LA
YANG MEL
DI LEMBAGA
LEMBAGA PE
UNIVERS
LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL
PEMBINAAN BAGI ANAK
ELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCABU
A PEMASYARAKATAN ANAK (LPA) KE
KUTOARJO
DISUSUN OLEH
AHMAD BAHIEJ, S.H. M.HUM.
NIP. 19750615 200003 1 001
PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYA
RSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJA
YOGYAKARTA
2013
BULAN
KELAS II A
YARAKAT
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
tercurah kepada Rasulullah saw. Alhamdulillah, penelitian yang berjudul
Pembinaan bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak (LPA) Kelas II A Kutoarjo ini telah selesai. Penelitian ini
dibiayai oleh BOPTN di UIN Sunan Kalijaga tahun 2013.
Dalam kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. H.
Musa Asy’arie selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga dan Dr. Zamzam Afandi,
M.Ag. selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UIN Sunan
Kalijaga atas kepercayaan dan fasilitas pembiayaan penelitian ini, serta Dekan dan
Wakil Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tak
lupa pula kami ucapkan terimakasih kepada Akhmad Nurul Hakam dan Gilang
Kresnanda, dua mahasiswa penulis yang dengan rela dan susah payah ikut serta
dalam penelitian ini.
Tak ada gading yang tidak retak. Sangat mungkin penelitian ini masih jauh
dari kesempurnaan dan banyak kekurangan walaupun para peneliti telah
melakukannya dengan usaha maksimal. Oleh karena itu, kritik dan saran
membangun akan kami terima dengan lapang dada demi tercapaianya penelitian
yang baik.
Yogyakarta, 15 November 2013
Peneliti,
Ahmad Bahiej, S.H. M.Hum.
ABSTRAK
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kutoarjo merupakan lembaga pemasyarakatan anak untuk wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam bulan September 2013 ditemukan data bahwa anak binaan yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kutoarjo berjumlah 74 anak. Dalam data itu terungkap bahwa 56 anak binaan (54,9 %) merupakan pelaku tindak pidana pencabulan yang melanggar Pasal 81 dan 82 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sementara anak binaan yang melanggar tindak pidana kesusilaan (Pasal 281-297 KUHP) berjumlah 8 orang (7,8 %). Dengan adanya adata demikian, penelis tertarik untuk mengelaborasi lebih lanjut tentang
model pembinaan (treatment) yang diberikan pihak Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II A Kutoarjo kepada pelaku tindak pidana seksual.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris sosiologis yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dan memperhatikan undang-undang yang berlaku dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada dari permasalahan yang ditemui dalam penelitian. Pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan dengan wawancara dan studi dokumen di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kutoarjo.
Dari hasil penelitian dihasilkan kesimpulan bahwa proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II A Kutoarjo dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu (a) tahap awal, (b) penelitian kemasyarakatan, dan (c) tahap pelaksanaan pembinaan. Adapun kegiatan pembinaan dikelompokkan menjadi beberapa kegiatan, yaitu (a) pembinaan keagamaan dan budi pekerti/kepribadian, (b) kesadaran berbangsa dan bernegara, (c) kesegaran jasmanai dan kesenian, (d) pelayanan kesehatan dan perawatan, (e) latihan ketrampilan/kemandirian, (f) kunjungan keluarga dan kunjungan badan sosial.
Terkait dengan pembinaan bagi pelaku yang melakukan tindak pidana pencabulan, Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II A Kutoarjo belum melakukan pembinaan secara khusus dengan beberapa alasan dan kendala, yaitu (a) belum tersedianya sumber daya manusia yang memahami secara psikologis tentang perilaku menyimpang secara seksual bagi anak, dan (b) alasan khusus terkait motif anak melakukan tindak pidana pencabulan.
Kata kunci:
Pembinaan narapidana, tindak pidana seksual, Lembaga Pemasyarakatan Kelas II
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Kata Pengantar ... ii
Abstrak ... iii
Daftar Isi ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pokok Masalah ... 4
C. Tujuan dan Kegunaan ... 5
D. Tinjauan Pustaka ... 6
BAB II METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Landasan Teori ... 10
B. Hipotesis ... 21
C. Metode Penelitian ... 23
BAB III DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN A. Gambaran Umum LPA Kutoarjo ... 26
B. Letak Geografi dan Keadaan Fisik ... 26
C. Sejarah Terbentuknya LPA Kutoarjo ... 27
D. Visi, Misi, dan Tujuan ... 28
E. Struktur Pegawai LPA Kutoarjo ... 29
F. Data Warga Binaan Pemasyarakatan Anak Kutoarjo ... 30
G. Golongan dan Jenis Kejahatan ... 31
BAB IV PEMBINAAN BAGI ANAK YANG MELAKUKAN
PENCABULAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK
KUTOARJO
A. Dasar Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan ... 34
B. Sasaran Pembinaan, Pembimbingan, dan Program Strategis... 40
C. Pembinaan Anak yang Melakukan Tindak Pidana Seksual (Aloscent Sexual Offender) di Beberapa Negara ... 42
D. Proses Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan Kutoarjo ... 55
1. Tahap Awal ... 56
2. Penelitian Pemasyarakatan ... 58
3. Tahap Pelaksanaan Pembinaan ... 59
4. Kelompok Kedua (Lanjutan) ... 63
E. Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan yang Melakukan Tindak Pidana Pencabulan ... 64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68
B. Rekomendasi ... 69
Daftar Pustaka ... 70
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan masa depan
bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan serta mendapat hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi,1 sehingga perlu dilakukan perlindungan hukum bagi anak oleh
keluarga, lingkungan dan masyarakat sekitar.
Indonesia adalah negara yang menganut hukum Eropa kontinental atau Civil Law
dalam melaksanakan aturan hukum harus ada undang-undang terlebih dahulu mengenai
aturan hukum yang berlaku, seperti Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Yang paling baru dan merupakan langkah maju, adalah ditetapkannya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang No.3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak akan tetapi Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan pelindungan
kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan
undang-undang baru.2 Yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem
1
Ketentuan Umum Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ( 2)
2
Peradilan Pidana Anak, oleh karenanya Negara Indonesia memiliki kewajiban untuk
melindungi anak tanpa terkecuali, salah satunya adalah perlindungan terhadap
anak pada saat anak berhadapan dengan sidang pengadilan untuk selanjutnya
dijatuhkan pidana bagi yang terbukti melakukan tindak pidana merupakan upaya
represif.
Anak yang dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana adalah anak yang
sedang berhadapan dengan kasus hukum tertentu. Meskipun masih tergolong
dalam kategori anak, hukum tetap wajib menjamin perlindungan terhadap anak
yang sedang dalam proses hukum demi mendapat pembinaan /perlindungan secara
khusus oleh Negara dan Undang-Undang untuk menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial. Untuk melaksanakan pembinaan dan
pemberian perlindungan tersebut diperlukan dukungan baik yang menyangkut
kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai karena
dalam dirinya terdapat hak-hak asasi manusia yang telah di junjung tinggi dalam
Undang-Undang Dasar 1945 berupa hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.3
Penjatuhan pidana bukan semata- mata sebagai pembalasan dendam. Yang
paling penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman, dari masyarakat
kepada terpidana sendiri supaya insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang
baik.4 Sebab Indonesia dengan berbagai macam permasalahan yang ada, yang
komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.
3
Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Kedua Pasal 28 B (2) 4
kesemuanya begitu kompleks dan membentuk suatu mata rantai yang
berhubungan dan tidak dapat diputuskan, sehingga menyisakan cerita tragis
tentang nasib anak- anak bangsa ini.
Karena berbagai tekanan hidup, mereka terjebak melakukan hal-hal yang
melanggar norma hukum yang hidup dalam masyarakat. Anak yang kurang atau
tidak mendapat perhatian secara fisik, mental maupun sosial sering berperilaku
dan bertindak antisosial yang merugikan dirinya, keluarga, dan masyarakat.
Sehingga tidak sedikit anak- anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Anak- anak
yang melanggar norma yang hidup dalam masyarakat dan melakukan tindak
pidana dikatakan sebagai anak nakal. Bagi anak-anak nakal tersebut bisa
dijatuhkan hukuman atau sanksi berupa tindakan atau pidana apabila terbukti
melanggar perundang-undangan hukum pidana, dan dijatuhi pidana untuk
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, salah satunya adalah Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kutoarjo.
Dari penelitian mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN
Sunan Kalijaga ditemukan data sebagai berikut.
No Tindak Pidana Pasal Jumlah %
1 Terhadap ketertiban 159-181KUHP 5 orang 4.9 %
2 Kesusilaan 281-297 KUHP 8 orang 7.8 %
3 Perkelahian Psl 80/23/02 4 orang 3.9 %
4 Pencabulan Psl 81-82/23/02 56 orang
54.9
%
6 Pencurian 362-364 KUHP 16 orang 15.7 %
dilakukan oleh anak Pidana paling banyak adalah melakukan tindak pidana
pencabulan sehingga penyusun tertarik untuk menulis dan menyusun lebih lanjut
dengan judul penelitian Pembinaan bagi Anak yang Melakukan Tindak
Pidana Pencabulan di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) Kelas II A
Kutoarjo
B. Pokok Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis
dapat merumuskan permasalahan dalam penulisan ini bahwa Anak yang telah
mendapatkan putusan hakim yang Inkracht harus menjalankan hukuman di
Lembaga Pemasyarakatan Anak. Dalam lembaga Pemasyarakatan Anak,
5
narapidana anak mendapatkan pembinaan berupa pendidikan, dan sebagainya.
Adapun permasalahan yang akan dikaji adalah:
1. Bagaimanakah pembinaan narapidana anak yang melakukan tindak pidana
pencabulan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo?
2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh petugas Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kutoarjo dalam pelaksanaan pembinaan narapidana
anak yang melakukan tindak pidana pencabulan ?
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan umum hususnya di bidang ilmu
hukum agar dapat ditemukan suatu rumusan perlindungan oleh Lembaga
Pemasyarakatan Anak yang melakukan tindak pidana pencabulan.
2. Mengetahui metode pembinaan bagi warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak berdasarkan perundang-undangan hususnya terhadap
anak yang melakukan tindak pidana pencabulan.
3. Mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum bagi warga binaan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II Kutoarjo.
Adapun Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan gambaran tentang pengkajian peraturan
undang-undangan dalam mengembangkan teori-teori hukum yang berkaitan dengan
memberikan informasi tentang perlindungan dan metode pembinaan anak
yang terkena kasus pencabulan.
2. Sebagai bahan pertimbangan aparatur hukum terhadap perlindungan hukum
bagi anak dalam lembaga pemasyarakatan yang melakukan tindak pidana
pencabulan agar tercapai pemenuhan sebagaimana mestinya dan menjadi
bahan refrensi kepada dosen, peneliti dan peminat kajian tentang anak.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan terhadap penelitian yang telah ada
sebelumnya maka penyusun melakukan analisis terhadap penelitian–penelitian
yang telah penyusun temukan di antaranya sebagai berikut:
Pertama skripsi dengan judul perlindungan hukum bagi anak dalam sistem
pemasyarakatan anak (kajian tentang pemenuhan hak anak dalam lembaga
pemasyarakatan anak Kelas II A Kutoarjo) 20136 anak yang telah melakukan
tindak pidana atau melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang untuk anak
sehingga perlu dibina dibimbing atau diberikan pembinaan yang baik. Dalam
melaksanakan pembinaan melalui LPA, negara memberikan hak-hak anak didik
pemasyarakatan sebagai berikut: melakukan ibadah sesuai dengan agama atau
kepercayaannya, mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani,
mendapatkan pendidikan dan pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan dan
makanan yang layak, menyampaikan keluhan, mendapatkan bahan bacaan dan
mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, menerima kunjungan
6
keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya, mendapatkan
pengurangan masa pidana (remisi) husus anak pidana yang menjalani masa
pidana, mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga, mendapatkan pembebasan bersyarat dan mendapatkan cuti menjelang
bebas. Hak ini diberikan kepada anak pidana dan anak negara dalam LPA. Pada
saat menjalani pembinaan, anak didik pemasyarakatan mempunyai hak-hak yang
melekat pada dirinya, adapun pelaksanaan pemenuhan hak anak dalam Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kutoarjo sebagian besar sudah terlaksana, seperti hak
melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapat
perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan dan
pengajaran, mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak,
menyampaikan keluhan, mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media
massa lainnya yang tidak dilarang, menerima kunjungan keluarga, penasihat
hukum, atau orang tertentu lainnya, mendapatkan pengurangan masa pidana
(remisi) husus anak pidana yang menjalani masa pidana, mendapatkan
pembebasan bersyarat dan mendapatkan cuti menjelang bebas. Lembaga
Pemasyarakatan Anak Kutoarjo sendiri sudah berusaha untuk menjalankan Pasal
22 ayat (1) Undang-Undang No.12 tahun 1995 Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang
No.12 Tahun 1995, PP No.32 Tahun 1999 dan Pasal 4 (1) Undang-Undang No 11
Tahun 2012 kecuali Hak mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga. Memang belum pernah diberikan kepada anak didik
Kedua hasil penelitian yang berjudul Aspek Hak Asasi Manusia Dalam
Undang-Undang Pengadilan Anak 2004.7 Dalam penelitian ini proses penyidikan
yang diatur dalam undang-undang pengadilan anak masih terjadi stereotyping
yang memposisikan anak sebagai pelaku kriminal dan belum memahami anak
secara proposeional guna pembangunan hukum untuk menjembatani keadilan
restoratif antara pelaku dan korban. Perbedaan dalam penelitian yang akan
penyusun teliti adalah tentang pemenuhan hak anak dalam sistem
pemasyarakatan, tidak hanya dalam konteks hak asasi manusia dalam
undang-undang pengadilan anak saja. Tetapi lebih ke aspek pemenuhan hak anak dalam
LPA karena LPA/penjara merupakan hasil ahir dalam sistem peradilan pidana
anak.
Ketiga Skripsi dengan judul Perlindungan Hak-Hak Anak (Studi Komparasi
Antara Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak) 2005.8 Skripsi ini membahas hak anak dengan menggunakan
perbandingan hukum antara hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dengan kesimpulan hak anak baik dalam hukum islam
maupun Undang-Undang No. 23 tahun 2002 bertujuan untuk kebaikan bagi anak
agar tercapai kemaslahatan demi tercapainya keadilan sosial. Perbedaan dengan
penelitian yang akan penulis teliti adalah aspek pemenuhan hak anak yang sudah
dijamin oleh aparatur penegak hukum, khususnya hak-hak anak dalam lembaga
7
Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Aspek Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak (Jakarta: Departemen Hukum Dan HAM RI, 2004).
8
pemasyarakatan sebagai ahir dari proses sistem peradilan pidana anak apakah
sudah berjalan sebagaimana mestinya
Keempat karya ilmiah yang berjudul Pelaksanaan Pembinaan Anak Nakal di
Lembaga Pemasyarakatan Anak dalam Perspektif Model Pembinaan Anak
Perorangan (Individual Treatment Model) (Studi Pelaksanaan Pembinaan Anak Di
LPA Tangerang Dan LPA Kutoarjo) 2009.9 Pelaksanaan individual treatment
model atau model pembinaan anak individual atau perorangan yang ada di
Lembaga Pemasyarakatan Anak, baik di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA)
Kutoarjo dan Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) Pria Tangerang telah dikenal
bentuk dari pembinaan anak secara individual adalah pembinaan secara
keagamaan dan konseling. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pembinaan anak
yang dilakukan dengan model pembinaan anak perorangan di kedua Lembaga
Pemasyarakatan Anak (LPA) tidak dapat diterapkan dengan baik. Pembinaan
yang seharusnya ditujukan untuk anak didik secara perorangan dalam prakteknya
dilakukan oleh anak didik secara berkelompok. Perbedaan yang akan penyusun
teliti adalah hak anak dalam LPA yang terdiri dari hak beribadah, hak perawatan
jasmani maupun rohani, hak pendidikan, hak pelayanan kesehatan dan makanan
yang layak, serta hak lainya yang terdapat pada pasal 14 ayat (1) Undang-Undang
No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
9
BAB II
METODE PENELITIAN
E. Pendekatan dan Landasan Teori
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana
setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibanya. Adapun perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.10 Sedangkan tujuan perlindungan anak yaitu untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
Anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.11
Definisi tentang teori diberikan oleh Snellbecker yang mengartikan teori
sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi
sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati,
sedangkan Kerlinger mendefinisikan teori sebagai :
“A theory is a set of interrelated connstructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena
10
Ketentuan Umum Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat (2).
11
(Sebuah teori adalah satu set saling terikat (konsep), definisi, dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematis dari fenomena dengan menentukan hubungan
antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena)”.12
Sebuah Undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif maupun aspek
Empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books
dan study law in action.13 Bertolak dari hal tersebut, untuk mengkaji suatu
permasalahan hukum secara lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa
serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar
konsep .14
Sebelum seorang peneliti sampai pada usaha penemuan hukum in concreto
atau sampai pada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula pada
usaha menemukan teori-teori tentang law in proses dan law in action, maka
mereka harus mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk hukum positif
yang tengah berlaku.15
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau
lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan
suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh
12
Nasution Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 140.
13
Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum ,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.196
14
Burhan Ashshofa, Metoda Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal.19.
15
sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan
hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.16
Menurut pasal 1 angka 8 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, terdapat batasan pengertian mengenai anak didik
pemasyarakatan, adalah :
1. Anak Pidana
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LPA Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun
2. Anak Negara
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik
dan ditempatkan di LPA Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun
3. Anak Sipil
Anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan
pengadilan untuk dididik di LPA Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun.
Terdapat berbagai pengertian tentang anak di Indonesia, dimana dalam
berbagai perangkat hukum berlaku penentuan batas anak yang berbeda-beda pula.
Beberapa pengertian Anak yang terdapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia antara lain adalah :
1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330
16
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun
dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum
umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam kedudukan
belum dewasa.
2. Menurut Undang-Undang Nomer 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 1 angka 2
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum
pernah kawin
3. Menurut Undang-Undang Nomer 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Pasal 1 angka 1 :
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
4. Menurut Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1 angka 5 :
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya
5. Menurut Undang-Undang Nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 1 :
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
6. Menurut Undang-Undang Nomer 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
7. Anak menurut hukum adat
Ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi dari ukuran yang
dipakai adalah: dapat bekerja sendiri cakap melakukan yang diisyaratkan dalam
kehidupan masyarakat dapat mengurus kekayaan sendiri.17 Hal penting yang perlu
diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak
adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti
kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan
definisi mengenai anak nakal dalam Pasal 1 ayat(2) yang berbunyi :
Anak nakal adalah :
1. Anak yang melakukan tindak pidana; atau
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Bentuk pidana anak berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No.3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, menyebutkan:
1. Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan
pidana tambahan.
2. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah:
17
a. Pidana penjara
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda atau
d. Pidana pengawasan.
3. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak
nakal dapat dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang
tertentu dan atau pembayaran ganti rugi
Adapun Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal menurut Pasal
24 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 ialah:
1. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja; atau
3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial
kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan
kerja.
Hak anak dalam lembaga pemasyarakatan menurut Undang-Undang No.11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat dalam Pasal 4 (1)
Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:
1. Mendapat pengurangan masa pidana;
2. Memperoleh asimilasi;
3. Memperoleh cuti mengunjungi keluarga;
4. Memperoleh pembebasan bersyarat;
6. Memperoleh cuti bersyarat; dan
7. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 71(1) mengenai pidana pokok bagi anak terdiri atas:
1. Pidana peringatan
2. Pidana dengan syarat
a. Pembinaan di luar lembaga.
b. Pelayanan masyarakat, atau
c. Pengawasan.
3. Pelatihan kerja.
4. Pembinaan dalam lembaga dan
5. Penjara.
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik
menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung
makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur
sebagai berikut.
a. adanya perbuatan manusia
c. adanya kesalahan
d. orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan18
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan
dengan hukum, yaitu :
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh
orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos
sekolah atau kabur dari rumah ;
2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Namun terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak
disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi
kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif
dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban
umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan
yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan si
pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya.
Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya
kejahatan anak, yaitu :
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama Bandung), hal.12.
19
Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan
bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya
kesadaran diri dari yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan
itu terlarang menurut hukum yang berlaku. Tindakan kenakalan yang dilakukan
oleh anak-anak merupakan manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud
merugikan orang lain seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan
yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimana
pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta pelaku mampu
bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut.
Pada dasarnya ada 3 teori tentang tujuan pemidanaan pada umumnya yang
dikemukakan oleh beberapa sarjana yaitu20:
1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie)
Pokok dari ajaran teori ini adalah bahwa yang dianggap sebagai dasar
daripada pidana adalah sifat pembalasan (‘vergelding’ atau ‘vergeltung’). Para
sarjana yang berpendapat demikian ini alam pikirannya diliputi oleh pendapat
bahwa pidana adalah suatu pembalasan. Pemberian pidana dapat dibenarkan,
karena telah terjadi suatu kejahatan, kejahatan dimana telah menggoncangkan
masyarakat. Apabila seseorang telah melakukan kejahatan, maka karena
perbuatannya itu akan menimbulkan suatu penderitaan terhadap anggota
masyarakat yang lain. Untuk mengembalikan keadaan semula sebagaimana
sebelum terjadi kejahatan, maka penderitaan harus dibalas dengan suatu
penderitaan pula, yaitu yang terdiri dari suatu pidana (nestapa), dan pidana ini
20
harus dirasakan sebagai suatu nestapa (‘leed’). Ajaran ini dianut oleh para Sarjana
Hukum pada masa awal berkembangnya hukum pidana yang masih berpendapat
bahwa pemberian pidana sebagai balasan atas perbuatan pelaku tindak pidana.
2. Teori Tujuan atau Relevansi Teori ini bertujuan :
a. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving van de
maatschappelijke)
b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat
daripada terjadinya kejahatan (het herstel van het door de misdaad ontstane
maatschappelijke nadeel)
c. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering van de dader)
d. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);
e. Untuk mencegah kejahatan (ter verkoming van de misdaad)
Dalam kepustakaan ditegaskan bahwa teori berkembang setelah teori
absolut mulai banyak ditinggalkan alasannya karena tujuan pemidanaan relevansi
ini yang didasarkan pada teori absout tidak membuat para pelaku tindak pidana
berkurang tetapi justru semakin bertambah. Pelaku disini diperlakukan tidak
manusiawi. Mengenai pencegahan kejahatan yang dimaksud dalam huruf e
dapat diperinci dalam dua aliran yang berkembang yaitu :
1. Algemene atau generale preventie (pencegahan umum) yaitu pencegahan
yang ditujukan kepada masyarakat, sehingga sifat pencegahannya bersifat
umum. Cara yang dilakukan oleh sarjana-sarjana yang menganut Algemene
memberikan ancaman ancaman hukuman yang berat kepada semua pelanggar
pelaku tindak pidana.
2. Bijzondere atau Speciale Preventie (pencegahan khusus), yaitu pencegahan
yang ditujukan kepada si penjahat itu sendiri. Para sarjana yang menganut
special preventie lebih mengedepankan pendidikan dan memasyarakatkan
lagi para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Cara-cara yang mereka
lakukan bisa dengan memberikan pendidikan kepada para narapidana,
memberikan mereka keterampilan kerja sehingga diharapkan mereka tidak
mengulangi perbuatan pidana lagi.
3. Teori Gabungan atau Campuran (Verenigings atau Gemengde Theorien)
Pemikiran dari teori ini beranjak dari kelemahan-kelemahan dari teori-teori
absolute dan relatif. Kelebihan-kelebihan dari teori absolut dan relatif
menjadi kekuatan dari teori ini. Diharapkan kelemahan-kelemahan dari teori
absolut dan relatif menjadi hilang.
Adapun kelemahan-kelemahan dari teori absolut ialah :
a. Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan, tidak semua
pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan
berdasarkan alat-alat bukti yang ada.
b. Apabila yang menjadi dasar daripada teori ini adalah untuk pembalasan, maka
mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana.
Sedangkan kelemahan kelemahan teori tujuan adalah:
1. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya apabila tujuan untuk
kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk
menakutnakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana yang
bertentangan dengan keadilan.
2. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata adalah
untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan
dengan demikian diabaikan.
3. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktek. Bahwa tujuan mencegah kejahatan
dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktek sulit dilaksanakan. Misalnya
terhadap recidivis.
F. Hipotesis
Secara legal formal, jaminan perlindungan anak secara umum memang telah
tertuang dalam beberapa perundangan. Demikian halnya mengenai pidana anak,
sudah tersedia payung hukumnya secara spesifik, meskipun hingga kini masih
dinilai problematik.21 Bahkan, Surat keputusan bersama “Ramah Anak” yang
ditandatangani enam kementerian terkait penanganan Anak yang berhadapan
dengan hukum sudah dikeluarkan sejak 2009. Namun demikian, bukan berarti
persoalan Anak yang berhadapan dengan hukum terlebih anak yang menjalani
masa pidana sebagai pertanggung jawaban pidananya sudah tertangani secara
tuntas. Dalam level implementasi, jaminan perlindungan anak, khususnya dalam
21
konteks persoalan Anak yang berhadapan dengan hukum kini masih menjadi
suatu hal yang belum mendapatkan jawaban atau dengan kata lain pertanggung
jawaban pelaksanaan perlindungan anak belum terealisasi baik dari segi sumber
daya manusia maupun lembaga pemasyarakatan anak yang belum siap.
Berbagai pelanggaran dan pengabaian hak anak, terutama dalam kaitannya
dengan penanganan pembinaan anak yang tersandung kasus tindak pidana
pencabulan masih minim perlindungannya terlebih lagi dalam level daerah,
dimana para pihak seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lapas, Bapas,
hususnya Lembaga Pemasyarakatan Anak dan para pihak lainnya yang semestinya
proaktif mengupayakan pendekatan restoratif namun tidak berupaya secara
optimal. Fenomena ini tercermin dalam lembaga Pemasyarakatan anak Kelas IIA
kutoarjo yang belum memberikan penanganan secara husus terhadap anak-anak
yang melakukan tindak pidana pencabulan.
Sejumlah fenomena itu setidaknya telah dapat memperjelas pada hipotesis
penelitian ini. Pertama, minimnya pemahaman mengenai sistem pemidanaan
edukatif terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di indonesia pada saat ini.
Kedua, masih kurangnya sosialisasi dan lemahnya koordinasi kelembagaan terkait
model pelaksanaan pembinaan anak didik pemasyarakatan. Ketiga, perlunya
dukungan publik yang luas untuk mendorong upaya-upaya restorative dalam
G. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) penelitian langsung
di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo sebagai satu-satunya Lembaga
Pemasyarakatan Anak untuk wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah bersifat yuridis
empiris sosiologis yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dan
memperhatikan undang-undang yang berlaku dihubungkan dengan fakta-fakta
yang ada dari permasalahan yang ditemui dalam penelitian
2. Sifat Penelitian
Tipe penelitian yang akan dilakukan oleh penulis merupakan penelitian
yang bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran yang jelas tentang orientasi/arah perlindungan anak dalam
lembaga pemasyarakatan Anak dan memberikan data yang seteliti mungkin
tentang permasalahan yang ada dalam lapangan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data memiliki peran yang sangat penting pada
penelitian. Baik tidaknya penelitian dipengaruhi pada teknik pengumpulan data,
adapun pengumpulan data yang penulis gunakan sebagai berikut :
a. Wawancara
Agar data yang diperoleh lebih konkrit, maka penulis melakukan wawancara
yaitu: wawancara langsung (terbuka) dengan petugas lembaga pemasyarakatan
anak dan anak lembaga pemasyarakatan yang menjadi pelaku pencabulan.
b. Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan
melalui data tertulis dengan menggunakan content analysis dengan cara
menganalisis dokumen-dokumen yang penulis dapatkan di lapangan yang
berhubungan dengan masalah yang penulis teliti.
c. Studi pustaka
Untuk memperoleh data secara teoritis, maka penulis mengumpulkan bahan
dan literatur yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dengan membaca
dan menganalisa terutama yang berkaitan dengan judul yang penulis ajukan dalam
penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun data secata sistematis
yang diperoleh dari temuan lapangan berupa wawancara, keadaan subyek maupun
obyek penelitian dan bahan-bahan lain yang menjadi pendukung penelitian berupa
hasil wawancara serta hasil kuesioner sehingga dapat mudah di pahami. Analisa
data yang penyusun gunakan adalah analisis deskriptif-kualitatif.
H. Tahapan Penelitian
Sebagai upaya untuk menjaga keutuhan pembahasan dalam skripsi ini agar
terarah secara metodis penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama terdiri dari uraian mengenai latar belakang masalah, pokok
Bab kedua tentang metodologi penelitian, yang berisi pendekatan dan
landasan teori, hipotesis, dan tahapan penelitian.
Bab ketiga tentang deskripsi obyek penelitian yang berisi gambaran umum
Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo, letak geografis dan keadaan fisik, visi
misi LPA Kelas II A Kutoarjo, struktur pegawai lembaga pemasyarakatan, data
warga binaan pemasyarakatan, golongan jenis kejahatan, golongan umur warga
binaan pemasyarakatan, dan golongan pendidikan warga binaan.
Bab keempat merupakan inti dari penelitian yaitu menganalisis tentang
model pembinaan yang diberikan oleh Lembaga Permasyarakatan Anak Kutoarjo
terhadap anak yang melakukan tindak pidana pencabulan dan kendala yang
dihadapi dalam melaksanakan pembinaan anak di pemasyarakatan. Namun
demikian, dalam bab ini dideskripsikan terlebih dahulu dasar pembinaan anak
didik pemasyarakatan, sasaran pembinaan pembimbingan dan program strategis,
dan proses pembinaan anak didik LPA Kutoarjo.
Bab kelima adalah penutup yang berisikan kesimpulan dan kontribusi dari
hasil penelitian secara keseluruhan dan diakhiri dengan daftar pustaka serta
BAB III
DISKRIPSI OBYEK PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo
1. Letak Geografis dan Keadaan Fisik
Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo merupakan lembaga
pemasyarakatan di wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kantor
wilayah Jawa Tengah. Memiliki fungsi dan tugas untuk menampung, merawat dan
membina anak didik pemasyarakatan dari seluruh wilayah Propinsi Jawa Tengah
dan Daerah Istimewa Yogyakarta, letak geografis Lembaga Pemasyarakatan Anak
Kutoarjo berada di Jalan Pangeran Diponegoro No 36 A Kutoarjo, Purworejo
Jawa Tengah 54212 telp: (0275) 641011 Fax: (0275) 641054 e-mail:
LPA Kutoarjo mempunyai luas tanah: 6.843 m² luas bangunan: 1.289 m²
sedangkan untuk keadaan fisik lembaga pemasyarakatan anak Kutoarjo, terdiri 1
(satu) komplek bangunan terdiri dari :
a. 1 (satu) gedung bertingkat digunakan untuk perkantoran,
b. 1 (satu) gedung bertingkat dipergunakan sebagai ruang serbaguna antara lain
untuk mushola, ruang pertemuan dan olahraga, ruang kunjungan (bezuk), dan
ruang perawatan kesehatan
c. 3 (tiga) gedung untuk tempat hunian anak didik pemasyarakatan, terdiri dari
d. 1 (satu) komplek bangunan yang berada dibelakang komplek utama terdiri
dari: 1 (satu) ruang perpustakaan 3 (tiga) ruang pendidikan 2 (dua) ruang
kegiatan kerja 1 (satu) ruangan sebagai sanggar kegiatan belajar kesenian
serta halaman kosong digunakan untuk kegiatan berkebun dan pertanian.
e. Berikutnya 1 (satu) komplek bangunan di luar LPA terdiri: 1 (satu) unit
rumah dinas kepala 7 (tujuh) unit Rumah untuk pejabat struktural 1 (satu) unit
garasi.
2. Sejarah Terbentuknya Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo
Tahun 1880, gedung Lembaga Pemasyarakatan Anak didirikan/dibangun
oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya tahun 1917, gedung digunakan sebagai
rumah tahanan perang. Setelah Indonesia merdeka pada Tahun 1945, menjadi
milik pemerintah republik Indonesia dalam keadaan kosong hingga tahun 1948.22
Tahun 1948, sebagai tangsi tentara Indonesia, dalam tahun ini juga dikembalikan
kepada jawatan kepenjaraan untuk digunakan sebagai rumah penjara sampai tahun
1960. Tahun 1962 sampai tahun 1964, sebagai rumah penjara Jompo. Tahun 1964
berubah menjadi lembaga pemasyarakatan kelas III. Kemudian berdasarkan
keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 8 Juni 1979 Nomor : JS.4/5/16 Tahun
1979 tentang Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara di Kutoarjo (
LP AN ) selanjutnya berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 5
Februari 1991, Nomor : M.01.PR.07.03 tentang pemindahan tempat kedudukan
lembaga pemasyarakatan anak Jawa Tengah dari Ambarawa ke Kutoarjo dan
22
penghapusan cabang Rutan Purworejo di Kutoarjo. Baru pada Tahun 1993
berfungsi penuh sebagai Lembaga Pemasyarakatan Anak di Kutoarjo hingga
sekarang. Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 16
Desember 1983 Nomor: M.03-UM.01.06, tentang penetapan lembaga
pemasyarakatan tertentu sebagai rumah tahanan, dalam hal ini LP AN Kutoarjo
beralih status menjadi cabang rumah tahanan Purworejo di Kutoarjo.23
3. Visi, Misi dan Tujuan
Visi
Memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan warga binaan
pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan Yang
Maha Esa (membangun manusia mandiri).
Misi
Melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan warga binaan
pemasyarakatan.
Tujuan
Membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif
23
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
Memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan, narapidana dan warga
binaan pemasyarakatan dalam rangka memperlancar proses pembinaan dan
pembimbingan.
4. Struktur Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Anak
Jumlah pegawai/karyawan/personil Lembaga Pemasyarakatan Anak
Kutoarjo saat ini berjumlah 66 orang pegawai berdasarkan jenis kelamin sebagai
berikut.
Tabel I
Daftar Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Jumlah %
1 Pria 43 Orang 77 %
2 Wanita 13 Orang 23 %
Jumlah 56 Orang 100 %
Sumber: http://smslap.ditjenpas.go.id Akses 05 Oktober 2013
Tabel II
Tingkat Pendidikan Pegawai Pemasyarakatan
No Tingkat Pendidikan Jumlah %
1 SD/SMP 1 Orang 1 %
2 SMA/SMK 35 Orang 62 %
4 Sarjana ( S-1 ) 14 Orang 25 %
5 S2 1 Orang 1 %
Jumlah 56 Orang 100 %
Sumber: http://smslap.ditjenpas.go.id Akses 05 Oktober 2013
5. Data Warga Binaan Pemasyarakatan Anak Kutoarjo
3 B II b - 0 %
4 B III 3 Orang 4 %
5 Anak Negara 11 Orang 14,9 %
6 Tahanan 6 Orang 8,1 %
Jumlah 74 Orang 100 %
Sumber: Data Primer LPA Kutoarjo, 19 September 2013
Adapun klasifikasi yang dimaksud adalah :
a. Golongan B-I adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana diatas 1 tahun.
b. Golongan B-IIa adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana antara 4 sampai
12 bulan.
c. Golongan B-IIa adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana antara 1 hari
sampai 3 bulan.
d. Golongan B-III adalah untuk narapidana yang dipindahkan kurungan
pengganti pidana denda yang lama pidananya maksimal 1 bulan.
6. Golongan Jenis Kejahatan
Tabel IV
Jenis Kejahatan
No Tindak Pidana Pasal Jumlah %
1 Terhadap Ketertiban 159-181KUHP 1 orang 1,3 %
2 Kesusilaan 281-297 KUHP 4 orang 5,4 %
3 Perkelahian Psl 80/23/02 4 orang 5,4 %
5 Pembunuhan 338-340 KUHP 2 orang 2,7 %
6 Pencurian 362-364 KUHP 13 orang 17,6 %
7 Perampokan (365) KUHP - Orang 0 %
8 Pemerasan (368) KUHP 1 orang 1,3 %
9 Penipuan/penggelapan 372-378 KUHP 1 orang 1,3 %
10 Narkotika Psl.127 UU No.35 TH
1999)
6 orang 8,1 %
11 Lalulintas Psl.310 UULAJ 1 orang 1,3 %
12 Traficking Psl.2 UU 21 Th.2007 1 orang 1,3 %
Jumlah 74 orang 100 %
Sumber: Data Primer LPA Kutoarjo, 19 September 2013
Tabel V
Umur Warga Binaan Pemasyarakatan
No Umur Jumlah %
1 12-15 tahun 15 orang 20,3 %
2 Umur 16-18 tahun 57 orang 77 %
3 Umur 18 > 2 orang 2,7 %
Jumlah 74 orang 100 %
Sumber: Data Primer LPA Kutoarjo, 19 September 2013
Tabel VI
Tingkat Pendidikan Warga Binaan Pemasyarakatan
No Pendidikan Jumlah %
2
Sekolah lanjutan tingkat
pertama
37 orang 50 %
3 Sekolah lanjutan tingkat atas 16 orang 21,6 %
4 Buta Huruf 1 orang 1,3 %
Jumlah 74 orang 100 %
Sumber: Data Primer LPA Kutoarjo, 19 September 2013
7. Instansi, Lembaga dan Badan Sosial yang Bekerja Sama dengan LPA
Anak Kutoarjo
a. Dinas Pendidikan Kabupaten Purworejo.
b. Departemen Agama Purworejo.
c. Kepolisian Resort Purworejo.
d. Dinas Sosial Kabupaten Purworejo.
e. Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo.
f. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purworejo.
g. Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia Yogyakarta.
h. Yayasan SETARA Semarang.24
24
BAB IV
PEMBINAAN BAGI ANAK YANG MELAKUKAN PENCABULAN
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO
A. Dasar Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan
Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, tertuang hak-hak yang dimiliki oleh narapidana
seperti hak beribadah, hak perawatan jasmani dan rohani, pelayanan kesehatan,
pendidikan dan pengajaran serta hak lain yang seharusnya dilindungi dan dijamin.
Dengan demikian orang yang menjalani masa pidana, hak-hak kewarganegaraan
dan kemanusiannya tidak akan hilang. Sistem Pemasyarakatan berfungsi untuk
menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berinteraksi secara sehat
dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab.
Terkait dengan hal ini Soejono Dirdjosisworo menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan pembinaan narapidana adalah segala daya upaya perbaikan
terhadap tuna warga atau narapidana dengan maksud secara langsung dan minimal
menghindarkan pengulangan tingkah laku yang menyebabkan keputusan hakim
tersebut. Lapas mempunyai tugas pemasyarakatan dan berfungsi dalam
melakukan pembinaan terhadap narapidana atau anak didik, memberikan
bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja, melakukan
tangga Lapas. Sistem Pemasyarakatan identik dengan reintegrasi sosial, terpidana
tidak hanya menjadi obyek tetapi juga menjadi subyek dalam pembinaan.25
Lembaga Pemasyarakatan bukanlah tempat untuk menghukum anak, akan
tetapi diharapkan dapat dijadikan tetapi tempat untuk mendidik anak sehingga
tidak akan melakukan tindak pidana lagi. Bentuk pembinaan narapidana anak
dikembangkan dalam rangka memelihara masa depan anak yang bersangkutan.
Hal tersebut bukan hal yang mudah untuk diimplementasikan pada semua
narapidana anak.
Muladi dan Barda Nawawi mengemukakan bahwa perlindungan hukum
bagi anak dalam proses peradilan tidak dapat dilepaskan dari apa yang sebenarnya
tujuan atau dasar pemikiran dari peradilan anak (juvenile justice) itu sendiri yang
bertolak dari dasar pemikiran baru yang dapat ditentukan apa dan bagaimana
hakikat wujud dari perlindungan hukum yang sifatnya diberikan kepada anak.
Tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan
utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan
bagian integral dari kesejahteraan sosial. Bahwasanya kesejahteraan atau
kepentingan anak berada di bawah kepentingan masyarakat, tetapi justru harus
dilihat bahwa mendahulukan atau mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan
anak itu pada hakikatnya merupakan bagian dari usaha mewujudkan kesejahteraan
sosial.26
25
Soejono Dirdjosisworo, Sosio Kriminologi: Ilmu-ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, (Bandung: Sinar Baru, 1985), hlm. 24.
26
Pembinaan anak didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) Kutoarjo
berdasarkan sistem pemasyarakatan, yang di dalam pelaksanaannya berpedoman
pada 10 (sepuluh) prinsip kemasyarakatan, sebagaimana yang terutang dalam
BAB IV Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.02 – PK. 04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan,
yaitu :
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjelaskan peranannya
sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan. Ini
berarti tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik pada
umumnya, baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan
ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh narapidana dan
anak didik hanya dibatasi kemerdekaannya untuk leluasa bergerak di dalam
masyarakat bebas.
3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertobat. Berikan
kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kegiatan
kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat
daripada sebelum dijatuhi pidana. Salah satu cara diantaranya agar tidak
mencampurbaurkan narapidana dengan anak didik, yang melakukan tindak
pidana berat dengan yang ringan.
5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan
masyarakat yang terjelma dengan bentuk kunjungan hiburan ke LPA dan
RUTAN oleh anggota-anggota masyarakat bebas dan kesempatan yang lebih
banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarganya.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
bersifat sekedar sebagai waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk
memenuhi keperluan jawatan atau kepentingan negara kecuali pada waktu
tertentu saja. Pekerjaan yang terdapat di masyarakat, dan yang menunjang
pembangunan, seperti meningkatkan industri kecil dan produksi pangan.
7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
adalah berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa kepada mereka harus
ditanamkan semangat kekeluargaan dan toleransi disamping meningkatkan
pemberian pendidikan rohani kepada mereka disertai dorongan untuk
menunaikan ibadah sesuai dengan kepercayaan agama yang dianutnya.
8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati agar
mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukannya adalah
merusak dirinya, keluarganya dan lingkungannya, kemudian dibina dan
dibimbing ke jalan yang benar. Selain itu mereka harus diperlakukan sebagai
manusia biasa yang memiliki harga diri agar tumbuh kembali kepribadiannya
yang percaya akan kekuatan sendiri.
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.
10. Untuk pembinaan dan bimbingan para narapidana dan anak didik, maka
Pada dasarnya, kesepuluh prinsip pemasyarakatan tersebut hampir sama
prinsipnya dengan asas pembinaan narapidana sebagaimana tertuang dalam Pasal
5 Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 5
Undang-Undang No.12 Tahun 1995 menyebutkan bahwa sistem pembinaan,
pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
a. Asas Pengayoman
Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan adalah dalam rangka
melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga
binaan pemasyarakatan. Selain itu juga memberikan bekal kehidupan kepada
warga binaan pemasyarakatan, agar menjadi warga yang berguna di dalam
pemasyarakatan.
b. Asas Persamaan Perlakuan dan Pelayanan
Warga binaan pemasyarakatan mendapat perlakuan dan pelayanan yang
sama di dalam lembaga pemasyarakatan, tanpa membeda-bedakan.
c. Asas Pendidikan
Lembaga pemasyarakatan memberikan warga binaan pemasyarakatan
berupa pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila. Pendidikan tersebut
antara lain dengan menanamkan jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan
kerohanian dan kesempatan menunaikan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing masing.
d. Asas Pembimbingan
Warga binaan pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan juga mendapat
dengan menanamkan jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan rohani dan
kesempatan untuk menunaikan ibadah.
e. Asas Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia
Warga binaan pemasyarakatan tetap diperlakukan sebagai manusia dengan
menghormati harkat dan martabatnya.
f. Asas Kehilangan Kemerdekaan
Merupakan satu-satunya penderitaan penempatan bagi terpidana di lembaga
pemasyarakatan merupakan upaya negara guna memberi kesempatan kepada anak
untuk memperbaiki perilakunya melalui pendidikan dan pembinaan yang
diberikan selama di lembaga pemasyarakatan, warga binaan pemasyarakatan tetap
memperoleh hak-haknya yang lain sebagaimana layaknya manusia. Dengan kata
lain, hak-hak perdatanya tetap dilindungi, seperti hak memperoleh perawatan
kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga,
atau rekreasi. Warga binaan pemasyarakatan tidak boleh diperlakukan di luar
ketentuan undangundang, seperti dianiaya, disiksa. Penderitaan satu-satunya yang
dikenakan kepadanya ialah kehilangan kemerdekaan.
g. Asas Terjaminnya Hak untuk Tetap Berhubungan dengan Keluarga dan
Orang-Orang Tertentu
Warga binaan pemasyarakatan harus tetap didekatkan dan dikenalkan
dengan masyarakat, serta tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Oleh karena itu,
ia harus tetap dapat berhubungan dengan masyarakat yang bebas dan mempunyai
kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga, seperti adanya program
B. Sasaran Pembinaan, Pembimbingan dan Program Strategis
Sasaran pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan
adalah meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan yang pada awalnya
sebagian atau seluruhnya dalam kondisi kurang, yaitu :
a. Kualitas Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Kualitas Intelektual
c. Kualitas Sikap dan Prilaku
d. Kualitas Profesionalisme/ keterampilan
e. Kualitas Kesehatan Jasmani dan Rohani
Sasaran pelaksanaan sistem pemasyarakatan pada dasarnya juga merupakan
situasi/kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya tujuan pemasyarakatan
yang merupakan bagian dari upaya peningkatan ketahanan sosial dan ketahanan
nasional, sedangkan indikator yang digunakan untuk mengukur hasil yang dicapai
dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, yaitu :
a. Isi Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo lebih rendah daripada
kapasitasnya.
b. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka gangguan keamanan
dan ketertiban.
c. Menurunnya secara bertahap jumlah narapidana yang bebas sebelum
waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi.
d. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis.
e. Semakin menurunnya jenis-jenis kejahatan sesuai dengan kebutuhan berbagai
f. Biaya perawatan tahanan, narapidana, warga binaan pemasyarakatan sama
dengan kebutuhan biaya minimal manusia pada umumnya.
g. Lembaga pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara.
h. Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi
nilai-nilai masyarakat kedalam Lembaga Pemasyarakatan dan semakin
berkurangnya nilai-nilai sub-kultur penjara dalam lembaga pemasyarakatan.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana yang telah dipaparkan tersebut, maka
ditetapkan 10 (sepuluh) program strategis yang akan dilaksanakan dalam
pembangunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan :
a. Pengendalian isi lembaga pemasyarakatan.
b. Peningkatan upaya-upaya pencegahan dan penindakan gangguan keamanan
dan ketertiban.
c. Peningkatan kegiatan asimilasi dan integrasi.
d. Penurunan angka residivis.
e. Peningkatan sarana dan prasarana lembaga pemasyarakatan
f. Peningkatan jumlah tenaga kerja narapidana yang diserap dalam kegiatan
kerja produktif.
g. Peningkatan pelayanan kesehatan dan perawatan narapidana dan tahanan.
h. Peningkatan upaya perawatan kesehatan, kebersihan dan pemeliharaan
lembaga pemasyarakatan.
i. Peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan pembinaan dan
pembimbingan.
C. Pembinaan Anak yang Melakukan Tindak Pidana Seksual (Adolescent
Sexual Offender) di Beberapa Negara
Dalam hubungannya dengan pembinaan bagi anak yang melakukan
kejahatan seksual ini, Indonesia perlu mempelajari dari beberapa teori dan
program pembinaan bagi anak yang yang telah banyak dikembangkan di beberapa
negara bagian Amerika. Pertambahan jumlah kejahatan seksual yang dilakukan
oleh anak (Juvenile Sexual Offender) di Amerika mendorong pertumbuhan
program pembinaan bagi anak yang melakukan tindak pidana seksual tersebut.
Worling dan Curwen (2000)27 sebagaimana dikutip oleh Lorraine Renee Reitzel,
psikolog pada Univeritas Negeri Florida mencatat bahwa program pembinaan bagi
anak pelaku tindak pidana seksual pertama kali dilakukan pada tahun 1975.
Sampai tahun 1980, pembinaan ini tidak dilakukan dengan program yang
terstruktur. Meskipun dengan bukti empiris yang minim tentang keefektifan
program pembinaan bagi anak yang melakukan kejahatan seksual, National Task
Force on Juvenile Sexual Offending pada tahun 1988 mendorong adanya
kebijakan untuk pembinaan ini guna mencegah adanya residivism. Program ini
terus berkembang sampai tiga dekade berikutnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Jennifer A. Joflin bahwa dalam beberapa
literatur dijelaskan program treatment untuk pelanggar seks remaja berbeda dalam
pendekatan dibandingkan dengan pelanggar dewasa (adult) dalam hal isu-isu yang
dibahas, perspektif teoritis yang digunakan, dan fokus utama dari treatment.
27
Namun ada juga beberapa kesamaan antara program-program yang secara
konsisten ditangani dan dianggap bagian penting dari proses treatment.28
Hal ini penting untuk membandingkan kedua persamaan dan perbedaan dari
program ini sehingga didapatkan pemahaman yang lebih baik tentang jenis
treatment yang tersedia, pendekatan yang digunakan, dan mengapa hal itu
dilakukan. Pengaturan program pembinaan bagi pelaku seks remaja bervariasi,
umumnya terdiri dari rumahan (menginap/redential) atau pembinaan rawat jalan
dengan fasilitas berbasis masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu menjadi
pertimbangan ketika menentukan apakah pelaku harus menerima atau tidak
layanan rumahan (redential) atau rawat jalan. Dua pertimbangan dicatat secara
khusus. Pertama, melibatkan premis bahwa keselamatan masyarakat harus
menjadi pertimbangan paling penting. Kedua, dipastikan bahwa pelaku
ditempatkan di lingkungan seketat mungkin.29
Bourke dan Donohue memberikan saran terkait dengan pengaturan yang
harus digunakan dalam redential treatment untuk pelaku seks remaja dalam
situasi berikut.
(1) Tindak pidana itu sering dilakukan dan/atau melibatkan lebih dari satu
individu.
(2) Penyerangan seksual dilakukan secara agresif.
28
Jennifer A. Joslin, Examining Treatment for Juvenile Sexual Offenders: A Closer Look at Treatment Theories and Approaches.
29
(3) Pelaku bersifat emosional.
(4) Pelaku menunjukkan sikap antisosial.
(5) Ketiadaan kemauan untuk melakukan treatment.
(6) Adanya keinginan bunuh diri dari diri pelaku.
(7) Hubungan di rumah mengancam keamanan individu.
(8) Keberadaan korban di rumah atau mendatangi si pelaku.
Komponen program treatment bagi pelaku seksual bervariasi. Namun
demikian, beberapa tema yang konsisten lazim muncul di sebagian besar program.
Isu tersebut melingkupi tetapi tidak terbatas pada menerima tanggung jawab atas
perilaku, mengidentifikasi pola atau siklus, gangguan siklus, mengembangkan
empati bagi korban, meningkatkan penggunaan keterampilan sosial yang tepat,
menangani penyalahgunaan sendiri, penurunan bentuk menyimpang dari seksual,
meningkatkan pengetahuan seksual yang akurat, meningkatkan keterampilan
interpersonal, memperbaiki hubungan keluarga, dan meningkatkan kesadaran
akan kemungkinan kambuh serta metode pembelajaran untuk mencegah hal ini.
Ada juga beberapa metode treatment yang berbeda, beberapa di antaranya
mengundang kontroversi jika digunakan bagi remaja. Contoh dari jenis perawatan
ini meliputi (1) sensitisasi rahasia, di mana pelaku belajar untuk mengasosiasikan
respon negatif terhadap seksual, menarik situasi yang dianggap menyimpang,
sensitisasi rahasia dibantu, di mana stimulus tidak menyenangkan, seperti bau
yang tidak menyenangkan, digunakan untuk membuat reaksi negatif, (2)
desensitisasi imaginal, di mana pelaku seks menggunakan teknik relaksasi untuk