BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas
periode pertumbuhan (Golden Age Periode) dimana pada usia ini sangat baik untuk
pertumbuhan otak selain pertumbuhan fisik. Jika dalam masa ini perhatian kurang
memadai, maka akan terganggu pertumbuhan karena beberapa faktor seperti adanya
penyakit infeksi. Penyakit-penyakit infeksi yang biasa dialami balita adalah diare dan
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Dampak yang ditimbulkan berakibat kepada
kesehatan dan tumbuh kembang. Penyakit diare merupakan penyakit kedua terbanyak
yang menyebabkan kematian pada anak yaitu sebesar 20,1 persen. Diperkirakan satu
dari lima anak balita meninggal akibat penyakit diare (Jellife, 1989; Adriani &
Wirjatmadi, 2012; UNICEF, 2009; WHO, 2008).
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan buang air besar yang tidak normal
dan bentuk tinja yang cair dengan frekuensi yang lebih banyak dari biasanya, balita
dikatakan diare bila sudah lebih dari tiga kali sehari buang air besar, dampak yang
ditimbulkan dari penyakit tersebut bukan hanya bagi kesehatan balita semata,
melainkan juga bagi proses tumbuh kembang balita (Yongki, 2012; KEMENKES RI,
2010). Berdasarkan data RISKESDAS (2007) Penyakit diare merupakan salah satu
masalah kesehatan utama pada negara berkembang, yaitu merupakan penyakit
terbanyak bayi usia 29 hari-11 bulan (31,4 %), dan merupakan penyebab nomor satu
kematian balita usia 12-59 bulan (25,2 %). Disamping itu, diare juga dapat
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Anak-anak balita di Asia Tenggara
mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-20 persen waktu
hidup anak dihabiskan untuk diare (WHO, 2008; Soebagyo, 2008).
Pada tahun 2000 angka incident rate (IR) diare sebesar 301/1000 penduduk
dan data terakhir yaitu tahun 2010 menunjukkan bahwa angka Incident Rate (IR)
diare sebesar 411/1000 penduduk. Berdasarkan daftar tabulasi dasar (DTD) diare
merupakan penyakit terbanyak yang dirawat inap di Rumah sakit di Indonesia pada
tahun 2010 dan merupakan penyakit penyebab kematian nomor enam dari daftar
sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat di rumah sakit (Depkes RI, 2011).
Profil kesehatan Indonesia melaporkan bahwa Kejadian Luar Biasa (KLB)
diare pada balita dari tahun 2008 sampai 2009 terjadi di 15 provinsi, 69 kecamatan
dengan jumlah penderita tahun 2008 sebesar 8.443 sedangkan pada tahun 2009 turun
menjadi 5.756 orang dengan jumlah kematian pada tahun 2008 sebanyak 239 orang.
Keadaan ini meningkat dari tahun 2007 dimana jumlah penderita sebanyak 3.659
orang dengan jumlah kematian 69 orang. Sementara itu, di Sumatera Utara
berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara ( Dinkes Provsu ) dari
Januari hingga September 2012 diperkirakan terdapat 141.556 kasus diare yang
tercatat di fasilitas kesehatan, dimana sekitar 53 persen dari jumlah tersebut yaitu
75089 terjadi pada balita. Pada tahun 2005 sebanyak 168.072 orang, 11
angka kematian 25 orang. Penderita terbanyak pada tahun 2005 terdapat di Kota
Medan dengan jumlah 38.012 orang. Pada tahun 2008 kembali terjadi KLB diare
yang menyebabkan kasus kematian (CFR) sebesar 1,80 persen (Depkes RI, 2005;
Depkes RI, 2009; Dinkes Provsu, 2012).
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, bukan hanya
di negara–negara yang sedang berkembang tetapi juga di negara maju. Penyebab
paling umum diare akut di seluruh dunia adalah infeksi virus, bakteri, dan parasit
(Parashar, 2003). Sebagaimana diketahui bahwa ada hubungan yang sangat erat
antara infeksi (virus, bakteri, dan parasit) dengan terjadinya malnutrisi. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan
terjadinya penyakit infeksi, demikian juga sebaliknya bahwa adanya infeksi akan
memengaruhi status gizi serta mempercepat timbulnya malnutrisi (Supariasa, 2002).
Menurut Firmansyah (1992), setiap episode diare dapat menyebabkan
terjadinya kekurangan gizi. Hal ini disebabkan karena pada saat diare biasanya terjadi
anoreksia (hilang nafsu makan) dan berkurangnya kemampuan menyerap sari
makanan sehingga apabila terjadi secara berkepanjangan akan berdampak pada
pertumbuhan dan kesehatan anak. Padahal, pada saat sakit terjadi peningkatan
kebutuhan zat gizi, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host)
maupun dari parasit yang terdapat dalam tubuh (Supariasa, 2002).
Kematian karena diare biasanya disebabkan karena dua hal yaitu adanya
dehidrasi yang tidak teratasi dan intake makanan yang tidak memadai (malnutrisi).
telah menemukan bahwa dehidrasi akibat diare akut dari setiap etiologi (penyebab)
dan pada usia berapapun, kecuali bila parah, dapat dengan aman dan secara efektif
diatasi dengan metode sederhana oral rehidrasi menggunakan cairan tunggal pada
lebih daripada 90 persen kasus. WHO dan UNICEF merekomendasikan pemberian
oral rehidration salt/oralit (ORS) osmolaritas rendah untuk mencegah terjadinya dehidrasi (Bhan, 2005).
Masih tingginya angka kesakitan dan kematian karena diare tersebut
disebabkan oleh banyaknya faktor yang dapat menyebabkan diare seperti umur
penderita, status gizi, susunan makanan, adanya infeksi, serta faktor adat dan
kebiasaan. Faktor risiko terjadinya diare terbagi menjadi dua faktor, yaitu faktor
pejamu (internal) dan faktor lingkungan (eksternal). Faktor pejamu (internal) yang
menyebabkan kejadian diare yaitu bakteri, virus, dan organisme parasit. Kuman
pathogenethik yang sudah lama dikenal sebagai penyebab penyakit diare antara lain
E.coli. E.coli atau Escherichia coli, adalah anggota keluarga Enterobacteriaceae, gram negatif, fakultatif anaerob, penghuni usus manusia dan hewan berdarah panas,
sebagai indikator pencemaran oleh tinja hewan atau manusia serta keberadaannya
dianggap sebagai penyebab kejadian diare dikalangan bayi, kuman ini menyebabkan
sampai 25 persen kasus penyakit diare pada bayi (WHO, 2000; Todar & Kenneth,
2008, Motarjemi & Esrey SA dalam WHO, 2000; Kuswoyo, 2007).
Faktor eksternal yang memengaruhi kejadian diare antara lain pola makan dan
higiene sanitasi perorangan. Pola makan pada balita meliputi pola pemberian
pada saat bayi. Pada umumnya, diberbagai negara terutama di negara-negara sedang
berkembang, ibu merupakan pelaku utama pengasuhan bagi anak dalam rumah
tangga. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu memberikan alokasi waktu
yang lebih banyak dalam mengasuh dan membesarkan anak. Pada umumnya wanita
yang berbelanja, mempersiapkan makanan dalam keluarga, serta memberikan
pengasuhan dasar bagi bayi dan balita seperti memberikan ASI dan MP-ASI,
memandikan, memakaikan pakaian, dan mengawasi aktivitas anak (Cassidy, 1987;
Piit dan Rosenzweig, 1990). Praktek pengasuhan makanan yang memadai sangat
penting bagi tumbuh kembang anak dan daya tahan anak terhadap serangan penyakit
seperi diare. Disamping itu, dalam menyelenggarakan makanan balita ibu memiliki
peran yang sangat besar yang pada akhirnya berpengaruh terhadap keadaan gizi
balita. Balita yang menderita gizi kurang mempunyai kemungkinan yang lebih besar
untuk menderita penyakit infeksi. Salah satu cara pemenuhan gizi dengan pemberian
air susu ibu (ASI) eksklusif pada saat bayi, yaitu hanya memberikan ASI saja tanpa
makanan pendamping apapun sampai usia enam bulan. Balita yang tidak diberi ASI
berisiko untuk menderita diare lebih tinggi daripada bayi yang diberi ASI secara
penuh (Depkes RI, 2007, Kardjati 1985). Hal ini sesuai dengan pernyataan Suraji
(2003) bahwa untuk mendapatkan gizi yang baik pada bayi yang baru lahir maka
seorang ibu harus sesegera mungkin menyusui bayinya karena ASI memegang
peranan penting dalam kesehatan dan mempertahankan kelangsungan hidup bayi.
kerentanan terhadap diare, diantaranya tidak memberikan ASI selama dua tahun,
kurang gizi, penyakit campak, dan imunodefisiensi.
Status gizi dengan diare mempunyai hubungan timbal balik, sering
menyulitkan untuk memastikan mana kejadian yang terjadi terlebih dahulu, status
gizi yang buruk akan memengaruhi terjadinya penyakit diare. Tingkat dehidrasi dan
lamanya diare meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi, terutama
pada penderita gizi buruk (Depkes RI, 2007). Selain itu makanan juga dapat menjadi
sumber utama patogen penyebab diare. Sebanyak 70 persen kasus penyakit diare
terjadi karena makanan yang terkontaminasi, kejadian ini juga mencakup pemakaian
air minum dan air dalam menyiapkan makanan. Kondisi higiene sanitasi makanan
dan minuman yang buruk mempunyai risiko terjadinya diare sebesar 2,543 kali
dibandingkan dengan bayi yang mempunyai higiene dan sanitasi makanan yang baik.
Diare pada balita disebabkan karena makanan/minuman yang tercemar kuman
penyakit, basi, dihinggapi lalat dan kotor, minum air mentah/ tidak dimasak dan
penggunaan botol susu dan dot yang tidak bersih (Zakianis, 2003; Kemenkes RI,
2010). Menurut Sander (2005), faktor yang juga berkaitan dengan kejadian diare
yaitu tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kurangnya
sarana kebersihan, pembuangan tinja yang tidak higienis, kebersihan perorangan dan
lingkungan yang jelek, serta cara penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak
semestinya.
Perilaku ibu dalam menyiapkan makanan, penggunaan sumber air yang sudah
yang tidak bersih, tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar
atau membersihkan tinja anak yang terinfeksi, sehingga mengkontaminasi perabotan
dan alat-alat yang dipegang dapat menjadi faktor risiko terjadinya diare pada balita.
Sementara pada bayi, kejadian diare ada kaitannya dengan praktek pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang terlalu dini, MP-ASI yang terlalu dini
kurang dari usia enam bulan, selain belum dibutuhkan juga memungkinkan bayi
mendapat infeksi saluran pencernaan lebih besar akibat cara pemberian yang kurang
bersih dan belum sempurnanya organ pencernaan bayi baik secara anatomis maupun
secara fisiologis. Penyebab diare lainnya adalah makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh serangga atau kontaminasi oleh tangan yang kotor, bermain
dengan mainan yang terkontaminasi, apalagi pada bayi yang sering memasukkan
tangan/apapun ke dalam mulut karena virus ini dapat bertahan hidup di permukaan
udara selama beberapa hari (Suririnah, 2006; Prawirohartono, 1997 ).
Kecamatan Medan Timur memiliki luas daerah 776 Ha, terdiri dari 11
kelurahan yang memiliki keragaman potensi sumber daya manusia yang berakibat
ada perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebahagian besar penduduk
memanfaatkan Puskesmas sebagai salah satu akses mendapatkan pelayanan
kesehatan. Salah satu permasalahan kesehatan yang ditemukan di puskesmas adalah
masih tingginya angka kejadian diare, dimana kasus diare merupakan urutan ke enam
dari sepuluh penyakit terbanyak rawat jalan di Puskesmas Glugur Darat. Selain itu
dua orang yang menyebabkan gangguan tumbuh kembang balita, serta belum adanya
data yang akurat tentang cakupan pemberian ASI ekslusif.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian yang
berjudul “Pengaruh Pola Makan, Status Gizi, Higiene dan Sanitasi Makanan
Terhadap Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Glugur Darat
Kecamatan Medan Timur”.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan laporan Puskesmas Glugur Darat dalam kurun waktu lebih dari
lima tahun, penyakit diare merupakan salah satu dari sepuluh besar penyakit
terbanyak yang datang berkunjung ke Puskesmas, tepatnya di urutan ke enam.
Kelurahan yang terbanyak ditemukan kasus diare berdasarkan laporan bulanan
puskesmas (Januari, Februari, Maret) tahun 2013 adalah Kelurahan Glugur Darat I
yaitu sebanyak 66 orang. Belum tersedianya informasi yang nyata mengenai jumlah
bayi yang diberi ASI eksklusif, masih dijumpainya praktek pemberian MP- ASI dini
seperti bubur susu, serta masih dijumpainya daerah/ wilayah dengan sanitasi
lingkungan yang kurang memadai (kumuh) yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya diare. Oleh karena itu dirasa perlu untuk meneliti bagaimana pengaruh
pola makan, status gizi, higiene dan sanitasi makanan terhadap kejadian diare pada
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh yang paling dominan diantara pola makan,
status gizi, higiene dan sanitasi makanan terhadap kejadian diare pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat Kecamatan Medan Timur
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh yang paling dominan diantara pola makan, status gizi, higiene
dan sanitasi makanan terhadap kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Glugur Darat Kecamatan Medan Timur
1.5 Manfaat Penelitian
1. Memberikan indikator dalam menggambarkan penyebab terjadinya diare pada
balita di Kecamatan Medan Timur, sehingga dapat digunakan sebagai bahan
masukan dalam mencegah dan menurunkan kejadian diare pada balita sehingga
tumbuh kembang dan status kesehatan balita semakin meningkat.
2. Penelitian ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah keilmuan dan
pengembangan pengetahuan tentang pola makan, status gizi, higiene dan sanitasi
makanan terhadap kejadian diare pada balita.
3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian