• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh

Dalam dokumen Fuad Syukri Nuansa Positivistik Tafsir Modern (Halaman 117-138)

BAB IV : TAFSIR MODERN DAN NUANSA POSITIVISTIK

B. Karakteristik Tafsir Positivistik Muh{ammad ‘Abduh

Menganalisa penafsiran Muh{ammad ‘Abduh dalam kitab Tafsi@r al-Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma yang terindikasi bernuansa Positivistik tentang ayat-ayat fenomena alam, terdapat beberapa poin yang menunjukkan karakteristik dari aplikasi tafsir Positivistik ‘Abduh.

1. Ayat-Ayat Fenomena Alam Sebagai Objek.

Tafsir Positivistik pada intinya merupakan aplikasi penafsiran Alquran yang memanfaatkan teknis-teknis pembenaran proposisi seperti yang diterapkan dalam filsafat Positivisme. Prinsip dasar yang perlu dipahami dari filsafat Positivisme adalah pandangannya yang meyakini bahwa alam bergerak berdasarkan hukum-hukum yang meliputinya atau diistilahkan dengan hukum alam. Hukum alam menyertai seluruh fenomena-fenomena yang terjadi dalam wilayah empiris. Filsafat Empirisme yang lahir sebelum filsafat Positivisme, telah terlebih dahulu meyakini bahwa wilayah empiris merupakan wilayah yang dapat diketahui dan dipahami oleh manusia. Oleh karenanya kemudian Positivisme mengadopsi epistemologi Empirisme

yang hanya mengakui fakta yang dapat diamati sebagai sumber pengetahuan66 atau dalam istilah lain disebut sumber empiris.67

Positivisme berpandangan bahwa setiap pernyataan yang tidak dapat dikembalikan pada fakta, maka pernyataan tersebut dinilai tidak

real (nyata) dan dianggap irrasional (negatif). Positivisme hanya menganggap hubungan antara fakta-faktalah yang dapat diketahui.68 Positivisme mengajarkan kepada manusia bahwa segala yang berhubungan dengan kehidupan dan tindakan manusia di alam merupakan sesuatu yang berwujud nyata, bisa dibuktikan serta sudah menjadi hukum positif dalam tatanan elemen alam.69 Secara tidak langsung Positivisme telah membatasi ruang kajiannya kepada fenomena empiris sebagaimana yang digambarkan oleh Kamanto Sunarto bahwa objek kajian filsafat ini haruslah berupa fakta dan dinilai bermanfaat (bisa diketahui) serta mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Hal ini merupakan substansi penegasan Comte tentang pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis sebagai sarana yang dapat digunakan untuk melakukan kajian Positivistik.70 Persoalan teologis atau yang berkaitan dengan masalah transendental, pada akhirnya hanya dianggap sebatas kemungkinan, sedangkan sains adalah kepastian,71 dan alam (empiris) serta

66 Fadel Kaboub menyebutkan bahwa Positivisme mengadopsi epistemologi

Empirisme yang berasal dari teori David Hume tentang sifat realitas (terkait ontologi). Hume percaya bahwa realitas itu sendiri bersifat atomistik (tingkat mikro) dan independen. Dia meyakini penggunaan pancaindra untuk menghasilkan pengetahuan tentang realitas. Jadi konsep fakta real dan nyata dalam pemikiran David Hume adalah sesuatu yang mampu ditangkap dan dibuktikan oleh pancaindra. Fadel Kaboub, “Positive Paradigm” dalam Leong (Encyc), Vol 2. 2008 (Diakses dari http://personal.denison.edu/~kaboubf/Pub/2008-Positivist-Paradigm.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.06 WIB), 343. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional Isu-Isu Teori Pengetahuan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Metodologi, (Bogor: Akademia, 2009), 190.

67 Ugi Suharto, “Epistemologi Islam” dalam On Islamic Civilization

Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam yang Sempat Padam, Editor; Laode M. Kamaluddin (Semarang: Unisula Press, 2010), 141.

68 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 192.

69 Bernhard Ple, “Auguste Comte on Positivism and Happiness” dalam

Journal of Happiness Studies, April 2000 (Diakses dari: http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/751320034?accountid=25704, tanggal 02-12-2013, pukul 02.22 WIB), 428.

70 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), 3.

fenomena-fenomena yang menyertainya merupakan objek yang akan dibedah dengan paradigma Positivisme.

Pembatasan objek kajian yang dilakukan Positivisme kepada alam empiris beserta fenomena-fenomenanya, setidaknya berdiri di atas tiga logika berpikir yang saling terkait. Pertama, Positivisme telah mendefenisikan alam yang dianggap benar sebagai sesuatu yang berada pada wilayah dengan sifat empiris. Kedua, dikarenakan alam dipahami sebagai sesuatu yang berada di wilayah empiris, maka Positivisme meyakini bahwa manusia mampu mengetahui, mengungkap dan mengukur sisi-sisi yang benilai positif, yaitu yang dapat diketahui dan dibenarkan oleh pancaindra. Ketiga, dikarenakan manusia dianggap mampu mengungkap dan mengukur sisi-sisi positif dari alam, maka Positivisme menyakini bahwa hal tersebut dapat dicapai dan dijelaskan melalui ilmu-lmu alam.72 Kebutuhan Positivisme terhadap ilmu-ilmu alam (sains) dikarenakan ilmu-ilmu alam itu sendiri berdiri di atas epistemologi Empirisme yang menganggap sesuatu yang bisa diketahui dan diamati pancaindra sebagai pengetahuan yang benar.

Ontologi dalam kajian filsafat mengandung keluasan makna yang di dasari satu pertanyaan umum yaitu “apakah yang disebut dengan kenyataan (realitas)”. Pertanyaan ini secara tidak langsung merangkul wilayah realitas fisis (yang dapat diamati) dan metafisis (tidak dapat diamati),73 atau singkatnya membahas segala yang dianggap ada. Dalam perkembangan ontologi, juga muncul sebuah kecendungan yang berpandangan bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang menguasai fenomena-fenomena empiris dan semua itu terlepas dari kekuasaan dunia mistis. Pandangan ini kemudian mempertajam wilayah kajian ontologi yang terfokus pada masalah-masalah yang terdapat dalam ruang lingkup pengalaman manusia.74

72 Birger Hjorland menyebutkan bahwa Positivisme pada dasarnya memang

telah terlahir dari doktrin yang mengagungkan teknik pembenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah yang berasal dari pengamatan empiris dianggap sebagai dasar yang dapat di buktikan kebenarannya. Birger Hjorland, “Empiricism, Rationalism and Positivism in Library and Information Science” dalam Journal of Documention, 2005 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2058/docview/217978392/fulltextPDF/13E049046462C52FCBD /12?accountid=25704, tanggal 14-05-2013, pukul 04.01 WIB), 135-136.

73 Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 31-32.

74 Kaum Positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam

Inilah poin dasar yang ditarik oleh Positivisme menjadi ontologinya sekaligus membatasi ruangnya bahwa yang dianggap sebagai kenyataan (realitas) hanyalah sesuatu yang berada pada wilayah fisis (bisa teramati) dan menegasikan sesuatu yang berada pada wilayah metafisis sehingga dasar pengetahuan yang dianggap benar dalam Positivisme adalah sesuatu yang terkait dengan alam empiris atau segala sesuatu yang dapat diamati.

Alquran diyakini hadir dalam wujudnya yang utuh dan sempurna tanpa mengecualikan satu dimensi (pembahasan) sekalipun, singkatnya Alquran hadir membawa informasi dan petunjuk seputar dimensi alam metafisis dan alam fisis.75 Dimensi metafisis bersifat doktrinal yang menuntut iman sebagai landasannya. Tanpa iman manusia menampik informasi dan petunjuk dari dimensi ini.76 Persoalan-persoalan seputar ketuhanan, kenabian, alam ghaib dan kehidupan setelah mati, hari perhitungan dan pembalasan menjadi tidak berarti jika tidak dimulai dari iman. Sedangkan dimensi fisis yang dibawa Alquran, bukanlah bersifat doktrinal, karena dimensi ini menuntut pengoptimalan akal dan pengamatan pancaindra sebagai anugrah tertinggi manusia dalam mencari kebenaran.

Manusia secara fitrahnya, dibekali oleh Allah dengan kemampuan untuk mengetahui kenyataan-kenyataan besar di alam

hukum-hukumnya, karna alam dan fenomena yang ada di dalamnya berdiri di atas hukum alam itu sendiri. Must{afa> H{alami@, “al-Akhla>q ‘Inda Auguste Comte” dalam

al-Alu>kah al-Thaqa>fiyyah, 2012 (Diakses dari http://www.alukah.net/Culture/0/44474/, tanggal 07-03-2014). Jujun S.

Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2007).

75 Howard R. Turner juga menjelaskan bahwa kepercayaan umat Islam pada

keutuhan fenomena-fenomena yang dimiliki Alquran yang diikuti oleh klasifikasi sains dalam pandangan yang filosofis, telah mendorong penelitian terhadap kosmologi yang secara keseluruhan mencerminkan keluasan wilayah pembahasannya. Pada satu sisi terdapat spekulasi metafisika yang melampaui keberadaan benda-benda empiris yang dapat diamati pancaindra serta diuji secara rasional. Sedangkan di sisi yang lain juga memuat persoalan dan isyarat tentang fenomena-fenomena alam yang dapat diamati secara langsung dan empiris. Howard R. Turner, Science in Medieval Islam (Austin: University of Texas Press, 2002), 38.

76 Muzaffar Iqbal justru menyebutkan bahwa persoalan metafisik dalam

Islam itu sendirilah yang menjadi pemicu awal tumbuh dan berkembangnya sains di internal umat Islam. Muzaffar Iqbal, “Islam and Science” dalam Aleph : Historical Studies in Science & Judaism, Vol 5, 2005 (http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/220524961?accountid=25704, tanggal 22-05-2014, pukul 01.32 WIB), 305.

raya yang mengarah kepada pengungkapan rahasia dan tujuan dari segala sistem yang menyertainya.77 Di sinilah relasi antara Alquran, alam raya dan manusia. Alam raya sebagai kitab pengamatan, merupakan ekspresi nyata dari informasi dimensi fisis yang disampaikan Alquran. Semua itu bertujuan untuk membuka peluang bagi manusia guna memverifikasi sebagian kecil dari kebenaran Alquran, karena pada dasarnya fitrah manusia secara umum melalui akal dan pancaindra, hanya mampu menyibak kebenaran dari sesuatu yang jelas teramati dalam wilayah empiris.78

Ayat-ayat al-Kauni@yah (ayat tentang fenomena alam) yang begitu banyak terdapat di dalam Alquran, menjadi salah satu penghubung ketiga elemen tersebut, yaitu Alquran, manusia dan alam semesta. Jika melihat penafsiran Muh{ammad ‘Abduh tentang ayat-ayat Alquran dalam Juz’ ‘Amma, penafsiran-penafsiran yang teridikasi menggunakan paradigma Positivisme memang hanya terlihat dalam penafsiran-penafsiran ‘Abduh terhadap ayat-ayat yang bercerita tentang alam dan fenomena-fenomenanya. Misalnya saja seperti penafsiran ‘Abduh terhadap surat Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1-2 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1 yang bercerita tentang terbelahnya langit, kemudian penafsiran ‘Abduh terhadap

77 Mahmu>d Syukri@ al-Alu>si@ menjelaskan bahwa penciptaan alam raya sebenarnya mengandung maksud agar manusia terdorong untuk melakukan pengamatan dan perenungan. Melalui alam raya sebagai sarana, diharapkan manusia memahami bahwa apa yang diisyaratkan Allah di dalam Alquran sama sekali tidak bertentangan dengan apa yang diketahui manusia dari pengamatan alam raya.

Dengan demikian hendaknya manusia menyadari akan kebesaran Allah. Mahmu>d

Syukri@ al-Alu>si@, Ma> Dalla ‘Alaihi al-Qur’a>n (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi@, 1997), 4. Menurut Syed Shahid Ali dan kawan-kawan, begitulah salah satu cara Allah untuk menunjukkan keberadaan dirinya kepada manusia. Syed Shahid Ali dkk, “Belief and Respect in Multicultural Society: Religious Approach in the Globalised World”

dalam American Journal of Applied Sciences, Vol. 9, No.10, 2012 (Diakses dari

http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/1326330057?accountid=25704, tanggal 25-04-2014, pukul 22.56 WIB), 1571-1573.

78 Muh{ammad Ka>mal al-Hur menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya

hanya mengetahui segala yang tampak dan yang bisa difikirkan manusia juga segala yang tampak. Itulah kekuatan akal manusia yaitu mengetahui segala sesuatu yang dapat disaksikan. Muh{ammad Ka>mal Al-Hur, Ibn Si@na> H{aya>tuhu, Atha>ruhu wa Falsafatuhu (Beirut, Libanon: Da>r al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1991), 117. Dalam konteks inilah P. Lipton memahami pengalaman dan pengamatan indrawi dalam posisi sebagai sumber pokok pengetahuan manusia. P. Lipton, History of Empiricism, (Diakses dari http://www.hps.cam.ac.uk/people/lipton/history of empiricism.pdf, tanggal 14-09-2013 pukul 01.59 WIB), 4483.

surat ‘Abasa (80) ayat 25-27 yang bercerita tentang metabolisme tumbuhan, diguncangkannya bumi (al-Inshiqa>q (84) ayat 3 dan al-Zalzalah (99) ayat 1-2), fenomena meluapnya lautan (Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3), fungsi gunung sebagai stabilisator bumi dalam surat al-Naba’ (78) ayat 7, tentang wabah penyakit cacar dalam surat al-Fi@l (105) ayat 3-4 dan lain sebagainya. Pengulasan ayat-ayat tersebut melaui pendekatan sains, menggambarkan visi ‘Abduh yang tengah berusaha menggiring dan menunjukkan bahwa tidak selayaknya umat Islam mengesampingkan isyarat-isyarat tentang alam semesta yang diungkap Alquran. Banyak aspek yang perlu dikaji dari ayat-ayat terkait alam semesta yang mampu meningkatkan dan meransang kemampuan berfikir manusia serta menyadarkan akan pentingnya benda-benda tersebut bagi kelansungan hidup manusia. Menurut ‘Abduh, inilah salah satu hikmah mengapa dalam sebagian ayat-ayat Alquran Allah mengungkapkan sumpah dengan menggunakan benda-benda empiris ciptaan-Nya yang terdapat di alam semesta.79

Hikmah lain menurut ‘Abduh yang paling penting bagi manusia dengan diungkapnya ayat-ayat tentang alam adalah dorongan untuk memperhatikan alam semesta dan bersungguh-sungguh mempelajarinya sebagai eksplorasi manusia terhadap sisi-sisi alam raya yang masih tersembunyi dari pengetahuan manusia.80 Pendapat yang senada dengan ‘Abduh juga diutarakan Sayed Hosen Nasr81 dan

79 Dalam Alquran, terdapat beberapa ayat yang mengandung ungkapan

sumpah dari Allah dengan menggunakan benda-benda pada alam semesta, seperti pada awal surat al-Na>zi’a>t dimana Allah bersumpah demi sesuatu yang melesat

dengan cepat (bintang), kemudian dalam surat al-Takwi@r (81) ayat 17 Allah juga

bersumpah dengan menggunakan malam sebagai objek sumpah, begitu juga pada

awal surat al-T{a>riq (86) dimana Allah bersumpah dengan langit sebagai objek

sumpah. Dalam pandangan ‘Abduh, hikmah dari sumpah-sumpah Allah dengan menggunakan alam semesta sebagai objek sumpah demi menjelaskan bahwa begitu besarnya perhatian Allah terhadap alam semesta. Selain itu, Allah juga bermaksud menunjukkan betapa agungnya benda-benda itu (sebagai ciptaannya) dan betapa pentingnya benda-benda itu bagi manusia. Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 10.

80 Muh{ammad ‘Abduh, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Juz’ ‘Amma, 57.

81 Mulyadhi Kartanegara menjelaskan pandangan Sayyed Hossein Nasr yang

menyebutkan bahwa ketika ilmuwan-ilmuwan muslim mempelajari fenomena alam, mereka melakukan sesuatu hal yang tidak hanya sekedar melunaskan rasa ingin tahu, melainkan justru untuk mengamati dari dekat jejak-jejak ilahi (Vestigial Dei). Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen, melainkan tanda-tanda (sign / ayat) Allah yang dengannya manusia diberi petunjuk akan keberadaan tuhan, kasih

M. Quraish Shihab.82 Bahkan ‘Abbas Mahmud al-‘Aqad mempertajam lagi bahwa ayat-ayat tentang alam mengandung ajakan aqidah.83 Pandangan-pandangan seperti ini mengindikasikan alasan mengapa ‘Abduh menjadikan ayat-ayat al-Kauni@yah sebagai objek penerapan penafsiran bernuansa Positivistik dengan memanfaatkan pendekatan nilai-nilai ilmiah sains modern dalam menafsirkannya sehingga hal tersebut bisa dilihat sebagai salah satu karakteristik dari tafsir Positivistik yang diperlihatkan ‘Abduh di dalam Tafsi@r Qur’a>n al-Kari@m Juz’ ‘Amma.

2. Fakta Empiris Sebagai Realitas.

Dalam pembahasan filsafat, realitas tidak dapat dipisahkan dari pembahasan ontologi. Ontologi secara umum membahas tentang segala yang ada. Pertanyaan yang mendasar dari ontologi tertuju kepada apa yang disebut realitas. Ontologi pada esensinya tidak mendikotomikan realitas antara alam fisis dan metafisis. Rasionalisme

sayang, kebijaksanaannya dan kepintarannya. Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Ciputat, Tangerang: UIN Jakarta Press, 2003), 3.

82 Menurut M. Quraish Shihab, setidaknya ada tiga hal yang dapat

disimpulkan dari pembicaraan Alquran tentang alam raya dan fenomenanya. Pertama, adanya perintah Alquran untuk mempelajari dan memahaminya dalam rangka meyakini ke-Esaan dan kekuasaan tuhan. Perintah ini mengandung substansi bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak. Kedua, alam raya dan hukum-hukumnya diciptakan, dimiliki dan diatur oleh ketetapan tuhan yang sangat teliti, dan alam raya tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan tersebut kecuali jika tuhan yang menghendakinya. Hal ini mengandung maksud bahwa alam raya dan seluruh elemennya tidak boleh disembah. Ketiga, redaksi yang digunakan oleh Alquran dalam uraian tentang fenomena alam bersifat singkat, teliti dan padat sehingga pemahaman atau penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 104-105. Ali Raza Tahir

menambahkan dengan mengutip pendapat Muhammad Iqbal bahwa hal itu juga bertujuan untuk mengungkapkan tanda-tanda (keberadaan dan kekuasaan) Allah kepada manusia. Ali Raza Tahir, “The Concept of Ethical Life in Islam” dalam Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, Vol. 3. No. 9. 2012 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/964018844?accountid=25704, tanggal 23-04-2014, pukul 23.03 WIB), 1361.

83 ‘Abbas Mahmud al-‘Aqad, Filsafat Qur’an, Filsafat, Spiritual dan Sosial

dalam Isyarat Qur’an, Penerj; Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 13.

yang mengatakan realitas adalah apa yang dideskripsikan dalam alam idea, dibantah dengan keras oleh Empirisme yang justru menjadikan fakta empiris sebagai realitas. Rasionalisme menjadikan realitas empiris sebagai bayangan dari idea manusia, sebaliknya Empirisme justru menjadikannya sebagai hal yang utama untuk disebut realitas. Realitas Empirisme mengarah kepada hal yang berupa materi. Seolah-olah Empirisme membatasi ontologi hanya pada wilayah empiris. Hal ini sangat berkaitan erat dengan fakta. Bangunan konsep Empirisme tentang fakta adalah sesuatu yang real (nyata), yaitu sesuatu yang dapat diketahui pancaindra dan dapat dihitung. Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya Epistimologi Fundasional mengutip pandangan Thomas Kuhn dan Michel Polanyi yang menyatakan bahwa fakta tidak bisa bicara sendiri, fakta hanya berbicara dalam kerangka teori atau paradigma tertentu. Betrand Russel menyebutkan fakta adalah segala sesuatu yang ada di alam. Fakta merupakan sesuatu yang dapat di observasi sehingga pernyataan tentang fakta itu dapat dibuktikan benar dan salahnya secara empiris.84 Pandangan ini kemudian menjadi salah satu titik penting yang ditekankan Positivisme. Positivisme menjadikan fakta empiris sebagai realitas. Dengan menjadikan fakta empiris sebagai realitas maka membuka ruang bagi manusia untuk mengetahui bagian-bagiannya yang positif,85 yaitu yang

84 Disebutkan oleh Akhyar Yusuf Lubis bahwa secara umum dalam ilmu

pengetahuan, terdapat hubungan yang sangat erat antara fakta dengan teori. Penjelasan tentang hubungan antara fakta-fakta disebut teori. Jadi teori adalah suatu pernyataan yang dapat dibuktikan benar dan salahnya. Secara umum, ada beberapa peran teknis fakta terhadap teori, yaitu untuk membenarkan teori (memverifikasi) atau membuktikan salahnya (memfalsifikasi) teori. Selain itu fakta juga dapat mempertajam atau memperluas rumusan teori yang ada dan yang terakhir fakta dapat menimbulkan munculnya sebuah teori baru. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 91-92. Fakta-fakta itulah yang kemudian disebut pengalaman sebagai dasar pengetahuan. Christian Fuchs dan Marisol Sandoval, “Positivism Postmodernism or Critical Theory A Case Study of Communications Students’ Understandings of Criticism”, dalam Journal for Critical Education Policy Studies, Volume 6 (Diakses dari http://www.jceps.com/PDFs/6-2-07.pdf, tanggal 13-05-2013, pukul 03.03 WIB), 115.

85 Auguste Comte mendefenisikan kata ”positif” tentang alam sebagai

sesuatu yang mengandung unsur fakta real atau nyata. Pemahaman Comte tentang “positif” berbeda dengan pemahaman Schelling yang mendefenisikan secara lebih luas. Akhyar Yusuf Lubis, Epistimologi Fundasional, 191 dan Herbert Marcuse, Rasio dan Revolusi, 266. Vincent A. Wellman menyebutkan juga bahwa hukum alam yang ada dan meliputi setiap wujud dari benda-benda alam, dijadikan sebagai subjek sekaligus objek perhatian dalam Positivisme. Vincent A. Wellman,

memungkinkan manusia untuk mengetahui secara pasti dan dapat dibenarkan oleh setiap orang berdasarkan sumber pengetahuan yang sama yaitu pancaindra.86

Dalam konteks penafsiran ayat-ayat tentang alam, ‘Abduh secara tidak langsung telah mengaplikasikan konsep Positivisme yang melandaskan pembenaran proposisi pada fakta empiris yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah. Misalnya ayat-ayat yang membahas tentang terbelahnya langit (surat al-Naba’ (78) ayat 19, surat al-Infit}a>r (82) ayat 1-2 dan surat al-Inshiqa>q (84) ayat 1), ‘Abduh menafsirkannya dengan tabrakan antar planet yang disebabkan oleh hilangnya gaya tarik menarik (gravitasi) dari tiap-tiap planet. Pada dasarnya, ‘Abduh memiliki peluang untuk menafsirkan ayat ini dengan penafsiran lain misalnya melalui pendekatan teologis, kemudian membuat spekulasi rasional dengan menyebutkan “terbelahnya langit sebagai bentuk kekuasaan Allah terhadap alam dan hanya Allah yang mengetahui kejadian sesungguhnya”, atau cukup mengatakan bahwa “hal itu merupakan sesuatu yang pasti terjadi di masa yang akan datang dan manusia cukup mengimaninya atau memperbanyak ibadah sebagai persiapan menghadapi kejadian tersebut”. Namun dalam kenyataannya, ‘Abduh tidak berbuat demikian. ‘Abduh justru menjadikan realitas empiris sains sebagai deskripsi pembenaran dari tafsiran yang diberikan terhadap ayat.

Begitu juga dengan penafsiran ‘Abduh terkait fenomena meluapnya lautan (al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3) dan penyakit cacar (surat al-Fi@l (105) ayat 3-4. Mengenai surat al-Takwi@r (81) ayat 6 dan surat al-Infit}a>r (82) ayat 3, ‘Abduh memberikan penafsiran dengan deskripsi bahwa ketika terjadi sebuah gempa yang menyebabkan batas-batas antar lautan hancur sehingga

“Positivism, Emergent and Triumphant” dalam Michigan Law Review, Vol. 97, May 1999 (Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/201044593?accountid=25704, tanggal 12-06-2014, pukul 21.12 WIB), 1725.

86 Dengan menjadikan fakta empiris sebagai realitas, Comte mengharapkan

agar setiap manusia mampu mengungkap dan menemukan hukum kebenaran dari fenomena-fenomena yang ada di wilayah empiris. Bahkan Nadem J. Z. Hussain menegaskan bahwa Comte telah mengkolaborasikan antara aspek penalaran dan observasi dalam upaya Comte untuk menemukan hukum kebenaran (realitas empiris) dari fenomena. Nadem J. Z. Hussain, “Nietzsche’s Positivism” dalam European

Journal of Philosophy, 2004 (Diakses dari http://www.stanford.edu/~hussainn/StanfordPersonal/Online_Papers_files/Hussain_Ns

seluruh air yang ada di laut menyatu dan penuh, kemudian menjadikan air tersebut tumpah ke daratan, atau bergolaknya api yang ada di dalam perut bumi, kemudian naik ke permukaan bumi dan mendorong massa air laut sehingga menjadikannya meluap ke daratan. Selain itu ‘Abduh juga menguatkan penafsirannya dengan mengemukakan peristiwa meletusnya salah satu gunung berapi di daerah Jawa pada waktu itu (1883) atau dikenal dengan fenomena gunung Krakatau. Sedangkan mengenai surat al-Fi@l (105) ayat 3, ‘Abduh menafsirkan

t}aira>n aba>bi@l sebagai nyamuk atau lalat yang membawa virus yang kemudian menjadikan pasukan bergajah yang menyerang Mekah terjangkit penyakit cacar sehingga kemudian mereka mati seperti daun yang dimakan ulat.

Tentang kedua penafsiran ‘Abduh tersebut, sebenarnya ‘Abduh memiliki peluang untuk menafsirkannya dengan penafsiran lain. Misalnya seperti gaya penafsiran teologis yang dihadirkan al-T{abari@

Dalam dokumen Fuad Syukri Nuansa Positivistik Tafsir Modern (Halaman 117-138)

Dokumen terkait