi yang tergolong kurang. Hasil pencarian

pakan hijau lainnya bisa mencapai 1 ton, untuk setiap hektar luas lahan yang

tersedia.

4.1.5.Kepemilikan Aset Masyarakat

Penduduk yang paling banyak memiliki aset usaha maupun lahan

pertanian lainnya adalah petani. Namun pada kenyataannya banyak juga warga

yang tidak memiliki lahan pertanian dan sarana aset yang lain. Sehingga membuat

warga lainnya mencari pekerjaan sebagai buruh serabutan, dan wiraswasta. Yang

dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 9 Kepemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan

Berdasarkan Kepala Keluarga

No Luas lahan Jumlah Keluarga

1 Tidak memiliki lahan pertanian 193 keluarga

2 Memiliki lahan pertanian kurang dari 1 ha 28 keluarga

3 Memiliki 1,0 – 5,0 ha 10 keluarga

4 Memiliki 5,1 – 10 ha 15 keluarga

5 Memiliki lebih dari 10 ha 3 keluarga

Total 223 orang

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Jumlah keluarga yang tidak memiliki lahan pertanian adalah yang

paling mendominasi dibandingkan dengan warga lainnya. Hal ini diikuiti oleh

pendapatan dan jenis pekerjaan yang dimilikinya.

Tabel 10 Data Perkebunan yang Dimiliki Warga

Jumlah keluarga yang memiliki lahan perkebunan 190 keluarga

Tidak memiliki 30 keluarga

Memiliki kurang dari 5 ha 16 keluarga

(45)

Warga yang memiliki lahan perkebunan ditanami oleh jenis tanaman

keras seperti karet, sawit, dan kopi, yang menjadi komoditi utama penghasilan

warga Desa Purwosari Atas. Hal ini didukung oleh kondisi geografis wilayah

yang subur, sehingga dalam bercocok tanam dapat memperoleh hasil pertanian

dengan baik dan selain itu masih mudahnya memperoleh pupuk kandang sebagai

pupuk untuk tanaman warga.

Tabel 11 Kepemilikan Sarana angkutan Desa

No Jenis angkutan Jumlah pemilik Jumlah kendaraan

1 Bus 1 2

2 Truk 3 4

3 Sepeda motor 6 6

4 Mobil 5 5

5 Becak 2 2

6 Memiliki bus 4 4

Total 21 23

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Adapun sarana angkutan umum yang tersedia sering digunakan oleh

warga sekitar untuk memudahkan warga keluar masuk desa jika ingin bepergian.

Selain itu juga digunakan sebagai alat angkutan untuk membawa hasil ternak dan

hasil perkebunan warga sekitar.

Tabel 12 Kondisi Bangunan Rumah warga

No Kondisi Rumah Jumlah Persentasi

1 Tembok 860 68,8 %

2 Kayu 380 30,4 %

3 Bambu 10 0,8 %

Total 1250 100 %

Sumber Data :kantor kelurahan Desa Purwosari Atas (2013)

Tidak semua warga desa memiliki rumah yang permanen dan beton, ada

juga beberapa rumah warga yang masih bambu dan kayu hal ini dikarenakan

Gambar

Tabel 1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 2 Komposisi  penduduk Berdasarkan Umur
Tabel 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Jenis
Tabel 5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama dan Jenis Kelamin
+6

Referensi

Dokumen terkait