Telaah Yuridis terhadap Pembiayaan Perumahan
Melalui Akad Musyarakah Mutanaqisah (MMQ)
Sebagai Alternatif Pembiayaan Perumahan dalam
Upaya Pengembangan Produk Perbankan Syariah
Lastuti Abubakar
Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran (Email: lastuti.abubakar@unpad.ac.id)
Tri Handayani
Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran (Email: t212h@yahoo.com)
Received : 8 March 2017 Revised : 24 April 2017 Approved : 16 May 2017
Abstract
Housing is a human basic need, which is from year to year increasing, while the power of people ability to purchase is not always high. Islamic banking has an opportunity to provide alternative Housing finance through Musharaka Mutanaqisah (MMQ) agreement, It is financing based on shared ownership between banks and customers. In the implementation, financing through this MMQ faces the regulatory hurdles that need to be anticipated. The solution is Indonesia must be prepared a renewal and rearrangement of regulation that are comprehensive and integrated to eliminate the disharmony and the regulatory barriers that arise in the implementation of MMQ agreement as an alternative to housing finance.
Keywords: Housing finance, Musharaka Mutanaqisah, sharia banking product development.
Abstrak
Kebutuhan perumahan terus meningkat, sementara daya beli masyarakat masih. Perbankan syariah berpeluang untuk menyediakan alternatif pembiayaan perumahan berdasarkan prinsip syariah melalui Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) yakni pembiayaan berbasis kepemilikan bersama antara bank dan nasabah. Dalam implementasinya, pembiayaan MMQ ini menghadapi hambatan regulasi yang perlu di antisipasi. Diperlukan pembaruan dan penataan regulasi untuk menghilangkan disharmoni dan kendala regulasi dalam implementasi akad MMQ sebagai alternatif pembiayaan perumahan.
PENDAHULUAN
Berdasarkan data yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada
tahun 2015, kekurangan kebutuhan (backlog)perumahan berkisar 11,4 juta
unit perumahan. Ini berarti rasio kepemilikan rumah adalah dari 8 rumah
tangga yang tercoverhanya 4 unit. Selama lima tahun terakhir, diperkirakan
jumlah suplai pembangunan perumahan per tahun hanya sekitar 400 sampai
500 ribu unit rumah , sedangkan kebutuhan masyarakat per tahun sekitar 800
ribu unit rumah. Di sisi lain, pertumbuhan kebutuhan properti menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun, dan diperkirakan pada tahun 2016 mencapai
6 % seiring dengan penurunan suku bunga Bank Indonesia.1 Sementara itu,
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 dalam
pembangunan perumahan, salah satu isu strategis adalah kurangnya
dukungan perbankan dalam pembiayaan kepemilikan perumahan. Salah satu
kendala bagi perbankan untuk pembiayaan perumahan adalah persentase
terbesar dari kebutuhan perumahan ada pada masyarakat berpenghasilan
rendah (MBR) yang bekerja disektor non formal yang dianggap tidak
bankable,2 yaitu tidak memenuhi syarat –syarat yang sesuai dengan analisa
dalam pemberian kredit, khususnya ketersediaan collateral atau jaminan, dan
persyaratan administratif lainnya. Di sisi lain, perbankan memang dituntut
untuk selalu memperhatikan prinsip utama dalam aktivitasnya, termasuk
dalam pemberian kredit, yaitu prudential banking principle, yang
implementasinya bank wajib memiliki keyakinan bahwa debitur mampu
membayar dan mempunyai itikad baik. Selanjutnya Bank syariah wajib
melakukan menerapkan prinsip kehati-hatian guna mewujudkan perbankan
yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan yang berlaku.3Oleh
1 Indonesia Industry Research Company, Industri Properti Komersial di Indonesia 2016 ,
hlm.3
2 Presentase MBR yang bekerja di sektor formal hanya 30 %, dan 70 % merupakan MBR
karena itu, diperlukan campur tangan pemerintah dalam pengadaan
perumahan, termasuk mendorong perbankan untuk berinovasi dalam
pembiayaan perumahan. Salah satu upaya untuk mendorong industri
perbankan dalam penyediaan pembiayaan perumahan adalah menerbitkan
landasan hukum bagi perbankan syariah untuk menyediakan pembiayaan
perumahan berdasarkan prinsip syariah melalui akad Musyarakah
Mutanaqisah (MMQ), selain Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang memang
sudah disediakan oleh perbankan konvensional.
Sejak tahun 2008, perbankan syariah telah memiliki landasan hukum
dalam pengembangan produk MMQ, dengan diterbitkannya Fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) no : 73 /DSN-MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah
Mutanaqisah (MMQ), dan sejak tahun 2016 OJK telah menerbitkan Standar
Produk Buku I untuk Musyarakah dan Buku II untuk MMQ. Pembiayaan
perumahan berdasarkan akad MMQ dapat diartikan sebagai musyarakah atau
syirkah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak( syarik)
berkurang disebabkan oleh pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya.
Dalam praktik, akad MMQ sebagai alternatif pembiayaan perumahan
berdasarkan prinsip syariah ini menghadapi tantangan yuridis berupa belum
harmonisnya regulasi yang berkaitan dengan pelaksanaan MMQ. Beberapa isu
hukum yang mengemuka dalam implementasi MMQ antara lain konsep
kepemilikan bersama oleh Bank dan nasabah atas aset perumahan;
penggunaan Hak Tanggungan sebagai pranata jaminan atas objek MMQ untuk
memberikan kepastian pada Bank bahwa nasabah akan membeli objek MMQ,
dalam hal ini rumah, serta kompleksnya akad MMQ mengingat terdapat
beberapa akad yang harus dibuat dalam skema MMQ. Pada dasarnya
perbankan syariah sudah menyediakan akad-akad lain yang dapat digunakan
untuk memfasilitasi nasabah untuk memiliki aset /barang dengan mekanisme
jual beli, yaitu melalui akad murabahah, Istishna dan Salam. Namun ke tiga
yang tidak murah, dan sulit dilakukan secara tunai. Mengapa MMQ dapat
menjadi jalan keluar bagi alternatif pembiayaan perumahan? Selain untuk
menghindari kredit pemilikan rumah, yang cenderung berbiaya mahal akibat
bunga dalam jangka panjang, MMQ memberikan kemungkinan bagi nasabah
untuk memiliki rumah sesuai dengan kemampuan membeli. Selain itu, akad
MMQ mendudukkan bank dan nasabah sebagai mitra/partner dengan
kedudukan yang seimbang. Dalam praktik, implementasi MMQ ini terkendala
oleh aspek hukum yang belum terintegrasi. Berdasarkan pemikiran tersebut,
diperlukan solusi untuk mengatasi permasalahan hukum yang timbul terkait
pembiayaan perumahan melalui MMQ.
PEMBAHASAN
A. Arah Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia dan Perannya
dalam Penyediaan Alternatif Pembiayaan Perumahan
1. Isu Strategis dan Arah Kebjakan Pengembangan Perbankan Syariah
Salah satu arah kebijakan bank umum yang telah dicanangkan pada
tahun 2016 adalah kebijakan pengembangan perbankan syariah. Diharapkan
perbankan syariah mampu berkontribusi secara signifikan bagi pertumbuhan
ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan dan stabilitas sistem
keuangan serta berdaya saing tinggi.4Daya saing ini menjadi semakin relevan
dengan keikutsertaan Indonesia dalam Asean Economic Community (
Masyarakat Ekonomi Asean) yang memiliki tujuan tunggal yaitu integrasi
ekonomi untuk menciptakan pasar tunggal dan basis produksi , yang akan
menjadikan Asean lebih dinamis dan kompetitif. Salah satu target dalam cetak
biru Asean Economic Community 2015, Tahun 2020, diharapkan ASEAN
tercapai integrasi sistem keuangan, yang salah satu bagian dari integrasi
Framework (ABIF). Peluang perbankan nasional untuk memperoleh akses
pasar yang lebih besar dan fleksibilitas operasional ini, tentu harus
dimanfaatkan pula oleh perbankan syariah, dengan memenuhi persyaratan
sebagai Qualified Asean Bank (QAB). Peluang untuk menjadi QAB tentu
terbuka lebar bagi perbankan syariah Indonesia mengingat eksistensi
perbankan syariah Indonesia sebagai bagian dari sektor keuangan syariah
sudah diakui secara global. Secara internasional Indonesia dipandang sebagai
kekuatan dan memiliki potensi besar keuangan syariah global. Indoesia saat
ini menjadi salah satu dari 10 negara terbesar di bidang keuangan syariah
bersama-sama dengan Malaysia, Saudi Arabia, Iran, UAE, Kuwait, Qatar,
Bahrain, Turki dan Bangladesh. Indonesia saat ini berada dalam posisito offer
lessonskepada negara lain di dunia untuk pengembangan keuangan syariah.
selain itu bersama-sama Qatar, Saudi Arabia, Malaysia, UAE dan Turki (
QISMUT), Indonesia dianggap sebagai kekuatan pendorong keuangan syariah
di masa depan.5
Arah kebijakan pengembangan perbankan syariah secara umum
bertujuan untuk meningkatkan sinergi kebijakan, daya saing perbankan
syariah, customer based serta harmonisasi/integrasi regulasi dan
pengawasan. Arah kebijakan pengembangan perbankan ini disusun dengan
melihat isu- isu strategis sebagai tantangan dan peluang dalam pengembangan
perbankan syariah Indonesia. berikut 7 isu strategis yang dimaksud :
Tabel 1. Isu Strategis dalam Pengembangan Perbankan Syariah
No 7 (tujuh) Isu Strategis
1 Belum selarasnya visi dan kurangnya koordinasi antar pemerintah
dan otoritas dalam pengembangan perbankan syariah
2 Modal yang belum memadai, skala industri dan individual bank yang
masih kecil serta efisiensi yang rendah.
5 Otoritas JAsa Keuangan, Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019,Departemen
3 Biaya dana yang mahal yang berdampakan pada keterbatasan
segmen masyarakat
4 Produk yang tidak variatif dan pelayanan yang belum sesuai
ekspektasi masyarakat
5 Kuantitas dan kualitas SDM yang belummemmadai serta Teknologi
Sistem Informasi yang belum dapat mendukung pengembangan
produk dan layanan
6 Pemahaman dan kesadaran maysrakat yang masih rendah
7 Pengaturan dan pengawasan yang masih belum optimal
Sumber : OJK, Roadmap Perbankan Syariah 2015-2019.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, telah ditentukan arah kebijakan
pengembangan perbankan syariah yang dirinci dalam 7 arah kebijakan
sebagai berikut :
Tabel 2. Arah Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia
No Arah Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah
1 Memperkuat senergi kebijakan antara otoritas dengan pemerintah
dan stakeholder lain
2 Memperkuat permodalan dan skala usaha serta memperbaiki
efisiensi
3 Memperbaiki struktur dana untuk mendukung perluasana segmen
pembiayaan
4 Memperbaiki kualitas layanan dan keragaman produk
5 Memperbaiki kuantitas dan kualitas SDM dan TI serta infrastruktur
lainnya
6 Meningkatkan literasi dan preferensi masyarakat
7 Memperkuat serta harmoniasai pengaturan dan pengawasan
Sumber : OJK ,Indonesia’s Economy And The Prospect For Banking Industry in
Berkaitan dengan isu strategis berupa produk yang tidak variatif dan
pelayanan yang belum sesuai ekspektasi masyarakat, maka perbankan syariah
memerlukan dukungan untuk mengembangkan produk atau layanan dengan
tetap memperhatikan kualitas layanan. Oleh karena itu, kehadiran alternatif
pembiayaan perumahan melalui akad MMQ merupakan salah satu langkah
strategis, yang akan mendorong percepatan pengembangan perbankan
syariah.
2. Pembiayaan Perumahan melalui Akad Musyarakah Mutanaqisah sebagai
upaya pengembangan produk perbankan syariah.
a. Produk dan Jasa Perbankan Syariah
Dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai agent of development,
agent of trust dan agent of services, perbankan syariah menjalankan fungsi
utama sebagai lembagaintermediaryyang akan mempertemukan para pemilik
dana dan pengguna dana berdasarkan prinsip syariah. oleh karena itu,
karakteristik produk perbankan syariah secara garis besar meliputi produk
penghimpunan dana; produk penyaluran dana dan jasa perbankan. oleh
karena itu pengembangan produk perbankan syariah akan bertitik tolak dari
produk-produk dasar yang sudah diatur sebelumnya dalam UU Perbankan
Syariah. pada dasarnya hanya terdapat 3 produk dasar penghimpunan dana
bank syariah yaitu giro, tabungan dan deposito. sedangkan akad yang
digunakan disesuaikan dengan karakter dasar masing-masing produk. Berikut
tabel produk dasar dan akad yang digunakan.
Tabel 3. Produk dasar penghimpunan & akad di perbankan syariah
No Produk Akad Posisi Bank Posisi Nasabah
1 Giro Wadiah Penerima Titipan Pemilik Titipan
2 Tabungan Wadiah Penerima Titipan Pemilik Titipan
Mudharabah Muthlaqah Pengelola Dana Pemilik Dana
Mudharabah Muthlaqah Wakil Pemilik Dana
Mudharabah Muthlaqah Wakil Pemilik Dana
Sumber : diolah oleh Penulis.
Selanjutnya, produk dasar perbankan syariah yang berkaitan dengan
penyaluran dana terdiri dari jual beli, bagi hasil/untung dan sewa/jasa, yang
masing-masing bergantung pada jenis akad. Berikut produk dasar penyaluran
dana dan jenis akad yang digunakan.
Tabel 4. Produk Dasar Penyaluran & Akad di perbankan Syariah
No Produk Jenis Akad Posisi Bank Posisi Nasabah
1 Jual beli Murabahah Penjual Pembeli
Salam & Salam
3 Sewa /Jasa Ijarah Pemberi sewa Penyewa
4 Pinjam
meminjam
Qardh Pemberi pinjaman Penerima
pinjaman
Sumber : diolah oleh Penulis
Mengacu pada 2 tabel di atas, maka pengembangan produk perbankan syariah
merupakan turunan atau inovasi dari produk dasar tersebut. Musyarakah
Mutanaqisah (MMQ) merupakan varian atau turunan dari produk penyaluran
dana bagi hasil/untung dengan akad musyarakah. Oleh karena itu ketentuan
tentang musyarakah berlaku pula pada MMQ.
b. Dasar Pengaturan Pembiayaan Perumahan dengan Akad MMQ.
Pasal 3 Undang-Undang No : 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
(UU Perbankan Syariah) mengatur bahwa perbankan syariah bertujuan untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya
Pasal 4 mengatur bahwa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib
menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau
fungsi intermediary dengan berasaskan prinsip syariah, demokrasi, dan
prinsip kehati-hatian yang diatur dalam Pasal 2 UU Perbankan Syariah.
Dengan demikian, akad MMQ sebagai alternatif pembiayaan perumahan
merupakan implementasi dari ke tiga Pasal dalam UU Perbankan Syariah
tersebut. Berkenaan dengan implementasi prinsip kehati-hatian dalam
pembiayaan MMQ, Pasal 23 UU Perbankan Syariah mengatur syarat yang sama
dengan UU Perbankan, yakni : (1) Bank Syariah/Unit Usaha Syariah harus
mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah
Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya,
sebelum Bank Syariah /UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima
Fasilitas.; (2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari Calon
Selain UU Perbankan Syariah, keberadaan MMQ sebagai alternatif
pembiayaan perumahan merujuk pada beberapa Fatwa yang dikeluarkan oleh
DSN, sebagai berikut :
Tabel 5. Beberapa Fatwa DSN-MUI Yang Terkait Dengan MMQ
No Fatwa DSN Tentang
Al- Ijarah Muntahiyah bi
al-Tamlik
Janji (Wa’d) Dalam Transaksi
Keuangan dan Bisnis Syariah.
Sumber : DSN-MUI, diolah oleh penulis.
c. Esensi Musyarakah Mutanaqisah
Dalam praktik, Fatwa DSN-MUI No : 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang
Musyarakah Mutanaqisah dipahami secara beragam oleh masyarakat,
termasuk praktisi keuangan syariah dan otoritas, sehingga dapat
perbankan syariah.6 Oleh karena itu, DSN-MUI menganggap perlu adanya
panduan yang pasti dan jelas untuk mengimplementasikan Fatwa tersebut.
Atas dasar tersebut, DSN-MUI menerbitkan Keputusan DSN-MUI No :
01/DSN-MUI/X/2013 Tentang Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqisah
Dalam Produk Pembiayaan. Berdasarkan pedoman tersebut , pembiayaan
MMQ adalah produk pembiayaan berdasarkan prinsip musyarakah, yaitu
syirkatul ‘inan, yang porsi (hishshah) modal salah satu syarik ( Bank
Syariah/LKS) berkurang disebabkan pengalihan secara komersial secara
bertahap (naqlul hishshah bil iwadh mutanaqisah) kepada syarik yang lain
(nasabah). Dengan demikian, semua rukun dan ketentuan yang ada dalam
akad musyarakah berlaku juga untuk MMQ, sedangkan karakteristik khusus
MMQ yang wajib dituangkan secara jelas dalam akad adalah sebagai berikut :
(a) modal usaha dari para pihak dan harus dinyatakan dalam bentukhishshah.
Terhadap modal tersebut dilakukan tajzi’ atul hishshah; yaitu modal usaha
dicatat sebagai hishshah( porsi) yang terbagi menjadi unit-unithishshah; (b)
Modal usaha yang telah dinyatakan dalam hishshah tersebut tidak boleh
berkurang selama akad berlaku secara efektif; (c) Adanya wa’d (janji); bank
syariah/LKS berjanji untuk mengalihkan seluruh hishshahnya secara
komersial keada nasabah secara bertahap; (d) Adanya pengalihan unit
hishshah ; setiap penyetoran uang oleh nasabah kepada Bank Syariah/LKS,
maka nilai yang jumlahnya sama dengan nilai unit hishshah, secara harfiah
dinyatakan sebagai pengalihan unit hishshah Bank Syaraiah/LKS secara
komersial (naqlul hishshah bil iwadh), sedangkan nilai yang jumlahnya lebih
dari nilai unit hishshah tersebut, dinyatakan sebagai bagi hasil yang menjadi
hak Bank Syariah/LKS.
Selanjutnya, produk MMQ ini bertujuan untuk menyediakan fasilitas
pembiayaan kepada nasabah dalam rangka memperoleh aset (barang) atau
6 Lihat pertimbangan DSN-MUI dalam Keputusan DSN-MUI No : 01/DSN-MUI/X/2013
menambah modal usaha berdasarkan sistem bagi hasil. Termasuk ke dalam
pengertian aset berdasarkan pedoman implementasi MMQ antara lain;
properti, kendaraan bermotor dan barang lain yang sesuai syariah, baik baru
maupun bekas. Bagi bank , pembiayaan dengan akad MMQ merupakan salah
satu bentuk penyaluran dana dan cara untuk memperoleh pendapat dalam
bentuk bagi hasil sesuai pendapatan sewa atas objek MMQ. Bagi nasabah,
pembiayaan melalui akad MMQ merupakan alternatif untuk memenuhi
kebutuhan akan rumah melalui sistem kemitraan dengan Bank.
d. Prinsip dan ketentuan yang berlaku dalam Akad MMQ
Mengacu pada pedoman implementasi MMQ, maka terhadap produk
MMQ berlaku akad musyarakah mutanaqisah, dimana syirkah dalam akad
MMQ ini adalah syirkah al-inan, dengan persyaratan paling kurang sebagai
berikut : (a) berlaku ketentuan hukum yang diatur dalam Fatwa DSN-MUI No
: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Musyarakah; (b) akad harus secara jelas
memuat karakterisktik MMQ; (c) seluruh porsi hishshah Bank syariah/LKS
beralih kepada nasabah setelah seluruh proses pengalihan selesai; (d)
Pendapatan dari MMQ dapat berasal dai margin apabila kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip jual beli; bagi hasil apabila kegiatan usahanya
berdasarkan musyarakah atau mudharabah; dan ujrah apabila kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip ijarah. Pembagian keuntungan atau bagihasil
berdasarkan kesepakatan para pohak dengan mengikuti proporsi kepemilikan
modal. Proyeksi keuntungan dalam pembiayaan MMQ dapat didasarkan oada
pendapatan masa depan (future income); pendapatan proyeksi (projected
income) yang didasarkan pada pendapatan historis ( historical income) dari
kegiatan MMQ atau pada dasar lain yang disepakati; (e) Dalam hal kegiatan
MMQ menggunakan prisnisp sewa (ijarah), maka objek dapat dimanfaatkan
oleh nasabah atau pihak lain denga membayar ujrah yang disepakati. Dengan
ma’jur) dan mambayatujrah;(f) Dalam hal kegiatan usaha MMQ menggunakan
prinsip sewa menyewa (ijarah) dan objek ijarah yang dibiayai dalam proses
pembuatan pada saat akad ( indent), maka seluruh seluruh rincian kriteria,
spesifikasi dan waktu ketersediaan objek harus dinyatakan dan disepakati ,
baik kualitas maupun kuantitasnya (ma’luman mawshufan mundhabithan
munafiyan lil jahalahI,sehingga tidak memnimbulkan ketidakpastian (gharar)
dan persilisihan ( niza’). (g) Dalam hal kegiatan usaha MMQ menggunakan
prinsip sewa menyewa, objke MMQ dapat diatasnamakan nasabah secara
langsung dengan persejuan Bank Syariah/LKS.
Dalam perkembangannya, DSN.MUI telah menerbitkan Fatwa No :
102/DSN-MUI/X/2016 Tentang Akad Al-Ijarah Al Maushufah Fi Al-Dzimmah
Unutk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah ( PPR) Inden. Fatwa ini lahir
sejalan dengan penggunaan akad MMQ atau Ijarah Muntahiyah bi
al-Tamlik (IMBT) . dengan demikian, landasan hukum untuk pembiayaan
pemilikan rumah dengan akad MMQ semakin kuat. Hal baru yang diatur secara
spesifik dalam Fatwa DSN-Mui No : 102/DSN-MUI/X/2016 ini adalah
pengaturan tentang uang muka dan jaminan. Dalam Pembiayaan Pemilikan
Rumah dengan indent dimungkinkan adanya uang muka sebagai wujud
kesungguhan (hamisy jiddiyah) yang diserahkan oleh penyewa kepada
pemberi sewa. Selain berfungsi sebagai wujud keseriusan penyewa, uang
muka dapat dijadikan ganti rugi (al-ta’widh) oleh pemberi sewa karena proses
mewujudkan barang sewa apabila penyewa membatalkan sewa, dan menjadi
pembayaran sewa (ujrah) apabila akad dilaksanakan sesuai kesepakatan.
e. Ganti rugi/denda dalam Pembiayaan Pemilikan Rumah dengan
Akad MMQ.
Lazimnya dalam kegiatan usaha, termasuk sektor perbankan syariah,
ganti rugi dan denda berkaitan dengan unsur ketidakmampuan para pihak
memenuhi akad sesuai kesepakatan ( wanprestasi) atau tidak dipenuhinya
yang dikeluarkan oleh DSN-MUI mengatur tentang denda dan ganti rugi. Pada
dasarnya, Bank Syariah/LKS diperkenankan untuk mengenakan sanksi
kepada nasabah mampu yang menunda-nunda angsuran, berupa denda
keterlambatan ( ta’zir), yang akan diakui sebagai dana kebajikan, dan ganti
kerugian ( ta’widh) , yang terdiri dari biaya penagihan dan biaya eksekusi
barang. Jumlah biaya denda keterlambatan dan ganti kerugian yang berupa
biaya penagihan akan dikenakan sejumlah dana atau persentase yang dihitung
berdasarkan biaya historis nyata (real historical cost), dengan mengacu
kepada substansi Fatwa DSN No : 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi
(ta’widh). Dalam hal terjadi percepatan pengalihan hishshah, maka yang
menjadi kewajiban nasabaha adalah sisa total kewajiban MMQ, yang meliputi
: (a) Sisa hishshah Bank Syariah/LKS (outstandingpokok) yang belum diambil
alih oleh nasabah; (b) sisa pendapatan yang belum diselesaikan oleh nasabah
sebagaimana disepakati dalam akad.
Dalam hal penyelesaian pembiayaan bermasalah, Bank Syariah/LKS
dapat memberikan diskon (tanazulul haqq) dalam hal terjadi kondisi-kondisi
: (a) aset MMQ atau jaminan lainnya dijual oleh nasabaha melalui Bank
Syariah/LKS dengan harga yang disepakati; (b) Nasabah melunasi sisa
kewajibannya kepada Bank Syariah/LKS dari hasil penjualan; (c) Apabila hasil
penjualan melebihi sisa utang, maka Bank Syariah/LKS mengembalikan
sisanya kepada nasabah; (d) Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang
maka sisa utang tetap menjadi utang nasabah; (e) Apabila nasabah tidak
mampu membayar sisa utangnya, maka Bank Syariah/LKS dapat
membebaskannya berdasarkan kebijakan Bank Syariah/LKS.
Lazimnya penyelesaian sengketa bisnis atau sengketa ekonomi,
termasuk perbankan syariah, penyelesaian pembiayaan MMQ tyang
bermasalah terlebih dahulu diselesaikan melalui musyawarah mufakat
hal nasabah tidak dapat menyelesaikan atau melunasi pembiayaan MMQ
sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah disepakati, maka Bank
Syariah/LKS dapat melakukan penyelesaian (settlement) Pembiayaan MMQ ,
dengan ketentuan : (a) Aset MMQ atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah
melalui Bank Syariah/LKS dengan harga yang telah disepakati; (b) Nasabah
melunasi sisa kewajibannya kepada Bank Syariah/LKS dari hasil penjualan;
(c) Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang, maka Bank Syariah/LKS
mengembalikan sisa kepada Nasabah; (d) Apabila hasil oenjualan lebih kecil
dari sisa utangnya, maka sisa utang tetap menjadi utang nasabah; (e) Apabila
nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka Bank Syariah/LKS
dapat membebaskannya berdasarkan kebijakan Bank Syariah/LKS.
3. BEBERAPA PERMASALAHAN HUKUM DALAM PEMBIAYAAN
PEMILIKAN RUMAH DENGAN AKAD MMQ.
Permasalahan hukum dalam pembiayaan pemilikan rumah dengan akad
MMQ muncul akibat belum harmonisnya regulasi yang digunakan dalam
mekanisme MMQ. Selama ini, regulasi yang ada memang banyak
diperuntukkan bagi pemilikan rumah dengan cara konvensional melalui
Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Di sisi lain, infrastruktur hukum yang menjadi
landasan bagi aktivitas ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah dan
pengembangan produk perbankan syariah masih bersifat parsial.
Pembentukan hukum masih mengacu pada pola lama, yaitu dibentuk
berdasarkan kebutuhan, khususnya Fatwa dan peraturan yang dikeluarkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan dan perbankan .7 Kaidah-kaidah hukum yang
berlaku untuk perbankan konvensional yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah dan belum ada pengaturannya, masih dapat digunakan, namun
dalam praktik kadang kala tidak dapat digunakan atau tidak harmonis dengan
karakter produk atau aktivitas perbankan syariah. Oleh karena itu, perlu
7 Berdasarkan kebiasaan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK_ dan Peraturan Bank
terlebih dahulu membedakan substansi hukum antara KPR dengan MMQ.
Berikut perbedaan akibat hukum perjanjian KPR dengan Akad MMQ.
Tabel 6. Perbedaan Substansi Perjanjian KPR dan Akad MMQ
No KREDIT PEMILIKAN RUMAH
(KPR)
AKAD MUSYARAKAH
MUTANQISAH
1 Kepemilikan atas objek KPR
sudah berpindah sejak perjanjian
2 Pembayaran dilakukan secara
angusuran /memcicil
Pembayaran ditujukan untuk
pembelian porsi, sehingga akan
terjadi penurunan porsi pada
Bank , yang berpindah pada
Nasabah
3 Untuk memenuhi prudential
banking principle, Bank
Bank dapat mengeksekusi objek
jaminan sebagai pelunasan utang
Apabila nasabah tidak dapat
memenuhi janjinya (wanprestasi)
Bank dapat mengeksekusi objek
MMQ atau objek jaminan lainnya
untuk mengambil pelunasan.
Sumber : diolah oleh Penulis.
Berdasarkan perbedaan substansi antara perjanjian KPR dan akad MMQ, maka
beberapa permasalahan atau isu hukum yang dapat diidentifikasi dalam akad
No Permasalahan /isu Hukum
1 Sistem kepemilikan bersama (co-ownership) yang harus dituangkan
dalam bukti kepemilikan. Terkait objek MMQ berupa Tanah dan
Rumah, maka pengalihan kepemilikan merupakan perjanjian formal,
yang harus dibuktikan dengan sertifikat.
2 Kedudukan Bank dan nasabah adalah mitra (partner), sehingga tidak
tepat menggunakan mekanisme jaminan, khususnya Hak Tanggungan
yang memberikan hak pada kreditor untuk mengeksekusi objek MMQ
apabila Objek dijadikan objek jaminan. Diperlukan bantuan pranata
hukum lain untuk mendukung penggunaan Hak Tanggungan, seperti
kuasa atau perwakilan, mengingat hubungan Bank dan Nasabah
bukanlah hubungan kreditor dan debitur dalam Hak Tanggungan.
3 Diperlukan ijin mitra untuk mengalihkan porsi kepemilikan pada pihak
ketiga mengingat objek adalah milik bersama, apabila partner
wanprestasi
4 Belum kokohnya regulasi yang berkaitan dengan pelimpahan
beban-beban biaya transaksi, pajak, asuransi dan biaya lain yang menjadi
beban aset tersebut.
5 Dalam hal MMQ dilakukan dengan ijarah dengan indent, maka perlu
dipertimbangkan bahwa objek MMQ belum ada saat akad terjadi,
sehingga klausula akad harus mengatur kondisi ini dengan
mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan bagi ke dua belah
pihak
Sumber : Diolah oleh Penulis
Selain permasalahan aspek hukum, perbankan syariah dihadapkan pada risiko
yang berpotensi timbul dari mekanisme pembiayaan perumahan dengan akad
MMQ, antara lain :8(a) Bank dihadapkan pada potensi risiko pembiayaan yang
8 Lihat Lampiran V SEOJK No : 24 /SEOJK.03/2015 Tentang Produk dan Aktivitas Bank
disebabkan oleh nasabah wanprestasi (default); (b) bank meghadapi risiko
pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar apabila pembiayaan atas
dasar akadmudharabah diberikan dalam valuta asing; (c) bank menghadapi
potensi risiko operasional yang diakibatkan oleh proses internal yang kurang
memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
dan.atau kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
Di samping problem spesifik dalam implementasi MMQ sebagai
alternatif pembiayaan pemilikan rumah maka permasalahan lainnya yang
terkait dengan MMQ antara lain : keterbatasan sumber daya insani yang
profesional dan kompeten untuk menangani mekanisme pembiayaan MMQ;
pemahaman masyarakat terhadap produk MMQ yang masih rendah ; jaringan
perbankan yang belum merata, sementara kebutuhan perumahan sampai
kepelosok negeri.
Pengembangan produk MMQ dalam perbankan syariah perlu dukungan
proses dan sumber daya insani yang memiliki keahlian khusus, mengingat
struktur produk berbasis akad MMQ dibuat secara multi akad ( hybrid), selain
akad Musyarakah, terdiri atas akadijarah(leasing);ijarah mausufah fi zimmah
( advance/forward lease), bai al musawamah (penjualan) ataupun akad
istishna( manufaktur). Oleh karena itu, kesiapan sumber daya insani relevan
dengan pengembangan MMQ sebagai produk perbankan syariah.
Permasalahan hukum yang paling penting adalah mempersiapkan
regulasi yang terintegrasi dan komprehensif untuk menjawab permasalahan
yang timbul dalam pengembangan MMQ sebagai alternatif pembiayaan
perumahan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator yang berfungsi
mengatur, mengawasi dan melindungi industri jasa keuangan, termasuk
industri perbankan syariah berupa membuat standarisasi dan harmonisasi
produk perbankan syariah yang memenuhi prinsip syariah, prinsip
per Desember 2015, pembiayaan Musyarakah tercatat hanya memiliki porsi
sebesar 28,50 % dari keseluruhan pembiayaan perbankan syariah.9
Belum optimalnya penggunaan akad MMQ tidak dapat dilepaskan dari
implementasi prinsip kehati-hatian yangrigid.Berdasarkan data di atas, dapat
dilihat bahwa baik Bank Umum Syariah maupun Unit Usaha Syariah masih
sangat berhati hati menggunakan akad berbasisprofit loss sharing(bagi hasil).
Bagian terbesar dalam praktik perbankan syariah masih didominasi oleh
akad-akad berbasis margin (margine based income) dan berbasis komisi (fee
based income). Berdasarkan data di atas, akad mudharabah (3%) dan
musyrakah (10%) yang berbasis bagi hasil masih belum optimal. Dapat
difahami mengingat perbankan masih mengacu pada prinsip kehati-hatian
dalam pemberian pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan inovasi-inovasi
yang diperbolehkan baik berdasarkan regulasi yang ada tanpa mengabaikan
prinsip syariah untuk meningkatkan MMQ di masa yang akan datang.
4. Kesiapan Perbankan Syariah Dalam Implementasi MMQ
a. Antisipasi Perbankan Syariah dalam implementasi MMQ.
Pengertian penerapan prinsip kehati-hatian perbankan harus
ditafsirkan secara baik dengan melakukan inovasi-inovasi, khususnya
pengembangan sumber daya manusia yang profesional memahami prinsip
syariah. Mispersepsi terhadap akad-akad syariah , termasuk MMQ yang
berbasis profit loss sharing based yang dapat berujung pada kerugian ,masih
ditafsirkan sebagai pelanggaran prinsip kehati-hatian. Perbankan syariah
perlu mengantisipasi dan meminimalisasi potensi kerugian dengan
melakukan beberapa hal :
Pertama, Menyiapkan sumber daya manusia yang secara komprehensif
memahami prinsip dan mekanisme MMQ dan Teknologi Informasi. Sumber
daya manusia dan teknologi informasi merupakan infrastruktur yang strategis
yang akan mempengaruhi keberhasilan pengembangan produk perbankan
syariah, khususnya MMQ sebagai alternatif pembiayaan pemilikan rumah.
Pola pembiayaan perumahan selama bertahun-tahun menggunakan pola
perjanjian KPR berbasis pada utang piutang, sedangkan MMQ menggunakan
pola saling menanggung untung dan rugi, sehingga benar2 diperlukan
ketelitian dan kehandalan SDM dalam menghitung porsi kepemilikan bank
dan nasabah terhadap aset MMQ. disamping itu, kuantitas dan kualitas SDM
yang handal dan profesional akan menghasilkan pengembangan produk yang
sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
Kedua, Pengelolaan risiko sesuai dengan regulasi manajemen risiko,
khususnya risiko hukum. Hal ini perlu diantisipasi mengingat banyak aspek
yuridis yang memerlukan penyelesaian baik dalam tataran praktis maupun
teoritis. Kepemilikan bersama atas aset MMQ akan berpotensi menimbulkan
sengketa apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi. Kesulitan untuk
mengeksekusi objek MMQ apabila terjadi wanprestasi harus diberikan jalan
keluar dalam kontrak/akad berdasarkan prinsip syariah yang disepakati oleh
para pihak. Eksekusi objek tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan pihak lain,
mengingat sebagian objek MMQ adalah milik nasabah. Hal ini berbeda dengan
Kredit pemilikan rumah, dimana rumah objek KPR wajib menjadi jaminan
utang nasabah debitur kepada kreditur. Dalam hal debitur wanprestasi, maka
Bank selaku pemegang jaminan kebendaan (hak tanggungan) memiliki parate
eksekusi untuk mengambil pelunasan utang.
Ketiga,Partisipasi aktif bank sebagai pemilik aset/sebagian aset MMQ.
Perbankan perlu mengubah posisi dari kreditur dalam KPR menjadi mitra
nasabah, oleh karena itu bank dalam memberikan pembiayaan melalui MMQ
perlu memberikan penjelasan dan pemahaman yang benar pada nasabah
tentang skema MMQ yang berbasis kemitraan, sehingga kedudukan hukum
para pihak bukanlah dalam posisi kreditor dan debitur. Konsekuensinya
B. Kesiapan Hukum Perbankan Syariah untuk mendorong
pengembangan produk
Berbeda dengan kredit perumahan yang ditawarkan oleh perbankan
konvensional, akad MMQ bertumpu pada kerja sama antara Bank Syariah dan
nasabah dalam bentuk kepemilikan bersama atas objek akad, yang porsinya
akan semakin menurun pada Bank seiring dengan pembelian porsi (hishshah),
sehingga pada akhir akad porsi kepemilikan nasabah akan menjadi 100
persen. Kelebihan akad MMQ adalah kepastian kepemilikan bagi nasabah dan
kepatuhan terhadap prinsip syariah yang melarangriba.Di sisi lain, akad MMQ
membutuhkan dukungan regulasi yang komprehensif untuk mengantisipasi
kendala dalam praktik.
1. Pengaturan yang masih bersifat sporadis
Regulasi yang menjadi landasan bagi keberadaan produk MMQ tersebar
dalam berbagai aturan, baik yang secara khusus mengatur tentang aktivitas
perbankan syariah maupun aturan konvensional yang masih menjadi rujukan
dalam aktivitas perbankan syariah, seperti KUHPerdata, Hukum Jaminan dan
Hukum Pajak. Kepemilikan bersama atas objek MMQ misalnya akan
bersentuhan dengan Buku II KUHPerdata tentang konsep kepemilikan,
sedangkan Hak Tanggungan memerlukan penghalusan hukum agar dapat
memfasilitasi kepentingan Bank dan nasabah terhadap objek MMQ yang
dijaminkan. Hukum jaminan tidak dapat diterapkan secara bulat, mengingat
penjaminan dalam MMQ berkaitan dengan benda milik bersama, sedangkan
Hak Tanggungan berbicara tentang benda milik debitur untuk kepentingan
kreditor. Oleh karena itu diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi regulasi,
atau setidaknya ketentuan khusus untuk mengakomodasikan aktivitas
perbankan syariah, khususnya bagi pengembangan produk. Di masa depan,
ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah seharusnya memiliki landasan
hukum yang kokoh berdampingan dengan konvensional.
2. Pengawasan kepatuhan terhadap prinsip syariah.
Selain kendala regulasi yang masih belum harmonis, diperlukan
pengawasan terintegrasi, mengingat semakin dinamisnya perekonomian dan
keuangan global, serta semakin terintegrasinya produk dan aktivitas di sektor
keuangan, sehingga kebijakan pengaturan dan pengawasan sektor jasa
keuangan harus terus diperkuat agar tetap relevan untuk menjawab
perubahan yang terus terjadi, menciptakan fairness untuk pelaku industri,
serta lebih harmonis dalam pengaturan yang bersifatcross sectoral.10
Pengawasan terintegrasi ini diharapkan dapat menurunkan potensi
risiko sistemik kelompok jasa keuangan, mengurangi potensi moral hazard,
mengoptimalkan perlindungan konsumen jasa keuangan dan mewujudkan
stabilitas sistem keuangan.11 Pengawasan terhadap Bank Syariah/LKS pada
prinsipnya sama dengan perbankan konvensional, dengan penambahan pada
aspek penilaian terhadap kepatuhan bank syariah dalam penerapan prinsip
syariah. Tujuan pengawasan terhadap bank syariah untuk memastikan bahwa
Bank Syariah dikelola secara sehat dan mematuhi prinsip manajemen risiko
dan tatakelola yang baik (good corporate governance)12 serta mematuhi
peraturan perundang-undanagn yang berlaku, termasuk pemenuhan prinsip
syariah.
Adapun prinsip pengawasan perbankan syariah , dapat diartikan sebagai
berikut :13 (a) tidak dimaksudkan untuk menggantikan manajemen bank
dalam mengambil Otkeputusan bisnis; (b) tidak dimaksudkan untuk
10 Otoritas Jasa Keuangan,Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019, Departemen
Perbankan Syariah-OJK, 2016, hlm.27
11 Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia 2016, Departemen Perizinan dan
Informasi Perbankan-OJk, MAret 2016, hlm. 77.
12 Lihat Peraturan BAnk Indonesia No : 11/33/PBI/2009 Tentang Pelaksanaan Good
menjamin bahwa bank tidak akan bangkrut; (c) bukan untuk mencegah atau
melarang bank mengambil risiko bisnis dari kegiatan operasionalnya yang
diperbolehkan; (d) dalam aspek makro perbankan, otoritas pengawasan bank
tidak dimaksudkan untuk menciptakan distorsi terhadap iklim persaingan
pasar, dan tidak untuk memaksakan bank untuk melakukan kebijakan
moneter dan pembiayaan tertentu.
Berkenaan dengan pengawasan ini, dilakukan strategi pengawasan
berdasarkan kepatuhan ( compliance based supervision) dan pengawasan
berdasarkan risiko ( risk based supervision). Dimaksudkan dengan
pengawasan berdasarkan kepatuhan adalah menekankan pemantauan
kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkait
dengan operasi dan pengelolaan bank untuk memastikan bahwa bank telah
beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip kehati-hatian,
sedangkan pengawasan berdasarkan risiko berorientasi ke depan (forward
looking). pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-risiko
yang melekat. Sejalan dengan pengawasan, maka perijinan terhadap
pengembangan produk perbankan syariah menjadi relevan guna melindungi
masyarakat dari produk yang belum atau tidak sesuai dengan prinsip syariah.
perijinan produk perbankan syariah ini dapat mencakup perijinan produk
baru , yang belum tercatat dalam kodifikasi produk perbankan syariah.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan hukum sebagaimana diuraikan sebelumnya,
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :Pertama,Produk MMQ dapat
dikembangkan sebagai alternatif pembiayaan perumahan berdasarkan
prinsip syariah, namun masih memerlukan dukungan regulasi yang
terintegrasi dan komprehensif. Dalam praktik , perbankan syariah masih
kesiapan Sumber daya insani dan teknologi informasi ; regulasi dan
pemahaman masyarakat yang belum baik.
Kedua, Regulasi yang menjadi landasan hukum bagi pengembangan
produk MMQ masih bersifat parsial dan belum kokoh. Masih banyak regulasi
konvensional yang dirujuk sebagai dasar hukum, namun dalam praktik
menimbulkan benturan dengan karakteristik MMQ.
B. Saran
Pertama, Diperlukan harmonisasi dan penafsiran hukum positif yang
tepat untuk mengakomodasikan karakter MMQ, khususnya berkaitan dengan
kepemilikan bersama atas rumah dan tanah (co-ownership). Kedua,
Diperlukan sosialisasi berkelanjutan untuk memberikan pemahaman yang
komprehensif kepada masyarakat tentang produk MMQ. Ketiga, Diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867)
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253)
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Keputusan DSN-MUI Nomor 01/DSN-MUI/X/2013 Tentang Pedoman
Imlementasi Musyarakah Mutanaqisah Dalam Produk Pembiayaan.
Surat Edaran OJK Nomor 24 /SEOJK.03/2015 Tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Fatwa DSN Nomor 09/DSN-MUI/VI/2000 Tentang Ijarah
Fatwa DSN Nomor 27/DSN-MUI/III/2003 Tentang Al- Ijarah al- Muntahiyah bi al-Tamlik.
Fatwa DSN Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang Ganti Rugi ( Ta’widh)
Fatwa DSN Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah Mutanaqisah
Fatwa DSN Nomor 85/DSN-MUI/XII/2012 Tentang Janji (Wa’d) Dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah.
Keputusan DSN-MUI Nomor 01/DSN-MUI/X/2013 Tentang Pedoman Implementasi Musyarakah Mutanaqisah Dalam Produk Pembiayaan
B. Artikel dan Jurnal
Otoritas Jasa Keuangan,Indonesia’s Economy And The Prospect for Banking Industry in 2016, 2015.
Otoritas Jasa Keuangan,Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019,
Departemen Perbankan Syariah - OJK, 2016
Otoritas Jasa Keuangan,Booklet Perbankan Indonesia 2016, Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan-OJK, Maret 2016
Otoritas Jasa Keuangan,Slide Presentasi Modul Training of Trainers Keuangan Syariah, 2016