• Tidak ada hasil yang ditemukan

Basis Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh

BAB IV : TAFSIR MODERN DAN NUANSA POSITIVISTIK

A. Basis Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh

Muh}ammad ‘Abduh sebagai salah seorang modernis Islam, telah berusaha menggiring wacana umat Islam ke arah pembaharuan tafsir yang mengadopsi sebagian pemikiran Barat modern untuk diaplikasikan ke dalam penafsiran Alquran.1 Salah satu tokoh yang mendapat perhatian ‘Abduh adalah Auguste Comte dan filsafat

1 Rotraud Wielandt berpendapat bahwa sebagian modernis Islam abad 18

yang terkesan dengan perkembangan pemikiran dan peradaban Barat modern, berupaya mengadopsi esensi dari pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa pada saat itu untuk diterapkan sebagai metode atau pendekatan dalam menafsirkan Alquran. Mengenai Muh{ammad ‘Abduh, Rotraud Wielandt berpendapat bahwa ‘Abduh berusaha mengambil beberapa gagasan atau pemikiran Eropa yang bisa ditelusuri kembali ke filsafat yang ada pada fase akhir dari pencerahan Eropa. Inilah yang menyebabkan munculnya penafsiran bertendensi ilmiah. Rotraud Wielandt, “

Exegesis of the Qur’a>n; Early Modern and Contemporary” dalam Encyclopaedia of

the Qur’a>n, Editor: Jane Dammen McAuliffe, Volume II (Leiden: Koninklijke Brill, 2002), 126-127. Meskipun demikian, kebolehan penggunaan sains itu sendiri dalam penafsiran Alquran masih diperdebatkan. Nor Syamimi Mohd Dkk. “Scientific Exegesis in Malay Qur’anic Commentary” dalam Asian Social Science, Vol. 10, No. 10. 2014. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1527306144?accountid=25704, tanggal 13-06-2014, pukul 20.07 WIB. 237-239.

Positivismenya.2 Dalam filsafat Positivisme, ilmu pengetahuan alam modern (sains) memiliki peran yang urgen, terutama dalam membentuk deskripsi dan pembenaran setiap proposisi yang berkaitan dengan fenomena alam empiris.3 Positivisme telah membatasi ruang lingkup kajiannya pada segala sesuatu yang terdapat dalam wilayah empiris. Positivisme berusaha menjadikan proposisi untuk ditinjau dan dijelaskan secara empiris dan ilmiah. Ilmiah dalam konteks Positivisme adalah menjadikan analisis dan fakta-fakta sains modern sebagai landasan dalam mendeskripsikan sebuah proposisi.

Model penafsiran yang diterapkan ‘Abduh pada sebagian ayat dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, setidaknya menunjukkan indikasi kemiripan dengan model deskripsi proposisi filsafat Positivisme. Dalam penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat fenomena alam, terkesan telah melandaskan penafsirannya secara

2 Analisis ini dikuatkan oleh keterangan Ignaz Goldziher yang menyebutkan

bahwa ‘Abduh telah menggiring wacana umat Islam untuk tidak lagi menafsirkan Alquran dengan menggunakan perangkat pemikiran filosof klasik Yunani dan India seperti Plato, Aristoteles, Phytagoras, Jalinus dan sebagainya. Justru ‘Abduh lebih menekankan umat Islam untuk memperhatikan dan mengkaji wacana-wacana baru yang dibawa oleh filosof-filosof Prancis, Jerman dan Inggris pada masa itu. Salah satu nama filosof modern yang disebutkan oleh Ignaz Goldziher yang mendapat perhatian dari ‘Abduh adalah Auguste Comte yaitu seorang filosof Prancis sekaligus pendiri aliran filsafat Positivisme. Filsafat Positivisme ini kemudian berkembang pesat yang tidak hanya di Eropa, namun juga masuk ke daerah-daerah di luar Eropa. Ignaz Goldziher, Madha>hib al-Tafsi@r al-Isla>mi, Penerj; ‘Abdul H{ali@m al-Naja>r (Kairo:

Maktabah al-Sunnah al-Muh{ammadiyah, 1955), 376. Detlev Kha>lid juga

menyebutkan bahwa ‘Abduh juga sempat bersentuhan dengan pemikiran Herbert Spencer yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh pendukung Positivisme. Detlev

Kha>lid, “Ah}mad Ami@n and the Legacy of Muh}ammad ‘Abduh” dalam Islamic

Studies, Vol 9, No. 1, Tanggal 27 Januari 2014 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/20832970.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tr ue, tanggal 27-01-2014, pukul 15.52 WIB), 5.

3 John Stuart Mill menjelaskan bahwa Auguste Comte begitu terobsesi

menjadikan filsafat Positivismenya mampu mensistematisasikan secara lengkap dan menyebarkan pandangan ilmiah ke dalam semua objek pengetahuan manusia. Menurut Ernest March, substansi science atau ilmu-ilmu alam merupakan deskripsi dari pengalaman manusia, dan tentunya berada dalam wilayah empiris. Oleh karena itu Positivisme menganggap penting penggunaan sains sebagai barometer tinjauan dan pembenaran dalam menjelaskan dan melihat sesuatu. John Stuart Mill, Auguste Comte and Positivism (tp: Marc D'Hooghe, 2005), 2 dan Passmore. J, “Logical Positivism” dalam The Encyclopaedia of Philosophy, Vol. 5, New York: Macmillan (Diakses dari http://infohost.nmt.edu/~mccoy/docs/Positivism.pdf, tanggal 09-12-2012, pukul 14.05 WIB), 1.

umum kepada fakta-fakta dan analisis sains modern. ‘Abduh terlihat berusaha menjadikan fakta dan analisis sains modern sebagai basis tafsirnya4 terhadap ayat-ayat tentang alam sehingga ‘Abd Maji@d ‘Abd al-Sala>m al-Muh}tasi@b menilai penafsiran ‘Abduh merupakan penafsiran ilmiah yang sarat dengan fakta-fakta temuan sains modern.

Penafsiran ‘Abduh yang dinilai bernuansa Positivistik dalam konteks penelitian ini bukan bermakna bahwa konteks realitas yang dibicarakan oleh ayat merupakan suatu kejadian yang telah terjadi pada masa lampau atau telah terjadi secara berulang-ulang. Namun, nuansa tafsir Positivistik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebuah upaya yang dilakukan ‘Abduh untuk menafsirkan secara positif ayat-ayat yang berbicara dalam konteks fenomena-fenomena alam dimana di dalamnya mengandung ruang yang dapat dijelaskan secara positif (berdasarkan analisis terhadap rangkaian pola empiris serta realitas sains dan mungkin dengan objek yang berbeda), meskipun dari segi waktu kejadian, ayat tersebut bisa saja telah terjadi atau akan terjadi. Ketika sebuah ayat yang bercerita tentang fenomena alam (baik itu yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi) dan kemudian ditafsirkan ‘Abduh dengan penjelasan yang sarat memuat fakta empiris dan analisis sains modern, maka itulah wujud dari tafsir Positivistik ‘Abduh. Menggiring penafsiran ke arah tendensi positif dari sebuah ayat yang pada dasarnya dapat ditafsirkan dengan penafsiran lain (seperti penafsiran bernuansa Rasionalisme-teologis), merupakan ciri umum dari tafsir Positivistik. Dari sekian banyak ayat-ayat tentang fenomena alam yang ditafsirkan ‘Abduh dalam kitab

Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, setidaknya terdapat beberapa

4 Fauzi M. Najjar nampaknya juga memiliki argument yang berkaitan atau

bahkan menguatkan hal tersebut. Fauzi M. Najjar menyebutkan bahwa dalam menanggapi kemajuan dan pengaruh Barat, umat Islam secara umum terbagi ke dalam 3 kelompok yaitu kelompok Revivalis (menolak kemajuan modern dalam beragama), kelompok Liberal (memisahkan agama dari unsur-unsur kehidupan bernegara) dan kelompok Modernis (yang menyatakan agama sesuai dengan perkembangan modernisasi budaya). Salah satu tokoh yang begitu getor menyuarakan pemikiran ini adalah Muhammad ‘Abduh yang berusaha mengintegrasikan perkembangan dan kemajuan peradaban Barat dalam sisi-sisi budaya dan pemikiran umat Islam. Fauzi M. Najjar, “Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammad Abduh and Rashid Rida by Malcolm H. Kerr” dalam The American Political Science Review, Vol. 62, No. 3. 1968 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/1953452.pdf?acceptTC=true, tanggal 12-05-2014, pukul 17.09 WIB), 972.

penafsiran yang menunjukkan indikasi bahwa fakta dan analisis sains modern yang empiris menjadi basis penafsiran Muh{ammad ‘Abduh. 1. Kehancuran Langit.

Dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang fenomena langit seperti yang terdapat dalam surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1. Secara umum ketiga ayat tersebut menggambarkan kondisi terjadinya hari kiamat. Mengenai ayat-ayat ini, Muh{ammad ‘Abduh telah memberikan penafsiran yang cukup menarik. Misalnya mengenai lafazh ءامسلا تحتفو dalam surat al-Naba’ (78) ayat 19, ‘Abduh menafsirkannya dengan kacaunya tatanan planet-planet serta hilangnya sesuatu yang menahan (gaya tarik menarik atau gaya gravitasi) di antara planet-planet sehingga tempat (keadaan) tersebut tidak lagi bisa disebut langit, melainkan yang terdapat hanya jalur-jalur (jalan-jalan) atau pintu-pintu yang tidak dijumpai lagi sesuatu yang saling bertemu (antara sesuatu benda dengan benda yang lainnya atau hancurnya seluruh yang ada di langit). Maka itulah kehancuran alam atas (langit) sebagaimana hancurnya alam bawah (bumi).5 Penafsiran yang senada juga terlihat ketika ‘Abduh menafsirkan surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 (ترطفناءامسلا اذا) sebagai kerusakan tatanan langit sehingga keadaan planet-planet (yang ada di langit) tidak lagi seperti yang disaksikan saat ini. Pada akhirnya semua alam akan menjadi hancur akibat hal tersebut. Bahkan lebih dalam lagi ‘Abduh mengaitkan tafsiran surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dengan surat al-Infit}a>r (82) ayat 2 (ترثتنا بكاوكلا اذإو) bahwa dengan bertabrakkannya planet-planet di tata surya yang menyebabkan seluruh planet-planet menjadi hancur berserakan, semakna dengan maksud Allah dalam surat al-Infit}a>r (82)

5 Dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, ‘Abduh telah

memberikan tafsirannya bahwa “dibukanya langit” sama dengan apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat lain seperti “apabila langit terbelah” atau “ingatlah ketika langit terbelah dan mengeluarkan kabut”, bahwa pada hari itu tatanan planet-planet menjadi kacau serta hilangnya sesuatu yang menahan (gaya tarik menarik atau gaya gravitasi) di antara planet-planet tersebut sehingga tempat (keadaan) tersebut tidak lagi bisa disebut langit, melainkan yang terdapat hanya jalur-jalur (jalan-jalan) atau pintu-pintu yang tidak dijumpai lagi sesuatu yang saling bertemu (antara sesuatu benda dengan benda yang lainnya atau hancurnya seluruh yang ada di langit). Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma (Kairo: al-Ami@ri@yah, 1322 H), 5.

ayat 2, “dan apabila bintang-bintang berserakan”.6 Begitu juga dengan penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1(تّقشناءماّسلااذإ) sebagai rusaknya tatanan langit ketika Allah menghendaki hancurnya alam. Kehancuran tersebut misalnya disebabkan oleh salah satu sebab yaitu apabila sebuah planet melintas di dekat (jalur perlintasan) planet lain, maka akan menimbulkan (gaya) tarik menarik antar (kedua) planet yang akan mengakibatkan kedua planet bertabrakan sehingga mengacaukan tatanan tata surya secara keseluruhan.7

Dalam karya yang lain ‘Abduh sempat menjelaskan gagasan yang sama terkait persoalan tata surya bahwa keterkaitan antar bintang-bintang yang ada di alam beserta kadar geraknya, tunduk terhadap suatu aturan tersendiri yang membuat bintang-bintang tersebut tetap berada pada tempatnya. Kemudian peredaran bintang itu sendiri yang mengikuti alur yang teratur berdasarkan garis edarnya, menunjukkan bintang-bintang tersebut bergerak berdasarkan hukum alam. Jika bintang-bintang itu sedikit saja keluar dari keteraturannya mengikuti garis edar, maka hilanglah keteraturan alam yang berakibat pada hancurnya seisi alam.8 Jadi tentang surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1, secara umum ‘Abduh menafsirkannya dengan tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya tarik menarik (gravitasi) antar planet yang berakibat hancurnya seluruh benda-benda langit.

Penafsiran yang dihadirkan ‘Abduh nampaknya berbeda dengan penafsiran yang dihadirkan oleh al-T{abari@, al-Ra>zi@ dan al-Zamakhshari@

6 Mengenai surat al-Infit}a>r (82) ayat 1, ‘Abduh menafsirkannya dengan kerusakan tatanan langit sehingga keadaan planet-planet (yang ada di langit) tidak lagi seperti yang di saksikan saat ini. Pada akhirnya semua alam akan menjadi hancur akibat hal tersebut. ‘Abduh juga mengaitkan penafsiran surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dengan surat al-Infit}a>r (82) ayat 2 bahwa dengan bertabrakkannya planet-planet di tata surya yang menyebabkan seluruh planet menjadi hancur berserakan, semakna dengan maksud Allah dalam surat al-Infit}a>r (82) ayat 2, “dan apabila bintang-bintang berserakan”. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma, 33.

7 Mengenai surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1, ‘Abduh mnyebutkan bahwa

“terbelahnya langit” yaitu rusaknya tatanan langit ketika Allah menghendaki hancurnya alam, seperti apabila sebuah planet melintas di dekat (jalur perlintasan) planet lain, maka akan (menimbulkan gaya) tarik menarik antar (kedua) planet yang akan mengakibatkan kedua planet bertabrakan sehingga mengacaukan tatanan tata

surya secara keseluruhan. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’

‘Amma, 49.

8 Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i@d (Kairo: Da>r al-Nas{r li al-T{iba>’ah, 1969), 35.

yang masing-masingnya dikenal sebagai ulama tafsir dengan kecenderungan al-Ma’thu>r, rasional dan bertendensi rasional Mu’tazilah. Misalnya seperti al-T{abari@ yang menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat 19 dengan terbelahnya langit, kemudian retak sehingga menjadi jalur-jalur atau langit itu terbuka sehingga menjadi pecahan-pecahan seperti potongan kayu yang dipakai untuk pintu rumah dan tempat tinggal.9 Sedangkan al-Ra>zi@ menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat 19 dengan terbukanya pintu surga sebagai jalan untuk turunnya malaikat dan terbukanya langit tidak sampai menyebabkan langit itu terbelah atau bisa juga bermakna terbukanya seluruh pintu-pintu yang ada di langit.10 Kemudian mengenai surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 al-Ra>zi@ memberikan tafsiran jika langit bergoncang maka jatuhlah seluruh bintang-bintang ke bumi.11 Begitu juga dengan al-Zamakhshari@ yang menafsirkan surat al-Naba’ (78) ayat 19 dengan menyebutkan bahwa nanti akan terdapat banyak pintu-pintu yang terbuka di langit untuk turunnya malaikat, seolah-olah di langit yang ada hanya pintu-pintu.12

Jika dianalisa secara lebih dalam dari sudut pandang sains, penafsiran ‘Abduh tentang surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1 sebagai tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya tarik menarik (gravitasi) antar planet, secara tidak langsung menunjukkan keluasan pengetahuan ‘Abduh tentang teori peredaran planet dalam tata surya yang tentunya berkaitan erat dengan ilmu Astronomi dan Fisika dimana para filosof serta ilmuwan telah terlebih dahulu membahasnya jauh sebelum ‘Abduh menyebutkan hal ini. Ian Stewart menyebutkan bahwa teori tentang peredaran planet di ruang tata surya pertama kali muncul pada tahun 1300 M dari seorang filosof asal Persia bernama Najm al-Katibi yang dikenal dengan teori Heliosentris (matahari sebagai pusat planet). Meskipun pada masa ini kemunculan teori tersebut belum mencapai tingkat kematangan, namun cukup berhasil mempelopori dan merangsang Nicolaus Copernicus pada tahun 1543

9 Ja’far Muh{ammad bin Jari@r al-T{abari@, Tafsi@r al-T{abari@ Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi@l Ayy al-Qur’a>n, Juz 24 (Kairo: Bada>r Hijr, 2001 M / 1422 H), 19-20.

10 Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakr al-Di@n Ibn al-‘Alla>mah al-‘Umar, Mafa>ti@h{ al-Ghaib Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@, Juz’ 31 (Kairo: Da>r al-Fikr, 1981 M), 12.

11 Muh{ammad al-Ra>zi@ Fakr al-Di@n Ibn al-‘Alla>mah al-‘Umar, Mafa>ti@h{ al-Ghaib Tafsi@r al-Fakhr al-Ra>zi@, Juz’ 31, 77.

12 Abi@ al-Qa>sim Mah{mu>d bin ‘Umar al-Zamakhshari@, al-Kashsha>f, Juz’ 6 (Riya>d{: Maktabah al-‘Abi@ka>n, 1998), 299.

M untuk mematangkan teori peredaran planet bahwa posisi bumi bukanlah berada di tengah-tengah benda-benda lain. Pada tahun 1609 M barulah Johannes Kepler mulai memecahkan teka-teki peredaran planet-planet (bintang) dengan mengeluarkan 2 hukum. Hukum pertama mengatakan bahwa semua planet bergerak secara elips dengan matahari sebagai pusat edar dan hukum kedua mengatakan bahwa setiap planet bergerak melintasi orbitnya dengan sedemikian rupa dan kembali melewati orbit yang sama. Teori inilah kemudian memunculkan sebuah penemuan besar tentang filsafat alam pada tahun 1687 M oleh Isaac Newton yang kemudian dikenal dengan hukum gravitasi.13 Dalam hukum gravitasi Newton disebutkan bahwa dua benda akan saling tarik menarik dengan kekuatan yang sebanding serta dengan massa dan jarak yang berbading terbalik antara kedua benda tersebut.14 Benda-benda (planet) tersebut bergerak secara bersamaan di sekitar pusat gravitasi dalam orbit elips.15 Hal ini terdengar cukup bertentangan dengan teori Ptolemy sebagaimana yang berkembang antara tahun 500-1450 M, bahwa bumi dianggap sebagai suatu bidang

13 Lebih dari 300 tahun yang lalu Newton telah mencoba merumuskan teori

gravitasi ke dalam rumus-rumus matematika dan dari hukum-hukum yang tersistematis tersebut sampai saat ini belum ada seorangpun yang sanggup membantah hukum gravitasi Newton dengan hukum baru yang lebih diakui kebenarannya. I. Peterson, “Taking the Measure of Newton's Gravity Law” dalam Science News, Vol. 142, No. 14, 1992 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/4017931.pdf, tanggal 24-06-2014, pukul 23.10 WIB), 215.

14 I. Bernard Cohen, “ Newton's Third Law and Universal Gravity” dalam

Journal of the History of Ideas, Vol. 48, No. 4. 1987 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/10.2307/2709688.pdf?acceptTC=true, tanggal 12-05-2014, pukul 20.20 WIB), 574.

15 Ian Stewart menyebutkan bahwa Najm al-Katibi pertama kali mulai

memberikan perhatian kusus tentang tata surya dan sempat mengeluarkan teori Heliosentris (matahari sebagai pusat planet) meskipun Najm al-Katibi sendiri sempat berubah pikiran tentang teorinya. Beranjak dari konsep yang dikemukakan oleh Najm al-Katibi inilah kemudian memunculkan konsep-konsep besar lainnya dari beberapa tokoh yang kemudian cukup dikenal, terutama di kalangan para Astronom, seperti Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler dan Isaac Newton. Ian Stewar, “Riddle of the Wandering Stars” dalam Jurnal New Statesman, April 2012, (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1010584593?accountid=25704, tanggal 29-10-2013, pukul 08.42 WIB), 34.

datar dan tidak bergerak. Selain itu, bumi juga dianggap sebagai pusat semesta dimana seluruh benda-benda langit mengedarinya.16

Pada dasarnya, planet-planet yang memiliki bentuk bulat, hanya memiliki 2 jenis gerak yaitu gerak translasi yang berupa perpindahan posisi dalam ruang, dan gerak berputar atau rotasi yang dapat terjadi di tempat yang sama tanpa perubahan posisi dalam ruang.17 Selain itu Nadiyah Tharayyarah menyebutkan bahwa adanya gaya gravitasi yang menyertai pergerakan planet dalam orbitnya merupakan bagian dari ketetapan Allah dimana gaya gravitasi itu sendiri berfungsi untuk mengendalikan sisi-sisi semesta dan berhubungan dengan orbit atau ruang hampa serta massa dan energi.18 Gaya gravitasi dan kontra gravitasi yang terjadi itulah yang akan mengatur pergerakan planet di dalam orbitnya sehingga planet-planet tersebut tetap beredar pada poros dan jalurnya masing-masing.19 Itulah yang menyebabkan pergerakan planet-planet di tata surya begerak dalam bidang elips (melengkung) dan tidak mengenal garis lurus.20 Gerakan berputar secara terus menerus yang kemudian

16 Ahmad Mahmud Sulaiman, Tuhan dan Sains Mengungkap Berita-Berita

Ilmiah Alquran, Penerj: Satrio Wahono (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), 31.

17 Agus Purwanto, Ayat-Ayat Semesta Sisi-Sisi Alquran yang Terlupakan,

(Bandung: Mizan, 2008), 219. Sedangkan menurut Newton Garver, Johanes Kepler justru membagi gerak planet kepada tiga bagian yang salah satu di antaranya adalah bahwa setiap planet bergerak dalam bidang elips mengelilingi matahari dengan matahari sebagai pusat edar. Newton Garver, “What Theory Is “ dalam Journal of Folklore Research, Vol. 45. No.1. 2008 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/40206965.pdf?&acceptTC=true&jpdConfirm=tr ue, tangga 12-04-2014, pukul 22.34 WIB), 65.

18 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam al-Quran Mengerti Mukjizat Ilmiah

Firman Allah, Penerj. M. Zaenal Arifin dkk (Jakarta: Zaman, 2013), 332. R. Monastersky juga menunjukkan bukti adanya gaya gravitasi pada tiap-tiap planet. Misalnya saja pada bumi, ketika dilakukan penggalian yang semakin dalam ke arah inti bumi, maka akan ditemukan gaya tarik gravitasi yang semakin kuat. R. Monastersky, “Newton's Gravity Law May Take a Fall” dalam Science News, Vol.

134 (Diakses dari http://www.jstor.org/stable/pdfplus/3972808.pdf?acceptTC=true&jpdConfirm=true,

tanggal 23-05-2014, pukul 22.09 WIB), 85.

19 Ah}mad Fua>d Ba>tha> menjelaskan bahwa setiap benda-benda langit mempunyai garis edarnya, baik itu bintang-bintang (planet), bulan, komet dan beberapa benda-benda angkasa lainnya, beredar pada garis edar yang telah ditetapkan Tuhan. Pergerakan ini menggabungkan antara kekuatan gerak alam dengan kemahabesaran serta kekuasaan Allah. Ah{mad Fua>d Ba>tha>, Rahi@q al-‘Ilm wa al-I@ma>n (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi@, 2002 M), 70.

memunculkan dorongan dari pusat (kontra gravitasi) yang menyeimbangkan kekuatan gravitasi. Dari putaran yang tiada henti itulah kemudian timbul keseimbangan gerak dari planet-planet yang ada di tata surya. Ketika gaya gravitasi itu hilang, terutama gaya gravitasi pusat (matahari sebagai kontra gravitasi), maka hal itu akan berakibat pada beredarnya planet-planet di luar jalurnya yang akan menyebabkan terjadinya tabrakan antar planet.21 Ketika seluruh planet bertabrakan dalam skala besar, maka besar kemungkinan seluruh planet akan hancur sehingga ruang angkasa menjadi kosong dari planet dan bintang-bintang. Jika dikaitkan antara realita-realita sains dengan penafsiran ‘Abduh, mungkin ada benarnya penafsiran ‘Abduh bahwa “terbelahnya langit” dipahami sebagai tabrakan antar planet. Namun secara substansi, ‘Abduh telah melandaskan penafsiran tentang “terbelahnya langit” dalam surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1 kepada realitas dan analisis sains tentang teori tarik menarik (gaya gravitasi) antar planet dan peredarannya sebagaimana yang terdapat dalam ilmu Astronomi dan Fisika.

2. Proses Metabolisme Tanaman.

Dalam surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-2722 Allah telah menjadikan tanaman sebagai objek pembicaraan. Dalam beberapa ayat tersebut Allah mengungkapkan isyarat-isyarat umum tentang rangkaian proses metabolisme tanaman, mulai dari diturunkannya hujan, kemudian dibelahnya bumi, dan ditumbuhkannya biji-bijian. Mengenai ketiga ayat tersebut, dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma ‘Abduh telah menafsirkannya dengan menyebutkan bahwa ketika Allah telah mencurahkan air hujan dengan curahan yang deras, kemudian Allah membelah tanah dengan sebaik-baiknya seperti kondisi tanah setelah diairi, atau seperti tanah yang telah dibajak manusia dengan tangan ataupun dengan alat-alat (tertentu) yang menyebabkan udara dan cahaya matahari masuk ke dalamnya sehingga

21 Nadiah Tharayyarah, Sains dalam Alquran, 360-361.

22 Surat ‘Abasa (80) ayat ke 25-27:

$¯Ρr& $uΖö;t7|¹ u ™!$yϑø9$# ${7|¹ ∩⊄∈∪ § ΝèO $uΖø)s)x© u Úö‘F{$# $y)x© ∩⊄∉∪ $uΖ÷Kt7/Ρr'sù $pκÏù ${7ym ∩⊄∠∪

Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),