Resensi Buku
NUMPANG BAHTERA NUH
MENGARUNGI LAUTAN PUISI
Judul Buku : Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-sajak Nuh Penulis : Puji Santosa
Penerbit : PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo Tahun : 2003
Halaman : xii + 244 Ukuran Buku : 14 x 21 Cm
Kehadiran buku kritik puisi di negeri ini semakin semarak. Tahun 1980-an terbit buku kritik puisi Sosok Pribadi dalam Sajak (Subagio Sastrowardojo), Tergantung Pada Kata (A. Teeuw), Telaah Puisi Penyair Angkatan Baru (M,S. Hutagalung), kemudian tahun 1990-an terbit buku kritik puisi Dari Sunyi ke Bunyi (Hartoyo Andangdjaja), dan Sihir Rendra: Permainan Makna (Sapardi Djoko Damono), serta tahun 2000-an ini hadir buku kritik puisi Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-sajak Nuh (Puji Santosa).
Buku Bahtera Kandas di Bukit membahas sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh, yaitu sajak AHanya Satu@(1937) Amir Hamzah, AKapal Nuh@ (1957) dan ANuh@ (1972) Subagio Sastrowardojo, ANuh@ (1978) Sutardji Calzoum Bachri, APerahu Kertas@ (1982) dan APokok Kayu@ (2000) Sapardi Djoko Damono, ABalada Nabi Nuh@ (1994) Taufiq Ismail, ANumpang Perahu Nuh@ (1996) Dorothea Rosa Herliany, ANuh@ (1998) Goenawan Mohamad, dan ABah-tera Nuh@ (1999) A.D. Donggo, dengan menggunakan pendekatan semiotika dan intertekstualitas.
Teori semiotika yang digunakan untuk menganalisis sepuluh sajak Indo-nesia modern yang menghadirkan Nuh itu terutama menggunakan tiga aspek
tata sastra Todorov (1985), yaitu meliputi aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek verbal atau pengujaran. Berhubung objek yang dijadikan bahan penelaahan ini adalah sajak, maka aspek bentuk dan bunyi pun dipandang penting untuk dianalisis karena kedua aspek ini mendu-kung makna sajak. Adapun teori inter-tekstualitas yang digunakan adalah teori intertekstualitas yang mula-mula dikem-bangkan oleh Julia Kristeva (1969), yang menyatakan bahwa Asetiap teks merupa-kan mosaik, kutipan-kutipan, penyerap-an, dan transformasi teks-teks lain@.
puisi-puisi Chairil Anwar. Seterus-nya menuju ke puisi-puisi kenabian karya Sitor Situmorang, Hartojo Andangdjaja, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Dorothea Rosa Herliany, dan A. D. Donggo.
Meningkat pada bab kedua, AMak-na Kehadiran Nuh dalam Konstelasi Sa-jak Kenabian@ kita seolah dibawa menje-lajahi gugus sajak demi gugus sajak se-tiap penyair, mulai dari Amir Hamzah hingga A.D, Donggo. Setelah membaca bab ini kita rasanya semakin dekat dan mengenal lebih jauh karakter sajak-sajak kenabian delapan penyair brilian sastra Indonesia modern. Sebaran sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu ter-nyata tersebar luas dalam penerbitan me-dia cetak, seperti surat kabar, majalah sastra atau budaya, buku kumpulan sajak tunggal penyairnya, antologi bersama penyair lain, lampiran buku hasil pene-litian, dikutip secara penuh dalam artikel sastra yang dimuat majalah atau buku, dan sampul rekaman kaset. Pemuatan sajak-sajak itu ada yang beberapa kali dalam penerbitan, bahkan ada yang sam-pai 16 kali. Hal ini menunjukkan bahwa sepuluh sajak yang menghadirkan Nuh itu cukup luas dikenal masyarakat pem-baca di mana AHanya Satu@ Amir Ham-zah, ABalada Nabi Nuh@ Taufiq Ismail, dan ANuh@ Goenawan Mohamad) merupakan pelajaran bagi orang yang beriman agar tidak berbuat musyrik terhadap ayat-ayat Tuhan. Mereka yang berbuat musyrik itu akan ditenggelam-karamkan dengan azab Tuhan. Pertikaian di antara dua umat yang merupakan satu nenek moyang, Nuh sebagai kepala gembala atau Abapak segala nabi dan bangsa@ setelah terjadinya bencana air bah, tidaklah ada gunanya. AHanya Satu@ yang menjadi teladan utama manusia agar selamat mencapai tujuan ialah selalu dekat rapat dengan Tuhan, mengikuti jejak Nabi Ibrahim dan keturunanya sebagai umat terpilih (termasuk Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw).
Sastrowardojo), Apende-ritaan yang dalam ketika menghadapi bencana air bah@ (ANuh@ Sutardji Calzo-um Bachri), Amembutuhkan ketabahan dan ketawakalan dalam menghadapi umat yang musyrik@ atau AKeadilan, per-kara besar, telah dibereskan Tuhan@ (ANuh@ Goenawan Mohamad), Awakil zaman yang menyedihkan atau mengha-rukan@ (ABalada Nabi Nuh@ Taufiq Ismail), dan Aupaya manusia untuk selalu menjaga lingkungan agar tidak terjadi bencana banjir@ (APokok Kayu@ Sapardi Djoko Damono).
Makna kehadiran Ajung bertu-dung/kapal/bahtera/perahu Nuh@ dalam puisi Indonesia modern adalah sebagai metafora Apenyelamatan umat yang terkasih dan senantiasa bersyukur@ (AHa-nya Satu@ Amir Hamzah dan ANuh@ Goe-nawan Mohamad), Aajakan atau seruan untuk berkemas menuju ke tanah air baru yang lebih berseri@ (AKapal Nuh@ Subagio Sastrowardojo dan ABahtera Nuh@ A.D. Donggo), Asandaran untuk menitipkan keselamatan dan harapan@ (ANumpang Perahu Nuh@ Dorothea Rosa Herliany), Apenghargaan generasi tua kepada generasi muda@ (APerahu Kertas@ Sapardi Djoko Damono), dan Apuncak kesadaran hidup membumi@ (ANuh@ Sutardji Cal-zoum Bachri).
Hubungan intertekstual sajak-sajak yang menghadirkan Nuh dalam puisi Indonesia modern dengan teks
bahasa figuratif. Melalui bahasa figuratif itu penyair sastra Indo-nesia modern berusaha mengaktualkan sejarah keimanan Nabi Nuh yang mung-kin dilupakan oleh sebagian besar umat manusia yang hidup pada masa kini. Mereka menghadirkan Nuh ke dalam sajak-sajak Indonesia modern yang ditu-lisnya secara esensial tidak mengubah makna dari teks yang dirujuknya, yaitu pewartaan sejarah keimanan seorang nabi dan rasul yang berjuang keras menegak-kan kebenaran di jalan Allah. Ekspresi sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu dapat berbeda-beda, namun hakikatnya semua sajak berusaha mengukuhkan kembali keberadaan mitos Nabi Nuh di tengah-tengah kehidupan manusia sekarang.
Beranalogi pada kisah Nuh yang terungkap dalam kitab suci yang menjadi acuan atau rujukan penulisan sajak Indo-nesia modern yang menghadirkan Nuh, secara intertekstualitas sepuluh sajak In-donesia modern tersebut juga merupakan tamsil bagi umat beriman dan bertakwa agar menegakkan kebenaran di jalan Allah. Sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh juga merupa-kan petunjuk yang nyata tentang tanda-tanda: (1) kebesaran, (2) kekuasaan, (3) kebijaksanaan, dan (4) keadilan Allah, sebagaimana ditunjukkan melalui kisah
Nuh yang terungkap dalam Alkitab, Ceri-ta-Cerita Alkitab: Perjanjian Lama, Quran dan Tafsirnya, dan Surat Al-Anbiya.
Sebagaimana telah dibuktikan da-lam analisis semiotika dan intertekstual-itas sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh itu merupakan ung-kapan gagasan delapan penyair sastra Indonesia modern tentang pewartaan sejarah keimanan umat yang terpilih, yaitu Nuh. Gagasan tersebut harus digali melalui analogi unsur-unsur yang mem-bentuknya--baik aspek bentuk dan bunyi, aspek sintaksis, aspek semantik, aspek pengujaran, maupun intertekstualitas-nyaBsecara
keseluruhan sehingga diper-oleh makna pewartaan sejarah keimanan umat yang terpilih tersebut. Demikian pula dengan konstelasi sajak yang meng-hadirkan Nuh dalam sebaran dan kon-teks dinamikanya menunjukkan adanya perluasan penyebaran pewartaan sejarah keimanan umat yang terpilih itu ke dalam berbagai media penerbitan, seperti surat kabar, majalah, buku, dan kaset rekaman. Penyebaran pewartaan sejarah keimanan umat yang terpilih ke dalam berbagai penerbitan itu diharapkan pem-baca luas memiliki kesadaran kembali ke akar atau sumbernya, yaitu Alkitab dan Al-Quran.