• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI ASETISME KE ZUHD Reorientasi Makna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DARI ASETISME KE ZUHD Reorientasi Makna"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1 | P a g e

DARI ASETISME KE ZUHD (Reorientasi Makna Zuhd dalam Islam)

Oleh: Mu’ammar Zayn Qadafy, M. Hum.1

Abstrak

Selama ini, ‚zuhd‛ telah salah-kaprah diterjemahkan

dengan asetisme. Kesalahan ini disebabkan oleh kegagalan umat Islam memahami kehidupan para sufi, pemahaman yang parsial terhadap teks-teks agama tentang zuhd dan sejarah Islam yang tidak dibaca secara kontekstual. Implikasinya, alih-alih sebagai konsep luhur tentang pemusatan obsesi kepada Tuhan, zuhd lebih sering dikonotasikan sebagai pandangan anti kemapanan. Artikel ini ditulis untuk mendeskripsikan dua terminologi di atas (zuhd dan asetisme) dalam kaitannya dengan paradigma

umat Islam tentang ‚hidup miskin‛.

Melalui kajian historis, tulisan ini menyimpulkan bahwa di antara kedua terminologi di atas terdapat perbedaan yang mendasar. Pertama, dalam asetisme, pola hidup ‚serba

kekurangan‛ menjadi satu-satunya standar, sedang dalam

zuhd, hal tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja; Kedua, asetisme menekankan pada sikap seseorang menjaga jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan zuhd menekankan pada proses penemuan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi dari apa yang disediakan oleh dunia tanpa harus meninggalkannya, karena dalam definisi zuhd, terkandung makna mentalitas hati untuk merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Tidak seperti pelaku asetisme, seorang za>hid juga tidak perlu tidak perlu mengasingkan diri dari posisinya sebagai makhluk sosial.

Konsep zuhd layak diaktualisasikan ke dalam konteks kekinian umat Islam dalam kaitannya untuk memberantas kemiskinan. Mindset umat Islam yang pada awalnya menganggap zuhd sebagai sesuatu sikap yang pasif harus diubah menjadi pola zuhd aktif yang mencerahkan, baik untuk masyarakat desa maupun perkotaan.

Keywords: Zuhd Aktif, Asetisme Pasif, Tafsir Teks-Teks Keagamaan

1

Penulis Adalah dosen al-Qur’an dan Hadith di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah

(2)

2 | P a g e

A. Kemiskinan Yang Diatasnamakan Agama

Ketertinggalan umat Islam –khususnya di Indonesia- dalam hal kemapanan ekonomi2 perlu ditinjau dari berbagai sudut pandang. Salah satunya dari pemahaman-pemahaman relijius yang mempengaruhi pandangan komunitas muslim di Indonesia tentang hakikat kekayaan dan kemiskinan. Tidak sedikit yang mengatakan bahwa kemiskinan umat Islam di Indonesia disebabkan oleh paradigma anti kemapanan yang teraktualisasikan –secara teoretik dan praktik- dalam konsep ‚zuhd‛.

Konsep luhur tentang zuhd, jika disalahpahami, rawan untuk dijadikan alibi apologis bagi seorang muslim yang secara ekonomi belum mapan. Pada titik ini, zuhd bukan berarti penolakan total terhadap dunia. Zuhd telah menjadi tempat pelarian yang nyaman bagi sekelompok orang yang gagal bertahan dan bersaing di kehidupan duniawi. Pada akhirnya, zuhd pasif tersebut berpotensi mengurung etos kerja seseorang yang terlanjur miskin, sehingga sulit baginya untuk bangkit dari kemiskinannya3. Dengan demikian, adagium-adagium yang masyhur di masyarakat muslim seperti ‚nrimo ing pandhum‛ (menerima apa yang telah diberikan Allah) dan ‚urip moloikatan‛ (hidup seperti malaikat), di satu sisi mampu mendorong tumbuhnya sikap sabar menghadapi kemiskinan, di sisi lain berpotensi membentuk pribadi yang pasif dan apatis dalam bekerja.

Dengan kata lain, Zuhd seringkali diasosiakan dengan ‚hidup sangat

sederhana‛, ‚hidup tanpa dunia‛ atau ‚hidup menderita‛. Padahal, dalam definisi

2

Pada 1978, Bank Dunia merilis laporan bahwa dalam 132 juta penduduk Indonesia saat

itu, 72 juta jiwa dalam keadaan miskin. Dari 1976 hingga 2000, angka kemiskinan di Indonesia

berubah-ubah. Jumlah penduduk miskin pada 1998 adalah 29,5 juta orang atau 24,2% dari total penduduk Indonesia. Lihat: Siahaan N. H.T; Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan

(Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 83-84.

3 Etos kerja, dalam teori kemiskinan, termasuk kedalam kategori individual explanation,

(3)

3 | P a g e

zuhd, terkandung makna kompleks yang lebih dari sekedar kemiskinan lahiriah saja. Ada beberapa hal yang membentuk kesalahpahaman umat Islam tentang makna zuhd, sehingga kebanyakan dari mereka menyamakan arti zuhd dengan perilaku asetis (dalam bahasa Inggris: asceticism) -padahal keduanya memiliki perbedaan yang fundamental-. yaitu:

Pertama, kesalahan umat Islam memahami kehidupan para sufi, figur-figur yang dianggap memelopori aplikasi zuhd dalam kehidupan nyata. Dalam diskursus ilmu tasawuf, ada dua istilah kunci: zuhd dan faqr. Yang pertama adalah langkah awal seorang sufi untuk mendekat dan ‚bersatu‛ dengan Allah.

Yang kedua adalah manifestasi maqam tertinggi melalui fana>’ dan baqa>’ yang dialami seorang sufi. Dua konsep ini memunculkan stigma bahwa setiap ahli tasawuf adalah anti dunia dan anti peradaban. Lebih jauh, gerakan keruhanian mereka –oleh para pemikir belakangan- dipandang sebagai sumber kemunduran dan keterbelakangan Islam4.

Padahal, sejarah Islam Indonesia menunjukkan bahwa para sufi berperan aktif dalam penyebaran Islam di nusantara pada abad ke-13 sampai abad ke-17. Dalam hikayat-hikayat Melayu, mereka disebut darwish, sedang dalam babad Jawa, mereka kerap disebut wali. Di antara para sufi tersebut ada yang berdagang, menjadi tabib, perajin, pengusaha kapal, guru bela diri dan lain sebagainya. Sebagian mereka berperan secara aktif mendirikan pesantren, seperti misalnya Hamzah Fansuri serta para wali di Jawa seperti Sunan Bonang dan Sunan Giri.5

Kedua, pemahaman yang parsial terhadap teks-teks hadith tentang keutamaan zuhd dan ciri-ciri pelakunya. Di antara Nas}-nas} mengenai keutamaan zuhd adalah hadith yang menyebutkan bahwa orang yang bersikap zuhd terhadap

4 Abdul Hadi W. M., Zuhd dan Faqr dalam Pemikiran Hamzah Fansuri dan Ayatullah

Khomeini, dalam www.al-shia.org diakses tanggal 8 September 2014.

5 Bahkan, Sarekat Dagang Islam yang kemudian bernama Sarekat Islam (SI) adalah

(4)

4 | P a g e

dunia dianggap memiliki kebijaksanaan (yulqi> al-h}ikmah)6. Tentang siapa yang termasuk ahli zuhd, sebuah riwayat lain dari ‘Ali> Ibn Abi> T}a>lib menyebutkan, ketika turun al-Muja>dalah: 127 yang menganjurkan orang-orang mukmin memberikan sedekah pada orang-orang miskin, Rasul bertanya kepada Ali apakah ia memiliki satu dinar untuk disedekahkan. ‘Ali menafikannya karena ia hanya

memiliki secuil emas (sha’i>rah min dhahab). Rasul lalu mengatakan kepada ‘Ali: ‚innaka lazahi>d‛ (sungguh kamu adalah orang yang zuhd).8 Hadith-hadith semacam ini, jika tidak disandingkan dengan hadith-hadith lain lalu dimaknai secara kontekstual dapat dislahpahami sebagai legitimasi makna miskin dalam definisi zuhd.

Ketiga, sejarah Islam yang dibaca dengan tidak lengkap. Dalam kitab-kitab klasik tentang zuhd, tak hanya perilaku pelaku zuhd yang hidup miskin dan serba kekurangan saja yang disebutkan, melainkan juga kisah-kisah lain tentang pertobatan dan penyesalan para za>hid, sikap mereka yang senantiasa tawa>dhu’

dengan menjaga lisan dan perbuatan, serta bagaimana mereka setiap malam menyibukkan diri dengan ritual-ritual ibadah. Karenanya, sangat riskan, jika kisah-kisah para za>hid yang miskin saja yang popular di masyarakat kita.

Di antaranya adalah riwayat Muja>hid tentang ‘Isa> A.S. yang hanya makan

dari apa yang disediakan pepohonan (ya’kulu al-shajar), memakai pakaian seadanya, tinggal di sembarang tempat, dan tidak pernah menyimpan makanan untuk esok hari9. Lalu cerita Anas bin Ma>lik tentang ‘Umar Ibn al-Khat}t}a>b yang di kesehariannya memakai kain sejenis sarung dengan 14 tambalan dari kulit

6 Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th al-Shari>f (Solo:

Ridwana Press, 2007), hadith ke- 4091.

7

اةً َ َ َ اْ ُا َ ْ َ ا ْ َ َ اَ ْ َ ا ُ ِّ َ َ اَل ُ لَّذِلم اْ ُ ْ َ َ ا َ إِ ا ُ َ ٓ اَي ِلَّذِا ا َيُّهَ أَ اَ

8 Al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi>, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>thhadith

ke-3222.

9 Abu> H}a>tim al-Ra>zi>, al-Zuhd, dalam DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah, (Solo:

(5)

5 | P a g e

hewan yang di-sama’10. Belum lagi cerita-cerita tentang Muh}ammad yang oleh

‘Amr Ibn al-‘A>s} disebut sebagai azhad al-na>s fi> al-dunya> (baca: manusia yang

paling zuhd terhadap dunia), sedangkan orang Islam selain Nabi, disebutnya sebagai arghob al-na>s fi>ha> (baca: manusia yang paling tidak zuhd terhadap dunia)

11. ‘A>ishah misalnya, menceritakan sosok Nabi yang tidur hanya beralaskan kulit

hewan12. Paparan di atas menjelaskan pentingnya peninjauan ulang, apakah benar jika zuhd dialih-bahasakan sebagai asetisme. Makalah ini akan membahas hal tersebut serta relevansinya dengan kondisi sosial ekonomi umat Islam di zaman sekarang.

B. Asetisme Vis a Vis Zuhd: Kajian Historis

Merriam Webster, dalam Encyclopedia of World Religions mendefiniskan asetisme sebagai ‚The practice of the denial of physical or psychological desires

in order to attain a spiritual ideal or goal.‛ 13 (Praktik menghilangkan hasrat fisik

maupun psikologis untuk mencapai tujuan spiritual). Dari definisi di atas, ada dua makna kunci yang bisa ditangkap: (1) praktek pengendalian diri seseorang

dari ‚kesenangan duniawi‛ secara fisik maupun psikologis, dan (2) adanya

keyakinan dalam diri pelakunya bahwa perilaku yang ia lakukan merupakan bagian dari ajaran agama/keyakinannya.14

Makna ini berbeda dengan asal arti kata Asetisme yang dalam bahasa Yunani disebut ascesis yang berarti ‚gaya hidup yang sangat teratur (ketat/

10 Abu> Da>wu>d al-Sajasta>ni>, al-Zuhd, dalam DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah…, hal.

59.

11 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ah}mad, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith

ke-17105.

12 Abu> Da>wu>d al-Sajasta>ni>, al-Zuhd…, hal.14.

13 Merriam Webster, Merriam Webster’s Enclyclopedia of World Religions¸ (Springfield:

Merriam-Webster, 1999), hal. 80.

14 Dalam The Oxford Dictionary of World Religions disebutkan: ‛it’s the practice of

(6)

6 | P a g e

disciplined lifestyle) baik lahir maupun batin‛. Dalam tradisi Yunani kuno, kata ascesis sering dipakai untuk menyifati salah satu dari dua golongan: atlit dan filosof. Para atlit disebut Asetik karena mereka sangat keras berlatih untuk mempersiapkan sebuah kompetisi tertentu. Sedang para Filosof, disebut

demikian karena dalam usaha mencari ‚kebijaksanaan‛, mereka secara kontinyu

menghabiskan banyak waktu untuk merenung dan menjauhi banyak pekerjaan yang menurut mereka tidak lebih penting dari kontemplasi- kontemplasi yang telah menjadi kebiasaan mereka.15

Dalam tradisi–tradisi peradaban kuno, Asetisme seringkali dipraktikkan dengan cara yang ekstrim. Pelakunya memisahkan diri dari kehidupan bermasyarakat, pergi menuju hutan, gua atau tempat terpencil lain untuk melakukan meditasi. Dalam proses meditasi tersebut, mereka kerap mengabaikan urusan - urusan sehari – hari seperti makan dan minum. Tradisi Jawa mengenal istilah semedhi atau tapa bratha yang berarti praktik menjauh dari keramaian dunia untuk meditasi, mencari wangsit dan lain sebagainya16.

Tradisi beberapa agama mengamalkan pola asetis yang seperti itu. Di dunia Hindu, ada istilah pravrajya yang digunakan untuk menyebut seseorang yang meninggalkan rumahnya untuk mencari ketenangan batin. Juga Yoga yang sekarang mulai marak dilakukan orang-orang yang tidak beragama Hindu sekalipun. Yoga pada awalnya, adalah perilaku Asetik seorang pemeluk agama Hindu untuk bermeditasi, mengosongkan pikiran mereka dari keinginan–

keinginan duniawi. Sedang dalam tradisi Kiristen, Asetisme dapat dilihat dari perilaku beberapa penganutnya yang memilih jalan hidup yang ekstrim, yaitu dengan menghabiskan waktunya untuk berpuasa, berdoa, dan bahkan rela untuk tidak menikah17. Jadi, bisa disimpulkan bahwa asetisme merujuk pada perilaku

15 Elizabeth M. Dowling and W. George Scarlet (ed.), Encyclopedia of Religious and

Spiritual Development (London: Sage Publications, 2006), hal. 15.

16 Baca: Jonathan Z. Smith (ed,) The Harpercollins Dictionary of Religion, (San

Fransisco: HarperCollins Publisher, tt), hal. 81.

(7)

7 | P a g e

hidup yang menjaga jarak dari dunia dengan sebisa mungkin tidak mengejarnya. Itu karena pelaku hidup asetis memiliki keyakinan bahwa dunia akan menjauhkan mereka dari tujuan hidup yang hakiki.

Adapun Zuhd, secara bahasa berarti ‚mencegah (man’)‛18. Menurut Ibn Manz}u>r, zuhd atau zaha>dah adalah terminologi khusus yang hanya dipakai dalam

lingkup ‚ke-beragama-an‛. Secara terminologis, zuhd bermakna ‚tidak

membutuhkan hal-hal duniawi‛ sebagai lawan dari kata ‚cinta dan tamak

terhadap dunia (al-raghbah wa al-h}ars} ‘ala> al-dunya>)19. Dengan makna demikian, pengarang kitab Lisa>n al-‘Arab mengkonotasikan zuhd dengan ‚kemiskinan‛.

Pendapat ini berdasarkan sebuah hadith yang memaknai al-muzhid (orang yang zuhd) dengan al-qali>l al-ma>l (orang yang sedikit hartanya)20.

Telah diuraikan sebelumnya, bahwa terminologi zuhd, mulai dikenal secara masif dalam tradisi Islam, pasca muncul dan berkembangnya gerakan sufi yang menelurkan konsep zuhd bersandingan dengan konsep faqr. Gerakan sufi muncul pada akhir abad pertama Hijriah, sebagai reaksi atas pola hidup mewah para khalifah dan keluarganya serta para pembesar negara yang merupakan dampak dari kekayaan yang diperoleh oleh umat muslim dalam pembebasan negeri–negeri suriah, Mesir, Mesopotamia, dan Persia. Golongan ini terdiri dari orang–orang yang rindu untuk kembali pada kehidupan sederhana yang ditunjukkan oleh Nabi dan sahabat–sahabatnya. Muncul di Kufah dan Basrah, tokoh-tokoh sufi seperti Hasan al-Bas}ri, Rabi>’ah al-‘Adawiyyah dan Sufyān al-Thawri>.21

Lalu, meluasnya ajaran sufi beserta konsep zuhd dan faqr nya, oleh beberapa ahli sejarah dikaitkan dengan paradigma sosial masyarakat muslim

18 al-Thāhir ahmad al-Zāwi, Tartib al-Qāmūs al-Muhith juz 2, (Riyādh: Dār ‘Alam al

-Kutub, 1996), hal. 484.

19 Muh}ammad Ibn Mukrim Ibn Mand}u>r, Lisa>n al-‘Arab, (Beirut: Da>r S}a>dir, tt), vol. 3,

hal. 196.

20Ibid.

(8)

8 | P a g e

yang mengalami pergeseran fundamental pasca diserbunya peradaban Islam oleh tentara Salib dari Barat dan tentara Mongol dari Timur. Penyerbuan ini meluluh-lantahkan perpustakaan-perpustakaan dan observatorium milik umat Islam. Sebagai reaksinya, umat Islam mundur ke pedalaman sembari melakukan perlawanan dari zawiyyah-zawiyyah dan khanaqah-khanaqah kaum sufi dan mengikuti tarekat-tarekat yang berkembang di sana. Itulah sebabnya, ketika peradaban Islam bangkit kembali, warna dasarnya telah berubah dari peradaban Islam yang pada awalnya rasional-relijius menjadi peradaban yang mitis-relijius22.

Komparasi historis terhadap makna asetisme dan zuhd di atas memberikan beberapa kesimpulan penting mengenai kesamaan dan perbedaan dua istilah tersebut. yaitu: (1) baik zuhd maupun asetisme, sama-sama

terkandung di dalamnya makna ‚menjadi miskin‛. Tetapi, jika dalam asetisme,

berperilaku ‚sangat sederhana‛ bahkan ‚serba kekurangan‛ menjadi satu-satunya

tolok ukur, dalam zuhd, hal tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja; (2)

ditinjau dari sejarahnya, keduanya memiliki makna ‚menjauhi dunia‛ tetapi

dengan penekanan yang berbeda. Dalam asetisme, lebih ditekankan pada usaha untuk menjaga jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan dalam zuhd, penekanannya pada usaha untuk menemukan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi dari apa yang bisa didapat dari dunia tanpa harus meninggalkannya.

Kesimpulan ini sekaligus menjawab pertanyaan tentang korelasi zuhd dengan kehidupan bersosial. Karena esensi zuhd adalah peniadaan perhatian kepada selain-Nya untuk semata-mata fokus kepada-Nya tanpa harus mengacuhkan sisi kemanusiaan pelakunya, seorang za>hid, dengan demikian, tidak perlu mengasingkan diri dari posisinya sebagai makhluk sosial. Ini sepenuhnya berbeda dengan asetisme yang pelakunya menarik diri dari interaksi sosial dengan manusia lain.

22 Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung:

(9)

9 | P a g e

C. Zuhd dalam al-Qur’an dan Hadith: Dari Asetisme Pasif ke Zuhd Aktif

Untuk memperkuat kesimpulan pada pembahasan sebelumnya, akan dilakukan pembacaan terhadap makna zuhd dalam teks-teks keagamaan. Dalam

al-Qur’an, istilah zuhd hanya dipakai satu kali pada Yu>suf: 20 dalam bentuk

al-za>hidi>n dalam frasa wa sharawhu bithaman bakhsin dara>hima ma’du>dah wa ka>nu> fi>hi min al-za>hidi>n (dan mereka menjual Yu>suf dengan harga yang murah. Yaitu beberapa dirham saja. Dan mereka tidak tertarik hati kepadanya)23. Ada dua versi

tafsir untuk yang dimaksud ‚mereka‛ dalam ayat ini. Menurut Ibn ‘Abba>s,

Muja>hid dan al-Dhah}h}a>k, yang juga dibenarkan oleh Ibn Kathi>r, yang dimaksud

‚mereka‛ adalah para saudara Yu>suf. Sedangkan menurut Qata>dah, yang

dimaksud adalah para kafilah yang menemukan Yu>suf di dalam sumur. Dalam hal ini, pendapat yang pertama lebih masuk akal, karena para kafilah nampaknya girang ketika pertama kali mereka menemukan Yu>suf, hingga mereka berkata ‚ya>

bushra> ha>dza> ghula>m‛24. Para saudara Yu>suf tidak menaruh simpati padanya

karena mereka belum memgetahui kenabian dan kedudukannya yang mulia di sisi Allah25.

Pada ayat al-Qur’an ini, kita mendapati makna Zuhd yang masih umum,

yaitu ‚ketidak tertarikan‛ atau ‚ketidak perdulian‛ pada sesuatu. Dalam hadith,

juga bisa ditemukan zuhd dalam artinya yang umum. Misalnya sebuah hadith

dari Ibn ‚Abba>s yang memakai redaksi ‚lialla> tazhadu> fi> al-H}arb‛ untuk merujuk

pada orang-orang yang bermalas-malasan dalam berperang26. Sebagaimana dapat ditemukan pula dalam h}adi>th, penggunaan kata zuhd dalam makna khusus (baca: tidak tertarik terhadap dunia). Berbeda dengan al-Qur’an yang hanya

menyebutkan kata zuhd satu kali dengan satu variasi kata saja, hadith Nabi

23 Muh}ammad Bassa>m Rushdi> al-Zayn, al-Mu’jam al-Mufahras li Ma’a>ni> al-Qur’a>n al

-‘Azi>m, (Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>s}ir, 1995), vol. 1, hal. 545.

24 Isma’i>l Ibn ‘Umar Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, (Beirut: Da>r T}ayyibah,

1999), Vol. 4, hal. 377.

25Ibid.

26

(10)

10 | P a g e

menyebutkan beberapa sifat seorang zahi>d dengan memakai beberapa istilah: al-muzhid, al-za>hid, yuzahhiduha>, zahida, zahidna>, zuhd, yazhadu>na, tuzahhidu, azhadu, dan la> tazhadanna. Pengkajian terhadap nas}-nas{ di atas akan dilakukan untuk menemukan makna zuhd yang komprehensif, yang tidak terbatas hanya

pada makna ‚kemiskinan‛ atau ‚anti dunia‛ saja.

Dalam definisi zuhd, terdapat pengertian ‚tidak memperdulikan dunia,

meskipun pada hakikatnya memiliki‛. Abu> Hurairah meriwayatkan:

ا ِبِأَ اْيَعا ِّ ِئ لَّذِطم ا ٍد َ ِزاْيَعا ِتلَّذِ لَّذِزم اَةَزْ َحَاْيَعاٍلْي َضُ اُيْباُ لَّذِمَحُ ا َنَثلَّذِ َحا ٍبْ َلُكا ُ أَ ا َنَثلَّذِ َح

kami ketika bersama denganmu, bergetar hati kami, kami merasa tidak butuh dunia dan kami menjadi ahli akhirat. Lalu ketika kami pergi dari hadapanmu, keluarga dan anak-anak kami memenuhi pikiran kami sehingga kami mengingkari diri kami sendiri?...‛

Ada dua hal yang bisa ditarik dari pertanyaan Abu> Hurairah di atas. pertama, dunia yang dijauhi oleh zuhd tidak ‚melulu‛ harta. Keluarga, istri

bahkan anakpun termasuk ke dalam definisi dunia yang harus dilupakan ketika seseorang memilih untuk bersikap zuhd. Kedua, ‚tidak menghiraukan dunia‛

bukan berarti tidak mencari dan tidak memilikinya. Karena para sahabat mestilah memiliki keluarga meskipun mereka bersikap zuhd terhadap keluarganya.

Jika dikaitkan dengan harta, bersikap zuhd tidak berkaitan dengan mencari harta tersebut atau tidak. Seorang za>hid tetap mencari harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi harta tersebut bukan menjadi satu-satunya tujuan hidupnya. Ini juga berarti bahwa seorang za>hid tidak harus membenci

dunia. Ia malah harus bersikap ‚biasa saja‛ tentang harta yang ia miliki. Dalam

konteks ini, benarlah adagium dari para ulama’ yang mengatakan: ‚al-za>hid

h}aqqan la> yadhummu al-dunya>, wa la> yamdah}uha>, wa la> yanz}uru ilayha>, wa la>

yafrah>u biha> idha> aqbalat, wa la> yah}zan ‘alayha> idha> adbarat‛ (seorang za>hid

sejati tidak membenci dunia, tidak pula memujanya. Ia tidak menjadikan dunia

27 Al-Tirmidhi>, Sunan al-Tirmidhi>, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-

(11)

11 | P a g e

orientasi hidupnya, tidak senang apabila dunia mendatanginya, pun pula tidak sedih jika dunia meninggalkannya)28.

Adagium di atas senada maknanya dengan al-H}adi>d: 2329 yang menegaskan bahwa kondisi mental orang-orang beriman seharusnya tidak terpengaruh dengan datang atau hilangnya kenikmatan dunia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Termasuk dalam definisi zuhd dengan demikian adalah jika seseorang tidak terlalu bersedih hatinya jika ia mendapatkan musibah dari Allah (al-H}adi>d: 2230). Dalam hadith lain tentang ziyarah kubur, Rasul menyebutkan:

‚kuntu nahaytukum ‘an ziya>rah al-qubu>r fazu>ru>ha> fa innaha> tuzhidu fi> al-dunya>

wa tudhakkiru al-a>khirah‛31. Jadi, istilah zuhd tidak serta merta harus berarti

‚menjauhi dunia‛, tetapi lebih kepada proses di mana seseorang tidak

menganggapnya sebagai orientasi utama kehidupannya.

Intinya, seorang Muslim yang bersikap Zuhd berusaha untuk

meninggalkan segala sesuatu yang menurutnya dapat menghalanginya dari Tuhan karena untuk bertemu sang Pencipta, dia harus lepas dari semua ciptaan-Nya. Ini bukan berarti bahwa seorang Zāhid harus miskin. Lebih dari itu, seorang Zāhid

bukanlah seorang yang ‚papa‛, tapi seorang Zāhid adalah seseorang yang

hidupnya terlepas dari keinginan–keinginan duniawi (The poor man is not he whose hand is empty of possesions, but he whose life is empty of desires) (orang miskin bukanlah orang yang tidak memiliki apa-apa di tangannya, tetapi orang miskin adalah yang tidak memiliki keinginan apa-apa)32.

Dalam definisi zuhd, terdapat makna mentalitas hati untuk merasa cukup

dengan apa yang dimiliki. Sebagaimana dalam hadith fi’li> berikut:

28al-Bayhaqi>, al-Zuhd al-Kabi>r, dalam DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah, vol. 1,

hal. 5.

29

لٍووكُ كَ

لٍااكَ يْ كُم

اللَّهُ كُا

بُّ كِ كُ

كَ

كُاللَّهُ كَ

يْ كُااكَتكَ

اكَمكِب

اوكُحكَريْفكَت

كَ كَ

يْ كُ كَتاكَ

اكَم

ىكَلكَع

ايْوكَسيْأكَت

كَ يْ كَ كِ

30

اكَهكَ كَريْيكَ

يْ كَ

كِ يْيكَ

يْ كِم

لٍااكَ كِا

يكِ

اللَّهُ كِ

يْ كُ كِ كُفيْ كَ

يكِ

كَ كَ

كِ يْوكَ يْاا

يكِ

لٍ كَي كِ كُم

يْ كِم

كَااكَ كَ

اكَم

31Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith ke-: 1560.

(12)

12 | P a g e

kalian dengan menyenangi apa yang Rasulullah malah menjauhinya. Kalian lalui hari-hari kalian dengan mencintai dunia padahal Rasulullah SAW mencukupkan diri darinya. Demi Allah, tidaklah berlalu satu malampun pada Rasulullah selama hidupnya, kecuali apa yang telah ada pada beliau hari itu, dirasanya lebih banyak dari yang ia butuhkan…‛.

Sampai di sini, kita mengetahui bahwa zuhd bukanlah sikap pasif

seseorang yang pasrah dengan ‚bagian dunia‛ yang memang tidak ia usahakan.

Zuhd bukanlah asetisme, karena pelaku asetisme dengan sengaja meninggalkan dunia. Sedangkan pelaku zuhd, tetap mencarinya namun tidak terobsesi atasnya. Dalam terminologi Islam, zuhd juga tidak ‚melulu‛ tentang harta, tetapi juga

tentang hal-hal keduniawian lainnya. Zuhd adalah mentalitas hati untuk merasa

cukup dengan apa yang dimiliki. Dengan demikian, pelaku zuhd bersikap aktif dan senantiasa berpikiran positif terhadap dunia, tidak malah pasrah dan bersikap apatis terhadapnya.

D. Aktualisasi Zuhd Aktif Dalam Pengentasan Kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. perlu dicatat bahwa masing-masing masyarakat memiliki cara pandangnya sendiri terhadap kemiskinan. Soerjono Soekanto membagi masyarakat dalam kaitannya dengan kemiskinan ke dalam tiga kategori: masyarakat miskin di desa, masyarakat miskin di kota, dan masyarakat urban yang miskin. Pada masyarakat pedesaan yang umumnya masih bersahaja organisasinya dan sederhana pola pemikirannya, kemiskinan bisa jadi bukan merupakan masalah sosial, karena

33 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ah}mad, dalam CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th…hadith

(13)

13 | P a g e

mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan, sehingga tak ada usaha-usaha memperbaikinya. Mereka tidak akan terlalu memikirkan kemiskinan tersebut kecuali apabila mereka menderita karenanya34.

Teori Soekanto ini sesuai dengan premis awal makalah ini yang mengandaikan segolongan masyarakat yang bersikap pasif dengan kemiskinan yang mereka alami. Pada masyarakat seperti ini, kemiskinan adalah bagian dari takdir yang harus diterima dan –lebih jauh- disyukuri. Hal tersebut sekilas tidak menjadi masalah karena masyarakat tersebut terlihat nyaman-nyaman saja dengan keadaan mereka. Tetapi, problemnya adalah bahwa kemiskinan, keadaan serba kekurangan dan jiwa sangat sederhana identik dengan pola kehidupan yang

‚tidak sehat‛, ‚rendah‛, dan ‚koproh‛ (atau meminjam istilahnya Nurcholis

Madjid ketika menganalisa kehidupan di Pesantren: gaya hidup yang sebenarnya merupakan manifestasi kegagalan dari mendapatkan sebuah kemapanan).35 Konsep zuhd aktif harus dikembangkan dalam masyarakat di atas dalam

kaitannya untuk menyadarkan bahwa ‚mencari dunia‛ bukanlah sesuatu yang

berlawanan dengan takdir, sekaligus tidak menunjukkan bahwa seseorang tidak menyukuri apa yang telah ia miliki.

Sedangkan pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problem sosial karena –berlawanan dengan masyarakat desa yang sederhana- mereka membenci kemiskinan. Seseorang di perkotaan tidak merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena harta yang ia punya dianggap tidak memenuhi standar hidup masyarakat kota. Di sana, sebuah keluarga dianggap miskin jika tidak memiliki sepeda montor, mobil, dan barang mewah lain. Barang-barang sekunder atau bahkan tersier dianggap sebagai barang primer untuk menentukan apakah orang tersebut miskin atau kaya36.

34

Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 406.

35 Lihat: Nurcholis Madjid, Bilik bilik Pesantren (Sebuah potret perjalanan),(Jakarta :

Penerbit Paramadina, 1997), hal. 100.

(14)

14 | P a g e

Pada masyarakat semacam ini, konsep zuhd seharusnya dikembangkan. Utamanya karena sifat zuhd memuat makna agar setiap individu merasa puas dengan apa yang telah ia miliki. Pada prinspinya, Islam tidak pernah melarang seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan dunianya, sebagaimana hadith-hadith yang mengesankan bahwa dunia itu penting. Tetapi, Islam juga mengingatkan –melalui konsep zuhd- kepada manusia agar tidak menjadikan dunia sebagai obsesi utama yang justru akan menjadikannya berat menghadapi hidup.

Kategori masyarakat miskin ketiga adalah masyarakat urban yang gagal bersaing dalam persaingan ekonomi di kota. Bagi mereka, pokok persoalan kemiskinannya secara sosiologis adalah tidak berfungsinya lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi. Dalam hal ini, apa yang telah dipaparkan mengenai pelaku zuhd yang sosial bisa diaktualisasikan. Pemerintah juga bisa mengaplikasikan zuhd aktif dengan cara mengaktifkan kembali lembaga-lembaga ekonomi di pedesaan yang mampu menjaring tenaga kerja, sehingga laju urbanisasi bisa ditekan.

Aktualisasi konsep zuhd untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan adalah bagian dari usaha agar Islam tidak menjadi ritual saja, melainkan mampu mempengaruhi semangat dan psikologi pemeluknya. Islam adalah proses ketaatan terhadap aturan Allah berkenaan dengan hubungan manusia dengan-Nya dan hubungan antar sesama manusia, baik dalam urusan domestik, politik, ekonomi, pendidikan, rekreasi, reproduksi, dan semua bidang yang secara bersama-sama menopang kehidupan bermasyarakat di muka bumi ini37.

E. Kesimpulan

Tidak tepat, jika ‚Zuhd‛ disamakan artinya dengan asetisme. Melalui kajian historis, tulisan ini menyimpulkan bahwa di antara kedua terminologi di atas terdapat perbedaan yang mendasar. Pertama, dalam asetisme, pola hidup

‚serba kekurangan‛ menjadi satu-satunya standar, sedang dalam zuhd, hal

37

Ilyas BA-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, terj.

(15)

15 | P a g e

tersebut hanya menjadi salah satu tanda saja; Kedua, asetisme menekankan pada sikap seseorang menjaga jarak dari kemewahan dunia. Sedangkan zuhd menekankan pada proses penemuan kebahagiaan sejati yang lebih tinggi dari apa yang disediakan oleh dunia tanpa harus meninggalkannya.

Di dalam nas}-nas} keagamaan (al-Qur’an dan hadith), kata zuhd kadang dipakai untuk merujuk makna ‚ketidak tertarikan‛ secara umum, kadang juga

digunakan untuk merujuk makna ‚ketidak tertarikan terhadap dunia‛ secara

khusus. Dunia yang dimaksud bukan hanya harta, melainkan juga keluarga, teman, kenikmatan-kenikmatan serta cobaan-cobaan di dalamnya. Arti yang kedua ini memiliki beberapa acuan, di antaranya: (1) tidak memperdulikan dunia bukan berarti tidak mencari dan memilikinya, (2) mentalitas hati untuk merasa

cukup dengan apa yang dimiliki, (3) mentalitas hati untuk tidak terlalu bahagia ataupun terlalu bersedih dengan datang dan perginya anugerah Tuhan.

Tiga hal di atas membentuk sebuah konsep mengenai zuhd yang aktif. Artinya, mengamalkan zuhd bukan berarti bersikap pasif dan apatis terhadap dunia, melainkan aktif untuk mencari kesejahteraan duniawi untuk tujuan ukhrawi yang lebih mulia. Zuhd harus dikembangkan dalam masyarakat Islam di pedesaan dalam kaitannya untuk menyadarkan bahwa ‚mencari dunia‛ bukanlah

(16)

16 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mahmud. Involusi Pendidikan Islam (Mengurai Problematika dalam perspektif Historis- filosofis). Yogyakarta: IDEA PRESS, 2006.

Bowker, John (ed.). The Oxford Dictionary of World Religions. New York: Oxford University Press, 1997.

CD RoM Mawsu>’ah al-H}adi>th al-Shari>f. Global Islamic Software, 2007.

Dowling, Elizabeth M. dan W. George Scarlet (ed.), Encyclopedia of Religious and Spiritual Development. London: Sage Publications, 2006.

DVD RoM al-Maktabah al-Sha>milah. Solo: Ridwana Press, 2007. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.

Hadi. Abdul. Zuhd dan Faqr dalam Pemikiran Hamzah Fanzsuri dan Ayatullah Khomeini, dalam www.al-shia.org

Hastings, James. Encyclopedia of Religion and Ethnics, volume II. New York: Morrison and Gibb Limited, tt.

Kathi>r, Isma’i>l Ibn ‘Umar Ibn. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Beirut: Da>r T}ayyibah,

1999.

Madjid, Nurcholis. Bilik – bilik Pesantren (Sebuah potret perjalanan). Jakarta : Penerbit Paramadina, 1997.

Mand}u>r, Muh}ammad Ibn Mukrim Ibn. Lisa>n al-‘Arab. Beirut: Da>r S}a>dir, tt.

N.H.T, Siahaan. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta:

Erlangga, 2004.

Saebani, Beni Ahmad dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Smith, Jonathan Z. (ed,) The Harpercollins Dictionary of Religion. San Fransisco: HarperCollins Publisher, tt.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995.

Suroyo dkk. Agama dan Kepercayaan Membawa Pembaruan. Yogyakarta:

(17)

17 | P a g e

Webster, Merriam. Enclycopedia of World Religions. Springfield: Merriam-Webster, 1999.

Yunus, Ilyas BA- dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat

Kontemporer, terj. Hamid Basyaih. Bandung: Penerbit Mizan, 1989.

al-Zāwi, al-Thāhir Ahmad. Tartib al-Qāmūs al-Muhith juz 2. Riyādh: Dār ‘Alam

al-Kutub, 1996.

al-Zayn, Muh}ammad Bassa>m Rushdi>. al-Mu’jam al-Mufahras li Ma’a>ni> al-Qur’a>n

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Price to Book Value (PBV) adalah rasio pasar ( market ratio ) dengan memperbandingkan harga pasar

(FISIP

Kesimpulan: Hasil uji analisis yang telah dilakukan menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara persalinan lama dengan kasus Caput Succedaneum pada bayi baru lahir di RS.. Permata

Karena itu, sebagai acuan utama pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan perubahan iklim dalam bidang kehutanan dan pemanfaatan lahan, Strategi Nasional REDD+ memuat mandat

Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai perbedaan bentuk dan makna Kanji-Kanji Jepang dan Mandarin, namun karena banyaknya

Berdarkan tabel dapat diketahui bahwa strategi yang dilakukan oleh pedagang apabila suatu saat dagangan mereka sepi pembeli adalah meningkatkan kualitas

Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif

Tumor Efek direk dari tumor terhadap sistem imun melalui penglepasan Efek direk dari tumor terhadap sistem imun melalui penglepasan molekul imunoregulatori imunosupresif