• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Nasional Untuk Pembangunan Demokrasi Cetak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Nasional Untuk Pembangunan Demokrasi Cetak"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS: MAKALAH

“PEMBANGUNAN POLITIK PADA MASA ORDE BARU”

MATA KULIAH:

PEMBANGUNAN POLITIK DAN DEMOKRASI

DOSEN:

PROF. DR. KAUSAR BAILUSY, MA.

OLEH :

NAMA : NASRULLAH

NIM : P4300215306

KONSENTRASI : TATA KELOLA PEMILU

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN

(2)

PEMBANGUNAN POLITIK DAN DEMOKRASI

A. PENDAHULUAN

Berakhirnya pemerintahan Soekrno (Orde Lama) pada tahun 1965 dan

diangkatnya Soeharto sebagai presiden Baru mengisyaratkan regulasi birokarasi ala orde lama. Pengangkatan Soeharto sebagai Presiden didasarkan pada TAP MPRS Nomor. IX/MPRS/1966 yang dituangkan dalam Surat Perintah 11 Maret 1966 sebagai titik awal berdirinya sebuah rezim yang kemudian manamakan diri sebagai Orde Baru

Birokrasi yang sebelumnya diduduki oleh partai politik yang beridiologi Nasionalis, Komunis dan Agama (Nasakom), secara total dirombak pada masa orde baru. Orde baru memandang bahwa adanya polarisasi idiologi menjadi tiga kekuatan politik menyebabkan stabilitas politik secara nasional terbagi-bagi terhadap orientasi yang

berbeda dalam pembangunan nasional.

Rezim Orde Baru adalah merupakan rezim baru yang tampil di atas keruntuhan demokrasi terpimpin memiliki makna tatanan kehidupan Negara dan bangsa yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945, sehingga

harapan akan tumbuhnya demokrasi awal Orde Baru tidak hanya dimiliki oleh kalangan elit politik yang merasa memperoleh peluang politik baru, tetapi juga dimiliki oleh berbagai kalangan lain secara luas. Studi Francois Raillon menunjukkan bahwa para mahasiswa memiliki harapan besar terhadap tumbuhnya suasana politik

baru yang lebih segar dan demokrtais.1 Untuk itu, harapan tumbuhnya demokrasi tersebut memiliki dasar argumentasi empiris yang memadai, menyangkut tiga hal.

Pertama, berbeda dengan demokrasi terpimpin Soekarno yang lahir sebagai produk rekayasa elite, Orde Baru dilahirkan oleh gerakan massa yang mengalirkan arus

keinginan dari bawah. Latar belakang ini menjadi dasar yang kuat bagi terjadinya pembebasan pluralism dan penumbuhan demokrasi, mengingat sebagai sebuah pemerintahan yang tumbuh dari bawah, Orde Baru seyogiyanya member tempat bagi aktualisasi politik masyarkat.

Kedua, rekruitmen politik ditingkat nasional yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan kesejajaran dengan Daniel Bell yang sangat popular pada saat itu. Daniel Bell sebagaimana

(3)

dikutip oleh Mochtar Mas’oed meyebut bahwa formulasi kebijakan politik tidak lagi diserahakan pada peran politisi dan ideology, tetapi pada para teknokrat.2 Perluasan dan reorentasi dalam demokrasi Orde Baru, rekruitmen politik yang mengintegrasikan

kalangan teknorat kedalam struktur kekuasaan ini dianggap mengindikasikan akan terjadinya reorentasi politik dikalangan penguasa sejalan dengan komitmen para teknokrat yang pada saat itu dikenal egaliter dan demokratis. Terintegrasinya kelompok teknokrat kedalam struktur kekuasaan diharapkan member pengaruh pada

kinerja Negara, dalam hal ini Orde Baru dan kebijakan-kebijannya sehingga lebih mementingkan proses politik yang bottom up dan lebih berorientasi pada publik.

Ketiga, sejalan dengan kedua dasar empiris tersebut, masa awal Orde Baru ditandai terjadinya perubahan besar dalam perimbangan politik di dalam Negara dan

masyarakat. Tiga pusat kekuasaan pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden, Militer dan Partai Komunis Indonesia digeser oleh pusat-pusat kekuasaan baru, yaitu militer, teknokrasi dan birokrasi. Kekuatan-kekuatan politik kemasyarakatan selama masa Demokrasi Terpimpin terhambat aktualisasinya untuk muncul di permukaan,

meskipun Militer menjadi pilar utama kekuasaan, kekuatan-kekuatan egaliter juga tumbuh sehingga dikenal sebagai “bulan madu” yang singkat antara Negara dan kekuatan kemasyarakatan Orde Baru. Ketiga dasar empiris tesebut sekalipun masih sangat tentative, namun sangat memadai untuk menjadi alas an tumbuhnya harapan

demokratisasi

Rezim Orde Baru dibangun dengan dukungan penuh dari kelompok-kelompok yang ingi terbebas dari kekacaun masa lalu, baik kekacauan politik, ekonomi maupun budaya. Pembangunan politik yang dilakukan oleh pemerintah berorientasi pada usaha

penyelamatan ekonomi nasional, terutama dalam hal pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan Negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pemerintahan orde baru bermaksud melakukan penataan kembali seluruh kehidupan bangsa dan Negara. Pada aspek pembangunan politik Orde Baru tampil kepentas

politik dengan membawa gaya politik yang berbeda, semacam menghidupkan kembali gaya demokrasi liberal, dan berusaha memberikan kepuasan dibidang ekonomi. Akan tetapi, langkah tersebut hanya pada masa- masa awal kekuasaan sebab semakin lama seperti yang terjadi pada kemudian hari, Orde Baru ternyata semakin menunjukkan

(4)

dirinya sebagai Negara yang kuat dan berperan aktif dalam mengelola Negara yang mengabaikan aspirasi rakyat. Militer merupakan kekuatan sentral dalam penyusunan agenda Orde Baru, bahkan menjadi garda terdepan dalam menjalnkan kekuasaanya

dalam bidang politik dan ekonomi.3 Dengan demikian, nyata bahwa pada awal perjalanannya, Orde baru dihadapkan pada masalah penciptaan mekanisme politik yang baru dan berusaha memuskan pendukungnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pembahasan ini akan dibahas dua aspek

yaitu, Pertama, Pembangunan Demokrasi Pada Masa Orde Baru. Kedua, Kepemimpinan dalam Pembangunan Politik Pada Masa Orde Baru. Kedua Aspek akan diuraikan lebih lanjut.

B. Pembahasan

1. Pembangunan Demokrasi Pada Masa Orde Baru

Wajah demokrasi Orde Baru mengalami pasang surut sejalan dengan tingkat perkembangan ekonomi, politik, dan idiologi sesaat atau temporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh adanya kebebasan politik yang

besar, yang oleh Mochtar Lubis disebut sebagai “musim semi kebebasan”.4 Pada masa yang tidak lebih dari tiga tahun, kekuasaan seolah-olah didistribusikan pada kekuatan-kekuatan kemasyarakatan. Oleh karena itu, kalangan elite perkotaan dan organisasi social politik yang siap menyambut pemilu 1971, tumbuh gairah besar

untuk berpatisipasi mendukung program-progrma pembaharuan pemerintahan baru.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, prototype demokrasi itu mengabur ketika bulan madu Negara-masyarakat juga menghambar dan berakhir.

Titik tolaknya adalah kemenangan Golkar dalam pemilu 1971 memperoleh suara mayoritas 62,8%.5 Pemerintahan Orde Baru yang ditulangpunngungi militer memperoleh legitimasi politik kongkrit melalui kemenangan ini dan segera melakukan berbagai regulasi ekonomi dan politik secara ketat. Pada saat itulah

kesenjangan Negara dan masyarakat mulai terbentuk, yang ditandai dengan

3 Eddy Budiarso, Menentang Tirani, Aksi Mahsiswa 77/78, Jakarta:Grasindo, 2000, hlm.2-3

4 HU, Kompas, 8 maret 1992

(5)

maraknya gelombang demonstrasi dan protes terhadap kinerja Orde Baru dan kebijakannya, dan berpuncak pada terjadinya Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Para analis politik melihat bahwa kecenderungan pengetatan regulasi

ekonomi dan politik yang dilakukan oleh Orde Baru tersebut dibentuk oleh adanya kebutuhan jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan Orde Lama, serta kebutuhan jangka panjang untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan berkemampuan menjalankan pembangunan yang sukses. Kebutuhan ini

diterjemahkan oleh Orde baru dengan mengembangkan model rekayasa politik daripada model partisiatif.

Kesenjangan antara Negara dan masyarakat semakin lebar. Orde baru mewujudkan dirinya sebagai kekuatan yang tidak tersentuh dan relative ototnom,

sementara masyarakat semakin teralienasi dari lingkaran kekuasaan dan proses formulasi kebijakan. Keadaan ini adalah hasil akumulasi dari berbagai fakto yaitu: a. Kemenangan demi kemenangan mutlak Golkar dalam pemilu yang memberikan

legitimasi politik yang semakin kuat pada Negara;

b. Dijalankannya regulasi-regulasi politik semacam birokratisasi, depolitisasi dan institusionalisasi;

c. Dipakinya pendekatan keamanan;

d. Intervensi Negara terhadap perekonomian dan pasar yang memberikan keleluasaan pada Negara untuk mengakumulasi modal dan kekuatan ekonomi; e. Terjadinya sumber pembiayaan pembangunan, baik dari eksploitasi minyak

bumi dan gas serta dari komoditas non-migas dan pajak domestic maupun yang berasal dari bantuan luar negeri;

f. Berhasilnya Orde Baru dalam menjalankan kebijakan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sehingga menyumbat gejolak masyarakat yang potensial muncul karena sebab structural.6

Tampak bahwa system politik Orde Baru berpijak atas dasar penggunaan

kekuasaan, dengan cara mengooptasi lembaga lain seperti, legislative, yudikatif, partai politik, dan ABRI sebagai alat kekuasaan. Pada sisi lain, pemerintah pusat telah melancarkan kebijakan yang bersifat “sentralistik” atas daerah tingkat satu dan daerah tingkat dua, karena hampir semua hasil sumber daya alam dan

(6)

kewenangan berbagai bidang, seperti birokrasi, anggaran, politik, dan keamanan dijalankan oleh pusat. Dengan cara tersebut kebijakan Orde Baru telah mengukuhkan bentuk pemerintahan yang bersifat otoriter dan sentralistik.7

Oleh karena itu, disadari ataupun tidak , Orde Baru menghadapi dua ancaman yang bersifat laten, yaitu ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Eksterm kanan dipresesikan sebagai kelompok Islam fanatic yang mingingkan perubahan dasar Negara dari Pancasila menjadi Islam, sedangkan ekstem kiri digambarkan sebagai

kaum komunis yang juga mengancam pancasila. Untuk mengantisipasi bahaya tersebut, pemerintah melancarkan persiapan yang komprehensif untuk konsolidasi system politik Orde Baru yang bertujuan mendapatkan stabilitas politik dan ekonomi dalam jangka panjang.8 Untuk itu pemerintah mengesahkan Undang-Undang Politik pada tahun 1984 yang memosisikan ABRI sebagai pemain utama dalam bidang pertahanan keamanan dan social politik tanpa batas waktu. Pada tanggal 23 Juni 1984 Presiden Soeharto menunjuk Soeparjo Rustam selaku Menteri Dalam Negeri, untuk membacak lima Rancangan Undang Undang (RUU) yaitu

RUU Amandemen untuk UU Pemilu, RUU DPR/MPR, RUU Amandemen Parpol dan Golkar, RUU Referendum dan RUU Organisasi Massa. Dalam Pidatonya, Soepardjo menegaskan bahwa kelima RUU dilakukan untk melaksanakan Demokrasi Pancasila. Lima RUU ini secara substansial bertujuan untuk:9

a. Pemantapan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan politik kemasyarakatan kita.

b. Pembangunan dan pendidikan politik afdalah penting warga Negara, sehingga mereka mengetahui hak dan kewajibannya.

c. Pelaksaan pemilihan umu sebagai sarana demokrasi Pancasila setiap lima tahun sekali dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia yang diselnggarakan oleh Presiden selaku pemegang mandate dari MPR.

d. Pancasila satu-satunya asas dalam dasar organisasi poltik dan organisasi kemasyarakatan.

e. Referendum sebagai jalan keluar bagi revisi UUD 1945.

(7)

Disahkannya lima RUU di bidang politik tersebut semakin memosisikan pemerintahan Soeharto berada di kekuasaan.10 Ada dua indikasi kearah itu. Pertama, pemerintah menguasai control yang sempurna atas politik Indonesia, baik dari mekanisme pemilu kenaggotaan DPR/MPR dan organisasi politik serta Organisasi Kemasyarakatan yang akan terus bergantung pada pemerintah. Kedua, posisi soeharto sebagai presiden semakin kuat dan sebaliknya kekuatan oposisi terahadap pemerintahan Orde Baru semakin lemah.

Selanjutnya, dengan kekuasaan yang begitu tinggi, Orde Bru sukses dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan pemeliharaan stabilitas, tetapi sebagai biaya sosialnya pemerataan dan pembangunan demokrasi tidak dapat dicapai secara mengesankan. Kesenjangan distribusi kekuasaan mengkonstuksikan keadaan yang

berbeda dengan harapan yang tumbuh pada awal kelahiran Orde Baru.

2. Kepemimpinan dalam Pembangunan Politik Pada Masa Orde Baru

Setelah dilantik sebagai presiden, sesuai dengan amanat TAP MPRS No. XLI/1968 tentang tugas pokok cabinet pembangunan, Soeharto membentuk Kabinet

Pembangunan untuk menggantikan Kabinet Ampera yang disempurnakan.11 Pasal 1 TAP MPRS No XLI/1968 menggariskan lima tugas pokok, yaitu melanjutkan tugas cabinet Ampera sebagai berikut:

1) Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanaan rencana pembangunan lima tahun dan pemilihan umum.

2) Menyusun dan melaksanakan pembangunan rencana pembangunan lima tahun.

3) Melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan ketetapan MPRS No. XLII/MPRS/1968

4) Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa G.30.S / PKI dan setiap peronrongan, penyelewengan, dan

penghianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;

10 William Liddle, Partisipasi dan Partai Politik: Indonesia pada masa awal Orde Baru, Jakarta: Grafti Press, 1992, hlm.133.

(8)

5) Melanjutkan penyempurnaan dan pemebersihan secara menyeluruh aparatur Negara dari tingkat pusat sampai daerah.

Oleh karena itu, fokus perhatian dalam pemerintahan Soekarno

adalam pembangunan lima tahunan dan pemilihan umum.untuk melaksanakan pemilihan umum tersebut, dengan persetujuan DPR GR tanggal 17 Desember 1969 Presiden SOeharto mengesahkan undang-undang nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan Perwakilan (UU No.

15 tahun 1969). Setelah pemilihan umum tahun 1971, sidang umum MPR tahun 1973 kembali memilih Soeharto menjadi persiden Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa parktek system pemerintahan pada era Soeharto mengarah pada Pemusatan Kekuasaan dan tanggungjawab terhadap presiden, sebagaimana

termaktub dalam penjelasan angka IV UUd 1945. Keberhasilan pemilu tahun 1971 pun memberikan legitimasi yang kuat terhadap Orde Baru dalam menjalankan pemerintahannya.

Secara structural, presiden adalah orang yang duduk dalam hirarki tertinggi pemerintahan. Selain dijamin oleh konstitusi, kedudukan hirarkis ini juga dibentuk oleh praktik politik yang dijalankan Negara manapun yang menempatkan eksekutif sebagai pengenadali operasi pemerintahan dan pemilik kekuasaan real. Bagaimanapun, eksekutif adalah core of government. Presiden Orde baru, dalam kedudukannya sebagai kepala Negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan, tidak dapat dihindari lagi menjadi pengisi puncak hirarki politik dan kekuasaan.

(9)

yang diadasri oleh dua factor, yaitu : (1) secara yuridis formal, konstitusi memang menempatkan menteri dan aparat pemerintahan lainnya sebagai pembantu presiden dan bertanggungjawab kepada kepada presiden; (2) Presiden Soeharto berhasil menempatkan dan mengatur para pembantunya dengan system kerja yang ketat dan terkendali.

Kedudukan dan kesendirian Presiden Soeharto dalam puncak hirarki juga dibentuk secara sangat halus dan canggih sedemikian rupa sehingga hal itu tidak menjadi problem politik yang mencolok. Padahal, hadirnya partai politik merupakan media untuk menghubungkan keinginan masyarakat dalam mengomunisasikan hasrat masyarakat pada elite pemerintah. Demikian pula sebaliknya, kebijakan dari pemerintah disampaikan kepada masyarakat. Selain itu, partai politik berfungsi juga untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat dalam politik nasional atau berfungsi juga untuk mengintegrasikan kelompok masyarakat dari Sabang sampai Merauke.12 Fungsi integrative dan artikulatif partai poltik inilah yang diabaikan sepanjang sejarah kekuasaan Soeharto. Kebutuhan rezim Orde Baru untuk integrasi nasional dan memperantarai rakyat dengan elit pemerintahan depenuhi melalui kekuatan angakatan bersenjata dan Golkar. Dengan demikiam terjadi monopoli politik yang berimpilikasi pada monopoli ekonomi serta praktik Negara kekuasaan yang tidak berdasar pada landasan konstitusional UUD 1945 yang pada akhirnya melanggar hak asasi manusia.

Sepanjang sejarah politik Orde Baru, dapat diidentifikasi dua pola distribusi kekauasaan yang berbeda. Pola pertama terbentuk pada masa konsolidasi awal orde baru, pada saat presiden belum muncul sebagai kekuatan politik mandiri dan masih terkolektifikasi dalam angkatan darat atau militer. Pola kedua, setelah Golongan Karya (Golkar) memenangi dua kali Pemilu, penguasa Orde Baru memiliki legitimasi politik yang kongkrit dan kokoh. Pada hasil pemilihan umum pertama tahun 1971, Orde Baru menunjukkan kemenanpegan mutlak atas kekauatan golongan anti partai politik, yang diorganisasi dalam Golkar yang memenangi sekitar 65%. Untuk suskes besar ini, serangkaian rekayasa politik dilakukan. Diantaranya dengan kebijakan agar partai politik tidak mempunyai hubungan langsug dengan konstituen mereka. Pengurus partai dan kantornya hanya bertugas sampai tingkat kabupaten. Tidak boleh sampai kecamatan , apalagi desa-desa. Sementara itu Golkar, sebagai kekuatan bukan partai politik, dapat memobilisasi massa langsung melalui birikrasi pemerintah hingga tingkat desa, bahkan RT/RW. Pada pola kedua ini, perlahan tapi pasti,

(10)

presiden mencuat sebagai kekuatan politik yang mandiri dan akhirnya menjadi pusat kekuasaan.

Ketidakefektifan control legislative dibentuk oleh keberhasilan Golkar menjadikan dirinya sebagai kekuatan politik hegemonic dan dominan di DPR, sementara parai politik lain menjadi partai gurem. Arto melHal ini terjadi karena menjelang pemilihan umum 1977, Soeharto melakukan penyederhanaan system kepartaian, dari spuluh partai menjadi 3 (tiga) partai. Penyederhanaan tidak dilakukan secara lazim, misalnya diserahkan pada hasil Pemilu dan peningkatan electoral tresolg, tetapi dengan cara sewenang-wenang. Parati yang berlatarbelakang Islam disatukan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai yang berhaluan Nasionalis seperti PNI dan partai non muslim disatukan , menjadi PDI.

Dengan demikian, kekuatan politik Golkar semakin menguat dengan adnya “duet historis” Golkar-ABRI di lembaga legislative. Melalui prosedur pengangkatan, ABRI mewakilkan anggotanya dalam lembaga legislative dalam jumlah yang signifikan. Dua kekuatan politik besar ini merupakan duet politik yang terbukti solid dengan orientasi politik yang sulit dibedakan. Postur Golkar dan ABRI yang hegemonic dalam lembaga legislative memiliki implikasi yang luas terhadap penguatan kekuasaan startegis di tangan presiden dan melemahnya kontrol terhadapnya. Impilaksi ini dimungkinkan mengingat bersatunya tiga posisi yang mengepalai kekuasaan eksekutif, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, dan Ketua Dewan Pembina Golkar. Ketiga posisi strategis yang menyatu pada presiden tersebut menyebabkan presiden menjadi sumber aliran kekuasaan, baik dalam elemen legislative maupun eksekutif.

Hal ini terjadi setelah presiden didudukkan sebagai ketua Dewan Pembina Golkar, sebuah jabatan dalam Golkar yang sejak Munas II tahun 1978 di Bali, memperoleh kedudukan dan otoritas tertinggi dalam organisasi Golkar. Soeharto membuat kebijakan baru bahwa semua organisasi politi, seprti Parati Politik, harus berasas sama, yakni Pancasila. Golakar tumbuh menjadi kekuatan bukan partai poltik, melainkan bentuk lain dari Negara. Deparpolisasi oleh Soeharto ini berlanjut dengan mengontrol partai partai yang sudah tidak beroritas prebentuk itu dengan mendukung figure-figur yang dapat dipercaya oleh pemerintah.

(11)

kekuasaan di lembaga legislative menjadi benar-benar bersumber pada tangan Presiden.13 Mengingat presiden merupakan penguasa puncak eksekutif, secara strukural, kontorl politik terhadap eksekutif dan presiden pun terhambat. Keadaan ini menjadikan presiden sebagai pemegang kekuasaan tanpa kontrol yang efektif. Sementara itu, kontrol politik dari oposisi juga tidak terlibat efektif sepanjang masa Orde Baru. Pada satu sisi kedaan ini tercipta akibat kelemahan utama oposisi yang tidak teroraganisasi dengan baik sehingga gerakan oposisi bersifat temporal dan parsial.

Secara prinsipil, ketidakefektifan kontrol politik oposisi sepanjang masa Orde Baru disebabkan factor struktur politik makro. Kelembagaan oposisi tidak diakui keberadaannya dalam struktur kelembagaan politik formal sehingga tidak memiliki saluran politik. Lebih jauh lagi, sikap-sikap oposisional pun menjadi tidak terakomodasikan dalam strukur dan proses formulasi kebijakan politik. Ketidakefektifan kontrol politik terhadap presiden didukung pula oleh adanya kondisi partisipasi politik Orde Baru yang khas.

Apabila dilihat dari proses politik di atas permukaan, partisipasi pollitik masyarakat berjalan cukup baik selama masa Orde Baru. Dalam empat kali Pemilu yang diadakan, angka partisipasi masyarakat senantiasa di atas 90% karena jika tidak ikut Pemilu, rakyat dianggaap menengang pemerintah dan dianggap melakukan perbuatan Subversif.

C. KESIMPULAN

Esensi pembahasan pertama tentang Pembangunan Demokrasi Pada Masa Orde Baru adalah bahwa demokrasi pada masa Orde Baru mengalami pasang surut sejalan dengan tingkat perkembangan ekonomi, politik, dan idiologi sesaat atau

temporer. Tahun-tahun awal pemerintahan Orde Baru ditandai oleh kebebasan politik yang besar, kekuasaan seolah-olah didistribusikan pada kekuatan-kekuatan kemasyarakatan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, prototype demokrasi itu mengabur ketika bulan madu Negara-masyarakat juga menghambar dan

berakhir. Titik tolaknya adalah kemenangan Golkar dalam pemilu 1971 dengan

(12)

memperoleh suara mayoritas 62,8%. Pemerintahan Orde Baru yang ditulangpunggungi militer memperoleh legitimasi politik kongkrit melalui kemenangan ini dan segera melakukan berbagai regulasi ekonomi dan politik

secara ketat. Pada saat itulah kesenjangan Negara dan masyarakat mulai terbentuk, yang ditandai dengan maraknya gelombang demonstrasi dan protes terhadap kinerja Orde Baru dan kebijakannya

- Esensi Pembahasan Kedua tentang Kepemimpinan dalam Pembangunan Politik

Pada Masa Orde Baru adalah Secara structural, kepemimpinan presiden adalah orang yang duduk dalam hirarki tertinggi pemerintahan. Selain dijamin oleh konstitusi, kedudukan hirarkis ini juga dibentuk oleh praktik politik yang dijalankan Negara manapun yang menempatkan eksekutif sebagai pengenadali operasi pemerintahan dan pemilik kekuasaan real. Bagaimanapun, eksekutif adalah

(13)

D. DAFTAR PUSTAKA

Alfan, Muhammad, Kamaluddin, Untung . Dinamika Politik Di Indonesia. Perjalanan Politik Sejak Orde Lama Hingga Reformasi. Bandung 2015

Asshiddiqie, Jimly. Prof. Dr. S.H. 2004. Format Kelembagaan dan

Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII

Press

Atmosudirjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara.Ghalia Indonesia.Jakarta.1994

Isra, Saldi 2010, Pergerakan Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam sistem presidensial Indonesia. Jakarta: Raja Garfindo

Haris Syamsuddin, Praktik Parlementer Demokrasi Presidensial Indonesia. Yogyakarta, 2014

Hisyam, Muhammad Krisis Masa Kini.

Mas’oed, Mochtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES, 1989

Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. DPR, DPD dan MPR dalam UUD

1945 Baru. Yogyakarta: FH UII Press

Manan, Bagir. Prof. Dr. MCL. SH. 2004. Teori dan Politik

Konstitusi.Yogyakarta: FH UII Press

Saiful Mujani, Soeharto dan Rezim Anti Partai, Tempo, Edisi Khusus Soeharto, ``````hlm.45

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa dalam rangka menjamin kelancaran dan efektivitas serta mewujudkan tertib administrasi pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 25

[r]

a. Struktur Organisasi yang Memisahkan Tanggung Jawab Fungsional secara Tegas. Struktur organisasi menunjukkan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap

Pada penelitian ini, dibuat perancangan sistem pemantau menggunakan webcam yang terintegrasi dengan penggunaan motor servo sehingga webcam dapat bergerak guna

 Melaksanakan penilaian dan refleksi dengan mengajukan pertanyaan atau tanggapan peserta didik dari kegiatan yang telah dilaksanakan sebagai bahan masukan untuk perbaikan

kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang meliputi daerah

Menurut Assauri (1999:4) mendefinisikan pemasaran: “Sebagai usaha menyediakan dan menyampaikan barang dan jasa yang tepat kepada orang-orang yang tepat pada tempat dan waktu

Dengan ungkapan lain bahwa dakwah dapat berorientasi untuk merubah suatu masyarakat dari keadaan yang tidak atau kurang baik ke arah yang lebih baik, dari