BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan telah masuk
sampai ke seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah
kerugian keuangan Negara serta dari segi kualitas tindak pidana korupsi yang
dilakukan semakin sistematis yang telah memasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat.
Harus disadari meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali
akan membawa dampak yang tidak hanya sebatas kehidupan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar
biasa.
Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum
dan ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan
tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk
sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena
sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.1
Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh
tubuh pemerintah bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan milik negara
sedangkan langkah-langkah pemberantasannya masih tersendat-sendat sampai
sekarang. Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena dengan kekuasaaan itu
dapat melakukan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau
kroninya. Dapat ditegaskan bahwa korupsi itu selalu bermula dan berkembang
disektor pemerintahan (publik) dan perusahaan-perusahaan milik negara. 2
Pemberantasan korupsi bukanlah perkara mudah yang di atasi, karena sistem
penyelenggara pemerintah yang mengedepankan kerahasiaan dan ketertutupan
dengan menipiskan pertanggungjawaban publik dan mengedepankan
pertanggungjawaban primodialisme yang menggunakan sistem rekruitmen atas
dasar koncoisme yang didasarkan pada kesamaan etnis. Korupsi disektor swasta
pun sudah sama parahnya dengan korupsi disektor publik, mana kala aktivitas
bisnisnya terkait atau berhubungan dengan sektor publik, misalnya sektor
perpajakan, perbankan dan pelayanan publik. Penyusunan dari Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU PTPK) telah mempertimbangkan setiap faktor yang dapat
melemahkan sistem peradilan pidana dalam memberantas korupsi yang telah
melembaga baik dalam sektor publik maupun swasta. Secara operasional agar
1
Edi Yunara, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2005), halaman 2
2
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTK) untuk mencapai
tujuannya maka keberadaan sebuah lembaga sangat diperlukan dalam
pemberantasannya disamping instansi kepolisian dan kejaksaan diharapkan
keberadaan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara
proaktif dapat meningkatkan kinerja instansi-instansi tersebut dengan inisiatifnya
melaksanakan tugas penidikan dan penuntutan terhadap para pelaku tindak pidana
korupsi, baik di instansi publik yang ada dilembaga eksekutif, legislatif, yudikatf
maupun BUMN.3
Secara etimologis atau menurut bahasa, korupsi berasal dari bahasa latin
corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah
corrumpere. Dari bahasa latin turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di eropa,
seperti inggris ; corruptio,corrupt, Perancis : corruption, dan Belanda : corruptie
atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi.
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.4 Secara sosiologis,
korupsi merupakan perbuatan desosialisasi, yaitu suatu tindakan yang tidak
mempedulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial. Mengabaikan kepedulian
sosial merupakan salah satu ciri korupsi. Pelaku tidak peduli terhadap hak-hak
orang lain, yang dipentingkan hak individunya dapat terpenuhi, meskipun harus
mengorbankan kepentingan orang lain.
3
Ibid, halaman 2. 4
Definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada
disiplin ilmu yang dipergunakan.5 Demikian pula dalam perspektif hukum,
korupsi merupakan konsep hukum yang secara definitif diatur dalam
undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Korupsi juga menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi
Indonesia, bahkan telah kronis seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak
makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun,
baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya.
Tingginya angka korupsi di Indonesia disebabkan tidak hanya terjadi di
tingkatan elit, namun hampir dapat dipastikan masalah ini terdapat hampir
diseluruh lapisan institusi negara ini. Tingkat korupsi di masing-masing lapisan
tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya kecil-kecilan hingga
korupsi besar-besaran yang jumlahnya dapat mencapai angka triliyunan rupiah.6
Mochammad Jasin mengemukakan lima hal penyebab utama korupsi di Indonesia,
di antaranya :
1. Rendahnya integritas dan profesionalisme.
2. Lemahnya komitmen dan konstitensi penegakan hukum dan peraturan
perundangan.
5
Suyatno, Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, (Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 2005), halaman 6.
6
3. Adanya peluang di lingkungan kerja tugas jabatan dan lingungan masyarakat
yang mendukung timbulnya korupsi.
4. Sikap yang tamak, lemahnya keimanan, kejujuran dan rasa malu;
5. Sistem penggajian yang tidak profesional.7
Dalam praktek tindak pidana tertentu yang sering terjadi di lingkungan
usahaperbankan adalah ttindak pidana korupsi, sedangkan tindak pidana ekonomi
belum ada yang diterapkan selama ini, meskipun secara umum tindak pidana
perbannkan dapat dikatagorikan economic crime. Pada kasus PT. Bank Negara
Indonesia (persero) atau yang biasa lebih dikenal dengan BNI 46, seorang
pemimpin yang mempunyai wewenang dalam mengatur pemberian kredit kepada
para calon debitur menyalahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan dana
kredit kepada direktur PT. Bahari Dwikencana Lestari dengan memanipulasi
surat-surat yang ada untuk proses mengajukan kredit dan menggunakan berbagai
cara agar dana kredit tersebut bisa keluar atau dicairkan. Kredit tersebut diajukan
oleh PT. Bahari Dwikencana Lestari dengan maksud untuk membeli lahan
perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh PT. Atakana Company. Akan tetapi
pada saat PT. Bahari Dwikencana Lestari mengajukan kredit ke BNI belum
terlaksana akte jual beli yang baru terlaksana masih perjanjian akan jual beli
berdasarkan perjanjian akan jual beli itulah PT. Bahari Dwikenca Lestari
meminjam kredit kepada bank BNI dan dikabulkan oleh bank BNI tersebut.
Berdasarkan hal tersebut tampak telah terjadi manipulasi sehingga dana
kredit tersebut cair. Dalam kerangka perbuatan korupsi pidana, harus ada
7
kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan terlebih dahulu, di samping unsur lain,
yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggoran-kelonggoran masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi dalam
dunia perbakan
2. Bagaimana analisa hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia
perbankan (studi putusan nomor: 79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.)
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejauh manakah peraturan perundang-undangan tentang
tindak pidana korupsi penyal oleh pejabat perbankan di Indonesia
penerapannya telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Untuk mengetahui bagaimana hukum yang diterapkan dalam putusan nomor:
79/Pid.Sus.K/2012/PN.MDN.
Adapun yang menjadi kegunaan penulisan ini adalah :
Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran
di bidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum, khususnya
mengenai tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia
2. Manfaat Praktis
Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan atau diterapkan
oleh pengambilan kebijakan dan para pelaksana hukum dalam bidang korupsi
di perbankan, dengan menerapkan konsep-konsep kebijakan hukum pidana.
D. Tinjauan Keputaskaan
1. Pengertian tindak pidana.
Hukum adalah suatu tata perbuatan manusia. Tata perbuatan mengandung
arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan semata, tetapi hukum adalah
seperangkat peraturan yang kita pahami dalam satu kesatuan yang sistematik.
Pernyataan bahwa hukum adalah tata perbuatan manusia, tidak berarti tata hukum
hanya berkenaan dengan manusia saja, bahwa tidak ada hal lain kecuali perbuatan
manusia yang membentuk isi peraturan hukum. Masyarakat Indonesia pada
khususnya mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum yaitu :
1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan.
2. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan. 3. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas
yang diharapkan.
4. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis). 5. Hukum diartikan sebagai petugas ataupun pejabat.
6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa. 7. Hukum diartikan sebagai proses pemerintah.
10. Hukum diartikan sebagai seni.8
Hukum tidak dapat dipisahkan dari kultur, selanjutnya M. Solly Lubis
menyatakan bahwa melalui pendekatan kultur, pembinaan hukum dilihat bukan
sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan lalu
perlunya perubahan hukum, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang ingin
menjabarkan sistem nilai yang dianut ke dalam konstruksi hukum nasional.9
Wiener mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem pengawasan perilaku
(ethical control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi. Wujud hukum
adalah norma dan norma itu merupakan produk dari suatu pusat kekuasaan yang
memiliki kewenangan untuk menciptakan dan menerapkan hukum.10
Selama ini orang memandang hukum itu identik dengan peraturan
perundang-undangan itu merupakan salah satu unsur dari keseluruhan sistem
hukum. Sistem adalah keseluruhan bangunan hukum yang didukung oleh
sejumlah asas. Asas-asas tersebut bertingkat-tingkat mulai dari grundorm yaitu
pancasila sebagai asas filosofis kemudian Undang-Undang Dasar 1945 (UUD)
sebagai asas konstitusional, dan akhirnya Undang-Undang sebagai asas
operasional.11 Berbicara tentang sistem hukum, maka sistem hukum itu terdiri dari
7 (tujuh) unsur yaitu:12
8
Soerjono soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum, (PT. Raja grafindo Persada : Jakarta, 1985), halaman 33.
9
M. Solly Lubis, Serba Serbi Politik Dan Hukum, (Mandar Maju : Bandung), halaman 49.
10
Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (PT. Remaja rosdakarya : Bandung, 1993), halaman 94.
11
Bismar Nasution, dkk, Perilaku Hukum Dan Moral Di Indonesia, (USU Pers : Medan, 2004), halaman 29.
12
1. Asas-asas hukum.
2. Peraturan perundang-undangan yang terdiri dari : a. Undang-undang
b. Peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang c. Yurisprudensi tetap (case law)
d. Hukum kebiasaan.
e. Konvensi-konvensi internasional. f. Asas-asas hukum internasional.
3. Sumber Daya Manusia yang profesional, bertanggunghawab dan sadar hukum.
4. Pranata-pranata hukum (petunjuk-petunjuk hukum) seperti contoh dilarang berhenti dilampu merah, yang apabila dilanggar akan menimbulkan akibat hukum.
5. Lembaga-lembaga hukum ( legislatif,eksekutif,yudikatif), termasuk : a. Struktur organisasinya.
b. Kewenangannya. c. Prsoes dan prosedur. d. Mekanis kerja.
6. Sarana dan prasarana hukum, seperti:
a. Furnitur dan lain-lain alat perkantoraan, termasuk komputer dan sistem manajemen perkantoran.
b. Senjata dan lain-lain peralatan terutama untuk polisi. c. Kendaraan.
d. Gaji.
e. Kesejahteraan pegawai/karyawan. f. Anggaran pembangunan dan lain-lain.
7. Budaya hukum yang tercermin oleh prilaku pejabat (eksekutif,legislatif, maupun yudikatif), tetapi juga perilaku masyarakat yang di Indonesia cenderung menghakimi sendiri sebelum benar-benar dibuktikan seorang tersangka atau tergugat benar-benar bersalah, melakukan suatu kejahatan atau perbuatan tercela.
Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok
yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut
meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta
mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya13. Yang
menjadi masalah pokok dalam hukum pidana adalah14 :
1. Perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi).
2. Pertanggung jawaban pidana (kesalahan).
3. Sanksi yang diancam, baik pidana maupun tindakan.
Adapun yang menjadi unsur tindak pidana dibedakan atas unsur subjektif
dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si
pelaku, temasuk didalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung didalam
hatinya. Unsur subjektif dari tindak pidana meliputi:15
1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa).
2. Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat (1)
KUHP).
3. Macam-macam maksud atau oogmer seperti misalnya yang terdapat dalam
tindak pidana pencurian.
4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam pasal
340 KUHP.
Sedangkan unsur objektifnya adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan unsur objektif dari tindak pidana meliputi :16
13
Martin Prodjohamidjojo, Memaham Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (PT Pradnya Paramita), halaman 5.
14
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : UNDIP, 1995), halaman 50.
15
A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: Universitass Muhammadiyah Malang,2004), halaman 33.
16
1. Sifat melanggar (melawan hukum).
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri
dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP.
3. Kasualitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
kenyataan sebagai akibat.
2. Pengertian Perbankan.
Definisi atau batasan mengenai bank pada dasarnya tidak berbeda satu
sama lain, kalaupun ada perbedaan hanya akan tampak pada tugas dan jenis usaha
bank tersebut. Menurut Prof. G.M. Verryn Stuart dalam bukunya Bank Politik,
“bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit,
baik dengan alat-alat pembayarannya sendiri atau dengan alat-alat pembayarannya
sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, mana pun dengan
jalan memperedarkan alat-alat penukar dan tempat giral.”17
Menurut A. Abdurahman (2001) dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan
dan Pedagangan, “bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan
berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjama, mengedarkan mata uang,
pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan
benda-benda berhaga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain”. Menurut
Undang-Undang Nomo 14 Tahun 1967 Pasal 1 tentang Pokok-pokok Perbankan,
“bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan
jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Pendapat lain
17
mengemukakan “bank sebagai suatu badan yang tugas utamanya; menghimpun
uang dan sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit
kepada pihak ketiga pada waktu tertentu.”
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan,
pengertian bank diatur pada Pasal 1 angka (1) bahwa bank adalah suatu badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan pengertian bank menurut perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November
1998 menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Kalau dilihat dari fungsinya, maka definisi bank dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu:
1. bank melaksanakan operasi perkreditan secara pasif dengan
menghimpun uang dari pihak ketiga
2. bank dilihat sebagai pemberi kredit, artinya bahwa bank
melaksanakan operasi perkreditan secara akti.f
3. Bank dilihat sebagai pemberi kredit bagi masyarakat melalui sumber
yang berasal dari modal sendiri, simpanan/tabungan masyarakat
Berdasarkan pengertian tersebut, bank merupakan perusahaan yang
bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan
dalam bidang keuangan dan bank merupakan suatu pranata sosial yang bersifat
finansial, yang melaksanakan jasa-jasa keuangan. Berdasarkan kasus yang di
bahas dalam Kajian hukum terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia
perbankan tidak lepas juga dari penyalahgunaan wewenang pejabat perbankan
dalam mengeluarkan suatu kredit (pinjaman). Pengertian pinjaman (kredit)
menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjaman
melunasi uangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan
atau pembagian hasil keuntungan.18
Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa pinjaman atau kredit
dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang, misalnya bank
membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil. Kemudian adanya
kesepakatan antar bank (kreditor) dengan nasabah penerima kredit (debitur),
bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam
perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak termasuk
jangka waktu serta bunga yang telah ditetapkan bersama. Demikian pula dengan
masalah sanksi apabila debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat
bersama. Pemberian kredit tanpa di analisis terlebih dahulu sangat membahayakan
bank. Nasabah dalam hal ini dengan mudah memberikan data-data fiktif sehingga
18
kredit tersebut sebenarnya tidak layak untuk diberikan. Akibatnya jika salah
dalam menganalisis, maka kredit yang disalurkan akan sulit untuk ditagih alias
macet.19
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas
kredit adalah sebagai berikut:
1. Kepercayaan.
Yaitu suatu keyakinan pemberian kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa czuang, barang, atau jasa) akan benar-benar diterima kembali dimasa yang akan datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah baik secara intern maupun ekstern.
2. Kesepakatan.
Kesepakatan ini meliputi kesepakatan antar si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatn ini dituangkan dalam sebuah perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya.
3. Janga waktu.
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati.
4. Risiko.
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu kondisi tidak tertagihnya/macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar risikonya demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun oleh risiko yang tidak disengaja. Misalnya bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya.
5. Balas jasa.
Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau fase tersebut yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan administrasi kredit ini merupakan keuntungan bank.20
Pejabat perbankan yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan
kredit haruslah mengikuti semua unsur di atas. Apabila unsur itu tidak dipenuhi
maka pejabat perbankan itu telah menyahlahgunakan wewenangnya dengan
mengeluarkan kredit tanpa memikirkan unsur yang harus dipenuhi. Dan apabila
19
Ibid, halaman 164. 20
hal tersebut menimbulkan kerugian negara maka pejabat perbankan tersebut dapat
di jatuhi Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi :
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau didenda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milliar rupiah).
Jelas di dalam pasal tersebut dikatakan menyalahgunakan kewenangan
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat di kenakan sanksi pidana
begitu juga seorang pejabat perbankan yang menyalagunakan wewenangnya
hingga menimbulkan perbuatan tindak pidana korupsi.
3. Pengertian tindak pidana korupsi.
Menganalisis Undang-Undang Tipikor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999) maka yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:
a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2).
b. Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau suatu badan atau suatu korporasi menyalahgunakan kewnangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang daoat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).
d. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 14)
e. Setiap orang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15) f. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi (Pasal 16).21
Pengertian melawan hukum di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU PTPK) “... secara melawan hukum, dalam pengertian formil
dan materil. Dengan perumusan terebut, pengertian melawan hukum tindak
pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut
perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.”
Menurut Simon yang dimaksud dengan wederrechtelijk (melawan hukum)
tidak bertentang dengan hukum pada umumnya, jadi tidak hanya sekedar
bertentangan dengan hukum tertulis, akan tetapi juga bertentangan dengan hukum
yang tidak tertulis.22 Sejalan dengan pendapat Simon, Bambang Poernomo
menyatakan suatu perbuatan itu dapat dikatakan melawan hukum, bila memenuhi
dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum formil ( formele wederrechtelijkheid) dan
sifat melawan hukum yang materil (materiele wederrechtelijkheid). Yang menjadi
alasan pertimbangan pembuat undang-undang mencamtumkan unsur melawan
hukum dalam pengertian formil maupun materil di dalam Undang-Undang Nomor
21
Edi Yunara, Korupsi dan pertanggungjawaban pidana korporasi, PT Citra aditya bakti, Bandung, 2005, Halaman 36-37
22
31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tersebut, yaitu :
Pertama : Mengingat korupsi terjadi secara sistematis dan meluas, tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga digolongkan sebagai extraordinary crime, maka pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa
Kedua : Dampak dari tindak pidana korupsi selama ini, selain merugikan keuangan dan perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi
Ketiga : Dalam upaya merespon perkembangan keutuhan hukum didalam masyarakat, agar dapat lebih memudahkan didalam pembuktian, sehingga dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit.23
Jenis tindak pidana korupsi pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:24
1. Perbuatan yang merugikan Negara.
2. Suap-menyuap.
3. Penyalahgunaan jabatan.
4. Pemerasan.
5. Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan.
6. Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan.
7. Korupsi yang berhubungan dengan grafikasi (hadiah).
Menurut Romli Atmasasmita kriteria korupsi yang utama menurut
Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lama, yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah adanya unsur kerugian bagi negara, tetapi
23 Ibid. 24
pada kenyataannya unsur kerugian bagi negara itu sulit pembuktiannya karena
deliknya delik maeriel. Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
unsur kerugian tetap ada kemudian rumusannya diubah menjadi delik formil
sehingga tidak perlu dibuktutikan adanya kerugian atau tidak bagi negara. Kriteria
berikutnya adalah adanya keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan karena adanya wewenang atau kesempatan. Kriteria ini sudah diperluas
karena ada istilah karena jabatan, kedudukan, dan seterusnya, termasuk juga
suap-menyuap, baik antara bukan pegawai negeri maupun pegawai negeri. Begitu juga
dengan pemberian hadiah dan janji pada undang-undang yang baru, kriterianya
sudah diperluas.25
Dalam Pasal 27 UU PTPK dijelaskan bahwa tindak pidana korupsi yang
sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan
perpajakan pasar modal, perdagangan dan industri. Komoditi berjangka, atau di
bidang moneter dan keuangan yang:
a. Bersifat lintas sektoral;
b. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih atau
c. Dilakukan oleh tersangkal terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara
Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No.28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme.
25
E. Metode penelitian 1. Spesifikasi penelitian
Penelitian mengenai Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Dalam Dunia Perbankan merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif meliputi :
1. Penelitian terhadap sistematik hukum.
2. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.
3. Penelitian hukum in concreto
Penelitian hukum normatif ini bertujuan untuk menemukan aturan-aturan
hukum mengenai kapan seseorang telah melakukan penyalahgunaan wewenang
dalam jabatan yang mengakibatkan timbulnya korupsi serta mengenai tindak
pidana dan menguji apakah suatu postulat nomatif tertentu memang dapat atau
tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu masalah hukum tertentu in concreto
dan sinkronisasi aturan-aturan hukum mengenai korupsi ke dalam sistem hukum
pidana di Indonesia.
2. Sumber Data
Penelitian ini dititik beratkan pada studi kepustakaan, sehingga data
sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari data primer.
Data sekunder yang diteliti terdiri atas:
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa:
a. Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan korupsi dan
b. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku
seperti KUPidana.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang
bahan hukum primer antara lain berupa:
a. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai asas-asas
berlakunya hukum pidana dalam tindak pidana korupsi serta Perbankan.
b. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai kejahatan korupsi
yang dilakukan di perusahaan BUMN.
3. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang dipergunakan di dalam penelitian ini antar lain:
a. Dokumen atau bahan pustaka
Bahan pustaka dimaksud terdiri atas bahan hukum primer yaitu peraturan
perundang-undangn yang berkaitan dengan korupsi, perbankan, keuangan
negara, serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Bahan
hukum sekunder berupa karya para ahli termasuk hasil penelitian.
b. Studi Putusan
Studi putusan dilakukan terkait dengan penelitian yang bersangkutan
sehingga dapat menemukan data-data yang dapat diambil dan di jadikan dasar
untuk menulis penelitian ini.
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data
merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.26
Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun
data yang diperoleh di lapangan sebagai data primer, selanjutnya akan dianalisa
dengan pendekatan kualitatif.27
Analisa kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan
menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya. Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara
berpikir yang bersifat Deduktif yaitu data hasil penelitian dari hal yang bersifat
khusus menjadi yang bersifat umum. Dengan metode deduktif diharapkan akan
diperoleh jawaban permasalahan.
F. Keaslian Penulisan
Tulisan yang berjudul Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Dalam Dunia Perbankan merupakan hasil dari penilitian penulis yang dilakukan di
perpustakaan. Dan didalam hasil penilitian itu belum ada mahasiswa yang menulis
tentang judul ini. Karena mahasiswa belum ada yang menulis, maka tulisan ini
asli dari buah pikiran penulis. Baik dikemudian hari telah nyata ada skripsi yang
26
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), halaman 103.
27
sama dengan skripsi ini, sebelum ini dibuat, maka saya bertanggungjawab
sepenuhnya.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari :
a. Bab I menceritakan tentang gambaran-gambaran tentang masalah korupsi
serta adanya tanggapan penulisan tentang tindak pidana korupsi yang terjadi
dalam dunia perbankan
b. Bab II menceritakan tentang peraturan-peraturan apa yang berlaku dalam
tindak pidana korupsi dalam dunia perbankan
c. Bab III menceritakan tentang analisis hukum terhadap tindak pidana korupsi
dalam dunia perbankan berdasarkan putusan nomor : 79. Pid. Sus. K / 2012/
PN. MDN.
d. Bab IV terdapat adanya kesimpulan yang merupakan jawaban dari
permasalahan dan rekomendasi yang akan diberikan dalam penyalahgunaan