• Tidak ada hasil yang ditemukan

Positivisme dalam Bingkai Epistemologi Empirisme

BAB II : TAFSIR DAN FILSAFAT

B. Positivisme dalam Bingkai Epistemologi Empirisme

Perbincangan tentang Positivisme tidak terlepas dari perdebatan epistemologi pengetahuan manusia tentang realitas dalam filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Rasionalisme dan Empirisme sama-sama mengakui adanya realitas. Namun perdebatan kedua aliran filsafat ini terletak pada epistemologi pengetahuan itu sendiri.

Secara umum dalam konsep filsafat Rasionalisme, epistemologi pengetahuan tergambar dari pemikiran salah seorang filosof klasik Yunani, yaitu Plato (427-327 S.M) yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukanlah hasil pengamatan indra manusia karena wilayah empiris yang diamati hanya merupakan bayangan dari dunia

34 Sebagaimana aliran teologi lainnya, Mu’tazilah juga menganggap

pentingnya wahyu untuk menyertai akal. Oleh karena itu, ketika ada pertentangan antara wahyu dan akal, maka wahyu harus ditakwilkan agar sejalan dengan akal. Inilah suatu corak yang kental dalam perspektif Mu’tazilah secara umum ketika memahami sebuah ayat Alquran. Ah{mad Mah}mu>d S}ubh}i@, al-Falsafah al-Akhla>qiyah fi@ al-Fikr al-Isla@m (Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), 41.

idea. Anggapan dunia empiris sebagai bayangan alam idea menyebabkan pengetahuan manusia tentang realitas menjadi kabur. Pengamatan indrawi dianggap sebagai jalan pembuka realitas sesungguhnya (alam idea).35 Dengan demikian dalam pandangan Plato, akal budi (rasio) merupakan sumber dan penentu kebenaran sesuatu.

Rene Descartes (1596-1650 M) juga berpandangan bahwa Rasionalisme sebagai upaya untuk mempertimbangkan segala sesuatu di bawah pertimbangan akal budi atau fikiran, karena yang benar-benar eksis dan tidak dapat diragukan adalah berfikir.36 Dengan menggunakan akal fikiran, Leibniz (1646-1716 M) juga meyakini hal tersebutlah yang dapat menjelaskan semua realitas.37 Jadi dalam konsep Rasionalisme secara umum, akal budi (rasio) merupakan sumber utama pengetahuan manusia. Terbentuknya ide dan konsep serta kebenaran tentang sesuatu merupakan hal yang sebenarnya berada di alam idea manusia. Bahkan Herbert Marcuse, sempat menyinggung gambaran kecenderungan Rasionalisme walaupun secara tidak langsung bahwa aliran ini sibuk membahas dan mengupas konsepsi benda dan esensi murninya yang tidak sampai pada tahap eksistensi aktual dan tidak bisa menyediakan pengetahuan yang riil.38 Hal tersebut menguatkan keberadaan Rasionalisme yang meyakini asal dan kebenaran pengetahuan terbebas dari wilayah empiris ataupun pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi dari sesuatu yang empiris justru hanya dianggap sebatas celah deskriptif dari realitas mutlak (alam idea).

35

Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 114.

36 Rene Descartes mengawali pemikirannya yang meyakini akal sebagai

sumber pengetahuan yang mencukupi dan dapat dipercaya dari filsafat keraguannya yang muncul ketika ia meyakini kebenaran dari apa yang ditangkap pancaindra terhadap benda-benda di sekitarnya. Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu dari Empirik Rasional Ateistik ke Empirik Rasional Teistik (Bandung: Benang Merah Press, 2005), 77-80.

37 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 133. Muh{ammad Ka>mal

al-Hur justru menyebutkan hal yang sedikit berbeda bahwa dalam proses berfikir, yang bisa difikirkan itu adalah segala hal yang bisa disaksikan. Artinya di sini, harus ada persentuhan terlebih dahulu antara objek dengan pancaindra yang kemudian data tersebut baru diolah dalam proses berfikir. Muh{ammad Ka>mal al-Hur, Ibn Si@na> H{aya>tuhu, Atha>ruhu wa Falsafatuhu (Beirut, Libanon: Da>r al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1991), 117.

38

Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi Menyuguhkan Kembali Doktrin Hegel Untuk Umum, Penerj; Imam Baehaqie (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 265.

Bertolak belakang dengan Rasionalisme, Empirisme justru memahami epistemologi dan kebenaran pengetahuan dari sisi yang berbeda. Empirisme memandang bahwa pengalaman dan pengamatanlah yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan.39 Democritus dan Chrisippus menjelaskan bahwa pengetahuan bersumber dari pengamatan. Realitas dipahami sebagai sesuatu yang berada di dalam wilayah empiris. Realitas empiris bergerak dalam keteraturannya sendiri (mekanisme) dan pengetahuan adalah upaya mengungkap realitas sebagaimana realitas itu adanya.40 Aristoteles (384-322 S.M) bahkan menafikkan sesuatu yang kemudian disebut sebagai persepsi tanpa menyentuh objek empiris.41 Demikian juga David Hume (1711-1776 M) yang menganggap bahwa pengalaman adalah sarana yang paling memadai untuk mencapai kebenaran. Hume menganggap bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman indrawi yang meliputi pengertian, hubungan antara pengertian dan kepastian pengertian.42

39 George Bealer dan P. F. Strawson mencoba mengkritik epistemologi

Empirisme bahwa selain pengalaman dan pengamatan idrawi, pada dasarnya Empirisme juga melibatkan faktor intuisi dalam menghasilkan pengetahuan. Walupun demikian, posisi intuisi dalam pandangan George Bealer dan P. F. Strawson masih tetap sebagai faktor pendukung dari kebenaran yang didapat dari pengalaman dan pengamatan indrawi dan bukan bersifat primer. Dari pandangan tersebut dapat dianalisa bahwa pada intinya dalam Empirisme, sebagaimana juga yang dijelaskan P. Lipton bahwa posisi pengalaman dan pengamatan indrawi tetap sebagai sumber pokok dari pengetahuan manusia. George Bealer dan P. F. Strawson, “The Incoherence of Empiricism” dalam Proceedings of the Aristotelian Society, Vol

66 tahun 1992 (Diakses dari http://thatmarcusfamily.org/philosophy/Course_Websites/Readings/Bealer%20and%

20Strawson%20-%20Incoherence%20of%20Empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013, pukul 02.11 WIB), 105. P. Lipton, History of Empiricism, (Diakses dari http://www.hps.cam.ac.uk/people/lipton/history_of_empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013 pukul 01.59 WIB), 4483.

40 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 148-149.

41 Persepsi dalam pandangan Aristoteles mengacu kepada apa yang

ditindaklanjuti terhadap sesuatu yang berasal dari sesuatu objek empirik yang kemudian ditangkap dan disimpan oleh akal sehingga menjadi sesuatu yang diketahui, dan itulah sesuatu pengetahuan yang bijaksana. Michael Esfeld, “Aristotle's Direct Realism in De Anima” dalam Jurnal The Review of Metaphysics, Dsember 2000 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/223468949?accountid=25704, tanggal 14-09-2013, pukul 00.14 WIB), 323.

42 Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu, 73. Ji@ra>r Juha>mi@ juga menyebutkan hal yang senada bahwa secara substansi, akal bekerja dengan memikirkan sesuatu

Francis Bacon (1561-1626 M) juga memberikan kriteria tentang pengetahuan yang dianggap layak disebut sebagai pengetahuan yang benar adalah sesuatu yang diterima oleh manusia yang berasal dari persentuhan indrawi dengan fakta, karena persentuhan indrawi dengan fakta merupakan persentuhan yang bersifat sejati yang tidak bisa dispekulasi, namun justru mampu dibuktikan secara real,43 dan kecenderungan ini juga didukung oleh Ibnu Khaldun.44 Dengan demikian kebenaran suatu realitas dalam Empirisme beranjak dari apa yang diketahui secara empiris dan bukan berupa sesuatu yang ada di dalam alam idea manusia dan sebaliknya apa yang ada dalam idea manusia merupakan apa yang didapat dari persentuhan antara pancaindra terhadap fakta-fakta ataupun benda-benda yang ada di alam nyata.

Dari perbandingan model epistemologi pengetahuan antara Rasionalisme dan Empirisme, maka kemudian muncul filsafat Positivisme yang lahir mengadopsi epistemologi Empirisme. Positivisme sebagai salah satu aliran dalam filsafat Barat abad pencerahan yang didirikan dan dibangun oleh seorang filosof Prancis yang bernama Auguste Comte45 sekitar abad ke delapan belas.

objek berdasarkan objek lain yang bersifat empirik. Jadi ada relasi hubungan antara objek yang bersifat empirik dengan akal yang membentuk sebuah pengetahuan. Ji@ra>r Juha>mi@, Risa>lah ma> Ba’da al-T{abi@’ah (Beirut, Libanon: Da>r al-Fikr al-Libana>ni@, 1994), 155.

43 Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu, 69-70. 44

Yusuf Farha>t menjelaskan bahwa menurut Ibnu Khaldun, pengetahuan itu harus berdasarkan pada cara mengetahuinya, sebagaimana suara yang diperoleh melalui telinga, bukan melalui penglihatan. Demikian juga warna diperoleh melalui penglihatan, dan bukan melalui indra perasa. Yusuf Farha>t, al-Falsafah al-Isla>miyyah wa A’la>muha> (Jenewa, Swiss: Tara>d Kasi@m, 1986), 213.

45 Auguste Comte (selanjutnya disebut Comte) adalah seorang filosof

kelahiran Montpellier Prancis pada tahun 1798 dan meninggal pada tahun 1857. Auguste Comte merupakan penggagas aliran filsafat Positivisme yang berkembang di Prancis. Pada masa awal kemunculannya, aliran filsafat Positivisme ini lebih dilatarbelakangi oleh dorongan dan keinginan pribadi Auguste Comte untuk memunculkan antitesis dari keyakinan beragama masyarakat Prancis dengan mendirikan sebuah “agama baru” yang kemudian dikenal sebagai Agama Humanis. Konsep-konsep yang ditawarkan oleh Comte dalam agama humanisnya, ternyata dikemudian hari justru banyak berperan dalam membentuk dunia ilmiah, terkhusus dalam perkembangan filsafat Positivismenya. Secara umum, prinsip-prinsip yang dikembangkan Comte dalam filsafat Positivisme dipengaruhi oleh adanya unsur pengaruh Kristen, ilmu pengetahuan dan Aufklaerung. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 188-191. Bernhard Ple, “Auguste Comte on Positivism

Istilah Positivisme berasal dari kata positif.46 Terlepas dari pemahaman Schelling,47 Auguste Comte justru mendefenisikan kata ”positif” sebagai sesuatu yang mengandung unsur fakta real atau nyata.48 Pemahanan Comte terhadap positif diadopsi dari pemikiran David Hume tentang sifat realitas,49 dimana Hume sendiri termasuk salah seorang tokoh Empirisme. Tak heran jika cara pandang dan pemahaman Comte ditegaskan oleh pernyataan Hoekheimer bahwa transendentalisme dihancurkan oleh pemikiran Positivis yang murni berlandaskan pengalaman sebagai dasar pengetahuan,50 kemudian dilengkapi dengan argument-argumen keilmiahan.51 Dengan demikian dipahami bahwa Positivisme menggunakan dua prinsip dasar yang dipandang urgen sekaligus sebagai karakateristik Positivisme itu sendiri, yaitu fakta empiris dan penjelasan logis analitis.52 Pada dasarnya sesuatu yang diketahui masih berada pada batas asumsi. Untuk itu dalam Positivisme harus dilakukan pembuktian secara logis and Happiness” dalam Journal of Happiness Studies, 2000 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/751320034?accountid=25704, tanggal 14-05-2013, pukul 03.5 WIB), 423-424.

46 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999),

114.

47 Dalam pemikiran Schelling, positif bukan saja berarti sesuatu fakta riil atau nyata semata, melainkan segala sesuatu aktivitas kreatif yang bebas juga termasuk ke dalam pemahaman dari kata positif itu sendiri. Jadi, defenisi positif dalam kerangka pemikiran Schelling lebih luas dari apa yang didefenisikan Auguste Comte. Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, 266.

48 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 191.

49 Fadel Kaboub menyebutkan bahwa Positivisme mengadopsi teori David

Hume dari sifat realitas (terkait ontologi). Hume percaya bahwa realitas itu sendiri bersifat atomistik (tingkat mikro) dan independen. Dia meyakini penggunaan pancaindra untuk menghasilkan pengetahuan tentang realitas. Jadi konsep fakta riil dan nyata dalam pemikiran David Hume adalah sesuatu yang mampu ditangkap dan dibuktikan oleh pancaindra. Fadel Kaboub, “Positive Paradigm” dalam Leong (Encyc), Vol 2. 2008 (Diakses dari http://personal.denison.edu/~kaboubf/Pub/2008-Positivist-Paradigm.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.06 WIB), 343.

50

Christian Fuchs dan Marisol Sandoval, “Positivism Postmodernism or Critical Theory A Case Study of Communications Students’ Understandings of Criticism”, dalam Journal for Critical Education Policy Studies, Volume 6 (Diakses dari http://www.jceps.com/PDFs/6-2-07.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.03 WIB), 115.

51

Must{afa> H{alami@, “al-Akhla>q ‘Inda Auguste Comte” dalam Alu>kah al-Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014).

analitis ke dalam ranah empiris. Dengan demikian barulah suatu informasi diyakini bernilai benar adanya.

Pembuktian logis analitis dalam Positivisme, dianggap mampu diwujudkan melalui pendekatan ilmiah.53 Pendekatan ilmiah sebagaimana yang pahami secara umum dari penjelasan Jujun S. Suriasumantri,54 merupakan pengetahuan yang bersifat rasional dan teruji serta memenuhi syarat-syarat tertentu dari sebuah tubuh keilmuan yang tersusun secara sistematis dan eksplisit, serta secara umum dianggap layak dan dapat diandalkan dalam spesifikasi masalah tertentu yang mampu menunjukkan kekonsistensian dan kebenarannya yang teruji secara empiris. Salah satu cara berpikir dari pendekatan ilmiah adalah cara berpikir induktif dimana cara berpikir seperti ini merupakan esensi dari teori korespondensi bahwasannya suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan umum berkesesuaian dengan objek faktual yang dituju oleh pernyataan tersebut. Dengan kata lain suatu pernyataan benar adanya apabila terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Artinya, dalam cara berpikir seperti ini lebih memegang dan meyakini hal-hal nyata yang dapat diamati pancaindra atau fakta empiris sebagai landasan yang kuat dalam menjelaskan pernyataan-pernyataan umum yang ada. Beranjak dari pendekatan ilmiah yang secara substansi mengamati sesuatu yang berada di alam secara empiris, menjadikan Positivisme Auguste Comte melandaskan penjelasan logis analitis tentang pernyataan terhadap sesuatu melalui ilmu-ilmu alam (science)55, karena alam memiliki sifat bahwa hukum-hukumnya dapat diketahui,56 atau lebih dikenal dengan hukum alam.

53 John Stuart Mill menyebutkan bahwa Auguste Comte adalah orang

pertama yang telah mencoba mensistematisasikan secara lengkap dan menyebarkan pandangan ilmiah ke dalam semua objek pengetahuan manusia. John Stuart Mill, Auguste Comte and Positivism (tp: Marc D'Hooghe, 2005), 2.

54 Tentang pendekatan ilmiah ini dapat dipahami secara mendalam dalam

penjelasan Jujun S. Suriasumantri ketika mengupas pembahasan terkait metode ilmiah dan struktur ilmiah. Dalam pembahasan ini Jujun mengupas tentang pemahaman ilmiah, sistem kerja dan langkah-langkah ilmiah serta struktur-struktur ilmiah itu sendiri. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke 20 (Jakarta: Pancaranintan Indahgraha, 2007), 119-161.

55 Dalam pemikiran Ernest March, science atau ilmu-ilmu alam merupakan

deskripsi dari pengalaman manusia. Pengalaman dalam konteks ini dipahami sebagai pengetahuan pancaindra terhadap alam secara empirik. Passmore. J, “Logical Positivism” dalam The Encyclopedia of Philosophy, Vol. 5, New York: Macmillan

Pemikiran Comte tentang Positivisme secara umum sebagaimana yang dikutip oleh Doyle Paul Johnson melihat bahwa semangat positif dalam hubungannya dengan konsepsi ilmiah akan ditemukan filsafat Positivisme ini berbeda dari metafisika teologis. Studi mengenai hukum-hukum gejala harus bersifat nisbi (relatif) karena studi dalam Positivisme mengandalkan suatu kemajuan pemikiran yang terus berkembang yang akan membentuk kesempurnaan pengamatan secara bertahap tanpa pernah akan membukakan secara penuh suatu kenyataan setepat-tepatnya. Jadi sifat nisbi konsepsi ilmiah tidak dapat terpisahkan dari pengertian yang tepat mengenai hukum-hukum alam, seperti halnya kecenderungan khayali akan pengetahuan mutlak yang menyerupai setiap penggunaan fiksi dan hal-hal metafisik.57

Berlandaskan pemikiran Comte tersebut penulis memahami bahwa unsur fiksi sekaligus sesuatu yang mengandung hal-hal metafisik merupakan bagian dari suatu bentuk kecenderungan khayali. Itulah perbedaan dan fungsi dari kehadiran Positivisme yang mencoba memediasi konsep-konsep ilmiah untuk mampu menjelaskan sesuatu dari keberadaan kecenderungan khayali ataupun hukum-hukum alam yang abstrak sehingga secara perlahan sampai kepada kenyataan yang setepat-tepatnya yang dikenal sebagai sesuatu yang positif.

Senada dengan itu, Soerjono Soekanto juga menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan yang bersifat positif sebagaimana yang dimaksudkan Comte adalah apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongkrit, tanpa ada halangan dari pertimbangan-pertimbangan lainnya. Dengan demikian ada kemungkinan untuk memberikan ruang bagi berbagai ilmu pengetahuan untuk mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu tadi mampu mengungkapkan kebenaran yang positif. Lebih jauh lagi Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa terdapat berbagai macam disiplin ilmu-ilmu alam yang bisa digunakan dalam membaca gejala-gejala serta mengungkapkan kebenaran yang positif di

(Diakses dari http://infohost.nmt.edu/~mccoy/docs/Positivism.pdf, tanggal 09-12-2012, pukul 14.05 WIB), 1.

56 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 192-197.

57 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerj; Robert

antaranya seperti disiplin ilmu Matematika, Astronomi, Fisika, ilmu Kimia, Biologi, Sosiologi dan lain sebagainya.58

Jennifer Vermilyea menambahkan bahwa salah satu pernyataan penting dari Positivisme adalah perannya dalam modernitas dimana Positivisme berkeinginan tanpa henti untuk membuat sesuatu lebih ilmiah dan lebih mampu menjelaskan fenomena yang terjadi,59 dengan mengacu pada deskripsi ilmiah.60

Doyle Paul Johnson juga menjelaskan bahwa Positivisme menerima dengan sepenuhnya pandangan dunia ilmiah atau yang berdasar pada analisis terhadap hukum-hukum alam untuk melahirkan suatu masyarakat dengan budaya penalaran akal budi yang kemudian akan menghasilkan kerjasama sehingga tahayul, ketakutan, kebodohan, paksaan dan konflik akan dilenyapkan. Titik pandangan ini sangat mendasar dalam gagasan Comte mengenai kemajuan yang mantap dari Positivisme.61

Dalam ajaran filsafat Positivisme itu sendiri dikenal tiga tahap perkembangan pemikiran manusia untuk sampai kepada tahap pikir positif atau dalam istilah Comte dikenal dengan Hukum Tiga Tahap yaitu tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif.62 Pertama; tahap teologis; merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia. Secara umum dalam tahap ini manusia mencari sebab atau tujuan dari segala sesuatu. Tingginya kepercayaan supranatural (kekuatan dewa-dewa yang mengatur dan menyebabkan segala sesuatu itu terjadi) atau

58 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru Keempat 1990

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 35-36. Untuk perbandingan bahwa Ah{mad

Nabi@l Farha>t justru lebih menjeneralkan bidang keilmuan yang dapat digunakan

dalam mengukur nilai positif dari sesuatu, yaitu ilmu Fisika dan ilmu Biologi.

Nampaknya Ah{mad Nabi@l Farha>t mencoba mengelompokkan bahwa untuk benda

mati dapat digunakan ilmu fisika dan untuk sesuatu yang hidup dapat menggunakan Ilmu biologi. Ah{mad Nabi@l Farha>t, “al-Naz{ariyyah al-Waz{i@fiyyah” dalam al-Muntadi@

al-‘Arabi@ al-Ida>rah al-Mawa>rid al-Bashariyyah, 2008 (Diakses dari

http://www.hrdiscussion.com/hr3505.html#.UxkSVaIZ77s, tanggal 07-03-2014).

59 Jennifer Vermilyea, The Paradox of Positivism Securing Inherently

Insecure Boundaries (Diakses dari: http://web.uvic.ca/~onpol/spring2006/6-vermilyea.pdf, tanggal 09-12-2012, pukul 14.00 WIB).

60 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2004).

61 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 80. 62

Ah{mad Nabi@l Farha>t, “al-Naz{ariyyah al-Waz{i@fiyyah” dalam al-Muntadi@

al-‘Arabi@ al-Ida>rah al-Mawa>rid al-Bashariyyah, 2008 (Diakses dari

keyakinan yang menganggap semua fenomena yang terjadi di alam sebagai akibat yang ditimbulkan oleh sesuatu zat yang gaib. Dalam tahapan ini Auguste Comte membagi ke dalam tiga periode yaitu; Fetisisme dimana adanya kecenderungan meyakini bahwa setiap benda memiliki kekuatan hidupnya sendiri, Politeisme dimana adanya kecenderungan meyakini bahwa terdapatnya beberapa kekuatan supranatural yang menguasai dan mengatur semua gejala alam, dan yang terakhir adalah Monoteisme adalah kepercayaan yang meyakini adanya satu kekuatan tertinggi yang mengatur dan menguasi seluruh alam dan gejala-gejala alam yang ada. Kedua: tahap metafisik; merupakan tahap dimana kepercayaan kepada dewa-dewa diganti dengan entitas metafisik seperti substansi, esensi, roh dan ide yang dianggap ada dalam setiap benda atau adanya unsur abstrak yang menyertai setiap fenomena dari alam. Pada tahap ini manusia merumuskan jawaban atas fenomena-fenomena alam dengan mencari sebab dan tujuan akhir melalui penjelasan atau spekulatif yang masih abstraksi sebagai metode yang diandalkan. Gagasan bahwa ada kebenaran tertentu yang asasi mengenai hukum alam yang jelas ada dengan sendirinya menurut pikiran manusia, sangat mendasar dalam cara berpikir metafisik. Ketiga: tahap positif; merupakan tahap berpikir real, faktual dan nyata sebagai dasar pengetahuan. Adanya kesadaran yang tinggi bahwa alam memiliki hukum-hukumnya sendiri yang dapat dipelajari dan dapat dijelaskan secara empiris melalui data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, menjadi tanda dalam tahapan ini.63

Tahap positif ini merupakan puncak perkembangan tahap pemikiran umat manusia. Positivisme diartikan Auguste Comte sebagai segala sesuatu yang nyata, yang jelas yang pasti dan bermanfaat. Semangat dalam tahap positif ini memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar pengetahuan yang dapat ditinjau kembali dan diperluas. Tidak seperti dalam periode metafisik yang mementingkan adanya akal budi, namun dalam tahapan positif hal tersebut perlu diiringi oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia memperoleh hukum-hukum, akan tetapi hukum-hukum tersebut dilihat

63 Delaney, “Auguste Comte Proponent of Positivism and Evolutionary

Thought” dalam Journal Free Inquiry, 2003 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/230080362?accountid=25704, tanggal 10-09-2013, pukul 01.25 WIB), 44-45.

sebagai uniformitas (keseragaman pola) empiris yang lebih dari kemutlakan metafisik. Comte tidak memungkiri dalam sebuah fenomena ketiga unsur itu ada dan mungkin dilakukan, namun memilih jalan untuk menjelaskan dan mengungkapkan fenomena tersebut melalui hal-hal empiris yang dapat diketahui secara nyata dalam penalaran ilmiah, menunjukkan sebuah cara berpikir positif dalam konteks filsafat Positivisme.64

Kaum Positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, karna alam dan fenomena yang ada di dalamnya berdiri di atas hukum alam itu sendiri.65 Kebanyakan kelompok Positivis bertekad mencampakkan tradisi-tradisi irasional dan memperbaharui masyarakat berdasarkan hukum alam sehingga menjadi lebih rasional. Comte percaya bahwa penemuan hukum-hukum alam akan membukakan batas-batas pasti yang melekat dalam kenyataan dan melampaui batas-batas itu, perubahan sosial akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya. Adanya bentuk-bentuk pemikiran teologis purba dan penjelasan-penjelasan metafisik, merupakan salah satu aspek sekaligus objek yang ingin diungkapkan dan dijelaskan melalui filsafat Positivisme, sehingga kemudian akan digiring sampai kepada terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif66 dan secara tidak langsung Positivisme telah mencoba mengkombinasikan intisari dari paradigma Empirisme ke dalam Positivisme sebagai paradigma dasar guna memenuhi