• Tidak ada hasil yang ditemukan

H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa - Dari Nu untuk Negara, Matori Abd Jalil.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa - Dari Nu untuk Negara, Matori Abd Jalil.pdf"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

H. Matori Abdul Djalil:

Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa

Selama Orde Baru berkuasa, hak untuk berkumpul, berserikat, dan mendirikan partai politik sangat dibatasi. Maka begitu katup reformasi terbuka, euforia politik tak dapat dibendung. Muncul partai baru, banyak diantaranya secara tegas memaklumkan diri sebagai partai berasaskan agama. Dikhawatirkan, partai agama terjerumus ke paham sektarian, eksklusif, sehingga potensial memicu diintegrasi bangsa.

Nahdlatul Ulama (NU) telah lama menyadari bahaya dan ancaman itu. Karena itu, dalam MUnas Alim Ulama tahun 1983 - kemudian diperkuat oleh Muktamar NU ke-29 tahun 19984 - NU memutuskan mengambil prinsip-prinsip kebangsaan, dan bukan Islam, sebagai asas-nya. Dengan kata lain, NU berasaskan Pancasila, sekaligus menggunakan Islam dengan paham Ahlussunah wal Jama'ah. Dengan inilah NU, dan kemudian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), berhasil memecahkan persoalan falsafati dan mendasar, hubungan antara agama dan negara.

Sebagai pemimpin sebuah partai besar, banyak tantangan meng- hadang langkah H. Matori Abdul Djalil mewujudkan cita-cita NU dan PKB. Berhasilkah ia menakhodai partai berlambang nusantara dalam

globe yang dikitari sembilan bintang ini mencapai tujuan politiknya? Adakah misi khusus dari ketua PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid, yang diemban Matori?

Daftar Isi

ISBN & Catatan penerbit

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

DAFTAR ISI

Pengantar Penerbit

Pengantar K.H. Abdurrahman Wahid BAB 1 - Dari Sekjen ke Ketua Umum Mengapa Saya?

Agenda Politik

BAB 2 - Kilas Balik Kebangkitan Kaum Ulama Bagian 1

Bagian 2

BAB 3 - Islam dan Demokrasi Visi Politik

Bukan Retorika

(2)

Kembali ke Partai

BAB 5 - Menghadapi Pemilu 1999 Pemilu: Ruang Perubahan Kekuatan Mahasiswa Partai Terbuka

Menghadapi Pemilu 1999

BAB 6 - Membangun Persaudaraan Sejati Pluralitas Agama

Suku dan Golongan Optimis atau Pesimis!

BAB 7 - Partai, Disitegrasi, dan Kebangsaan Rekonstruksi Nation Building

Foto-foto: Foto 1 Foto 2 Foto 3 Foto 4 Lampiran:

Susunan Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa Tentang Penulis

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

H. Matori Abdul Djalil:

Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa Oleh

Y.B. Sudarmanto A. Ariobimo Nusantara R Masri Sareb Putra Sanksi Pelanggaran Pasal 44:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Grasindo

GRAMEDIA WIDIASARANA INDONESIA

Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999 H. Matori Abdul Djalil:

Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa

oleh: Y.B. Sudarmanto, A. Ariobimo Nusantara, R. Masri Sareb Putra

GM 602 99.106 O Penerbit PT Grasindo

Jin. Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved

(3)

Pembaca akhir: Effendi Choiri

Sumber foto sampul dan isi: Dokumentasi Kompas, dok. PKB, Pribadi. Penerbit mengucapkan terima kasih secara tulus. Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Grasindo Anggota IKAPI, Jakarta 1999

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Sudarmanto, Y.B., 1960

H. Matori Abdul Djalil dari NU untuk

Partai Kebangkitan bangsa oleh Y.B. Sudarmanto, A. Ariobimo Nusantara, R. Masri Sareb Putra. Putra, R. 216 him.; 21 cm.

ISBN 979-669-569-3

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan

1. Jalil, Matori Abdul, Haji. politik -- Indonesia. I. Judul. I. Nusantara, A. Ariobimo. Masri Sareb.

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

PENGANTAR PENERBIT

Di kalangan para filosof, berbeda pandangan merupakan hal yang biasa, asalkan disertai argumentasi yang kuat. Agaknya, para filosof telah lama menyadari kebenaran makna motto Aleksandr Lebed, seorang jendral Rusia yang

mengatakan, "The most powerful weapon we have is reason" (senjata kita yang paling ampuh adalah alasan/argumentasi). Anehnya, terhadap objek material, atau bahan kajian, manusia para filosof sepakat bahwa manusia adalah makhluk multidimensional. Artinya, manusia memiliki banyak segi.

Banyak ilmu mencoba menjelaskan siapa sesungguh- nya manusia itu. Namun, semakin dijelaskan, semakin manusia tak bisa dipahami. Selalu ada saja sisi-sisi gulita manusia yang tak bisa dijelaskan, atau didekati, oleh ilmu. Untuk manusia biasa saja, ilmu sudah kerepotan men- jelaskannya, apalagi jika manusia itu seorang politikus yang sudah malang melintang selama lebih tiga dasawarsa. Sebutlah, sebagai contoh, H. Matori Abdul Djalil yang menjadi tema sentral dalam buku ini. Pasti banyak sisi yang belum diketahui masyarakat luas. Buku ribuan halaman tidak akan sanggup menjelaskan siapa dia, apalagi buku yang "hanya" 196 halaman sebagaimana tengah Anda pegang ini.

Jujur kami mengakui, dimensi Matori yang diangkat di sini lebih terfokus pada kiprah dan sosoknya di pang- gung politik. Jadi, objek formal, atau sudut pandang, buku ini melihat sosok Matori sebagai manusia politik (home politicus). Dengan begitu, pembaca otomatis tidak menemukan dimensi lain.

(4)

Karena dibangun atas asas kebangsaan, PKB adalah partai yang inklusif. Di satu sisi ia tidak meninggalkan Islam dengan paham Ahl-u 'l-sunnah wa 'l-Jama'ah, sedangkan di sisi lain -karena universal- ia terbuka untuk semua kaum tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan.

Apa tujuan politik PKB? Jika hakikat politik adalah kebaikan bersama (public good), maka satu-satunya tujuan politik yang pantas ialah keadilan (justice). Jika negara yang dibangun berlandaskan keadilan, dapat diandaikan bahwa semua warga akan bekerja dan dapat melaksanakan fungsinya masing-masing dengan balk.

Tentu panjang jalan dilalui PKB untuk sampai pada misi dan tujuan politiknya. Pasti ada landasan kuat, atau setidaknya terdapat alasan tertentu, yang melatar- belakangi keputusan itu. Minimal kondisi faktual sosial, politik,budaya, kemasyarakatan, serta moral bangsa In- donesia tatkala PKB akan dideklarasikan menentukan tujuan dan cara partai mencapai tujuan politiknya. Bagi PKB, dan khususnya Matori Abdul Djalil, politik yang sehat harus dibangun berdasarkan moral. Setuju dengan pandangan filosof Socrates (469-399 sebelum Masehi), Matori menganjurkan kepada setiap warga- negara, terutama politikus, untuk selalu bertindak sesuai dengan apa yang dibisikkan hati nuraninya (daimanion). Sebab, pada galibnya semua orang dapat diajarkan dan dituntun berbuat balk. Segala perbuatan yang jahat semata- mata timbul dari cara berpikir yang salah. Seorang politikus wajib mengarahkan dan mendidik setiap warga negaa untuk berpikir dan bertindak yang benar. Syarat untuk berpikir dan bertindak yang benar ialah kebijaksanaan. Karena itu, seorang politikus haruslah seorang yang bijaksana.

Maka sudah barang tentu, pasti banyak hikmah yang bisa dipetik dari buku ini. Kami tidak ingin menyebut kismis-kismis manis dan nikmat dari itu semua, silakan

pembaca menemukannya sendiri. Namun, satu hal ingin kami garisbawahi. Sebagai pemimpin sebuah partai besar seperti Partai Kebangkitan Bangsa --yang menurut pengamat politik William Liddle disebut sebagai salah partai terbesar saat ini-- ada loncatan besar dari Matori dan PKB. Jika akhir-akhir ini banyak pihak mencemaskan keutuhan bangsa Indonesia akan tercabik-cabik karena bermunculan bagai jamur di musim hujan partai-partai agama yang potensial mengancam integrasi dan rawan memicu konflik SARA, PKB memaklumkan diri sebagai partai yang terbuka untuk semua golongan.

PKB, sesuai manifesto politiknya, berjanji membawa bangsa menuju Indonesia yang serba baru. Yakni Indo- nesia yang tidak lagi tersekat-sekat dan terkotak-kotak ke dalam suku, agama, ras, dan antargolongan. Yang unik dari PKB adalah pandangannya yang melihat bahwa pada galibnya manusia --di mana saja di belahan bumi ini-- sama dan sederajat. Dengan cara pandang terhadap manusia yang universal seperti itu, PKB membongkar sekat-sekat yang selama ini menjadi penghalang persatuan dan kesatuan.

Karena itu, PKB berjanji membangun persaudaraan sejati. Persaudaraan yang, menurut istilah NU, memiliki empat dimensi. Pertama, persaudaraan antarumat Islam (ukhuwah Islamiah), persaudaraan antarbangsa (ukhuwah wathoniah), persaudaraan antarmanusia (ukhuwah insaniah), dan persaudaraan antaragama (ukhuwah diniyah) .

Melihat garis perjuangan PKB yang universal itu, kita tidak bisa berkesimpulan lain, kecuali PKB adalah partai yang terbuka. Perjuangan PKB adalah perjuangan semua kaum.

(5)

penerbitannya, antara lain K.H. Abdurrahman Wahid, Drs. A. Effendi Choirie dari Departemen Media Massa dan Pengembangan Opini PKB, Arie Syafruddin, A. Kunta Rahardjo, Munif, Ngatawi Al Sastro, Pusdok Kompas, dan tentu saja H. Matori Abdul Djalil sendiri yang senantiasa menyediakan waktu untuk wawancara. Untuk jasa dan sumbangsih mereka, kami mengucapkan terima kasih. Akhirul kalam, kami berharap pembaca dapat memetik hikmah buku ini.

Jakarta, 20 April 1999 www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

PENGANTAR ABDURRAHMAN WAHID

MENCARI SINTESA AGAMA & NEGARA

Sebenarnya, sangat sulit bagi saya untuk membuat kata pengantar bagi buku ini. Kesulitan terbesar dalam hal ini adalah adanya pengulangan terhadap apa yang saya nyatakan di dalamnya, karena hal itu dinyatakan juga oleh tokoh sentral buku ini, H. Matori Abdul Djalil. Tapi memang tidak bisa lain, karena saya harus menyatakan apa yang benar-benar menjadi pemikiran saya selama ini. Sebab, jika dengan cara lain, berarti saya berbuat tidak jujur, balk kepada diri saya maupun kepada pembaca buku ini. Masalah sentral yang selalu menjadi pemikiran saya dalam waktu beberapa tahun belakangan ini adalah mengenai hubungan antara agama dan negara. Dalam hal ini, ada dua pola hubungan yang harus dipilih: di satu

pihak ada suatu keinginan untuk menjadikan agama, baik secara langsung maupun tidak, sebagai referensi utama (atau diutamakan) dalam membentuk sebuah negara; sedangkan di pihak lain, tidak ada keinginan seperti itu. Menurut keinginan kedua ini, agama adalah salah satu di antara beberapa referensi dalam membentuk negara, karena itu agama tidak menjadi dasar negara. Ia sama fungsinya dengan faktor-faktor lain dalam kehidupan bernegara. Karena itu, tidak ada agama yang diutamakan satu atas yang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perbedaan ini sangat penting artinya, karena akan menentukan corak dari negara yang akan dibangun: haruskah bersumber pada ajaran formal agama, ataukah pada sumber-sumber lain secara rata dan agama menjadi salah satu di antaranya! Dengan demikian, tidak ada pengistimewaan atas sebuah agama di atas agama-agama yang lain. Karena itu, tidak ada agama yang dianak- emaskan dan tidak ada yang dianak-tirikan, semua sama kedudukannya.

Ini berarti, nantinya sama sekali tidak ada lagi agama yang diistimewakan, yang berarti negara harus

(6)

formal, seperti Pancasila.

Akan tetapi sebaliknya, kalau memang dibuat sebuah asas dalam kehidupan berorganisasi di negara-negara tersebut, sama sekali tidak boleh menggunakan referensi berupa agama tertentu. Kalau ini dilakukan, maka organisasi yang bersangkutan akan dipersempit

lingkungannya hingga mencapai orang-orang dari agama tersebut.

Dalam hal organisasi politik atau kemasyarakatan masih harus menggunakan asas, maka keputusan untuk tidak menggunakan agama tertentu akan membuahkan

pertanyaan: apakah yang menjadi asas baginya! Jawabnya sederhana saja, yakni bahwa asas itu harus bersifat umum dan menyeluruh, jika diinginkan organisasi yang

bersangkutan memiliki daya tarik yang luas yang meliputi seluruh jajaran bangsa. Hal itu hanya dapat dilakukan, jika yang menjadi asas adalah prinsip-prinsip yang dikehendaki, bukan sesuatu yang formal atau tertuju pada salah satu agama saja.

Karena itu, dapat dimengerti mengapa Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983 memutuskan mengambil prinsip-prinsip kebangsaan sebagai asasnya, dan bukannya Islam. Keputusan forum itu, kemudian diperkuat pada tahun berikutnya oleh

Muktamar NU ke-29 di tempat yang sama, yaitu di Pondok Pesantren milik K.H. R. As'ad Syamsul Arifin, di Situbondo. Apakah, dengan demikian, berarti NU lalu akan keluar dari lingkup agama Islam! Ternyata, tidak demikian. Karena Islam tetap hidup dalam organisasi itu dalam bentuk

kesusilaan (Al-Akhlaq al-Karimah) dan cara menyebarkan terhadap agama (Al-Dakwah).

Dengan demikian, NU berasaskan Pancasila tapi tetap menggunakan Islam dengan paham Ahl-u 'I-sunnah wa 'I- Jama'ah sebagai salah satu referensi' dasarnya. Dengan demikian, orang-orang yang tidak beragama Islam dapat mengikuti kiprah organisasi tersebut dengan berpedoman

pada asas itu, karena tidak ada kerugian apa-apa bagi mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, bagi mereka yang beragama Islam haruslah disediakan tempat bagi mereka untuk berkiprah menurut ajaran agama tersebut. Landasan untuk melakukan hal itu, adalah ajaran formal agama Islam yang berbentuk aqidah (keyakinan). Dengan kata lain, kita berkiprah membangun prinsip bermasyarakat dan bernegara yang direfleksikan dalam asas yang bersifat umum untuk semua pihak, hingga memungkinkan bagi mereka yang tidak beragama Islam pun akan membantu kiprah tersebut. Dan sebaliknya, bagi kaum muslimin yang ingin menggali ajaran formal agama mereka bagi kepentingan seluruh bangsa, tersedia aqidah atau keyakinan sebagaimana tersebut di atas.

Dengan cara inilah, NU berharap dapat menyelesaikan konflik falsafi di atas, yang terjadi antara asas sebagai landasan bernegara dan aqidah (keyakinan) dan sebagai landasan individual maupun kolektif dalam bermasyarakat. Mengingat keadaan seperti itu, maka NU telah berhasil memecahkan masalah dasar berupa hubungan antara negara dan agama. Menurut paham ini bisa diambil sebuah prinsip yang berlaku bagi semua warga negara. Ambil saja contoh berupa demokrasi. Dalam pengertian yang luas, demokrasi berarti persamaan peluang dan hak bagi semua pihak, terlepas dari asal usul warga negara yang ber- sangkutan. Bahwa, perbedaan agama, ideologi, ras, jenis kelamin, maupun tingkat ekonomi; tidaklah membuat para warganegara berbeda pada prinsipnya, melainkan berbeda pada penampilan fisiknya atau kepentingannya. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah SWT. "Sesungguhnya telah Ku-jadikan kalian semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (yang saling berbeda-beda) agar kalian saling mengenal (Wa ja'alnaakum syu'uban wa qobaa'ila ii

(7)

Tepatlah firman Allah SWT. "Tiadalah Ku-utus Engkau 07Vahai Muhammad), kecuali sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam (Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil 'alaamiin)" Dengan demikian, Islam datang sebagai agama yang

dapat dinikmati oleh semua orang, tanpa harus

memeluknya secara resmi sebagai agama. Bukankah ini berarti bahwa terkadang ajaran formal agama juga harus mengalami perubahan (modifikasi)? Memang benar, karena itu terjadi dalam kenyataan hidup. Contohnya, adalah pengertian tentang murtad (apostacy) dalam figh Islam

(Hukum Islam), menurut paham Ahl-u 'I-sunnah wa 'I-Jama'ah. Menurut pengertian lama, mereka yang berpindah

agama dari Islam memasuki agama lain haruslah dihukum mati. Kalau ini diterapkan, maka dengan sendirinya lebih dari 10 juta orang warga negara Indonesia, harus dihukum mati sejak tahun 1965. Hal ini, tentu tidak mungkin akan terjadi, karenanya pengertian kemurtadan dalam figh Is- lam haruslah diubah. Perubahan itu dimungkinkan oleh prinsip figh yang berupa "sebab terjadinya hukum agama, balk ada maupun tidaknya hukum itu sendiri, ditentukan oleh sebab yang menimbulkannya (Yadullu ma'a illatihi al- hukm wujuudan wa'adaman). Atau kaidah "Dar'u al-mafasith muqoddamun 'alajalbi al-mashalih", dalam qawa'id al-fiqh. Jelaslah dengan demikian, berasas Islam atau tidaknya sebuah organisasi, tidaklah menentukan apakah organisasi itu berasaskan agama atau tidak. Bagaimanapun juga, orang akan tetap menganggap NU sebagai organisasi Is- lam terlepas dari asasnya Islam atau tidak.

Oleh karenanya, jika dalam Pemilu 1999 ini pendapat tersebut diterima rakyat banyak, berarti kaum muslimin di Indonesia -khususnya dalam wadah NU- telah berhasil mencari penyelesaian bagi hal yang dihadapi kaum muslimin di seluruh dunia saat ini.

Keseluruhan buku ini memperlihatkan pandangan

seorang tokoh politik yang berusaha mencari sintesa seperti itu, sebuah keadaan yang dihadapi kaum muslimin di

seluruh dunia. Bukankah hal itu merupakan sebuah keberhasilan tersendiri!

Ciganjur, Akhir Dzu al-Hijjah 1419 H/April 1999 www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Bab l

DARI SEKJEN KE KETUA UMUM

Partai Kebangkitan Bangsa yang terlahir dari garba Nahdlatul Ulama (NU) memang ditujukan

seara tulus ikhlas untuk: seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali.

(Garis Perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa)

Sehari sebelum Deklarasi Partai Kebangkiran Bangsa (PKB), dalam Rapat Harian Gabungan Syuriah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 22 Juli 1998 di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, nama saya belum bulat diterima sebagai Ketua Umum PKB. Dalam rapat ini topik yang paling seru dan melalui perdebatan panjang adalah penetapan calon ketua umum partai. Yang menarik, muncul kandidat lebih dari satu. Mereka yang menolak saya, mencalonkan K.H. Ma'ruf Amin atau K.H. Mustofa Bisri.

(8)

jalankan amanat dari warga NU. Ide partai itu sering saya kemukakan dalam berbagai kesempatan di lingkungan saya, warga Nahdliyin dan di masyarakat pada umumnya. Soal jabatan atau kedudukan menjadi nomor kesekian dari prioritas hidup saya. Bagi saya, semua itu hanya amanah dan sarana pengabdian bagi masyarakat. Saya memberani- kan diri dicalonkan sebagai ketua partai karena mendapat dukungan dari K.H. Abdurrahman Wahid dan sejumlah kiai lainnva, selain dukungan dari generasi muda NU. Bursa calon ketua pada waktu itu memang ketat, terlebih karena urgensi waktu. Hanya dalam waktu beberapa bulan partai harus siap mengikuti pemilu. Di samping itu, dalam kalangan NU sendiri masih terjadi silang pendapat soal bentuk partai pang akan dideklarasikan. Siapapun nanti yang memimpin, dia harus dapat merangkul semua kekuatan politik dalam tubuh NU dan memperoleh hasil Pemilu pang menggembirakan. Itu tentu bukan

perkara yang enteng. Kiai Ma'ruf Amin sudah diplot sebagai Ketua Dewan Syura, sedangkan K.H. Mustofa Bisri tidak bersedia dicalonkan. "Kalau nama Matori dengan PKB tidak diterima maka akan saya deklarasikan sendiri!" tegas Gus Dur. "Nanti akan kita lihat siapa yang benar!" tandasnya. "Untuk saat ini, di mana PKB hanya punya waktu sangat sempit untuk menghadapi Pemilu, Matori adalah orang yang tepat. Karena dia sudah makan asam garam perpolitikan. Dia sudah merasakan bagaimana diinjak- injak," tambah Gus Dur. Masalah ada yang setuju dan tidak setuju dengan figur Matori, menurut Gus Dur, adalah hal yang biasa. "Kalau tidak ada perbedaan pendapat, ya bukan NU namanya," katanya.

K.H. Cholil Bisri pun mempunyai pandangan yang sama. Kiai ini hanya terkekeh-kekeh membaca pernyataan sikap yang dibuat kelompok yang mengaku mewakili NU Jawa Tengah. Kelompok itu mengaku figur Matori tidak mencerminkan aspirasi mereka. Pernyataan sikap itu disebarkan ketika Matori sedang dibaiat menjadi ketua

umum. "Kalau mau bikin pernyataan itu ya mestinya minta izin saya dulu. Tapi saya mau usut siapa yang membuat ini. Soalnya dia nyuri stempel NU Jateng he...he.. he..," kata Kiai Cholil Bisri.

Ali Haidar, pengamat politik yang sekaligus Sekretaris Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI-persatuan pesantren dalam NU), pernah mengatakan bahwa format politik NU di tingkat lokal bisa sangat berbeda dengan format politik di tingkat nasional. "Tidak semua senang ketika Gus Dur ngotot mencalonkan Matori sebagai Ketua PKB. Sidang pleno sudah menolaknya," begitu komentarnya.

Meski demikian, dukungan Gus Dur terhadap pen- calonan saya tetap kukuh, "Saya tidak ingin partai ini dipimpin oleh orang yang plintat-plintut (dengan menyebut nama seseorang). Tetapi harus dipimpin oleh orang yang memiliki karakter kuat, telah merasakan pahit getirnya po- litik dan tahan bantingan. Dan Matori telah teruji untuk itu." Penjelasan senada juga disampaikan Gus Dur kepada beberapa orang pang di antara mereka terdapat seseorang yang duduk dalam jajaran DPP Golkar, "Saya telah menguji perilaku politik Matori sepuluh tahun lebih. Ternyata dia paling cocok. Memang, belum semua kiai NU paham. Tetapi nanti juga paham sendiri."

(9)

Sebagai warga NU klotokan, saya sudah aktif dalam kepengurusan NU di Salatiga dan Jawa Tengah. Saya terlibat dalam organisasi sebagai kader dari bawah yang boleh dikatakan sudah cukup makan "asam garam" perpolitik- an.

Meskipun aktif di PPP, saya tetap loyal kepada induk organisasi saya. Salah satu contoh yang patut dikemukakan adalah saat Muktamar PPP tahun 1994 di Jakarta. Dalam muktamar itu saya "menantang" Buya Ismail Hasan Metareum dalam perebutan kursi ketua umum partai. Saya berada di "Kelompok Rembang" bersama K.H. Cholil Bisri, Imam Churmen dan tokoh-tokoh eksponen Nahdlatul Ulama di PPP lainnya. Namun, suatu silent operation terjadi. Operasi itu memanfaatkan keretakan di kelompok

Rembang. Pada saat mendekati medan laga, Hamzah Haz dan teman-teman lainnya yang sebenarnya warga nahdliyin, keluar dari barisan. Praktis di saat ketika itu pertarungan dimulai, kelompok Rembang sudah "kempes" Saya pun harus mengakui kekalahan. Usaha menumbangkan Buya itu bukan untuk mengejar tujuan pribadi saya. Kalau saya hanya ingin jabatan saya cukup merangkulnya karena angin dukungan pemerintah berada di pihaknya. Justru karena partai harus menjaga jarak dengan pemerintahlah maka saya berusaha untuk mengalahkan dia dalam Muktamar. Keinginan saya adalah menuntut hak warga NU dan warga masyarakat pada umumnya yang semakin dipinggirkan. Memang, sesudah saya kalah, orang mengatakan seakan-akan saya hilang seperti ditelan bumi. Anggapan itu saya kira tidak beralasan. Saya memang sudah tidak aktif di kepengurusan PPP. Tetapi bukan berarti saya berhenti menyumbangkan pikiran dan tenaga saya.

Meskipun tidak ditunjuk sebagai juru kampanye di tingkat pusat, saya tetap berkampanye di Jawa Tengah. Dalam kampanye tersebut muncul istilah "Mega-Bintang" yang diperkenalkan oleh Ketua DPW PPP Solo, Mudrick M. Sangidu. Saya juga mengadaptasi istilah itu dalam

kampanye di daerah itu. Saya aktif di partai bukan hanya karena ingin menjadi pengurus atau pimpinan partai. Saya aktif di partai karena saya mencintai partai. Partai saya pandang sebagai sarana memperjuangkan kepentingan rakyat atau membangun demokratisasi. Perjuangan itu tidak berhenti karena kalah dalam pemilihan jabatan partai. Kegiatan-kegiatan diskusi dan kepengurusan dalam beberapa yayasan masih saya lakukan, meskipun saya sekarang menjadi Ketua Umum PKB. Misi utama PKB adalah menegakkan komitmen bangsa yang demokratis. Sistem yang tidak demokratis dan tertutup terbukti menye- babkan ekonomi ambruk, pemerintahan yang represif serta munculnya penjarahan, berbagai teror lainnya, termasuk kekerasan seksual. Misi itu sangat berat, mengingat keutuhan bangsa saat ini nyaris tercabik-cabik. PKB berkewajiban mengembalikan keutuhan bangsa ke arah masyarakat yang damai dan dijiwai semangat persaudaraan. K.H. Abdurrahman Wahid jauh-jauh hari sudah mengajak warga NU untuk mencoblos PKB. Warga NU tampaknya tidak mau mengulangi sejarah peran politiknya. PKB didirikan PB NU untuk mewadahi, khususnya aspirasi politik warga NU yang selama ini tidak tertampung oleh tiga orsospol yang sudah ada. Termasuk di PPP, sekalipun pada saat partai itu didirikan tahun 1973, NU termasuk yang berfusi Lersama MI, PSII, dan Perti. Di pentas politik nonstruktural pun NU berada di pinggiran. Istilah yang begitu populer adalah "NU seperti tukang dorong mobil mogok. Setelah mobilnya jalan, ditinggal plung begitu saja. Bahkan K.H. Cholil Bisri menambahi, tidak hanya ditinggal tetapi sempat diidoni (diludahi)."

(10)

Itu pula sebabnya, dalam deklarasi pembentukan PKB pada tanggal 23 Juli 1998 yang dibacakan oleh salah seorang deklarator, K.H. Muchid Muzadi, dikemukakan bahwa dalam kurun tiga dasawarsa terakhir, perjuangan bangsa untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan semakin jauh dari yang diharapkan. Pembangunan

ekonomi, sosial, politik, dan budaya telah mengabaikan faktor rakyat scbagai pemegang kedaulatan. Pengingkaran terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut telah melahirkan praktek kekuasaan tidak terbatas dan tidak terkendali yang pada gilirannya mengakibatkan ke- sengsaraan rakyat. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut dan untuk mencegah terjadinya kesalahan serupa di masa depan, diperlukan tatanan kehidupan bermasya- rakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dalam tatanan kehidupan yang demokratis tersebut, warga Jam'iyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari bangsa In- donesia bertekad untuk bersama komponen bangsa lainnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, berakhlak mulia, dan bermartabat melalui suatu wadah partai politik.

Dalam sambutannya seusai pengumuman pengurus, Gus Dur mengatakan bahwa tugas yang diemban PKB sangatlah berat. Selain mereka harus bekerja keras untuk memenangkan Pemilu, PKB juga harus mengim-

plementasikan visi partainya yang bersifat kejuangan, demokratis, dan terbuka. "Tidak sedikit dari kita, termasuk warga NU, yang selama ini menganggap warga keturunan Tionghoa bukan sebagai orang Indonesia. Ini salah, karena tidak ada yang asli di Indonesia. Nenek moyang saya 500 tahun yang lalu adalah orang Tionghoa. Oleh karena itu, saya tidak terima kalau di Indonesia ini ada perbedaan ras," katanya. Dalam sambutannya Gus Dur juga menying- gung adanya kekhawatiran sejumlah kalangan terhadap rencana NU mendirikan partai politik dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang "mengecilkan" NU. Oleh

karena itu, tegasnya, warga NU diharapkan ikut dalam Pemilu mendatang dan mencoblos PKB. "Ini bukan kampanye, karena belum waktunya. Tapi ini untuk menunjukkan bukti bahwa PBNU mendukung dan mendirikan PKB," tegas Gus Dur yang disambut riuh warganya.

Deklarasi itu merupakan klimaks dari keinginan warga NU untuk mendirikan partai sendiri. Keinginan itu ditanggapi secara hati-hati oleh PBNU. Mengingat, hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik mana pun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Deklarasinya hanya berupa alinea singkat, tetapi sub- stansinya membalikkan seluruh sikap politik sebuah organisasi raksasa, yaitu "Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis."

Deklarasi Situbondo itu selanjutnya dikenal dengan istilah "kembali ke Khitah 1926". Khitah boleh pula

dianggap sebagai cara NU menyelamatkan kepentingannya. Apa yang dialami jamaah dan jam'iyah NU, dipinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentulah

menjadi salah satu pertimbangannya. Meski demikian, bila kemudian NU melahirkan partai, hal ini bukan berarti Mengkhianati Khitah 1926. Ini merupakan upaya menyerap suara dan aspirasi kaum nahdliyin yang begitu besar. Mengutip komentar K.H. Said Aqil Siradj, "PRNU tidak menyalahi khitah. Sebab PKB adalah partainya warga NU, bukan partai organisasi. Dan, yang menjadi pengurus partai harus keluar dari PBNU. Lagi pula, Muktamar Situbondo memutuskan yang kembali ke khitah itu NU, sedangkan warganya silakan berpolitik."

(11)

yang ditugaskan untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai K.H. Ma'ruf Amin, dengan anggota K.H. M. Dawam Anwar, K.H. Said Aqil Siradj, Rozy Munir, dan Achmad Bagdja. Untuk mengatasi hambatan, Tim Lima tidak dibekali surat keputusan PB NU. Kemudian pada tanggal 20 Juni 1998 dibentuk Tim Asistensi untuk membantu Tim Lima antara lain dalam menginventarisasi dan merangkum usulan warga NU untuk mendirikan partai baru.

Saat rapat gabungan Syuriah dan Tanfidziah PBNU berlangsung, saya berada di rumah saja. Lha wong saya hanya mengusulkan sama Gus Dur. Ini Iho Gus mbok: bikin partai terbuka yang berwawasan kebangsaan untuk

membangun demokrasi. Gus Dur bilang, "Pak Matori, keinginan itu bagus. Hanya harus hati-hati, karena desakan untuk membentuk partai di tubuh NU itu besar sekali." Saya pun menunggu dengan melakukan kegiatan- kegiatan saya sendiri. PBNU membentuk panitia untuk menjajagi dan mempertimbangkan pendirian partai sendiri. Suatu ketika saya bertemu Gus Dur lagi, beliau bilang nanti akan dibentuk partai dan Pak Matori menjadi ketua umum. Mendengar itu saya ya tenang-tenang saja, karena yang mengatakan Gus Dur sendiri.

Mengapa kemudian habis rapat itu timbul pro dan kontra soal saya, karena di NU sendiri banyak orang yang mampu untuk itu. Interest dalam politik itu sangat

manusiawi dan wajar saja. Di samping itu, tidak semua kiai mengenal saya. Memang dalam "peristiwa Rembang" saya dijagokan para kiai Muktamar PPP 1994 dan saya dikalahkan oleh Buya Ismail Hasan Metareum. Tentu saja sikap pro dan kontra itu saya jadikan cermin untuk berkaca diri, memperbaiki diri. Tidak ada orang yang sempurna, makanya saya harus terus memperbaiki diri.

Susunan lengkap DPP Partai Kebangkitan Bangsa saya kira perlu dikerahui umum, sebagai herikut.

Para Deklarator K.H. Ilyas Ruhiyat K.H. Munasir Ali K.H. A. Mustofa Bisri K.H. Muchit Muzadi K.H. Abrurrahman Wahid Dewan Syura

Ketua: K.H. Ma'ruf Amin

Wakil Ketua: K.H. M. Cholil Bisri Sekretaris: K.H.M. Dawam Anwar Anggota:

Brigjen TNI (Purn) K.H. Sullam Syamsun K.H.M. Hasyim Latief

Dr K.H. Nahrawi A Salam K.H.M. Mukeri Gawith, MA K.H. Yusuf Muhammad, MA K.H. Dimyati Rais

Hj Sariani Thaha Ma'ruf TGH Turmudzi Badruddin Dewan Tanfidzi

Ketua Umum : H. Matori Abdul Djalil Ketua

Dr H.Alwi Shihab

Dra. Hj. Umrah M Tholchah Mansoer H. Agus Suflihat Mahmud

H. Amru Mu'tashim, SH K.H. Imam Buchari AG

H. Taufiqurrahman Saleh, SH. Msi Drs. Yafi Thahir

Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa Sekjen: Drs. A. Muhaimin Iskandar Wakil Sekjen:

(12)

H. Aris Aahari Siagian H. Yahya Staquf Cholil Bendahara: H. Imam Churmen Wakil Bendahara:

H. Ali Mubarrak H. Safrin Romas, MBA

Banyak harapan ditujukan pada Partai Kebangkitan Bangsa setelah kemunduran demi kemunduran politik terjadi pada masa Orde Baru. Tumbuhnya aliansi ABRI- Teknokrat menghasilkan kemenangan mutlak Golkar sejak Pemilu 1971. Golkar di bawah pimpinan Ketua Dewan Pembinanya bertindak sekaligus sebagai pemain,

pengawas, dan pembina semua partai. Partai-partai Islam digiring dalam satu wadah tunggal, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Pada kesempatan deklarasi itu K.H. Ma'ruf Amin menyatakan warga NU terus dipinggirkan dan aspirasinya belum tersalurkan dengan balk dalam orsospol yang ada atau belum ada orsospol yang mampu menampung aspirasi warga NU.

"Sekarang kami sepakat untuk bersatu. Kami tidak mau lagi menjadi kerdil. Mereka sekarang disatukan dalam Partai Kebangkitan Bangsa," Kata Kyai Ma'ruf. Partai ini,

tambahnya, adalah partai terbuka namun tidak akan menghilangkan identitas keislaman pada landasan perjuangannya.

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Mengapa saya?

Banyak orang ingat peran saya sebagai formatur dalam Muktamar PPP tahun 1994. Saya bersama K.H. Syamsuri Badawi merupakan dua formatur yang berasal dari NU, sedangkan lima lainnya dari unsur Muslimin Indonesia. Saat sidang formatur, ada dua tawaran yang diajukan, yakni kursi NU untuk pengurus harian ditambah satu. Usulan itu disetujui. Satu lagi, dalam hal pengisian kursi tersebut menentukan orang-orangnya adalah unsur NU sendiri. Tawaran kedua itu ditolak oleh lima formatur MI, satu di antaranya adalah Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum lama yang kemudian terpilih kembali. Karena permintaan kedua ditolak, saya tidak mau lagi meneruskan sidang. Percuma saja, kalau kemudian di dalam rapat hanya model voting karena hal itu sudah sering terjadi selama ini di DPP PPP. Saya sudah tahu pada saat yang menentukan itu Hamzah Haz dan kawan-kawan sudah keluar dari barisan "Rembang." Ada yang mengatakan bahwa kubu saya yang dijagokan Kelompok Rembang kalah karena kekurangkompakan unsur NU dalam PPP. Tetapi, ada yang menyebut lebih disebabkan oleh suasana politik waktu itu yang memang tidak menguntungkan untuk saya. Sekjen meminta restu pada Ketua Umum PBNU Gus Dur yang tidak disenangi

(13)

semua politisi NU berani melakukan hal itu. Mengapa saya bersikap respect sekali pada Ali Sadikin dan teman- temannya. Karena meskipun tahu kalah ia tetap berani mengambil jarak, mengkritik, dan mencoba melakukan kontrol atas kekuasaan presiden yang makin hari makin bertambah besar. Mestinya, fenomena itu dapat menjadi semacam "pencerahan" (enlightenment) pada para politisi di negeri ini. Salah seorang anggota Komnas HAM, Roekmini Koesoemo Astuti, almarhumah pernah menegaskan perlunya pencerahan di kalangan elite pemerintahan agar kesadaran hukum dan politik mereka semakin meningkat. "Jangan selalu menganggap mereka yang paling benar dan menjadi penafsir tunggal dari semua persoalan yang terjadi di negeri ini," ujarnya. Tetapi memang harapan berbeda dengan kenyataan.

Meskipun "lepas" dari PPP, saya ini orang politik. Peker- jaan saya, ya politik. Saya ikut kampanye bukan hanya karena saya menjadi pengurus atau pimpinan melainkan karena kecintaan saya pada partai. Gus Dur juga menyata- kan bahwa saya kalau memimpin partai bukan sekadar ingin menjadi anggota DPR. Kalau saya sekadar ingin menjadi anggota DPR saja, tentu saya cukup bekerja sama Ismail Hasan Metareum. "Tetapi, dia ingin membawa partai ini lebih dari itu. Hal itu berbeda dengan orang-orang NU lainnya. Mereka paling-paling sekadar ingin jadi DPR. Setelah itu selesai," tegas Gus Dur.

Memimpin partai ini adalah amanah. Untuk itu, beliau saya ditugaskan dengan mengucap "la haula wala quwwata illa billah" (tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah), saya slap.

Tantangan PKB adalah mendorong sipil atau masyara- kat madani yang selama ini dipinggirkan sebab sudah tiba saatnya tampil ke depan. Politisi sipil bertanggung jawab mengembalikan hal besar yang penting bagi bangsa ini, Akibat pendidikan politik yang salah selama ini, politisi maupun masyarakat biasa menganggap musuh atau

berseberangan orang yang berbeda pendapat. Bangsa ini sudah terbiasa diseragamkan. Di pundak saya bersama kawan-kawan, titik pijak PKB dipertaruhkan. Mampukah saya membawa PKB menjadi partai besar, bukan hanya dalam hal jumlah suara tetapi juga dalam peran me- nentukan corak masa depan bangsa dan umat! Menurut saya, apalah artinya memiliki jumlah suara besar, tetapi mendapat peran pinggiran. Tantangan tidak ringan. Saya harus bisa menghimpun seluruh massa NU yang jumlahnya mencapai 40 juta jiwa. Ini tidak mudah karena massa NU terkonsentrasi di pesantren. Seperti dimaklumi, di

pesantren, para kiai memiliki otonomi yang sangat kuat. Di samping itu, massa NU dikenal sebagai pemilih tradi- sional PPP selama dua dasawarsa lebih, selain masih banyak tokoh NU di PPP yang bisa juga mempunyai massa sendiri. Sering ada tuduhan dari orang luar bahwa PKB terlalu mengandalkan nama besar Gus Dur. Sekjen PPP saat itu Tosari Widjaja, mantan aktivis Ansor berpendapat bahwa figur yang tampil menjadi pimpinan akan sangat

(14)

tercapai 100%. Bagaimanapun pendeklarasian PKB saya kira tidak kalah demokratis dengan deklarasi partai partai lain. Gus Dur bukan hanya berkali-kali me- nyampaikan bahwa Islam itu inklusif dan persaudaraan. Namun, dia juga melakukan action aktif mempersatukan bangsa. Visi dan usaha itu juga kita usahakan lewat per- juangan partai.

Memang tidak sedikit yang menolak kehadiran saya di pucuk pimpinan PKB. Selain intern PBNU, juga dilakukan tokoh-tokoh intern PPP. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Yayasan Saifuddin Zuhri yang diprakarsai oleh adik kandung Gus Dur, Ir. Salahuddin Wahid. "PBNU telah bersikap diskriminatif terhadap partai- partai baru di kalangan NU selain PKB," tulis Salahudin di sebuah surat kabar Ibu Kota. Sikap senada disampaikan oleh K.H. Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng, Jombang. Pak Ud, demikian panggilan akrab kiai itu, tidak mau bergabung dengan PKB karena dipimpin oleh saya. Mantan anggota MPP PPP ini menilai, saya tidak memiliki keulamaan dan kematangan politik. Menurut dia, orang yang memenuhi syarat memimpin PKB adalah K.H. Mustofa Bisri. Ia memiliki kualitas individu, ulama, pola pikir dan moralitas yang tidak diragukan lagi. Sikap serupa juga dilontarkan oleh K.H. As'ad Umar dari Peterongan, Jombang yang juga menjadi anggota

Wahab yang dikenal sebagai tokoh KPPNU (Koordinasi Pengurus Pusat NU) pimpinan Abu Hasan.

Silang pendapat tentang kedudukan saya dalam partai

menjadi cambuk bagi saya untuk melakukan yang terbaik bagi kesuksesan tujuan partai. Di samping itu, aneka

pendapat itu juga mendorong saya berkomunikasi dan turun ke bawah menampung aspirasi dan harapan mereka. Secara pribadi saya tidak merisaukan silang pendapat itu karena kerlibatan di partai bukan untuk mengejar

kepentingan pribadi saya. Partai adalah sarana ibadah. Saya berjuang dalam partai dengan niat mengabdi kepada Allah.

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Agenda Politik

Kritik dan reaksi masyarakat saya pandang sebagai cermin diri agar terus berada pada jalur yang benar, selalu

(15)

katanya.

Tentu saja Dawam boleh berpendapat begitu. Itu hak dia. Cuma bagi saya aneh bila demi menegakkan civil society warga NU tidak boleh mendirikan partai politik sendiri. Bukankah sebaliknya, justru adanya partai menjadi wadah untuk meningkatkan pendidikan, kesadaran, dan partisipasi politik. Partai sebagai sarana artikulasi dan agregasi (penampilan masalah secara menyeluruh) kepentingan-kepentingan rakyat di dalam lembaga- lembaga politik. Soal kalah atau menang bukankah itu biasa dalam politik? Mengapa kekhawatiran

itu berlebihan?

Saya juga menyadari ada "kebencian" kepada NU dan PKB. Hal itu tampak dalam serangkaian aksi tindak kekerasan di Banyuwangi yang menelan banyak korban dari warga nahdliyin. Orang mengatakan ada hujatan kenapa NU tidak membagi adil saja anggotanya, seperti khitah, bebas-bebas saja. Atau ungkapan-ungkapan bahwa keadaan yang lalu lebih bagus dari sekarang. Indikasi- indikasi itu ada. Menurut K.H. Hasyim Nuzadi, Ketua PWNU Jawa Timur, ada dua kekuatan yang bertarung yang disebutnya sebagai yang pro status quo dan pro perubahan. Di dalam kantong status quo isinya banyak. Yang main di dalam ini

banyak. Mungkin rezim yang lama, mungkin

orang yang akan dirugikan dengan pemilu, mungkin juga orang yang akan bergeser kekuasaannya, mungkin juga kekhawatiran terhadap dwifungsi (ABRI) yang mengecil. Atau mungkin juga orang-orang yang tidak mau terbongkar salahnya.

Ini semua jadi satu. Satu keranjang dalam istilah

saya status quo itu. Sementara yang reformis masih dalam tanda petik," tegas Kiai Hasyim.

Tentang kasus Banyuwangi ada satu komentar

menarik dari K.H. Maksum Jauhari, salah seorang pengurus DPW PKB Jawa Timur, "Yang bakal menang pada Pemilu

1999 adalah PKB, karena PKB adalab partai hesar. Kalau Golkar kalah, itu berarti tidak ada orang-orang Soeharto dan kroninya, yang saya ibaratkan sisa-sisa laskar Pajang itu melakukan teror dan pembunuhan terhadap ulama- ulama NU. Ulama itu tokoh anutan umat. Ulama ibarat lidi. Kalau tali pengikatnya lepas, sapu lidi

pengikat sapu itu tercerai berai."

PKB bersama PBNU tidak mau terpancing dengan

manuver kekerasan itu. Ketua Umum PBNU pada Perayaan Idul Fitri tahun 1997 pernah menegaskan, apabila hendak membudayakan dan menegakkan demokrasi jangan sekali- kali menggunakan kekerasan, tetapi hendaknya memakai cara-cara persuasi, betapapun repotnya. "Kita tidak

melakukan sesuatu yang bersandar pada kekerasan. Negeri ini milik bersama, jangan sampai ada kelompok yang menamakan diri mayoritas kemudian berteriak meminta- minta bagian "kue pembangunan" yang lebih besar dengan menyebut dan membawa-bawa nama Islam. Sikap ini harus kita hindarkan. Negeri ini milik bersama, mari kita bangun bersama-sama," tegasnya.

(16)

formance, prestasi. Jadi, aktualisasi nasionalisme: Kita harus memelihara kesatuan dan kerukunan beragama. Kedua, bila ingin unggul dalam Iptek maka kebudayaan mesu budi (asketisme) di dalam kampus mesti dicangkokkan dan dipelihara masyarakat. Yang diperlukan model peran (role model). Jangan hanya konsep atau omongan sebab

masyarakat butuh model peran konkrit, keteladanan nyata. Agenda lain adalah masalah dwifungsi ABRI. Deklarasi Ciganjur menegaskan bahwa dwifungsi akan dihapuskan secara bertahap dalam kurun waktu G tahun. Saya ingat kata-kata Marsilam Simanjuntak, idealnya tentara dibutuhkan untuk negara. Itu akan lebih efektif kalau tentara memusatkan perhatiannya kepada pembinaan untuk dikerahkan sewaktu-waktu bila dibutuhkan. Tentara dipercaya pegang senjata. Kapan dan ke arah mana senjata itu ditembakkan, itu bukan dia yang menentukan. Itu harus wewenang di luar dirinya. Yang penting, menjadi militer bukan sesuatu vang otonom. Militer bagian dari

perlengkapan negara, yang sengaja diadakan dan diatur untuk itu. Dari permulaan orang yang masuk ke situ harus tahu, ini pengabdian.

Sebaliknya, masyarakat juga harus mampu menciptakan mekanisme

pengambilan politik dan

mekanisme penyelesaian konflik sosial-politik dengan cara damai. Kalau tidak ada perpecahan, tidak perlu usaha pencegahan berupa fungsi sosial-politik ABRI dan sebagainya.

Agenda ketiga adalah masalah konsolidasi ke dalam

partai sendiri. William Liddle pada acara Reuni UI di Jakarta, 18 Agustus 1998 menjelaskan dua kelemahan PKB.

Pertama, perpecahan di dalam NU. Misalnya, ada tokoh- tokoh NU yang membentuk partai sendiri, seperti Yusuf Hasyim, Abu Hasan, dan Syukron Makmun. Tetapi, munculnya tokoh NU untuk mendirikan partai dengan basis NU itu tidak banyak pengaruhnya terhadap PKB.

Kedua, visi orang-orang PKB untuk Indonesia masa depan. Menurutnya, PKB tidak mempunyai visi nasional, tetapi hanya memiliki visi lokal dan parokial. Liddle bercerita bahwa seorang temannya mengadakan penelitian di Jatim terhadap para kiai bahwa pemikiran mereka adalah bagai- mana menguasai Departemen Agama dan jabatan-jabatan politik lain.

Pendapat tentang "kelemahan" dari Liddle itu disanggah oleh K.H. Cholil Bisri bahwa dirinya orang modern hanya pakaiannya saja yang tidak modern. Modern atau tidak itu tidak hanya pada pakaian, tetapi pada pikiran dan perilaku. Dengan pembentukan partai itu berarti pola pikir modern sudah ada.

Adanya partai lain selain PKB bukan berarti perpecahan, tetapi hanya perbedaan pendapat. Hal itu ditegaskan oleh salah seorang Ketua Pengurus Besar NU yang juga salah seorang anggota Tim Lima PBNU, Rozy Munir, "Orang- orang yang memimpin dan membantu pembentukan PKB itu tidak ada yang kolot dan tak ada yang antimodern." Rozy Munir juga tidak sependapat terjadinya perpecahan gara-gara ada tiga tokoh NU: Yusuf Hasyim, Syukron Makmun, dan Abu Hasan mendirikan partai sendiri. "Dan meski kini ada tiga partai, namun rapat pleno PB NU setelah pendeklarasian PKB beberapa waktu yang lalu menyatakan hanya mengakui PKB sebagai satu-satunya partai untuk mengakomodasi warga NU."

Di samping kelemahan, terdapat juga kekuatan PKB, yaitu basis NU yang terbukti sejak tahun 1955 hingga kini; kepemimpinan yang sudah mentradisi lewat dukungan para kiai dan jaringannya; dan modernisasi di lingkungan pesantren tentang pemahaman akan kedaulatan rakyat, kepastian hukum, dan penegakan HAM.

(17)

Hasyim justru mendukung ICMI dan masuk di dalamnya. Kctika Gus Dur mendukung saya melalui "Gerakan Rembang" untuk menggulingkan Ismail Hasan Metareum, Yuusuf Hasyim justru mengundang Metareum ke Pondok Pesantren Tebuireng dan akhirnya diberi jatah sebagai anggota MPP PPP, dan masih banyak lagi perbedaan lainnya. Kalau saya telusuri sejenak perjalanan politik NU,

termasuk keluarga para tokoh NU, memang secara wadah tidak pernah utuh. Ketika K.H. Wahab Chasbullah menyarakan NU keluar dari Masyumi dan bcrdiri sendiri sebagai partai tahun 1952 dan ikut Pemilu tahun 1955 tidak semua warganya mendukung partai NU. Ranyak juga yang masih mcndukung Masyumi. Bukan hanya itu, putra-putra tokoh NU sendiri sikap politiknya berbeda-beda Keluarga K.H. Hasyim Asy'ari sebagian mendukung NU, sebagian tetap Masyumi. Begitu pula keluarga K.H. Siddiq dari Jember. Dalam musim kampanye, karena mereka menjadi juru kam- panye, tentu saja di antara mereka saling menyerang. Kalau sekarang juga terjadi pro dan kontra, baik menyangkut kelahiran PKB maupun pemimimpinnya itu wajar saja. Perbedaan sikap adik-adik kandung Gus Dur, yaitu Salahuddin Wahid dan Aisyah Hami Baidlawi berbeda dengan kakaknya sudah menjadi rahasia umum. "Kalau tidak beda bukan NU. NU kan memang selalu begitu," tegas Gus Dur. Bukankah perbedaan itu rahmat! Coba kalau di dunia ini isinya sama saja. Pastilah menjemukan dan tidak ada keindahan atau mungkin sekali cepat kiamat. Melihat penolakan itu di dalam hati terpikir, saya ini ibarat ayam yang dimasukkan ke kandang baru, lalu ayam- ayam yang sudah merasa lama di kandang mecohi

(mematuk) saya. Hanya saja, saya sudah cukup lama meninggalkan kandang itu. Tetapi, kita sebetulnya sama- sama satu kandang. Perbedaan pendapat khususnya mengenai diri saya itu tidak membuat pendirian Gus Dur dan para kiai lainnya surut. Tak pelak lagi, akhirnya saya tampil untuk memimpin partai warga nahdliyin. Kawan-

kawan saya berkomentar, "Wah sekarang spesialis sekjen menjadi ketua umum partai!" Di sebuah harian dari Jawa Tengah menulis berita tentang saya dengan judul "Gagal di PPP Jadi di PKB!" Saya sebetulnya merasa biasa-biasa saja. Kalau dilihat dari segi kedudukan di NU saat itu barangkali banyak tokoh lain yang memiliki jabatan yang juga pantas untuk menjadi I<etua Umum PKB.

Ketika dimintai komentar seal penolakan sejumlah orang tentang pencalonan saya, Gus Dur dengan tegas menjawab, "Mereka itu berpikir ke belakang. Padahal, kita ini harus berpikir ke depan." Saya diharapkan mampu mengelola perbedaan-perbedaan pendapat itu dengan pengalaman dan kemampuan saya melakukan lobbi. "Ben wae. Matori iso! (Biar saja. Matori bisa!). Matori bisa menyelesaikan masalah itu, sehingga mereka kelak akan mendukung juga," kata Gus Dur, tenang.

Harapan yang ditimpakan ke pundak saya cukup berat dalam kepengurusan 1998-1999. Tetapi saya merasa tidak sendirian. Saya merasa rakyat Indonesia sedang bangkit dan bersama-sama mulai menyadari hak dan kedaulatannya atas republik ini. Suatu kebangkitan masyarakat sipil (civil society) telah tumbuh subur di era reformasi ini.

Tentang kebangkitan kaum sipil itu, paling tidak ada tiga hal yang bisa saya catat. Pertama, gerakan-gerakan sosial menghasilkan terbentuknya berbagai organisasi. Dalam pemahaman ini berbagai organisasi lahir dari unsur pluralitas yang merupakan representasi keragaman aspirasi dan kepentingan dalam masyarakat. Kedua, semua

organisasi berkoalisi dan menyatukan kekuatan bersama dalam memperjuangkan kepentingan umum atau

kepentingan bersama. Ketiga, kepentingan yang

(18)

nahdliyin. Saya kira kinilah saatnya kebangkitan bangsa itu akan terjadi.

Tindak tanduk saya baik di luar rumah maupun di dalam rumah, saya coba tidak berbeda. Jika misalnya saya sering menyerukan menjunjung tinggi demokrasi di luar, seruan itu juga saya terapkan di dalam rumah. Anak saya yang kuliah di IKJ misalnya, karena praktek kerja sering pulangnya sampai malam. Sebagai orang tua, saya sering menasihati, "Bapak memberi kebebasan kepada kamu supaya kamu selamat. Makanya, kamu harus bertanggung jawab pertama-tama terhadap dirimu sendiri."

Saya berkata begitu, karena anak perempuan "sekali salah" dia akan salah terus. Artinya, kesalahan itu akan dia bawa terus seumur hidup. Alhamdzllillah dia mengerti. Anak perempuan saya bergaul dengan banyak orang, maka saya tidak khawatir. Selain, saya percaya Gusti Allah juga karena yang berbahaya itu kalau ia hanya bergaul dengan satu orang saja. Dengan bergaul dengan banyak orang, balk laki-laki maupun perempuan, dia sudah melatih diri untuk memiliki ketahanan diri menjaga martabat dan kehormatan. Tetapi kalau hanya satu orang, apalagi laki- laki, itu malah berbahaya, bisa-bisa "kecelakaan" nanti.

Sumber Bacaan

Detak: No. 017 Thn I 3 -9 November 1998: K.H. Hasyim Muzadi - Ketua PU NU Jatim K.H. Maksum Jauhari: "Dalangnya Sisa-sisa Laskar Pajang"- pengurus DPW PKB Jatim

Kompas, 23 April 1996

Kompas, 8 Maret 1997 "Halal Bihalal Budayakan Demokrasi Fitrah Harus Menang"

Kompas, 24 Mel 1998

Kompas, 22 Juli 1998 "Matori-Muhaimin-Imam Churmen Pimpin Partai Kebangkitan Bangsa

Kompas, 23 Juli 1998 "Pengaruh PKB pada PPP Masih Belum Dapat Diukur"

Kompas, 24 Juli 1998

"Partai Kebangkitan Bangsa Berdiri"

"Partai Kebangkitan Bangsa, Kerinduan Warga NU" Kompas, 27 Juli 1998 "Matori Abdul Djalil Saatnya Mendorong Kaum Pinggiran"

Kontan, No. 2 Tahun III, 5 Oktober 1998 " Militer Bukan

Sesuatu yang Otonom"

Merdeka, 5 September 1998 "Dawam Lancarkan Kritik ke PKB"

Merdeka, 17 November 1998 "Penjelasan Salahudhin Wahid" (Surat Pembaca)

Republika, 23 Juli 1998 Suara Merdeka, 26 Juli 1998 Tempo edisi 12-18 Januari 1999 "Nahdliyin (Masih) Menunggu Restu Kiai "Khitah Tembus Jalan Buntu"

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Bab 2

KILAS BALIK KEBANGKITAN KAUM ULAMA

Ada hal yang tidak mungkin dihindari, yakni pertumbuhan bangsa kita secara demokratis dan sosiologis sebetulnya sangat positif: ini ditinjau dari berbagai segi, termasuk: dari segi perkembangan Islam (Nurcholis Madjid)

Barangkali ada yang bertanya: mcngapa saya menjadi orang NU? Tentu saja demikian, sebab lingkungan dari mana saya berasal adalah NU. Usia saya baru enam tahun, ketika ayah saya Abdul Djalil meninggal dunia. Saya kemudian diasuh oleh kakek saya, Haji Elias. Sebagai seorang warga nahdliyin tentu kebiasaan-kebiasaan ke- NU-an membentuk saya, di samping sekolah saya di Madrasah Ma'arif yang juga dikelola NU.

Untuk ukuran zaman itu, menurut saya, kakek

(19)

modern. Dia menganjurkan anak dan cucunya untuk menimba ilmu dan untuk sekolah di mana pun. Saya juga diizinkan bergaul dengan banyak orang, sehingga

membentuk sikap terbuka dalam diri saya. Saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, termasuk saudara sepupu saya, M.M. Billah. Sepupu saya itu dikenal sebagai aktivis LSM dan pimpinan LSM. Kalau ada orang meninggal, kami bersembahyang kubur, mendoakannya di hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan seterusnya, sebagaimana layaknya kebiasaan orang Jawa.

Secara teologis, kenapa jadi orang NU, pemahaman saya begini: Dalam Islam, saya melihat ada tiga paham. Pertama, Mu'tazilah yang mengagungkan kebebasan manusia untuk berbuat ini dan itu. Sukses dan keberhasilan seolah-olah seratus persen bergantung dari ikhtiarnya. Pandangan ini tentu saja berat sebelah, sebab meletakkan manusia sebagai makhluk yang bebas seratus persen, tidak perlu bergantung pada Allah dalam hidupnya.

Kedua, Jabariah yang percaya bahwa segala sesuatu dalam hidup manusia itu sudah ditentukan oleh Allah SWT. Jadi, manusia tanpa menerima takdir. Pandangan yang merupakan antitesis yang pertama ini berat sebelah, karena bisa menyeret manusia banya pasrah pada keadaan. Ia hanya pasif menunggu takdir.

Ketiga, Sunni atau lengkapnya Ahl-u 'I-sunnah wa 'l- jama'ah yang meyakini bahwa manusia memiliki ruang gerak untuk berikhtiar, berusaha, di samping Tuhan yang menentukan demi kebaikan manusia.

Paham ketiga itu saya rasa cocok sekali, sebab merupa- kan sintesis dari pandangan pertama dan kedua. Tentang Ahl-u 'l-sunnah wa 'l-Jama'ah, cendekiawan Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa kalangan pesantren mengacu pada golongan Sunni. Dalam hal kalam atau ilmu

ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab sunni,

sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al-Asy'ar, dan kemudian tersebar antara lain melalui karya Imam

Ghazali. Dari teologi Asy'ari itu biasa dipelajari oleh kaum santri (khususnya) rumusannya tentang dua puluh sifat Tuhan yang terkenal itu. Santri menghafalkan itu di luar kepada, dan mereka percaya bahwa hal itu akan menjadi salah satu pertanyaan di alam kubur. Konsep Ahl-u 'l

sunnah wa 'l-Jama'ah h itu akan terasa dalam hal figh. Kaum santri dalam hal figh mengikuti dan mewajibkan mengikuti salah satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzhab fiqh, yaitu Maliki, Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali. Di Indone- sia sendiri yang umum dianut adalah imam Syafi'i.

Pembelakaan mereka kepada penganut madzhab itu sejalan dengan paham tentang taqlid yang berposisi menjadi lawan dari ijtihad. Dalam hal ijtihad ini diperjuangkan oleh organisasi reformasi di Indonesia, yaitu (terutama) oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Kalangan pesantren yang menamakan diri Ahl-u 'l-sunnah wa 'I-Jama'ah membedakan diri dengan golongan reformasi itu. Dalam kenyataan sehari-hari perbedaan dalam figh itu hanya terbukti dalam hal-hal yang amat sederhana, seperti persoalan niat sebelum wudlu

(20)

hal ini adalah acara makan-makan untuk mendoakan orang mati, baik pada saat meninggalnya maupun

sesudahnya, seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari hingga setahun (pendek) dan seribu hari setelah meninggal. Selain selamatan-selamatan itu pada saat yang dirasa perlu keluarga orang yang meninggal dapat menyelenggarakan haul. Dalam selamat itu biasanya dibacakan tahlil, suatu ritus dengan bahasa Arab yang intinya berdoa untuk kebahagiaan yang meninggal, atau "mengirim pahala wirid" kepada arwah yang meninggal. Unsur kejawaan kaum Ahl-u 'I-sunnah wa 'l-Jama'ah tidak hanya terbatas pada soal tahlil. Kebiasaan datang berziarah ke makam-makam tertentu yang umum sekali dalam kalangan ini. Hanya saja dalam hal ini menjadi tidak jelas apakah kebiasaan ini lebih berakar dalam konsep-konsep sufisme atau jawanisme. Sebab sebelum Islam datang, agama yang ada adalah agama Hindu yang tidak mengenal kubur atau makam. Makam yang banyak dikunjungi untuk ziarah umumnya makam orang-orang yang dinamakan wali atau orang suci yang keramat, sehingga meskipun sudah meninggal akan mampu menolong memberi kesehatan, keselamatan, atau sukses dalam usaha. Di Jombang, makam yang paling terkenal adalah yang di Betek, Mojoagung, kurang lebih 10 Km sebelah timur Jombang menuju Surabaya. Makam lain di Jawa Timur yang banyak diziarahi adalah di Girl (makam Sunan Girl, salah seorang wali sanga dan di Batuampar, Madura. Di samping kepercayaan kepada orang keramat yang telah meninggal, kepercayaan kepada adanya wali yang masih hidup jug umum di kalangan santri. Pada tahun 1970-1980-an di daerah Jombang, sekurang- kurangnya ada seorang yang dianggap wali dan masih hidup, yaitu yang terkenal dengan sebutan Gus 'Ud dari Mojoagung. Cerita tentang kekeramatan dan kekuatan gaibnya sangat umum di masyarakat. Kiai Hamid di Pasuruan juga dipercaya sebagai wail. Demikian pula Kiai

Ramli (almarhum), tokoh pesantren Rejoso yang sampai kini dianggap paling besar dan merupakan guru mursyid gerakan tarekat Qadiriyah-Naqsyabdiyah yang terbesar di Jawa Timur, dipandang sebagai wali kaum santri di sana. Sebagaimana lazimnya orang NU, saya pun tidak bisa lepas dari tradisi para kiai dan pesantrennya. Meskipun saya tidak pernah belajar di pondok pesantren melainkan di madrasah saja, saya sangat mengagumi model

pendidikan dan cara hidup para kiai. Hasil didikan mereka lewat kehadiran rekan, sahabat, maupun saudara-saudara saya ikut memperkaya dan membentuk diri saya hingga saat ini. Nadhlatul Ulama bukan hanya saya pandang sebagai "kehidupan organisatoris," tetapi juga hidup keseharian saya sebagai manusia. Sebagai seorang anak, saya tidak hanya diajar untuk menaati perintah agama oleh orang tua, tetapi juga dilatih untuk belajar prihatin dengan berpuasa pada hari Senin dan hari Kamis (Pasa Senin-Kemis).

Prihatin itu bukan hanya untuk diri sendiri supaya tetap hati-hati dan arif, (eling lan waspada), tetapi juga memprihatinkan orang lain yang menderita kekurangan atau sedang susah. Katakanlah semacam semangat solidaritas. Saya lihat di lingkungan sekitar saya di Jawa. Tidak hanya yang beragama Islam, tetapi juga keluarga yang Kristen, Katolik, atau Hindu dan Buddha juga mela- tih anggota keluarganya dengan puasa "Senin-Kemis" itu. Kehidupan pesantren dengan para kiainya sangat

(21)

zaman kerajaan Hindu dan Buddha, terutama dalam masyarakat bagian timur pulau lawa, terdapat jenis pertapaan para resi yang menjauh dari dunia ramai dan menjalankan latihan rohani sambil menggarap lahan pertanian. Dalam teks-teks Zaman Majapahit, lembaga- lembaga itu dikenal dengan nama dharma, mandala atau pertapaan (dari dasar kata tapa yang dalam bahasa Sansekerta berarti "kehangatan" bersemedi. Dharma pada masa itu selalu mengambil jarak terhadap kekuasaan raja di Kotaraja. Jarak itu tidak hanya dalam arti fisik, letak geografis yang jauh dari kerajaan, tetapi juga dalam arti spiritual. Dharma bersikap kritis terhadap lembaga kerajaan. Perubahan pertapaan-pertapaan itu menjadi pesantren berjalan secara alamiah seturut kemajuan syiar agama Islam di Jawa. Tampaknya, agama Islam cepat sekali mengakar di masyarakat pertanian tersebut. Tentang hubungan orang-orang muslim pertama dengan pertapaan-pertapaan itu terdapat beberapa tradisi. Diceritakan bahwa Sunan Kalijaga, seorang Wali yang sangat berpengaruh dan yang membangun Mesjid Demak, sering pergi bersemedi di pertapaan Mantingan yang tidak terlalu jauh letaknya. Kita juga dapat melihat bagaimana Ki Gede Pandan Arang mengumpulkan mu- rid-muridnya di atas bukit Tembayat dan dengan demikian ia membuka pesantren pertama di daerah itu. Perlu

diperhatikan bahwa situasi purbakala yang sama tampaknya memiliki undang-undang lama dan para arkeolog mempertanyakan apakah situs itu merupakan tempat ibadah pra-Islam, seperti misalnya Candi Sukuh. Di Leles, daerah Pasundan pada tahun

ditemukan bongkah-bongkah batu dari sebuah

Hindu yang hampir lengkap yang digunakan sebagai dasar sebuah makam keramat.

Para sejarawan memastikan kelak pasti ditemukan contoh-contoh lain dari "tumpang-tindih" satu agama dengan agama lain. Tradisi yang paling jelas adalah seperti

dikemukakan dalam Hikayat Hasanuddin yang mengisah- kan bagaimana tokoh utamanya setelah mendarat di Banten, mengajak delapan ratus ajar dari Gunung Pulasari, masuk agama Islam. Hasanuddin mula-mula menetap agak jauh dari laut (di Banten Girang) di dalam sebuah pondok. Di tempat itu ia membuat gula Jawa dengan bantuan para pelayan yang membantunya atas perintah ayahnya Sunan Gunung Jati. Selama tujuh tahun ia hidup bertapa, dan menyepi di atas gunung-gunung di Pasundan Barat, sampai di Pulau Panaitan (di ujung barat, di Selat Sunda). Sunan Gunung Jati kemudian dari Cirebon telahmenjemputnya untuk menunaikan ibadah haji. Ketika Hasanuddin berperang melawan Raja Pakuan yang

bersikeras mempertahankan kekafirannya, ia tidak lupa memanggil ajar-ajar yang setia dan mereka yang membantu memenangkan agama yang benar. Antara struktur dharma Jawa Kuno dan struktur Pesantren terdapat persamaan yang cukup besar untuk memperkuat teori bahwa telah terjadi peralihan dari struktur yang satu ke yang lain. Persamaan pertama adalah keadaan jauh dari dunia ramai, di daerah yang kosong jauh dari ibu kota kerajaan, maupun kota-kota besar yang modern. Pertapa maupun santri memerlukan ketenangan dan keheningan untuk menyepi dan

(22)

silat --yang dahulu sangat berguna di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, di mana polisi kerajaan tidak berani menginjakkan kakinya-- maupun suatu perhatian yang tinggi terhadap teknik-teknik pertanian.

Seorang kiai yang ternama biasanya juga ahli dalam bidang pertanian. Banyak pesantren kini menjadi semacam usaha pertanian teladan, yang menjalankan budi daya pertanian terpadu, budidaya ikan, sambil

mengajarkan kepada murid laki-laki dan perempuan dasar- dasar kesehatan, agronomi, dan ekonomi. Kemiripan kedua, ikatan antara guru dan sisya (murid), santri dengan kiai. Seorang kiai sangat diandalkan dalam memberi nasihat, bimbingan, dan pertolongan untuk memberi dukungan serta bertindak sebagai pemimpin rohaniah. Santri mematuhi nasihat dan bimbingan gurunya dengan tetap mempunyai hubungan khusus dengannya sekalipun studinya sudah tamat serta sudah kembali ke dunia ramai. Kemiripan ketiga adalah kontak antardharma seperti juga antarpesantren. Di lingkungan santri atau murid dharma terdapat kebiasaan untuk berkelana menimba ilmu dan kemajuan dalam olah rohani dari pesantren atau dharma yang satu dengan pesantren atau dharma yang lain. Dalam Kitab Nagarakertagama diceritakan bahwa Hayam Wuruk singgah dari pertapaan yang satu ke pertapaan lainnya bersama rombongan pengikutnya. Raja dijamu dengan ramah oleh kaum rohaniwan dan pada malam hari membicarakan pokok-pokok filsafat dengan guru-gurunya. Pengalaman itu tidak terbatas pada raja, tetapi banyak murid dan pasti juga orang biasa berkeliling Jawa dengan cara demikian. Semua orang yang telah memperoleh ijazah (ijin pengajar) dapat pergi ke tempat lain untuk membuka "cabang." Mereka kembali ke pesantren induk pada perayaan tahunan tertentu (haul) untuk menikmati kegembiraan berkumpul kembali dan bertukar berita. Kebiasaan untuk mengadakan lokakarya atau seminar pada masa kini sesungguhnya tidak lain dari

menghidupkan kembali kebiasaan lama itu.

Bagaimanapun asal mulanya, dapat ditekankan babwa pesantren telah mempunyai peran penting dalam

pengislaman yang mendalam di daerah Jawa dan Sunda. Lembaga itu telah menyesuaikan diri dan mempribumikan agama dengan sangat balk. Sebagai lembaga mandiri dari sudut ekonomi dan hukum dan agaknya terletak di "pinggiran" seolah-olah merupakan tcmpat suaka atau katup pengaman sosial. Pesantren-pesantren akhirnya membentuk jaringan luas yang terentang dari ujung pulau ke pulau lain, bahkan sampai di luar pulau-di seluruh Indonesia. Pada waktu Perang Diponegoro (1825-1830) sudah terdapat beberapa haji yang berjuang melawan Belanda. Mereka dipimpin oleh tokoh legendaris Kiai Maja bersama santri-santrinya yang melawan pasukan Kompeni di lereng-lereng Gunung Merapi.

Ada juga haji-haji lain terutama di Jawa Barat yang terlibat dalam pemberontakan-pemberontakan melawan penjajah Belanda. Perlawanan itu mcngguncangkan pedesaan Banten antara awal tahun 20-an hingga tahun 1888, ketika meletus pemberontakan petani. Untuk

jaringan agraris untuk pembentukan parat administrasinya, pemerintah Ratavia berusaha merangkul mereka. Pada tahun 1882 didirikan apa yang dinamakan priesterraden atau "pengadilan pendeta" yang beranggotakan penghulu dan pembantupembantunya diangkat oleh residen. Keputusan itu sangat dikritik oleh Snouck Hurgronje. Keputusan itu mencabut pengadilan agama dari

pengawasan kaum priyayi, karena tugas mengambil keputusan dalam

hal perkawinan, warisan, dan terutama perceraian diserahkan kepada

(23)

mengungumkan Goeroe-Ordanantie atau "peraturan tentang guru sekolah." Peraturan itu mewajibkan penanggung jawab semua pondok dan pesantren untuk mendaftarkan diri dan meminta izin sebelumnya. Peraturan itu mendapat tantangan dari masyarakat, sehingga pemerintah kolonial terpaksa melunakkan syarat-syarat mereka pada tahun 1925.

Jaringan-jaringan muslim di pedesaan tersentuh oleh Goerae-Ordonantie itu. Mereka ingin membela posisi dan peran mereka terhadap rongrongan pemerintah kolonial dan kecenderungan sekuler yang ada di tengah masyarakat ketika itu. Mereka juga tergugah oleh contoh kaum "kelas menengah" muslim yang melancarkan Sarekat Islam maupun Muhammadiyah pada tahun 1911-1912. Sebagai reaksi terhadap kuatnya gerakan pembaruan dalam Partai Sarekat Islam (PSI), para ulama dari pesantren membentuk Naddlatoel Oelama pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Prosesnya agak rumit karena

menyangkut beberapa perbedaan pandangan dan mungkin kepentingan para tokoh Islam.

Semula para ulama pesantren membentuk suatu panitia yang bernama Comite Meremboek Hidjaz yang didirikan pada bulan Januari 1926. Komite itu semula dipimpin oleh Hassan Gipo sebagai ketua, Saleh Sjamil sebagai Wakil Ketua, Moehammad Shadig Setijo sekretaris, Abdoel Halim Sebagai wakil sekretaris. Mereka didampingi oleh tiga orang penasihat, yakni K.H. Wahab Hasboellah, K.H. Masjhoreri dan K.H. Cholil. Mereka pang bertanggung jawab akan melaksanakan pertemuan komite pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Komite itu dibentuk untuk mem- perjuangkan kebebasan beribadat di Hidjaz (Arab Saudi sekarang) berdasarkan paham Ahl-u 'I-sunnah ,va 'I- lamci'ah dan perbaikan tata-laksana ibadah haji di Mekkah dan Madinah. Masalahnya, pada tahun 1924 semenanjung Arabia yang dikenal sebagai negeri Hidjaz dikuasai oleh Ibnu Saud setelah mengalahkan penguasa lama di

kawasan itu, Syarif Husin. Sebagai penganut aliran Wahabi, Ibnu Saud dikhawatirkan oleh pendukung komite akan menyapu habis tradisi Islam yang berdasarkan mazhab di wilayahnya. Tradisi itu, antara lain mengenai kesufian, wirid, menghormati makam Nabi, dan para syuhada Islam yang pertama.

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

[ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

Dalam kedudukan sebagai raja baru, Ibnu Saud

mengundang utusan umat Islam dari seluruh dunia untuk menghadiri Kongres Islam Sedunia (Muktamar al-Alam al-Islami) di Mekkah yang akan diadakan pada 1 Juni 1926. Selain penataan Mekkah dan Madinah untuk keperluan ibadah haji, kongres juga diharapkan membicarakan masalah kekhalifahan (khilafah). Masalah kekhalifahan ini sudah ramai dibicarakan setelah pada tahun 1922

kesultanan Turki runtuh dan berubah menjadi republik. Pada tahun 1924 parlemen Turki menghapuskan lembaga kekhalifahan. Suatu muktamar khilafah diadakan di Kairo dan Indonesia membentuk Comite Khilafah sendiri untuk keperluan itu.

(24)

dari kebiasaan mengirim utusan Islam Indonesia keluar negeri sejak Comite Khilafah dibentuk pada tanggal 4 Oktober 1924. Komite itu dipimpin oleh Wondosoedirdjo (kelak dikenal sebagai Wondoamiseno) dari SI sebagai ketua, dan K.H. Abdoel Wahab sebagai wakil ketua, sedangkan utusan terdiri dari Soerjopranoto (SI), Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H. Abdoel Wahab (pesantren).

Secara resmi utusan dan usul yang akan dibawa ke muktamar di Mekkah baru akan diputuskan dalam Kongres Al-Islam ke-7 di Bandung, G Februari 1926. Namun, melihat gelagat aliran pembaru sejak pertemuan Cianjur K.H.

Abdoel Wahab menyatakan mundur dari Comite Khilafah. Atas prakarsa sejumlah kiai diadakan pertemuan ulama pesantren di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Pada pertemuan itu dinyatakan pembentukan organisasi

Nahdlatul Ulama atau "Kebangkitan Kaum Ulama" (NU) dengan para tokoh ulama pesantren di Jawa Timur. Di antara pendiri tersebut terdapat K.H. Abdul Wahab

Hasbullah, kelahiran Jombang (dekat Mojokerto), bersama Syekh untuk perjalanan haji, ahli hukum, dan guru agama: K.H. Hasjim Asj'ari, mahaguru dari pondok pesantren Tebuireng (yang didirikan pada tahun 1899 di dekat Jombang); K.H. Bisri, seorang kiai kelahiran Pati dari keluarga pedagang yang telah "keliling Jawa" dari pondok yang satu ke pondok yang lain; K.H. Ridhwan, kelahiran Surabaya dan putera pedagang batik pang naik haji pada tahun 1901 setelah melewatkan sebelas tahun di pelbagai pesantren Jawa Timur dan Madura.

Hampir bersamaan dengan pendirian NU, pondak pesantren Tebuireng banyak menjadi buah bibir karena pembaruan-pembaruan yang diadakan berkat dorongan Kiai Ilyas yang masih muda. Kiai Ilyas, salah seorang keponakan Nafiqah, isteri K.H. Hasyim Asy'ari yang telah diangkat anak oleh pendiri NU itu. Kiai muda itu

sebelumnya telah mengikuti pendidikan dasar khusus

untuk orang pribumi (HIS) di Surabaya sebelum menetap di Tebuireng Salah satu pembaruan itu adalah pemakai- an huruf Latin untuk metnbuka kesempatan yang lebih luas kepada para santri menimba ilmu pengetahuan. Usaha itu mendapat perlawanan dari warga NU yang masih tradisional. Pembaruan itu didukung oleh K.H. Hasyim Asy'ari. Pembaruan juga dilakukan dalam pendekatan pedagogik dengan mempelajari metode pendidikan yang telah diterapkan di sekolah lain, seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, Aligargh maupu" Santineketen. Presiden Soekarno pada tahun 1964 memperoleh gclar Doktor Kehormatan Doctor Honoris Causa dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada pidato pengukuhannya Bung Karno menyatakan dukungannya atas usaha modernisasi itu, "Bebaskan pikiran kalian dari rangka pesantren yang sempit dan membumbunglah setinggi-tingginya di udara, seperti elang-elang raja. Pandanglah seantero dunia

Referensi

Dokumen terkait

Jika terdapat satu atau lebih ketidaksesuaian tidak dapat diselesaikan pada batas waktu yang ditentukan dan jika pelanggan menyatakan keinginan melanjutkan proses sertifikasi, LS

Pada sistem ini jenis rele yang biasa digunakan adalah rele dengan karakteristik  Invers Devinite Minimum Time  (IDMT), dimana sangat memungkinkan bahwa untuk

Selain capaian pada indikator kinerja utama diatas, BPSDM ESDM juga melaksanakan kegiatan pengembangan kompetensi sumber daya manusia sektor ESDM melalui kegiatan Akreditasi

Penelitian yang dilakukan Gustanti (1999) terhadap uji efek anti kanker dadih sapi yang mengandung bakteri Lactococcus lactis terhadap mencit yang diinduksi

Memperhatikan indikator kinerja dari setiap jenis model yang dihasilkan dengan masukan set data testing, tampak nyata bahwa model tangki susunan gabungan berbasis AG cenderung

tangga nada instrumen) dan dalam suatu komposisi (lihat tangga nada komposisi). [Bentuk dan karakteristik tangga nada, sangat beragam di berbagai kebudayaan. Namun, secara umum

UNAIR NEWS – Pokok-pokok pikiran yang disampaikan Ikatan Alumni Universitas Airlangga (IKA-UA) kepada pemerintah di bidang hukum, antara lain berharap pemerintah

b. bahwa sehubungan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, untuk mendukung kelancaran dan efektifitas pelaksanaan Ujian Nasional, perlu membentuk