• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fuad Syukri Nuansa Positivistik Tafsir Modern

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Fuad Syukri Nuansa Positivistik Tafsir Modern"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

Tesis

Diajukan sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Magister Agama Islam

Oleh:

Fuad Syukri

NIM: 11.2.00.0.05.01.0115

KONSENTRASI TAFSIR HADIS

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

iii

dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan tesis ini. S}alawat dan salam penulis ucapkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa Islam di muka bumi ini, sehingga kita semua mampu mengenal Islam dan mengambil pelajaran darinya.

Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Magister Sekolah Pasca Sarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menguraikan tentang munculnya sebuah tendensi pada sebagian penafsiran al-Quran semenjak abad ke 18, terutama penafsiran terkait ayat-ayat al-Kauni@yah (ayat-ayat fenomena alam) yang telah terpengaruh oleh paradigma filsafat Positivisme, sehingga penafsiran yang dihasilkan akan semakin rasional-ilmiah. Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengembangkan wacana dan pembahasan dalam Ilmu Tafsir Alquran, khususnya tafsir Modern.

Dalam proses penulisan tesis ini, banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa berkat bantuan moril dan materil dari beberapa pihak, menjadikan penulis sanggup menyelesaikan penelitian ini. Untuk itu, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian kepada seluruh jajaran pimpinan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Suwito dan Dr. Yusuf Rahman, MA., beserta seluruh anggota staf Pascasarjana bidang akademik dan bidang kepustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(3)

iv

langkah kaki penulis dengan keikhlasan doa dan ridhonya. Kepada adik-adik tersayang, Fadhilati Salma, Muhammad Afdhal, Zakiyati Salma dan Muhammad Rusydan Hamdi yang telah menumbuhkan tekad dalam diri penulis untuk terus berusaha menjadi kakak yang baik serta layak untuk mereka teladani dan banggakan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar Paman penulis, H. Ahmad Daud, S.Ag dan Ir. Sri Suhartinah yang telah menjadi orang tua yang baik bagi penulis selama berada di tanah rantau Ciputat. Kemudian kepada keluarga besar Uda Akmal, S.Hum. dan Uni Nani, S.Pd.I., yang merupakan sepupu sekaligus kakak bagi penulis.

4. Buat seluruh rekan-rekan seperjuangan SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2012 yang telah mengukir warna-warna indah dalam lukisan persahabatan penuh makna, terkhusus Defel Fakhyadi dan Aidil Aulya sebagai sahabat satu kos, Muhammad Abdurrahman, Yasin Amka, Muhammad Furqany, Mulyadi beserta seluruh sahabat-sahabat SPS UIN Syarif Hidayatullah angkatan 2012 yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

5. Kepada senior sekaligus sahabat, Arsyad Abrar, M.A.Hum., dan Anas Sofwan Khalid, M.A.Hk., yang telah rela meluangkan waktu dan membagi ilmu yang begitu berharga kepada penulis. Kemudian kepada rekan IKAPASMI, Muhammad Yusuf yang juga ikut memberikan sumbangsih waktu dan keilmuan dalam membantu penulis menyelesaikan tulisan ini.

(4)

xi

terpengaruh oleh paradigma filsafat Positivisme, sehingga penafsiran yang dihasilkan akan semakin rasional-ilmiah. Hal ini sejalan dengan pendapat Rotraud Wielandt dan Ahmad N. Amir yang secara umum berpandangan bahwa paradigma sebagian penafsiran-penafsiran yang muncul semenjak abad ke-18, telah bergeser kepada kecenderungan yang mengadopsi dan mengintegrasikan paradigma filsafat pencerahan Eropa untuk diterapkan dalam proses penafsiran Alquran. Bahkan Nasr Hamid Abu Zaid menegaskan lagi bahwa mufassir pada abad ini terkadang berada dalam arus budaya Islam yang ia jadikan sebagai fondasi dan standar nilai, dan di saat yang lain ia bergerak dalam arus nalar Barat.

Pendapat di atas berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Abdullah Saeed, dan M. Quraish Shihab yang secara umum berpendapat bahwa hadirnya kecenderungan rasional-ilmiah semenjak abad ke-18 dalam sebagian tafsir Alquran dipandang sebagai bentuk keterpengaruhan mufassir terhadap tradisi rasional Islam pada masa sebelumnya, terutama tradisi rasional sekte Mu’tazilah. Penisbatan kepada sekte Mu’tazilah muncul atas dasar adanya pandangan bahwa Mu’tazilah merupakan salah satu dari sekian sekte dalam Islam yang begitu menjunjung tinggi akal serta karakteristik penafsirannya yang dinilai cenderung rasional.

Untuk melihat korelasi filsafat Barat dalam penafsiran Alquran, penulis menjadikan pendekatan filsafat Positivisme sebagai paradigma yang digunakan dalam menganalisa permasalahan ini. Pemilihan dan penggunaan filsafat Positivisme sebagai alat analisis dikarenakan adanya indikasi-indikasi tentang penerapan paradigma filsafat Positivisme itu sendiri dalam proses penafsiran Alquran. Pendekatan filsafat Positivisme merupakan sebuah pendekatan yang digunakan dengan memandang sesuatu melalui pendekatan keilmiahan. Sedangkan objek yang akan didalami dari penelitian hal ini adalah penafsiran-penafsiran Muh{ammad ‘Abduh terhadap ayat Alquran, terkhusus penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Kauni@yah dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma karya Muh{ammad’Abduh. Dengan pendekatan tersebut akan diketahui penafsiran-penafsiran Muh{ammad ‘Abduh yang terbiasi oleh paradigma filsafat Positivisme.

(5)

xii

رﺪﺻأ

نآﺮﻘﻟا

ﲑﺳﺎﻔﺗ

ﺾﻌﺑ

نأ

ﺚﺤﺒﻟا

اﺬﻫ

رﻮﺼﻌﻟا

ﺬﻨﻣ

تﺄﺸﻧ

يﺬﻟا

ﺔﻴﻌﺿﻮﻟا

ﻲﻔﺴﻠﻓ

ﺞﻫﺎﻨﻣ

ﺎﻬﻴﻠﻋ

تﺮﺛأ

ﺪﻗ

،ﺔﻴﻧﻮﻜﻟا

تﺎﻳﻵا

ﲑﺴﻔﺗ

ﺎﻤﻴﺳ

،ةﺮﺸﻋ

ﺔﻨﻣﺎﺜﻟا

)

Positivisme

ﺎﻴﻤﻠﻋ

ﺮﺜﻛا

ﺎﻬﻨﻣ

لﻮﺼﶈا

رﺎﺼﻓ

(

لﺎﻗ

يأﺮﻟا

ﺲﻔﻧ

ﻰﻠﻋو

.

ﺔﻨﻠﻘﻋو

وﺮﺗور

ﺪﻧﻼﻳو

د

ت

ﺎﻬﳎدو

ﺔﻴﺑوروﻷا

ﺔﻳﺮﻳﻮﻨﺘﻟا

ﺔﻔﺴﻠﻓ

ﺔﺌﻴﺒﺗ

ﱃا

ﺖﻟﺎﻣ

ﺎ ﺄﺑ

ﲑﻣأ

.

ن

ﺪﲪأو

ﻘﻴﺒﻄﺗو

كﺮﺤﺘﻳ

ﺪﻗ

ﻪﻧﺄﺑ

ﺪﻳز

ﻮﺑأ

ﺪﻣﺎﺣ

ﺮﺼﻧ

ﺪﻛأو

.

ﺎﻘﺒﻄﻣ

نآﺮﻘﻟا

ﲑﺴﻔﺗ

ﺎﻬ

ﻞﻘﻌﻟا

رﺎﻃإ

ﰲو

،ﺔﻬﺟ

ﻦﻣ

ﺔﻴﻌﺟﺮﻣ

ﺔﻄﻠﺴﻛ

ﻲﻣﻼﺳﻹا

ﰲﺎﻘﺜﻟا

ﺦﻳرﺎﺘﻟا

نوﺮﺴﻔﳌا

.

ىﺮﺧأ

ﺔﻬﺟ

ﻦﻣ

ﰊﺮﻐﻟا

ﻲﻤﻠﻌﻟا

رﺎﻃﻹا

نﺄﺑ

بﺎﻬﺷ

ﺶﻳﺮﻗو

ﺪﻴﻌﺳ

ﷲا

ﺪﺒﻋ

ﻚﻟاذ

فﻼﲞ

رﺎﺷأو

ﲑﺴﻔﺗ

ﻳﺮﺴﻔﳌا

ﺮﺛﺄﺗ

ﻰﻠﻋ

لﺪﻳ

نآﺮﻘﻟا

ﻲﻤﻠﻌﻟا

ثاﱰﻟا

ﻦﻣ

ﺮﺛأ

ﻪﻧأ

ﻞﺑ

،ﰊﺮﻏ

رﺎﻃﺈﺑ

ﻢﻫﲑﺴﻔﺗ

ﻞﻘﻌﻟا

رﺎﺜﻳﺎﺑ

ﻢﻫرﺎﻬﺘﺷﻻ

ﻢﻬﻴﻠﻋ

ﺐﺴﻨﻳو

.

ﺔﻟﺰﺘﻌﳌا

ﻪﻴﻠﻋ

ﺮﺛآ

مﻼﺳﻹا

.

ﱐﻼﻘﻌﻟا

ﺔﻗﻼﻌﻟ

ﺎﻔﺸﻛ

ﺔﺳارﺪﻟا

ﻩﺬﻫ

ﻞﻴﻠﺤﺘﻟا

ﺔﻴﻟآو

ﺎﺠﻬﻨﻣ

ﺔﻴﻌﺿﻮﻟا

ﺚﺣﺎﺒﻟا

ﺬﲣﺎﻓ

دﺎﻔﺘﺳا

ﻰﻠﻋ

لﺪﺗ

ﻦﺋاﺮﻘﻟ

ﻚﻟاذو

،نآﺮﻘﻟا

ﲑﺴﻔﺗ

و

ﺔﻴﺑﺮﻐﻟا

ﺔﻔﺴﻠﻔﻟا

،ﲑﺴﻔﺘﻟا

ﺔﻴﻧﻮﻜﻟا

تﺎﻳﻵا

ﻦﻋ

ﻼﻀﻓ

،ﻩﺪﺒﻋ

ﺪﻤﳏ

ءارآ

ﺎﻨﻫ

عﻮﺿﻮﳌا

نﺎﻛو

.

ﻲﻤﻠﻋ

ﺞﻬﻨﻣ

ﻲﻫو

ﺞﺘﻨﺘﺳا

ﻞﻴﺒﺴﻟا

اﺬﻫ

ﻦﻣو

.(

ﻢﻋ

ءﺰﳉا

ﲑﺴﻔﺗ

)

ﱘﺮﻜﻟا

نآﺮﻘﻟا

ﲑﺴﻔﺘﺑ

ﻰﻤﺴﳌا

ﻪﺑﺎﺘﻛ

ﻰﻔﺴﻠﻔﻟا

ءارﺎﺑ

ﺮﺛﺄﺘﻣ

ﻩﲑﺳﺎﻔﺗ

نﺄﺑ

ﺚﺣﺎﺒﻟا

ﺔﻴﻌﺿﻮﻟا

.

ﻮﻫ

ﻲﺳﺎﺳﻷا

ﺎﻫرﺪﺼﻣو

ﺔﻴﻠﻴﻠﲢ

ﺔﺳارد

ﺚﺤﺒﻟا

اﺬﻫ

نﺎﻛ

رﻮﻛﺬﳌا

ﲑﺴﻔﺘﻟا

(6)

xiii

the 18th century, especially related al-Kauni@yah verses, have been influenced by the philosophy of Positivism paradigm, so that the interpretation will be more rational-scientific. This is in line with the opinion of Rotraud Wielandt and Ahmad N. Amir who state that some of the interpretations in the 18th century tended to adopt and integrate the philosophy paradigm of European renaissance applied in the interpretation of the Qur’a>n. In addition, Nasr Hamid Abu Zaid contends that the interpreters in this century sometimes are in the stream of Islamic culture which becomes a foundation and standard of value, and at the same times follow the Western thought.

The above opinion is not in agreement with those of Abdullah Saeed’s and M. Quraish Shihab’s which generally argue that the presence of rational-scientific trend since the 18th century in most interpretations of the Qur'a>n is seen as a form of the influence of Mu'tazilah’s thought. Attribution to the Mu'tazilah sect emerged on the basis of the view that the Mu'tazilah is one of the many sects in Islam that upholds reason as well as rational interpretation.

To observe the correlation of Western philosophy in the interpretation of the Qur’a>n, the author makes the philosophical approach of Positivism as a paradigm used in analyzing this issue. The selection and the use of the Positivism philosophy as an analytical tool is because of the indications concerning the application of the philosophy of Positivism paradigm in the process of interpreting the Qur’a>n. Positivism is a philosophical approach with scientific. While the objects explored in this study are interpretations of Muhammad ‘Abduh in the verses of the Qur’a>n, specially the verses of al-Kauni@yah in the book Tafsir al-Qur'a>n al-Kari@m Juz’ 'Amma by Muhammad ‘Abduh. By using Positivism approach, it will be identified the interpretations of Muhammad ‘Abduh wich are influenced by Positivism.

(7)
(8)

xv

KATA PENGANTAR ...iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ...v

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...vii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ...ix

ABSTRAK ...xi

DAFTAR ISI ...xv

PEDOMAN TRANSLITERASI ...xvii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 15

E. Signifikansi Penelitian ... 15

F. Metodologi Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II : TAFSIR DAN FILSAFAT ...21

A. Tafsir Alquran dalam Dimensi Rasional ... 21

1. Rasionalistik Tafsir bi al-Ra’yi ... 21

2. Mu’tazilah dan Tendensi Rasional ... 27

B. Positivisme dalam Bingkai Epistemologi Empirisme ... 32

BAB III : EPISTEMOLOGI TAFSIR POSITIVISTIK MUH{AMMAD ‘ABDUH ...43

(9)

B. Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma Muh{ammad ‘Abduh ... 53

C. Konsep Relasi Alquran, Akal dan Ilmu Pengetahuan ... 65

BAB IV : TAFSIR MODERN DAN NUANSA POSITIVISTIK.. ...83

A. Basis Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh ... 83

B. Karakteristik Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh ... 106

C. Urgensi Tafsir Positivistik ... 127

BAB V PENUTUP ...143

A. Kesimpulan ... 143

B. Saran ... 144

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 145

GLOSARIUM ... 165

INDEKS ... 167

INDEKS ALQURAN ... 170

(10)

xvii

Transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini berpedoman pada aturan transliterasi Library of Congress Romanization of Arabic.

b t th j h} kh d dh r z s sh s} d} = = = = = = = = = = = = = = ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض t} z} ‘ gh f q k l m n h w y = = = = = = = = = = = = = ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن ه و ي

Pendek : a = َ◌ ; i = ِ◌ ; u = ُ◌

Panjang : a> = اَ◌ ; i@ = يِ◌ ; u> = وُ◌

(11)
(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Korelasi antara tafsir Alquran dengan unsur filsafat, telah terjadi sejak masa pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah.1 Bahkan pada era kontemporer, gencarnya kemunculan model-model penafsiran baru yang mengusung konsep perubahan, dinilai tidak lepas dari pengaruh berbagai paradigma dan pemikiran kefilsafatan serta kemajuan berbagai aspek yang berasal dari luar Islam2 dan hal itu kemudian menjadi objek yang cukup berhasil menarik perhatian beragam kalangan, baik itu internal maupun eksternal Islam.

Penggunaan aspek filsafat dalam proses penafsiran Alquran, dikenal cenderung pada pengoptimalan unsur rasional dalam memahami dan menggali makna-makna yang terkandung di dalam Alquran. Kecenderungan tafsir rasionalistik ini memberikan corak tersendiri dalam pembahasan ilmu tafsir. Namun seiring waktu,

1 Pada masa pemerintahan Abbasiyah, ilmu agama, Filsafat dan ilmu

lainnya sedang mengalami kemajuan. Kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab juga digalakkan pada masa pemerintahan dinasti ini. Di antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku-buku-buku karangan filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. ‘Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerj. Ahmad Akrom (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 61 dan Rubiyanah, “Pertumbuhan Tradisi Filsafat di Dunia Islam” dalam Jurnal Refleksi, Vol. VII, No. 3, 2005 (Ciputat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), 304-305. Pernyataan ini juga diperkuat oleh Mohammed Rustom yang mengatakan sekitar abad ke 6 dan ke 7 hijriah, umat Islam telah mulai melakukan transformasi kefilsafatan Yunani ke dalam Islam. Hal tersebut pada saat itu mendapat begitu banyak perhatian dari umat Islam. Mohammed Rustom, “Qur’anic Exegesis in Later Islamic Philosophy: Mulla> S{adra>’s Tafsi@r Su>rat al-Fa@tih{a“, Tesis di

University of Toronto, 2009 (Diakses dari http://www.collectionscanada.gc.ca/obj/thesescanada/vol2/OTU/TC-OTU-32020.

pdf, tanggal 31-01-2013, pukul 01.51 WIB), 2.

2 Gerakan ini lebih disuarakan oleh para tokoh yang berambisi membawa

(13)

kemudian muncul tendensi tafsir yang terkesan rasional-ilmiah, terutama sejak munculnya beberapa tokoh pembaharu Islam abad ke-18, bahkan kecenderungan ini semakin kuat ditunjukkan oleh sebagian mufasir pada era sesudahnya. Hal inilah yang kemudian merangsang minat berbagai pakar tafsir dan teologi untuk berusaha merunut kembali sejarah dan menjelaskan asal pengaruh kecenderungan tersebut terutama melihat perkembangan tafsir sejak abad ke-18. Misalnya saja seperti Abdullah Saeed3 dan M. Quraish Shihab4 yang secara umum menilai bahwa hadirnya corak penafsiran rasional-ilmiah sejak abad ke-18 dalam tafsir Alquran dipandang sebagai bentuk keterpengaruhan dari kecenderungan rasional sekte Mu’tazilah. Penisbatan kepada sekte Mu’tazilah muncul atas dasar pandangan umum bahwa Mu’tazilah merupakan salah satu dari sekian sekte dalam Islam yang begitu menjunjung tinggi akal, bahkan sebahagian ulama menyatakan akal lebih tinggi kedudukannya dari pada nash Alquran dalam sekte Mu’tazilah.

Dalam sudut pandang yang berbeda, sebagian dari para sarjana muslim ataupun para intelektual yang melakukan kajian terhadap perkembangan tafsir Alquran (terutama tafsir yang muncul pada abad ke-18 dan sesudahnya) menilai bahwa terdapat pergeseran pemahaman dalam penerapan tafsir Alquran sehingga kemudian memunculkan

3 Abdullah Saeed menyebutkan bahwa para modernis Islam mengusulkan

untuk kembali kepada Islam seperti periode awal yang menekankan aspek dinamika intelektual ke dalam diri umat Islam guna mengejar ketertinggalan Islam dari peradaban Barat. Selain itu ulama modernis juga berpendapat bahwa konsep wahyu sama sekali tidak berbenturan dengan akal manusia. Dengan demikian, mereka mencoba untuk menghidupkan kembali tradisi filsafat rasionalis Islam, dan beberapa ide sebelumnya yang dimunculkan dari sekte (rasional) Mu'tazilah yang kemudian menjadi trend di antara sarjana-sarjana Islam yang muncul belakangan. Para tokoh modernis yang datang kemudian mencoba menginterpretasikan topik-topik populer lainnya pada era lainnya seperti wacana poligami, perang dan perdamaian, ilmu pengetahuan, perbudakan dan keadilan. Abdullah Saeed, The Quran An Introduction (New York: Routledge, 2008), 209-210.

4 M. Quraish Shihab memberikan argument ketika mengomentari salah satu

(14)

penafsiran yang cenderung kuat mengedepankan aspek rasionalitas-ilmiah. Mereka melihat indikasi adanya paradigma lain yang ikut melebur sebagai asal pengaruh munculnya tafsir dengan kecenderungan rasional-ilmiah pada abad ke-18 dan sesudahnya. Hal inilah yang coba dijelaskan oleh sebagian sarjana muslim ataupun para intelektual yang di antaranya adalah Rotraud Wielandt5 yang secara umum berpandangan bahwa paradigma penafsiran-penafsiran pada abad ini telah bergeser kepada kecenderungan yang mengadopsi paradigma filsafat pencerahan Eropa untuk diterapkan dalam proses penafsiran Alquran. Ahmad N. Amir dan kawan-kawan juga menyebutkan secara umum bahwa paham rasional yang dianut Muh}ammad ‘Abduh pada dasarnya telah mendapat pengaruh pemikiran Jamaluddin al-Afghani yang diturunkan dari semangat kemajuan filsafat ilmiah Barat. Muh}ammad ‘Abduh berusaha mengintegrasikan berbagai aspek kemajuan Barat untuk membentuk paradigmanya guna membawa kembali Islam keluar dari keterpurukan menuju arah kemajuan sebagaimana yang diraih Barat saat itu.6 Bahkan Nasr Hamid Abu Zaid7 menegaskan lagi bahwa mufasir pada

5 Rotraud Wielandt berpendapat dalam mengomentari Sayyid Ah{mad Khan

dan Muh{ammad ‘Abduh sebagai modernis Islam abad 18 yang terkesan dengan dominasi politik dan kemakmuran ekonomi peradaban Barat modern sebagai dampak positif dari peradaban ilmiah Eropa, sekaligus sebagai hasil dari apa yang dipopulerkan oleh filsafat pencerahan Eropa. Atas dasar itulah mereka berupaya mengadopsi esensi dari pendekatan yang bercorak rasional sebagai metode yang diterapkan dalam menafsirkan Alquran. Terutama Muh{ammad ‘Abduh, dalam pandangan Rotraud Wieland, Muh{ammad ‘Abduh berusaha mengambil beberapa gagasan atau pemikiran Eropa yang bisa ditelusuri kembali ke filsafat yang ada pada fase akhir dari pencerahan Eropa. Rotraud Wielandt, “ Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 126-127.

6

Ahmad N. Amir dkk, “The Foundation of Science and Technology in View of Muh{ammad Abduh” dalam Asian Journal of Natural & Applied Sciences, Vol. 1. No. 2. Juni 2012 (Diakses dari http://www.ajsc.leena-luna.co.jp/AJSCPDFs/Vol.1%282%29/AJSC2012%281.2-15%29.pdf, tanggal 04-04-2013, pukul 16.01 WIB), 149.

7 Hal ini ditegaskan Nasr Hamid Abu Zayd ketika menggambarkan

(15)

abad ini terkadang berada dalam arus tura>th Islam yang ia jadikan sebagai dasar dan standar nilai, dan di saat yang lain ia bergerak dalam arus nalar Barat yang menolak mitos-mitos dan mukjizat-mukjizat.

Perbedaan argumentasi antara Abdullah Saeed dan M. Quraish Shihab dengan Rotraud Wielandt, Ahmad N. Amir dan Nasr Hamid Abu Zaid pada penjelasan sebelumnya, secara umum menggambarkan bahwa di satu sisi tendensi rasional-ilmiah dalam dunia penafsiran Alquran yang begitu kuat terlihat sejak abad ke-18, identik dengan pengaruh yang tertumpu pada paradigma sekte Mu’tazilah semata,8 namun di sisi lain terkesan bahwa tendensi penafsiran rasional-ilmiah tersebut justru menunjukkan perkembangan yang tidak hanya bersumber dari sekte rasional dalam Islam (Mu’tazilah), melainkan juga dari aliran ataupun sekte-sekte rasional lain yang berada di luar Islam.

Meninjau konsep rasional itu sendiri, terutama dari sudut pandang sekte Mu’tazilah, dipahami bahwa konsep rasional Mu’tazilah mengacu kepada kesesuaian proposisi dengan akal budi manusia (rasio). Bagi Mu’tazilah, akal mampu mengetahui sesuatu, meskipun memiliki batasan-batasan tersendiri.9 Mu’tazilah menjadikan akal sebagai standar kebenaran dalam melihat sesuatu, karna akal pada potensinya mampu dengan sendirinya mengetahui hakekat keberadaan sesuatu. Kebenaran objektif empiris bukanlah substansi dasar yang ditekankan sebagai barometer peninjau dalam konsep kebenaran realitas, melainkan kesesuaian antara pembacaan akal terhadap proposisilah yang menjadi esensi rasional Mu’tazilah. Sebuah proposisi sudah dinyatakan benar adanya secara realitas jika proposisi tersebut mampu dipahami dan dicerna serta diimajinasikan dalam alam idea manusia tanpa perlu adanya pembuktian kebenaran secara empiris. Inilah pemahaman rasional yang dipahami secara umum dari konsep rasional sekte Mu’tazilah yang diadopsi dari filsafat

8 Kaum Mu’tazilah adalah salah satu sekte dalam Islam yang membawa

persoalan-persoalan teologis yang lebih mendalam dan bersifat filosofis. Pembahasan mereka cenderung lebih kritis jika dibandingkan dengan pembahasan sekte-sekte lain dalam Islam seperti sekte Khawarij dan Murji’ah. Dalam membahas permasalahan-permasalahan teologis tersebut, mereka dominan menggunakan akal sehingga kemudian mereka dikenal sebagai kaum rasionalis Islam. Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1978), 38.

9 Harun Nasution, Muh{ammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah

(16)

rasional Yunani,10 dan konsep ini secara tidak langsung juga dipahami dan dianut oleh tokoh-tokohnya, termasuk al-Zamakhshari@.11

Melihat perkembangan tafsir Alquran abad ke 18 dan sesudahnya, muncul penafsiran-penafsiran yang menurut sebagian ulama juga dikenal mengusung tendensi rasional. Namun tendensi rasional yang dihadirkan bukanlah rasional murni, melainkan sebuah tendensi yang di dalamnya mengandung indikasi perpaduan dari paradigma lain yang lebih mengarah kepada tendensi rasional-ilmiah. Muh}ammad ‘Abduh12 misalnya, merupakan salah satu tokoh modernis Islam13 yang telah memberikan berbagai sentuhan-sentuhan pembaharuan di berbagai bidang14, termasuk Ilmu Tafsir dan proses penafsiran terhadap Alquran. Hadirnya kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma dan kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-H{aki@m al-Mashhu@r bi Tafsi@r

10 Aliran rasional yang berkembang di Barat, merupakan pengembangan dari

konsep rasional yang telah dibangun sejak masa filsafat Yunani. Filsafat Yunani yang pada masa awalnya bermula dari Plato hadir sekitar tahun 427-347 SM. Konsep rasional plato kemudian terus berkembang seiring waktu. Namun secara umun dari konsep rasional yang bermuara dari Yunani ini dapat ditarik beberapa benang merah bahwa melalui proses pemikiran abstrak mampu mencapai kebenaran fundamental. Selain itu keberadaan realitas serta beberapa kebenaran tentang realitas dapat dicapai tanpa menggunakan metode empiris. Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi (Bogor: Akademia, 2009), 110-115.

11 Manna@’ al-Qat}t}a@n menyebutkan bahwa al-Zamakhshari@ merupakan

seorang mufasir yang menganut paham teologi Mu’tazilah. Bahkan al-Zamakhshari@ menyebut kaum Mu’tazilah sebagai saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil. Manna@’ al-Qat}t}a@n, Maba@hith fi@ ‘Ulu@m al-Qur’a@n (Kairo: Da@r al-Rashi@d, t.th), 389.

12 Nama beliau adalalah Muh}ammad bin ‘Abduh bin H{asan Khairulla>h.

Berikutnya ditulis ‘Abduh. ‘Abba>s Mah}mud al-‘Aqqa>d, ‘Abqari@ Is}la>h} wa al-Ta’li@m al-Usta>dh al-Ima>m Muh}ammad ‘Abduh (Kairo: Maktabah Mis}r, t.th), 80.

13 Maryam Jameelah dan Abd al-Qadir al-Sufi menyebutkan sebagaimana

yang dikutip oleh Mursyidi Ridwan bahwa tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani, Muh}ammad ‘Abduh dan Sayyid Ah}mad Khan merupakan beberapa tokoh disebut sebagai dengan istilah kaum Modernis dalam Islam. Mursyidi Ridwan, “Islam Modernisme dan Fundamentalisme; Studi Tentang Ideologi Modernisme dan Fundamentalisme dalam Islam” dalam Jurnal Dialogia, Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2005 (Ponorogo: Jurusan Ushuluddin STAIN Ponorogo, 2005), 55.

14 Ahmad N. Amir dkk, “Muh{ammad Abduh’s Contributions to Modernity”

(17)

al-Mana@r atau yang lebih dikenal dengan Tafsi@r al-Mana@r merupakan dua karya tafsir ‘Abduh yang di dalamnya memuat hasil-hasil penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat Alquran yang sering dijadikan sebagai objek kajian dan analisa yang mewakili pemikiran, metode serta pendekatan yang digunakan ‘Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran walaupun ada sebahagian ulama yang menganggap kitab

Tafsi@r al-Qur’a>n al-H{aki@m al-Mashhu@r bi Tafsi@r al-Mana@r bukanlah karya ‘Abduh, melainkan merupakan sumbangsih Muh}ammad Rashi@d Rid}a> yang pada saat itu merupakan salah satu murid ‘Abduh.15

Sebagian besar ulama dan pakar tafsir pasca ‘Abduh memang telah banyak mengkaji dan memberikan penilaian terhadap karya-karya ‘Abduh di bidang tafsir Alquran. Terdapatnya kesejalanan pola penafsiran ‘Abduh dengan penafsiran para Mu’tazilian, terutama menyangkut tema-tema sentral dalam Islam, seperti ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan ketuhanan, nabi dan persoalan-persoalan transendental lainnya, menjadi argument umum para pakar tafsir untuk menyimpulkan posisi ‘Abduh sebagai seorang mufasir dengan kecenderungan rasional. Namun jika melihat penafsiran-penafsiran ‘Abduh terkait ayat-ayat tentang alam, akan ditemukan beragam indikasi yang menguatkan asumsi bahwa tendensi tafsir yang dilahirkan ‘Abduh tidak murni rasional, melainkan justru ‘Abduh juga terlihat berusaha menunjukkan kebenaran informasi dan realitas ayat secara empiris sebagai argumen yang sarat akan nilai-nilai ilmiah, yaitu menjelaskan ayat berdasarkan fakta-fakta temuan dari teori-teori tentang alam yang telah terangkul dalam berbagai disiplin ilmu

15 Meskipun penafsiran yang terdapat di dalam kitab Tafsi@r Qur’a>n

al-H{aki@m al-Mashhu>r bi Tafsi@r al-Mana>r merupakan hasil penafsiran bersama antara

Muh{ammad ‘Abduh dengan Muh{ammad Rashi@d Rid{a>, namun pemilik sesuangguhnya

adalah Muh{ammad Rashi@d Rid{a>. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan, 1) Ide dasar kemunculan tafsir berasal dari Muh{ammad Rashi@d Rid{a>, 2) Pencatatan dan pengeditan kajian-kajian tafsir Muahammad ‘Abduh di masjid Al-Azhar adalah Muh{ammad Rashi@d Rid{a>, 3) Ayat-ayat yang ditafsirkan Muh{ammad Rashi@d Rid{a> lebih banyak dari ayat-ayat yang ditafsirkan Muh{ammad ‘Abduh serta sebagaimana yang dikutip Muhammad Nurung dari M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa Muh{ammad Abduh hanya menafsirkan 413 ayat yang ditulis dalam jumlah yang kurang dari 5 jilid, sedangkan Muh{ammad Rashi@d Rid{a> menafsirkan 930 ayat yang ditulis dalam 7 jilid lebih. Selain itu dalam surat al-Fa@tih{ah, al-Baqarah dan an-Nisa@

juga ditemukan pendapat-pendapat Muh{ammad Rashi@d Rid{a>. Muhammad Nurung,

(18)

pengetahuan alam modern (sains) yang secara jelas telah melandaskan epistemologinya pada aspek empiris.

Mengamati model penafsiran terhadap ayat-ayat fenomena alam, memang terdapat beberapa penafsiran ‘Abduh yang terlihat berbeda dari penafsiran-penafsiran mufasir sebelumnya, bahkan menurut sebahagian ulama hal tersebut terkesan ganjil. Jika Fakhruddi@n al-Ra>zi@ (543-606 H) yang dikenal sebagai mufasir rasional (ra’yi) klasik dan al-Zamakhshari@ sebagai mufasir rasional yang berpaham Mu’tazilah hanya menafsirkan t}aira>n aba>bi@l (surat al-Fi@l (105) ayat 3) sebagai seekor burung yang dikenal dengan nama burung Aba>bi@l lengkap dengan ciri-cirinya, namun ‘Abduh justru menafsirkannya dengan lalat atau nyamuk yang membawa virus. Begitu juga dengan penafsiran al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ (467-538 H) tentang fenomena terbelahnya langit (surat an-Naba’ (78) ayat 19 dan surat al-Infit}a@r (82) ayat 1) dengan penafsiran bahwa langit itu memang adanya terbelah karna kehendak dan kekuasaan Allah, namun bagi ‘Abduh fenomena dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai tabrakan antar planet yang menyebabkan seluruh planet dan bintang-bintang menjadi hancur. Begitu juga dengan penafsiran-penafsiran ‘Abduh lainnya seperti esensi Malaikat (surat al-Baqarah (2) ayat 34) sebagai ruh alam yang ada dalam diri manusia, hewan dan tumbuhan, kemudian tentang metabolisme tumbuh-tumbuhan (surat ‘Abasa (80) ayat 26) dan lain sebagainya sehingga dengan demikian tidak berlebihan jika Harun Nasution menyuguhkan kesimpulan bahwa Muh{ammad ‘Abduh jauh melampaui rasionalnya Muktazilah itu sendiri.

(19)

dari suatu ayat. Dari model aplikasi penafsiran seperti ini, terindikasi sebuah konsep yang mirip atau lebih mengarah kepada model pembuktian kebenaran dalam paradigma filsafat Positivisme, yaitu salah satu aliran filsafat yang dikenal besar dan sangat berpengaruh di Barat sejak abad ke-18, bahkan sebagian peneliti menyebutkan bahwa abad ke-19 dikenal sebagai abad Positivisme. Analisis ini juga dikuatkan oleh keterangan yang dijelaskan Ignaz Goldziher yang menyebutkan bahwa ‘Abduh telah menggiring wacana umat Islam untuk tidak lagi menafsirkan Alquran dengan menggunakan perangkat pemikiran filosof klasik Yunani dan India seperti Plato, Aristoteles, Phytagoras, Jalinus dan sebagainya. Justru ‘Abduh lebih menekankan umat Islam untuk memperhatikan dan mengkaji wacana-wacana baru yang dibawa oleh filosof-filosof Prancis, Jerman dan Inggris pada masa itu, yang salah satu di antaranya adalah Auguste Comte,16 yaitu seorang filosof Prancis sekaligus pendiri aliran filsafat Positivisme yang menekankan paradigma ilmiah sebagai landasan kebenaran argumen dalam menunjukkan realitas dari sebuah proposisi.

Dari analisis sederhana ini memunculkan beberapa pertanyaan, apakah model dan kecenderungan penafsiran ‘Abduh yang dikenal berbeda masih murni dari paradigma rasionalnya Mu’tazilah, atau telah berbaur dengan paradigma-paradigma lain seperti paradigma filsafat Positivisme. Bisa jadi juga dalam konteks ayat-ayat tertentu seperti ayat-ayat al-Kauni@yah (ayat-ayat tentang alam dan fenomenanya), ‘Abduh memang tidak menggunakan model paradigma Rasionalisme, melainkan paradigma lain (filsafat Positivisme) yang dirasa sesuai untuk dijadikan paradigma dalam menafsirakan dan menjelaskan realitas ayat.

Beranjak dari permasalah di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji topik ini secara lebih mendalam, untuk meneliti model dan konsep penafsiran ‘Abduh, terutama terhadap ayat-ayat tentang alam dan fenomenanya dengan melakukan penelitian lebih lanjut yang dirangkul dalam penelitian yang berjudul “Nuansa Positivistik Tafsir Modern Muh{ammad ‘Abduh”.

16 Ignaz Goldziher menjelaskan pandangan ‘Abduh bahwa bukan waktunya

(20)

B.Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Beranjak dari dasar pemikiran di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan terkait tendensi penafsiran Muh}ammad ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, di antaranya sebagai berikut:

a. Awal munculnya paham Rasionalisme dalam Islam.

b. Sejauh mana pengaruh Mu’tazilah dalam membangun konsep penafsiran dalam Islam, terkhusus penafsiran Muh}ammad ‘Abduh.

c. Bagaimana konsep Rasionalisme dan Empirisme dari filsafat yang muncul pada abad pencerahan Eropa.

d. Bagaimana bentuk substansi yang ingin diwujudkan Muh}ammad ‘Abduh dari penulisan Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma. e. Bagaimana konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu

pengetahuan dalam pandangan Muh}ammad ‘Abduh.

f. Bagaimana penafsiran Muh}ammad ‘Abduh terhadap ayat-ayat

al-Kauni@yah (ayat-ayat tentang fenomena alam).

g. Bagaimana basis penafsiran Muh}ammad ‘Abduh dalam tinjauan paradigma filsafat Positivisme.

h. Bagaimana karakteristik tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh. i. Urgensi tafsir Positivistik

2. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah penelitian ini terkait penafsiran Muh}ammad ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz ‘Amma,

lebih terfokus kepada upaya penulis untuk membahas tentang: a. Konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan (sains). b. Basis tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh.

c. Karakteristik tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh. d. Urgensi tafsir Positivistik.

3. Perumusan Masalah

Pokok masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimanakah konsep tafsir Positivistik modern terutama meninjau penafsiran Muh}ammad ‘Abduh terkait ayat-ayat al-Kauni@yah dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma.

C.Penelitian Terdahulu yang Relevan

(21)

berbau ilmiah, tentang paradigma dari filsafat Rasionalisme, Empirisme, Positivisme dan juga terkait Mu’tazilah, namun pembahasan tersebut belum mengarahkan pembahasan secara spesifik kepada pembahasan yang penulis teliti berdasarkan tema penelitian ini. Meskipun demikian, dari berbagai pembahasan-pembahasan tersebut, banyak informasi yang bisa dimanfaatkan sebagai pijakan dasar dalam menganalisa permasalahan dari penelitian ini.

Berdasarkan turunan tema yang diangkat dalam kajian ini, ditemukan beberapa literatur yang bisa dimanfaatkan sebagai perbandingan dan tambahan informasi guna menganalisa masalah dari penelitian yang sedang dilakukan. Misalnya saja Ahmad N. Amir dan kawan-kawan, “The Foundation of Science and Technology in View of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Asian Journal of Natural & Applied Sciences, secara umum membicarakan wacana ilmiah pengetahuan modern dari Eropa (muncul dan berkembang sejak abad ke-13 hingga abad ke-18) yang sangat menekankan pada gagasan objektivitas, iman (keyakinan) dan peradaban, metafisika, epistemologi secara empiris serta berusaha memproduksi sintesis unik antara agama dan filsafat yang menekankan aspek metodologi ilmiah, pengamatan sistematis, eksperimen dan bangunan teori. Kondisi ini kemudian disambut baik oleh para modernis Islam pada masa kebangkitan Islam seperti yang diusahakan oleh Sayyid Ah}mad Khan, Jamaluddin al-Afghani, Muh}ammad ‘Abduh, Rashi@d Rid{a>, T{aha H{usein, Muh}ammad H}usein Haykal, dan Qasim Ami@n. Ahmad N. Amir dan kawan-kawan juga menyebutkan bahwa semangat kemajuan di dunia Eropa juga ditularkan oleh Jamaluddin al-Afghani kepada Muh}ammad ‘Abduh sehingga Muh}ammad ‘Abduh menarik perkembangan pemikiran dan kemajuan Eropa ke dalam gaya berfikirnya yang memunculkan nuansa berbeda pada penafsirannya terhadap Alquran jika dibandingkan dengan penafsiran-penafsiran pada masa sebelumnya.17

Rotraud Wielandt dengan judul “Exegesis of the Qur’an: Early Modren and Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Quran

17 Ahmad N. Amir dkk, “The Foundation of Science and Technology in

(22)

dengan Jane Dammen Mc Auliffe sebagai editor.18 Dalam tulisan ini Rotraud Wielandt membahas upaya penafsiran dari sarjana muslim serta dengan pandangan mereka tentang metodologi penafsiran dari pertengahan abad kesembilan belas sampai sekarang. Mengenai kecenderungan yang berbeda dalam tafsir Alquran sejak abad ke Sembilan belas, Rotraud Wielandt menjelaskan secara panjang lebar bagaimana kecenderungan para mufasir pada masa ini dan ulama-ulama tafsir yang terpengaruh sesudahnya dimana muncul sebuah model penafsiran yang lebih menunjukkan adanya upaya pengadobsian unsur-unsur kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan dari Barat yang semua itu bersumber dari filsafat pencerahan yang ada di Eropa. Keberadaan filsafat pencerahan Eropa yang diklaim sebagai dasar kebangkitan Eropa, memberikan efek tersendiri ke dalam paradigma beberapa mufasir sehingga menghasilkan sebuah penafsiran yang sarat dengan model paradigma-paradigma kefilsafatan. Rotraud Wielandt menyebukan bahwa munculnya Sayyid Ahmad Khan dari India dan Muh{ammad ‘Abduh dari Mesir, menjadi dua tokoh sentral yang dipandang sebagai pioner dalam membumikan hal tersebut, terutama dalam upaya mereka menyerap ilmu-ilmu modern dan kemajuan budaya Eropa pada waktu itu dan mereka mencoba memadukan unsur tersebut ke dalam Islam untuk kembali memutar balikkan kondisi Islam pada saat itu yang sedang mengalami degradasi.

Abdullah Saeed, The Quran An Introduction.19 Secara umum buku karya Abdullah Saeed menggambarkan perkembangan tafsir seiring perkembangan waktu yang dimulai dari gambaran umum tentang tafsir pada periode awal, tafsir dalam lingkaran pengaruh sekte teologi Islam dan corak penafsirannya serta sampai pada persentuhan tafsir dengan Barat sehingga mengantarkan kepada hadirnya tafsir modern dan kontemporer. Dalam kontek korelasi tulisan Abdullah Saeed dengan penelitian ini yang menarik adalah bagaimana Abdullah Saeed mencoba menjelaskan bahwa tafsir modern yang terlahir cenderung mengarah kepada tendensi rasional. Hal itu merupakan pengaruh yang diturunkan oleh sekte rasional Islam, yaitu sekte Mu’tazilah. Kecenderungan Mu’tazilah mengandalkan rasio dalam

18 Rotraud Wieland, “Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and

Contemporary” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen

McAuliffe Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002).

19 Abdullah Saeed, The Quran An Introduction (New York: Routledge,

(23)

menafsirkan ayat-ayat yang bertemakan persoalan Kalam, menjadi kunci turunan yang mempengaruhi mufasir pada era setelahnya yang juga bercorak rasional. Namun disayangkan bahwa Abdullah Saeed tidak menjelaskan bagaimana konsep rasional Mu’tazilah secara mendalam dan konsep rasional para mufasir modern yang justru terdapat perbedaan dengan konsep rasional sekte klasik Islam tersebut.

Ignaz Goldziher dalam buku Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi@.20 Dalam buku ini, Ignaz Golziher mengungkapkan berbagai polemik tafsir dalam atmosfer teologi rasional yang diklaim sebagai nuansa sekte Mu’tazilah. Kecenderungan rasional Mu’tazilah ini kemudian juga mempengaruhi beberapa mufasir klasik, di antaranya al-Zamakhshari@. Bibit-bibit rasional dalam tafsir yang dibangun Mu’tazilah diaplikasikan secara utuh oleh al-Zamakhshari@ dalam kitab tafsirnya. Berlandaskan pada aplikasi rasional yang diterapkan oleh Zamakhshari@ dalam menafsirkan Alquran yang mewakili model penafsiran rasional Mu’tazilah sehingga Ignaz Goldziher mengklaim kecenderungan penafsiran di era modern (pada abad ke 18 dan setelahnya) yang diusung beberapa mufasir pada masa itu seperti Muh}ammad ‘Abduh, masih dikategorikan sebagai bentuk lain dari konsep rasional Mu’tazilah atau lebih dikenal dengan Neo Mu’tazilah. Namun di sisi yang berbeda, Ignaz Goldziher juga menunjukkan kecenderungan lain dari penafsiran ‘Abduh dimana banyak dari penafsiran yang dihasilkan sarat dengan nilai-nilai ilmiah sebagai bentuk upaya memadukan temuan-temuan yang bersifat ilmiah dari hasil peradaban modern Eropa ke dalam tafsir. Ignaz menilai bahwa terdapat pergeseran wacana kefilsafatan yang perlu dikaji dan diperhatikan, dimana tidak saatnya lagi membahas wacana kefilsafatan klasik Yunani dan India seperti Aristoteles, Plato, Socrates, Phytagoras, Jalinus dan sebagainya karena dalam penilaian ‘Abduh, wacana yang diusung filosof klasik tersebut tidak lagi relevan dalam kontek kekinian (saat ‘Abduh hidup). Namun ‘Abduh lebih menuntut untuk memperhatikan dan melakukan kajian secara mendalam terhadap wacana-wacana baru yang dibawa oleh beberapa filosof Prancis, Jerman dan Inggris seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza.

M. Quraish Shihab dalam buku Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar. Secara umum dalam buku ini M. Quraish

20 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi@, Penerj; ‘Abdul H{ali@m

(24)

Shihab berbicara tentang Tafsi@r al-Manna@r untuk melihat kecenderungan mufasirnya (Muh}ammad ‘Abduh dan Rashi@d Rid}a>) dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran. Terkait Muh{ammad ‘Abduh, M. Quraish Shihab sempat menyimpulkan bahwa Muh{ammad ‘Abduh merupakan tokoh pembaharu di bidang tafsir yang memiliki coraknya sendiri. M. Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa dari segi penggunaan akal dalam menafsirkan Alquran, Muh{ammad ‘Abduh sangat dominan mengaplikasikan model penafsiran seperti ini. M. Quraish Shihab menilai bahwa hal tersebut menunjukkan kesejalanan antara Muh{ammad ‘Abduh dengan Mu’tazilah, baik dalam prinsip-prinsip yang dianutnya ataupun dari segi tujuannya, terlepas dari perdebatan panjang antar para ulama dan pakar tafsir terkait Muh{ammad ‘Abduh adalah seorang Mu’tazilian atau bukan.21

Muhammad Hamid al-Nashr dengan buku berjudul Menjawab Modernisasi Islam; Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam Liberal. Secara umum dalam buku ini Muh{ammad Hamid An-Nashr sempat menyinggung pembahasan tentang sekte Mu’tazilah dengan meninjau berbagai aspek dari Mu’tazilah sehingga terlihat kekentalan permainan akal atau kecenderungan rasional dari Mu’tazilah itu sendiri. Bagi Muhammad Hamid An-Nashr, Mu’tazilah dipandang begitu mengagungkan akal. Akal atau logika dalam sekte Mu’tazilah dipandang sebagai dasar utama yang dijadikan barometer kebenaran yang kemudian baru diperkuat oleh dalil-dalil yang ada. Inilah landasan utama Muhammad Hamid An-Nashr menyebutkan Mu’tazilah sebagai sekte rasional Islam yang kemudian juga menularkan pengaruhnya kepada generasi sesudahnya, termasuk Muh{ammad ‘Abduh yang juga digolongkan sebagai salah satu penganut Mu’tazilah.22

Dari beberapa penelitian sebelumnya, ada spesifikasi pembahasan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang diungkapkan oleh Ahmad N. Amir, Rotraud Wielandt, Abdullah Saeed, Ignaz Goldziher, M. Quraish Shihab dan Muhammad Hamid al-Nashr. Pembahasan yang diungkapkan Ahmad N. Amir dan Rotraud Wielandt secara umum hanya menunjukkan indikasi global tentang

21 M. Quraish Shihab, Rasionalitas Quran Studi Kritis atas Tafsir

al-Mannar (Jakarta: Lentera Hati 2006), 32-36.

22 Muh{ammad Hamid al-Nashr, Menjawab Modernisasi Islam; Membedah

(25)

adanya ketertarikan ‘Abduh dan upayanya untuk mengintegrasikan perkembangan pemikiran dan kemajuan peradaban Barat ke dalam ide dan pemikiran pembaharuannya terhadap dunia Islam. Ahmad N. Amir dan Rotraud Wielandt juga menduga bahwa pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa pada masa itu juga ikut mempengaruhi gaya penafsiran ‘Abduh sehingga terkesan nuansa penafsirannya berbeda dari penafsiran-penafsiran pada era sebelum ‘Abduh. Sedangkan Ignaz Goldziher, M. Quraish Shihab dan Muhammad Hamid al-Nashr masih menilai bahwa nuansa tafsir ‘Abduh yang kuat mengedepankan aspek rasional-ilmiah pada era modern, masih dipengaruhi sepenuhnya oleh paradigm Mu’tazilah meskipun Ignaz Goldziher telah memberikan indikasi yang menunjukkan upaya ‘Abduh untuk menggiring wacana umat Islam untuk menggunakan pemikiran-pemikiran modern Eropa pada saat itu seperti Auguste Comte, Leibniz dan Spinoza. Walaupun demikian, seluruh pembahasan yang coba diungkapkan oleh beberapa tokoh tersebut terkait tendensi penafsiran ‘Abduh sebagai seorang mufasir modern, hanya sebatas uraian-uraian yang bersifat global atau mengikuti wacana yang berkembang sebelumnya bahwa ‘Abduh masih terpengaruh sepenuhnya oleh paradigma Mu’tazilah.

Penelitian yang dirangkul oleh judul “Nuansa Positivistik Tafsir Modern Muh{ammad ‘Abduh” mencoba mengulas tentang penafsiran ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma

secara lebih spesifik dengan mengidentifikasi paradigma asal yang mempengaruhi perbedaan nuansa penafsiran ‘Abduh jika dibandingkan dengan gaya penafsiran-penafsiran ulama-ulama pada era sebelum ‘Abduh, terkhusus penafsiran-penarsiran terhadap ayat-ayat al-Kauni>yah (ayat-ayat fenomena alam). Peneliti melihat bahwa, terdapat satu aliran filsafat pencerahan Eropa pada masa itu yang ikut mempengaruhi paradigma penafsiran ‘Abduh terkait ayat-ayat al-Kauni>yah, seperti filsafat Positivisme.

(26)

aliran filsafat Positivisme yang begitu kuat menyuarakan pandangan Positivistiknya.23 Inilah yang coba dirunut dan diurai dalam penelitian ini secara spesifik dengan berusaha mencari dan menunjukkan pengaruh filsafat Positivisme dalam membentuk paradigma penafsiran ‘Abduh yang terkesan berbeda terkait ayat-ayat al-Kauni>yah dalam

Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, kemudian melihat karakteristik serta urgensi dari model penafsiran Positivistik yang diterapkan ‘Abduh. Hal ini merupakan kelebihan yang paling menonjol dari penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

D.Tujuan Penelitian

Merujuk kepada rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk; Pertama, melihat konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan alam (sains) dalam pandangan Muh{ammad ‘Abduh. Kedua, melihat basis tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh sebagaimana yang diterapkan dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma. Ketiga, melihat karakteristik tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh. Keempat, melihat urgensi dari model tafsir Positivistik.

E. Signifikansi Penelitian

Signifikansi dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Memperluas pandangan dunia intelektual dalam pengkajian tafsir Alquran dengan memahami perkembangan model atau nuansa penafsiran Alquran, terkhusus tafsir yang dimulai dari era modern.

2. Secara praktis diharapkan agar penelitian ini akan berguna bagi kehidupan masyarakat intelektual Islam, terutama dalam memahami dan berusaha menghasilkan sebuah penafsiran yang lebih bersifat dinamis serta mampu menjadi alternatif-alternatif dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, namun tetap berada dalam nilai-nilai dan aturan-aturan pokok yang telah ditetapkan Alquran.

23 Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori

(27)

F. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini secara umum mencakup tiga hal penting, yaitu dari segi sumber data penelitian, dari segi sifat dan jenis penelitian, dan yang terakhir dari segi metode serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Sumber Data Penelitian

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini merupakan penelitian yang berkaitan dengan bidang tafsir yang lebih terfokus kepada kajian tokoh dimana tokoh yang diteliti adalah Muh{ammad ‘Abduh. Jadi dalam proses penelitian ini sumber primer yang penulis gunakan adalah kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma karangan Muh{ammad ‘Abduh (Kairo: al-Ami@riyyah, 1322 H). Pemilihan kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma

sebagai sumber primer dikarenakan kitab ini merupakan kitab tafsir yang memuat penafsiran-penafsiran ‘Abduh terhadap ayat Alquran. Hal lain yang penulis perhatikan adalah bahwa kitab ini merupakan kitab tafsir yang murni dikarang oleh ‘Abduh. Sedangkan kitab

Tafsir al-Manna>r menurut sebahagian pakar tafsir, tidak lagi orisinil dari hasil penafsiran ‘Abduh karena telah terdapat pemikiran-pemikiran Muh{ammmad Rashi@d Rid{a@ yang pada saat itu berperan menuliskan penafsiran-penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam majlis Al-Manna>r. Sedangkan sumber skunder dalam penelitian ini adalah segala karya tulis ilmiah baik itu buku, jurnal ataupun artikel-artikel lainnya yang terkait dengan tema dari penelitian ini.

2. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat Kualitatif.24 Dari segi jenis, penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data-data dan menelaah buku-buku atau leteratur-literatur perpustakaan yang terkait dengan pembahasan.

3. Pendekatan Penelitian

Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus mempunyai metode pendekatan dan desain penelitian yang jelas.

24 Penelitian Kualitatif adalah sebuah penelitian yang berlandaskan filsafat

(28)

Hal ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan tersebut mempunyai landasan yang kokoh dalam menganalisa dan mengolah data untuk tercapainya tujuan yang ingin dijawab dari sebuah penelitian. Di samping itu, pembaca juga akan mempunyai pemahaman yang lebih proporsional dalam membaca hasil penelitian dengan mengetahui pendekatan yang diterapkan. Keberadaan objek dan masalah yang jelas, sangat mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan yang hendak digunakan dalam sebuah penelitian.

Dari segi fokus kajian, penelitian ini berusaha mengungkap epistemologi dan konsep penafsiran Positivistik Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, terutama terkait ayat-ayat fenomena alam yang diindikasikan terpengaruh oleh paradigma filsafat Positivisme dalam menafsikan dan mengungkap kebenaran realitas ayat. Oleh karena itu untuk menganalisa permasalahan ini secara mendalam, penulis menggunakan pendekatan Filsafat, terutama paradigma filsafat Positivisme. Pendekatan filsafat Positivisme merupakan sebuah pendekatan yang digunakan dengan memandang sesuatu melalui pendekatan ilmiah.25 Pendekatan Positivisme ini lebih menekankan kepada model paradigma yang menjadikan hal-hal yang berada di wilayah empiris sebagai realitas dalam argumentasi terhadap sebuah proposisi yang juga harus dapat dibenarkan secara ilmiah atau berdasarkan kepada penilaian ilmu-ilmu alam (sains). Senada dengan itu, Soerjono Soekanto juga menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tersebut bisa disebut positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongkrit, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan ruang bagi berbagai ilmu pengetahuan untuk mengukur isinya yang

25Kecenderungan Positivisme menggunakan ilmu pengetahuan, merupakan

(29)

positif, serta sampai sejauh mana ilmu tadi mampu mengungkapkan kebenaran yang positif. Lebih jauh lagi Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam disiplin ilmu-ilmu alam yang bisa digunakan dalam membaca gejala-gejala serta mengungkapkan kebenaran yang positif, di antaranya seperti disiplin ilmu Matematika, Astronomi, Fisika, ilmu Kimia, Biologi, Sosiologi dan lain sebagainya.26 Adanya teori-teori dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan alam (sains) yang di dukung dengan bukti-bukti bersifat empiris seperti adanya data sejarah dan fakta-fakta tentang fenomena-fenomena alam yang menyertainya, menjadi komponen penting dalam teknis dan sitematika dari pendekatan yang menggunakan paradigma Positivisme.

Terkait penelitian ini, langkah kerja dari metode dan pendekatan Positivisme lebih kepada upaya menjadikan nilai-nilai pokok yang telah ditekankan dalam paradigma filsafat Positivisme sebagai barometer penilaian dasar, kemudian berlandaskan kepada barometer tersebut penulis menganalisa penafsiran-penafsiran ‘Abduh dalam Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma yang terindikasi menggunakan paradigma filsafat Positivisme. Di antara poin-poin dasar yang ditekankan dalam paradigma Positivisme adalah objek pembahasan yang difokuskan mengulas persoalan-persoalan seputar fenomena alam, menjadikan fakta empiris sebagai realitas, menghindari pembahasan-pembahasan bersifat transendental dan mejelaskan suatu persoalan fenomena alam dalam kerangka analisis sains modern. Dengan berpijak pada poin-poin ini, penulis mengidentifikasi setiap penafsiran ‘Abduh yang mangandung muatan poin-poin tersebut serta juga ditunjang dengan informasi-informasi lain yang bersifat historis. Melalui pendekatan filsafat Positivisme penulis berupaya mengungkap apakah penafsiran yang dihasilkan Muh{ammad ‘Abduh terbiasi oleh paradigma filsafat Positivisme atau tidak.

G.Sistematika Penulisan

Penelitian ini secara sistematis akan diuraikan dalam lima bab, yang terdiri dari:

Bab pertama; diawali dengan pendahuluan yang memuat mengenai dasar pemikiran dari penelitian ini dengan terlebih dahulu

26 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru Keempat 1990

(30)

memaparkan latar belakang masalah, dilanjutkan dengan pokok permasalahan yang terdiri dari pertama; identifikasi masalah yaitu permasalahan-permasalahan yang terlingkup dalam tema penelitian yang akan dilakukan ini, kedua; pembatasan masalah yang berisi gambaran umum ruang dan batasan penelitian agar penelitian menjadi terarah dan jelas, dan yang ketiga; perumusan masalah yang berisi beberapa pertanyaan yang merupakan wujud dari beberapa masalah yang harus di jawab dari penelitian ini. Kemudian dalam bab pertama ini juga diuraikan beberapa literatur yang relevan dengan tema penelitian, guna mengetahui serta sebagai bahan perbandingan dalam melihat beberapa penelitian terdahulu yang memiliki hubungan tersendiri dengan penelitian yang sedang dilakukan. Dalam bab pertama juga terdapat tujuan penelitian serta signifikansi penelitian yang berfungsi memperlihatkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini serta signifikansi dari penelitian ini secara umum. Berikutnya diikuti dengan metodologi penelitian yang menjelaskan tentang jenis penelitian, metode serta pendekatan yang penulis pakai dalam penelitian ini guna mengetahui langkah kerja dalam proses pengolahan data untuk mencapai tujuan penelitian. Sub bab terakhir dari bab pertama ini adalah sistematika penulisan yang di dalamnya mengulas gambaran umum dari poin-poin pembahasan yang tersusun secara sistematis.

Bab kedua; Tafsir dan Filsafat. Bab kedua ini terdiri dari dua sub bab. Sub bab pertama mengulas tentang tafsir Alquran dalam dimensi rasional. Inti dari sub bab ini terdapat dua pembahasan penting yaitu untuk menunjukkan karakteristik dari tafsir bi al-Ra’yi

sebagai metode penafsiran dengan tendensi rasional dan karakteristik Mu’tazilah sebagai salah satu sekte Islam yang juga sangat mengagungkan akal guna melihat corak rasionalnya yang masih searah dengan paradigma Rasionalisme klasik Yunani. Sub bab kedua mengulas tentang Positivisme dalam bingkai Empirisme. Sub bab ini bertujuan untuk mengulas konsep dan nilai-nilai dasar yang ditekankan dalam paradigma filsafat Positivisme guna menghadirkan pembenaran terhadap kebenaran realitas dari sebuah proposisi.

(31)

kemudian dapat meninjau arah paradigma ‘Abduh yang terkorelasi ke dalam penafsirannya terhadap Alquran. Sub bab ke dua, mengulas seputar kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma sebagai objek analisis sehingga perlu terlebih dahulu diketahui tentang karya ini secara umum. Sub bab ketiga, menjelaskan tentang konsep relasi antara Alquran, akal dan ilmu pengetahuan (sains) dalam pandangan ‘Abduh. Hal ini bertujuan untuk melihat konsep pemahaman dasar ‘Abduh dalam memandang ketiga hal tersebut, apakah ketiganya saling terkorelasi dengan baik ataukah ada pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga kemudian dapat ditinjau dengan jelas posisi ilmu pengetahuan alam (sains) dan penerapannya dalam penafsiran ‘Abduh.

Bab keempat; Tafsir Modern dan Nuansa Positivistik. Bab ini terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama mengulas tentang Basis tafsir Positivistik Muh}ammad ‘Abduh. Tujuan dari sub bab ini ingin melihat dan mendeskripsikan model penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat al-Kauni@yah dimana ‘Abduh membangun penafsirannya berdasarkan fakta-fakta empiris yang ditopang oleh kebenaran berdasarkan ilmu-ilmu alam (sains). Sub bab kedua, mengulas tentang karakteristik dari tafsir Positivistik Muh}ammad ‘Abduh. Sub bab ini bertujuan untuk melihat poin-poin inti yang menunjukkan ciri-ciri dari kecenderungan tafsir Positivistik. Sub bab ketiga, mengulas tentang urgensi dari tafsir Positivistik. Sub bab ini bertujuan untuk mengulas pentingnya penafsiran dengan corak Positivistik sebagaimana yang terkandung dalam pemikiran ‘Abduh.

(32)

21

BAB II

TAFSIR DAN FILSAFAT

Berbedanya pandangan beberapa pakar dan pengkaji tafsir Alquran melihat kecenderungan sebagian tafsir yang muncul sejak abad ke-18, terutama penafsiran yang bertendensi ilmiah, berkutat pada topik apakah kecenderungan penafsiran tersebut masih merupakan bagian model dari paradigma dan konsep rasionalisme Islam pada masa sebelumnya atau sudah bercampur dengan konsep dan paradigma lain yang berasal dari luar Islam.

Berlandaskan perbedaan pandangan di atas, ada beberapa hal yang ingin dibahas terlebih dahulu dalam bab II, yaitu tafsir bi

al-Ra’yi sebagai jalan memahami kandungan Alquran dengan

mengedepankan aspek nalar atau akal, kemudian konsep rasionalitas Mu’tazilah sebagai salah satu sekte teologi Islam yang mengarah kepada paradigma filsafat Rasionalisme klasik (Yunani), dan yang terakhir adalah filsafat Positivisme, yaitu salah satu filsafat Barat dengan mengedepankan paradigma ilmiah yang berdiri di atas kepercayaan yang tinggi terhadap fakta empiris (Empirisme) dan sains dalam memahami realitas.

A.Tafsir Alquran dalam Dimensi Rasional 1. Rasionalistik Tafsir bi al-Ra’yi

Penafsiran Alquran memang memiliki corak penafsiran yang beragam. Kecenderungan gaya dan nuansa yang mewarnai suatu proses penafsiran, menjadi ciri khas yang akan memberikan kesan tersendiri terhadap proses tersebut. Adanya penggunaan akal yang mendominasi dalam suatu penafsiran Alquran diistilahkan oleh para ulama dan pakar tafsir dengan corak tafsir bi al-Ra’yi, atau dalam istilah lain disebut tafsir rasional.1 Tafsir rasional atau al-Ra’y muncul pada masa dinasti ‘Abbasiyah. Kemunculan tafsir dengan corak rasional pada masa ini masih belum semapan tafsir rasional pada zaman sekarang. Sebagaimana yang disebutkan oleh Muh{ammad H{usein al-Dhahabi@,

1 Tafsir bi al-Ra’yi terambil dari kata ra’y yang secara lughawi berarti,

(33)

pada masa ini tafsir rasional muncul dan masih tercampur di dalam tafsir bi al-Ma’thu>r. Tafsir rasional yang pada esensinya merupakan hasil dari peran aktif analisa akal dari mufasir dalam memahami ayat, digunakan untuk memperkuat atau menghubungkan antara pendapat-pendapat ulama lain yang dinukilnya, kemudian menghasilkan pemikirannya sendiri atau pemahamannya sendiri terhadap ayat. Al-Dhahabi@ menambahkan bahwa pada masa ini para ulama tafsir yang kebanyakan merupakan ulama-ulama yang menguasai ilmu bahasa, pemikiran, dan ada sebagian yang fanatik terhadap mazhab-mazhab, mencoba menterjemahkan kitab-kitab yang berbau filsafat, dan kemudian mencoba mengkombinasikan antara filsafat dan tafsir, maka lahirlah sebuah kecenderungan penafsiran yang disebut tafsir bi al-Ra’yi atau tafsir rasional.2

‘Abd H{ayy al-Farma>wi@ dan Muh{ammad al-Sayyi@d Jibri@l misalnya menjelaskan tafsir bi al-Ra’yi dalam pemahaman yang senada sebagai proses penafsiran Alquran melaui jalan ijtihad, setelah mufasir mengetahui metode yang digunakan orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata Arab beserta muatannya.3 Selain itu, mufasir juga harus dibantu dengan sair-sair Jahiliyah, Asba>b al-Nuzu>l, Na>sikhMansu>kh dan lain sebagainya. Syaikh Manna>’ al-Qat}t{a>n juga menjelaskan bahwa tafsir bi al-Ra’yi (tafsir rasional) merupakan penafsiran terhadap Alquran dimana mufasir berpegang kepada pemahamannya sendiri dan pengambilan kesimpulanpun didasarkan kepada logika mufasir.4 M. Quraish Shihab juga menambahkan bahwa tafsir bi al-Ra’yi merupakan penafsiran yang dalam proses penafsiran itu sendiri menggunakan nalar.5

Meskipun pandangan dikalangan ulama secara umum masih diwarnai oleh perdebatan dan polemik antara dua kutub yang saling berseberangan (membolehkan dan melarang),6 setidaknya dalam

2 Muh{ammad H{usain al-Dhahabi@, ‘Ilm al-Tafsi@r (Kairo: Da@r al-Ma’a@rif, tth),

37 3

‘Abd H{ayy al-Farma>wi@, al-Bida>yah fi@ al-Tafsi@r al-Maud}u’i@ Dira>sah Manhajiyyah Maud}u’iyyah (Kairo: Maktabah Jumhuriyyah, 1977), 26. Muh{ammad al-Sayyid Jibri@l, Madakhil al-Mana@hij al-Mufassiri@n (Kairo: al-Risa>lah, 2008), 106.

4 Manna’ al-Qat}t}an, Maba>hith fi@ ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Ttp: Da>r al-Rashi@d, tth),

351.

5 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XIX (Bandung: Mizan, 1999), 85.

6 Secara umum, terdapat dua pendapat ulama dalam memandang tafsir bi

(34)

dimensi ini T{a>hir Mah{mu>d Muh{ammad Ya’qu>b memandang sebuah pendapat yang lahir dari fikiran atau akal ketika memahami ayat yang disandarkan ataupun sesuai dengan Alquran dan sunnah, maka hasil penafsiran ra’y (rasio) tersebut layak untuk diterima.7 Berbeda halnya dengan Muh{ammad bin Lut}fi@ al-S{iba>gh8 yang lebih menganjurkan

karena; Pertama, kebanyakan dari lahirnya tafsir-tafsir Ra’y dilakukan oleh seorang mufasir tanpa memiliki ilmu-ilmu yang diwajibkan oleh ulama-ulama dalam menafsirkan Alquran. Kedua, karena semua penjelasan Alquran dianggap sudah ada penjelasannya dalam hadis Nabi. Ketiga, adanya penegasan langsung dari hadis Nabi bahwa bagi mufasir yang menafsirkan dengan akalnya, maka tempatnya di dalam neraka. Sedangkan bagi ulama yang membolehkan beralasan bahwa; Pertama, manusia memang dituntut oleh Allah untuk berusaha memahami Alquran dengan semaksimal mungkin tanpa terkecuali melalui akal manusia. Kedua, Jika tafsir Ra’y dilarang maka sesungguhnya ijtihadpun juga dilarang yang menyebabkan banyaknya hukum-hukum yang menjadi batal, karna sesunguhnya di antara hukum-hukum yang ada dalam Islam, kebanyakan merupakan hasil dari ijtihad dimana ijtihad itu sendiri pada esensinya merupakan aplikasi dari akal. Ketiga, aplikasi Ra’y dianggap sudah ada pada masa sahabat, hal itu dibuktikan dengan perbedaan pemahaman para sahabat dalam memahami ayat-ayat yang telah diajarkan Nabi kepada mereka.

Muh{ammad H{usain al-Dhahabi@, ‘Ilm al-Tafsi@r, 47-50. Bandingkan dengan yang

dijelaskan Nu>ruddi@n ‘Ittir, ‘Ulu@m al-Qur’a>n al-Kari@m (Damaskus: Al-Shiba@l, 1996), 85-87.

7 Diterimanya tafsir dengan corak Ra’y seperti ini dalam pandangan Dr.

T{a>hir Mah{mu>d Muh{ammad Ya’qu>b setidaknya berdiri pada tiga alasan: 1) tidak seluruh penafsiran salaf terhadap Alquran dikupas atau dibahas secara tuntas dan terperinci, 2) Tidak seluruh makna atau maksud Alquran dijelaskan Nabi kepada sahabat secara terperinci, karena kebanyakan dari apa yang dijelaskan Nabi, hanyalah sebatas apa yang ditanyakan sahabat, 3) Ada sebagian sahabat yang terpaksa harus berijtihad dalam menafsirkan sebagian ayat Alquran dikarenakan mereka tidak mendengarkan penafsiran ataupun penjelasan Nabi secara langsung. T{a>hir Mah{mu>d Muh{ammad Ya’qu>b, Asba>b al-Khat}a’ fi@ al-Tafsi@r, Juz’ 1 (Kairo: Da@r Ibn al-Jauzi@, 1425 H), 66-67.

8 Muh{ammad bin Lut}fi@ al-S{iba@gh mengutip peringatan yang disampaikan

oleh al-Qurt}ubi@ dalam kitabnya yang melarang penafsiran dengan kecenderungan

(35)

untuk menjauhi tafsir bi al-Ra’yi (rasional). Hal itu dikarenakan penafsiran dengan menggunakan akal cenderung salah dan rentan untuk mengikuti hawa nafsu.

Penggunaan logika dalam dunia penafsiran ternyata telah dimulai oleh sebagian mufasir pada masa tafsir klasik. Misalnya al-T{abari@ (224-310 H) dengan corak tafsir bi al-Ma’thu>r yang pernah menggunakan pendekatan logika dalam sebagian penafsirannya seperti ketika membahas surat al-Isra>’ (17) ayat 79. Dalam kasus ini, al-T{abari@ merespon penafsiran para pengikut Imam Hambali yang berkembang pada masa itu bahwa maqa>man mahmu>da> dalam surat al-Isra>’ (17) ayat 799 ditafsirkan bahwa Allah akan mendudukkan Nabi Muhammad bersama dirinya di ‘Arsh sebagai balasan atas shalat tahajudnya. Penafsiran seperti ini secara tidak langsung mengandung muatan pemahaman yang dekat dengan kecenderungan cara pandang antromorfisme. Hal inilah yang kemudian memicu al-T{abari@ memberikan penafsiran yang berbeda sekaligus menafikkan penafsiran antromorfisme yang mengatakan bahwa perihal Allah akan mendudukkan Muhammad di kursi yang berada di samping Allah, merupakan sesuatu yang mustahil. Namun pemahaman yang benar bagi al-T{abari@ dari lafaz maqa>man mahmu>da> dalam surat al-Isra>’ ayat 79 adalah suatu tempat yang terpuji yang telah disiapkan Allah.10 secara berani menafsirkan dengan pendapatnya sendiri. c) Seorang mufasir menggunakan sebuah ayat untuk mendukung pendapatnya, padahal ayat tersebut secara maknawi berbicara tentang kontek yang lain dan itu juga bukan sesuai dengan pendapatnya, namun justru ayat tersebut dipaksakan untuk mendukung pendapatnya. 2) Mufasir yang tidak menguasai bahasa Arab dan kemudian mencoba menafsirkan ayat Alquran dengan akal dan pendapatnya semata, maka penafsiran dengan cara

seperti ini akan menghasilkan penafsiran yang keliru. Muh{ammad bin Lut}fi@

al-S{iba@gh, Maba>hith fi@ Us}u>l al-Tafsi@r (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi@, 1988), 46-47. 9 Qs. Al-Isra’ (17) ayat 79;

z⎯ÏΒuρ È≅ø‹©9$#

ô

‰¤fyγtFsù

ÏμÎ/

\

's#Ïù$tΡ y7©9 #©|¤tã

βr&

y7sWyèö7tƒ y7•/u‘ $YΒ$s)tΒ

#YŠθßϑøt¤Χ

“Dan pada sebahagian malam hari, tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”

10 Dalam kitab Tafsi>r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n,

al-T{abari@ mengemukakan dua pendapat ulama terdahulu dalam menafsirkan

maqa>man mahmu>da yang dapat dipetakan bahwa kelompok pertama menafsirkannya dengan tempat yang terpuji dan kelompok yang kedua menafsirkannya dengan mendudukkannya di ‘Arsh. Dalam polemik kedua pendapat

ini, al-T{abari@ justru menegaskan bahwa pendapat dari kelompok pertamalah yang

(36)

Kemudian beliau membacakan sebuah syair sebagai berikut, “Maha suci Allah yang tidak mempunyai rekan, dan di ‘Arash-Nya tidak ada rekan duduk”. Hal itu kemudian menimbulkan kemarahan yang besar dari masyarakat pada waktu itu sehingga beliaupun dilempari dengan batu yang begitu banyak meskipun telah bersembunyi ke dalam rumah.11 Penafsiran yang senada juga diungkapkan oleh al-Ra>zi@ (543-606 H)12 dan al-Zamakhshari@ (467-538 H) 13 dalam kitabnya masing-masing yang pada intinya kedua mufasir tersebut lebih cenderung menafsirkan lafaz maqa>man mahmu>da> dengan tempat ataupun keadaan yang terpuji, dimana nantinya pada tempat dan keadaan tersebut nabi Muhammad akan memberikan safa’at kepada umatnya.

Contoh penafsiran rasional lainnya juga diperlihatkan oleh Abi@ Su’u>d ketika menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat ke 19,14 dimana lafaz “wa futih{at al-sama>’ faka>nat abwa>ba>” ditafsirkan dengan terbelahnya langit (pada saat hari kiamat) sehingga terbukanya pintu-pintu sebagai tempat turunnya malaikat.15

pertama lebih dominan dan lebih sejalan dengan hadis-hadis yang dinukil oleh

al-T{abari@ yang dalam penilaiannya hadis-hadis berstatus s}ahih. Ja’far Muh{ammad bin

Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 38-54.

11 Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi@ (Kairo: Maktabah

al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 123-124.

12 “Maqa>man mahmu>da>” dalam surat Isra’ (17) ayat 79 ditafsirkan

al-Ra>zi@ dengan dua makna, yaitu sebagai keadaan yang terpuji dan sebagai tempat yang terpuji. Namun dalam penafsiran ayat ini, beliau juga menukil pendapat sebagian sahabat yang menafsirkan “maqa>man mahmu>da>” dengan tempat duduknya Nabi di samping Allah di ‘Arsh. Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakhruddi@n Ibn al-‘Ala>mah D{iya> al-‘Umar, Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@ al-Mashhu>r bi al-Tafsi@r al-Kabi@r wa Mafa>ti@h{ al-Ghaib, Juz 11 (Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr, 1981 M / 1401 H), 32-33.

13 Al-Zamakhshari@ juga menafsirkan sebagai tempat terpuji, dimana pada

tempat itu nantinya Nabi Muhammad memberikan shafa’at. Abi@ al-Qa>sm Mah}mu>d Bin ‘Umar al-Zamakhshari@, al-Kashsha>f ‘an H{aqa>’iq Ghawa>mid} al-Tanzi@l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi@l fi@ Wuju@h al-Ta’wi@l, Juz 3 (Riyad}: Maktabah al-‘Abi@ka>n, 1998 M / 1418 H), 542-544.

14 Qs. Al-Naba’ (78) ayat 19:

Ï

MysÏGèùuρ â™!$yϑ¡¡9$#

ô

MtΡ%s3sù $\/≡uθö/r&

“Dan dibukalah langit, maka terdapatlah beberapa pintu.”

15 Nama lengkap beliau adalah Abi@ al-Su’u>d bin Muh{ammad al-‘Ama>di@

al-H{anafi@ yang hidup pada tahun 900-982 H. Terkait surat al-Naba (78) ayat 19, Abi@

al-Su’u>d menafsirkannya secara umum dengan meyakini bahwa pada saat ditiupkan

(37)

Begitu juga dengan penafsiran al-Qurt}ubi@ (w 671 H) terhadap surat al-Takwi@r (81) ayat 1 dan Ibnu Abba>s terhadap surat al-Takwi@r (81) ayat 2.16 Pada ayat pertama dari surat al-Takwi@r, al-Qurt}ubi@ menafsirkannya dengan digulungnya matahari dan dihilangkan sinarnya kemudian sinarnya dilemparkan ke dalam laut. Sedangkan pada ayat ke dua dari surat al-Takwi@r, Ibnu Abba>s menafsirkan bintang yang berjatuhan dengan penafsiran bahwa bintang-bintang tersebut merupakan lampu-lampu yang tergantung antara langit dan Bumi dengan rantai yang terbuat dari cahaya. Rantai cahaya tersebut dipegang oleh malaikat, kemudian jika datang tiupan pertama maka wafatlah seluruh penduduk bumi dan penduduk langit, lalu bintang-bintang tersebut bertebaran dan rantai-rantai dari tangan malaikat berjatuhan karena akan mati siapa yang memegangnya. Bisa jadi juga yang dimaksud bintang berjatuhan adalah hilang sinarnya.17

Dari penafsiran al-T{abari@, al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ misalnya ketika menafsirkan surat al-Isra>’ (17) ayat 79 dipahami bahwa secara umum ayat ini berbicara tentang persoalan transendental dengan sifat realitasnya berada di luar wilayah empiris dan tidak mampu dijangkau oleh pancaindra, namun ketiga ulama tersebut tetap berusaha memberikan penafsiran terhadap ayat untuk menunjukkan realitas ayat yang sebenarnya. Mereka cenderung memanfaatkan pendekatan kebahasaan yang didukung oleh pendapat-pendapat para sahabat dan ulama-ulama sebelum mereka, kemudian dipahami melalui akal sehingga membentuk sebuah imajinasi di alam rasio yang kemudian dituangkan menjadi sebuah penafsiran terhadap ayat walaupun realitas imajinasi itu sendiri berada di luar wilayah empiris. Secara tidak langsung dapat dianalisa bahwa penafsiran al-T{abari@, al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@ tentang maqa>man mahmu>da> dihasilkan tanpa melewati proses pengamatan realitas empiris dan aplikasi seperti itu tentunya menegasikan aplikasi utuh dari epistemologi Empirisme. Begitu juga

Bumi, dan itu benar-benar ada. Abi@ al-Su’u>d Bin Muh{ammad al-‘Ama>di> al-H{anafi@, Tafsi@r Abi@ al-Su’u>d au Irsha>d al-‘Aql al-Sali@m Ila> Maza>ya> al-Kita>b al-Kari@m, Juz 5 (Riya>d}: Maktabah al-Riya>d} al-Hadi@thah, t.th), 455.

16 Qs. al-Takwi@r (81) ayat 1-2;

#sŒÎ)

ß

§÷Κ¤±9$#

ô

Nu‘Èhθä.

. #sŒÎ)uρ ãΠθàf–Ψ9$#

ô

Nu‘y‰s3Ρ$#

“Apabila matahari di gulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan.” 17 Abi@ ‘Abdalla>h Muh{ammad bin Ah{mad al-Ans}ari@ al-Qurt}ubi@, al-Ja>mi’ li@

(38)

dengan ayat-ayat al-Kauni@yah seperti yang terdapat dalam al-Naba’ (78) ayat ke 19 dan surat al-Takwi@r (81) ayat 1 dan 2 sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abi@ Su’u>d, al-Qurt}ubi@ dan Ibn Abba>

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisa SEM, sintesis hidroksiapatit pada kulit kerang darah dengan metode hidrotermal memiliki ukuran morfologi yang berukuran dengan rentang 10µm - 100µm.

Pada 3 sub bab yang di terdiri atas fashion sebagai simbol seksualitas, Lekuk tubuh sebagai simbol seksualitas dan Hubungan badan sebagai bentuk seksualitas

Definisi Islam dirumuskan dengan “Islam agama rahmatan lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam), yang maknanya, umat Islam sadar bahwa adanya keragaman memang

Sejumlah jenis jamur yang terkoleksi memiliki potensi bahan obat, bahan pangan, bahan penghasil aroma, ada yang belum teridentifikasi, sehingga kawasan ini masih masih

Harian Republika (17/5/2006) memberitakan protes yang dilakukan oleh salah satu anggota DPR dari Partai Damai Sejahtera (PDS), Konstan Ponggawa, terhadap belakunya

encana pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya mencakup empat sektor yaitu pengembangan permukiman, penataan bangunan dan lingkungan, pengembangan air minum,

Prinsip kerjanya adalah kumparan yang terpasang pada diafragma dialiri arus sehingga menjadi elektromagnet, kumparan tersebut akan tertarik kedalam atau keluar tergantung

Berdasarkan hasil penelitian terhadap model pembelajaran yang memiliki karakteristik sama dengan model IKRAR yaitu pada tahap awal siswa difasilitasi untuk menggali