• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah tentang diskriminasi upah buruh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "makalah tentang diskriminasi upah buruh"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KESETARAAN UPAH BAGI PEKERJA PEREMPUAN DALAM

PERSPEKTIF HUKUM

Oleh Charoline Koni Padaka Mahasiswa Fakultas Hukum UAJY

Email: koni_charol19@yahoo.com

1. PENDAHULUAN

Peran aktif perempuan dalam kehidupan sosial maupun ekonomi telah dimulai sejak dahulu. Banyak perempuan yang bekerja disektor informal (seperti petani, pengrajin) dan formal (dalam perusahaan/industri) maupun sebagai ibu rumah tangga. Akibat berkembangnya paham Liberalisme Adam Smith yang pokok ajarannya “Laissez-fair, laissez-passer”, yang menentang segala bentuk campur tangan pemerintah terhadap industri dan perdagangan, mengakibatkan terjadinya proses industrialisasi besar-besaran di Inggris dan kemudian menyebar keseluruh dunia.1

Penyebaran kebebasan dalam industri dan perdagangan tersebut juga melanda Indonesia. Banyak kaum perempuan mengalami pergeseran mata pencaharian dari sektor informal menuju sektor formal. Sebagian besar perempuan menjadi buruh-buruh di pabrik atau perusahaan

Peran pekerja-pekerja wanita dalam perusahaan membuat banyak perusahaan dapat berkembang dengan pesat. Ketekunan, kerajinan, dan ketelitian kaum wanita dalam bekerja memberikan andil yang cukup besar bagi hasil produksi perusahaan. Seiring dengan berjalannya waktu, dalam kenyataan di lapangan ada ketimpangan dalam sistem pengupahan pekerja. Dalam hal ini upah yang diterima oleh pekerja perempuan rata-rata lebih kecil daripada pekerja laki-laki dengan jumlah jam kerja yang sama.

Sebagian besar kaum pekerja perempuan belum menikmati penghargaan yang sama dengan kaum laki-laki sesuai dengan apa yang telah disumbangkan pada perusahaan. Hal ini menunjukkan adanya bentuk diskriminasi terhadahap kaum pekerja perempuan. Diskriminasi perempuan di tempat kerja menjadi suatu persoalan penting yang perlu dikaji lebih dalam, karena pekerjaan adalah salah satu hak hidup yang dimiliki setiap individu termasuk juga disini adalah perempuan. Melalui pekerjaan tersebut, perempuan berhak secara bebas mengembangkan bakat dan

(2)

kemampuan yang dimiliki serta memperoleh penghargaan sesuai prestasi masing-masing. Karena, pada dasarnya kesetaraan upah pekerja telah dilindungi dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam hal ini Negara menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap para pekerja, baik dalam hal jenis pekerjaan, penempatan jabatan dalam bekerja, hingga pemberian upah. Ketidakadilan yang dialami oleh para pekerja perempuan telah dibahas (Sudargo Gautama,2002), bahwa ketidakadilan tampak dalam hubungan kerja antara pekerja wanita dengan pengusaha. Pembahasan yang serupa juga telah dikemukakan oleh (Agnes Widanti, 2005) bahwa pekerja juga dituntut untuk harus menaati hukum yang berlaku di pabrik secara ketat tetapi majikan sendiri banyak melanggar hukum dengan tidak memberikan hak-hak buruh yang sudah dijamin Undang-Undang termasuk dalam pengupahan. Dari ulasan yang telah dibahas oleh para pakar, namun dalam hal ini belum dibahas secara lebih mendalam dikriminasi pemberian upah dari perspektif hukum, baik dalam hukum internasional maupun hukum positif Indonesia. Sehingga, dengan mengkaji secara lebih mendalam dari perspektif hukum, dapat diketahui bagaimana seharusnya peran Negara dalam mengupayakan kesetaraan upah bagi pekerja perempuan sebagai bentuk pemenuhan kewajian Negara dalam melindungi hak asasi warga negaranya.

(3)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pekerja

Pekerja adalah seseorang yang menjalankan pekerjaan untuk majikan dalam hubungan kerja dengan menerima upah (Iman Soepomo 1976:33). Penjelasan senada juga dikemukakan oleh G. Kartasapoetra (1986:17-18) bahwa yang dimaksud dengan pekerja ialah para tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, dimana para tenaga kerja itu harus tunduk kepada perintah dan peraturan kerja yang diadakan oleh pengusaha (majikan) yang bertanggung jawab atas lingkungan pekerjaannya, untuk mana tenaga kerja itu akan memperoleh upah atau jaminan hidup lainnya yang wajar. Pengertian pekerja banyak pula dijumpai dalam Undang Kerja, Undang-Undang Perlindungan dan Keselamatan Kerja, Undang-Undang-Undang-Undang Ketenagakerjaan serta beberapa Undang-Undang lainnya dimana buruh dimaksudkan sebagai “tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, yang tunduk dan berada di bawah perintah pengusaha, sesuai dengan peraturan kerja yang berlaku di lingkungan pekerjaannnya.

2.2 Upah dan Kesetaraan Upah

(4)

dilakukannya. Selanjutnya secara sederhana upah merupakan pengganti jasa yang telah diserahkan atau dikerahkan oleh seseorang kepada pihak lain/pengusaha (Abas Kustandi 1995:24). Menurut Konvensi International Labour Organisation (ILO) No.100 dan Undang-Undang No. 80 tahun 1957 mengatur tentang Upah yang setara dan Pengupahan bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya. Namun menurut data hasil penelitian ILO telah terjadi kesenjangan upah antar gender. Kesenjangan upah antar gender didefinisikan sebagai perbedaan rata-rata penghasilan kotor antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Perbedaan ini terjadi ketika pekerja laki-laki dan pekerja perempuan menerima gaji dalam jumlah yang berbeda. Kesenjangan upah antar gender sebanyak 17-22% berarti berarti bahwa pekerja perempuan berpenghasilan lebih rendah daripada kolega pekerja laki-laki mereka. Secara sederhana, kesenjangan upah antar gender adalah kesenjangan antara apa yang didapatkan oleh pekerja laki-laki dan apa yang didapatkan oleh pekerja perempuan. International Labour Organization (ILO) menemukan masih ada kesenjangan upah antargender di Indonesia dengan selisih hingga 19% pada tahun 2012, perempuan memperoleh upah rata-rata 81% dari upah laki-laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia, perempuan mewakili sekitar 38% layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh, yang cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki. Padahal upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan/ dikerahkannya (activities or efforts) tanpa perlu dibeda-bedakan antara perkerja laki-laki maupun perempuan (G. Kartasapoetra 1986:94). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hardijan Rusli (2011:75) bahwa setiap pekerja/buruh terutama perempuan berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar dengan memperhatikan prinsip kesetaraan.

2.3 Hukum positif Perburuhan Internasional dan Indonesia

1. Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya

(5)

Pimpinan mengenai tindakan-tindakan yang diambil untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut:

1. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah berkonsultasi dengan organisasi pekerja terkait atau, apabila organisasi ini tidak ada, dengan pekerja terkait — (a) untuk menjamin penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan

perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya bagi semua pegawai departemen atau lembaga Pemerintahan pusat, dan

(b) untuk mendorong penerapan prinsip bagi pegawai departemen atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat, provinsi maupun lokal, dimana mereka mempunyai wewenang untuk menentukan tingkat upah.

2. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja terkait, untuk menjamin, secepatnya mungkin, penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya di semua jabatan, selain dari yang telah disebutkan dalam Ayat 1, dimana tingkat upah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau control publik, khususnya mengenai —

(a) penetapan upah minimum atau upah lainnya di sektor industri dan jasa dimana tingkat upah tersebut ditentukan oleh pejabat publik yang berwenang;

(b) industri dan perusahaan yang dioperasikan di bawah kepemilikan atau kontrol publik; dan

(c) Bila mungkin, pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan kontrak publik. 3. (1) Apabila sesuai dengan metode-metode pengoperasian untuk menentukan tingkat

upah, maka ketentuan harus dibuat melalui penegakan hukum untuk penerapan umum dari prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.

(2) Pejabat publik yang berkompeten harus melakukan segala tindakan yang diperlukan dan tepat untuk menjamin bahwa pengusaha dan pekerja telah sepenuhnya diberitahu tentang persyaratan hukum tersebut dan, bila mungkin, diberi nasehat tentang penerapannya.

(6)

tepat harus dibuat atau diupayakan untuk dibuat sesegera mungkin, untuk penerapannya secara progresif, melalui tindakan-tindakan berikut ini—

(a) mengurangi perbedaan antara tingkat upah untuk pekerja laki-laki dengan tingkat upah bagi pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya; (b) dimana berlaku sistem kenaikan upah, memberikan kenaikan upah yang

setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan yang sama nilainya.

5. Bilamana mungkin untuk tujuan memfasilitasi penetapan tingkat atau pemberian upah sesuai dengan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, setiap Anggota, setelah disetujui oleh organisasi pengusaha dan pekerja bersangkutan, harus menetapkan atau mendorong penetapan metode untuk menilai secara objektif pekerjaan yang akan dilaksanakan, baik melalui analisa kerja maupun melalui prosedur lain, untuk menyediakan klasifikasi kerja tanpa memandang jenis kelamin; metode- metode ini harus diterapkan sesuai dengan ketentuan- ketentuan Pasal 2 Konvensi ini. 6. Untuk memfasilitasi penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan

perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, tindakan yang tepat harus dilakukan, bila mungkin, untuk meningkatkan efisiensi produktif dari pekerja perempuan melalui tindakan-tindakan seperti —

(a) memastikan bahwa pekerja dari kedua jenis kelamin mendapatkan fasilitas yang setara atau sebanding untuk bimbingan pelatihan kerja atau konseling kerja, untuk pelatihan dan penempatan kerja;

(b) mengambil tindakan yang tepat untuk mendorong perempuan menggunakan fasilitas untuk bimbingan pelatihan kerja atau konseling kerja, pelatihan dan penempatan kerja;

(c) Menyediakan layanan sosial dan kesejahteraan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerja perempuan, khususnya mereka yang memiliki tanggung jawab keluarga, dan Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di Dunia Kerja mendanai layanan-layanan tersebut dari pendanaan masyarakat umum atau dari dana jaminan sosial atau dana kesejahteraan industri yang berasal dari pembayaran yang dilakukan oleh para pekerja tanpa memandang jenis kelamin mereka; dan

(7)

melanggar ketentuan- ketentuan perundang-undangan internasional dan undang-undang dan peraturan nasional yang terkait dengan upaya perlindungan kesehatan dan kesejahteraan bagi perempuan.

7. Setiap upaya perlu dilakukan untuk mempromosikan pemahaman masyarakat tentang alasan-alasan yang harus dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya dapat dilaksanakan dengan baik.

3. Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 1984

Pasal 11 huruf (d)

Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan yang sama dengan nilai yang sama maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan.

4. Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

Pasal 3

Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh perempuan dan buruh laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya.

5. Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003

Pasal 88 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(8)

3. PEMBAHASAN A. Diskriminasi

Pemahaman mengenai diskriminasi dapat dilihat dari luas lingkupnya. Dalam lingkup luas secara umum, diskrimininasi dipahami sebagai adanya pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu. Pelayanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Ketika seseorang mengalami ketidakadilan atau pembedaan perlakuan yang didasarkan pada karakteristik gender, ras, agama atau aliran politik tertentu, amaka dapat dikatakan ia telah mengalami diskriminasi. Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang luas ini mengartikan bahwa pembedaan perlakuan tersebut dapat dialami oleh siapa pun tanpa melihat jenis kelaminnya baik laki-laki atau perempuan.

Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang lebih sempit, dapat dilihat dalam Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW yang menentukan bahwa diskriminasi adalah, setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang memepunyai pengaruh atas tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar persamaaan antara laki-laki dan perempuan.

(9)

B. Penyebab Adanya Diskriminasi Upah Terhadap Pekerja Perempuan

Berkaitan dengan penerapan pengupahan yang diskriminatif terhadap pekerja perempuan dan laki-laki maka dapat dikemukakan beberapa factor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut.

1. Budaya patriarki

Apabila dicermati lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa alasan utama yang dikemukakan oleh pengusaha dalam menentukan perbedaan kebijakan pengupahan antara pekerja perempuan yang sudah menikah dibandingkan pekerja laki-laki sebenarnya terpengaruh oleh budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar daerah dan masyarakat Indonesia. Budaya Patriarki ini dikonsepkan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan sistem sosial dimana pria/ayah menguasai seluruh anggota keluarganya, harta milik, segala sumber ekonomi serta pembuat semua keputusan penting dan sejalan dengan sistem sosial tersebut adalah pria diposisikan lebih tinggi dari perempuan2. Budaya ini tidak jarang

bersumber dari nilai-nilai sakral keagamaan dan budaya komunitas, dan berkembang dan disosialisasikan melalui pendidikan dalam keluarga di rumah. Adanya struktur komunitas yang seperti itu, perempuan seakan ditempatkan pada posisi sub-ordinat dibandingkan dengan pria, sehingga menyebabakan perempuan semakin dilemahkan kesetaraannya. Perempuan hanya dianggap sebagai makhluk pelengkap kehidupan laki-laki dan hanya cocok bekerja di ranah domestik dalam keluarga . Budaya ini berdampak pada anggapan terhadap status laki-laki yang memikul tanggung jawab besar dalam keluarga dan karenanya harus diberi kedudukan lebih tinggi atau istimewa dibandingkan perempuan dalam hal ini adalah pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan. Sehingga, memunculkan berbagai bentuk pembedaan/diskriminasi.

Tragisnya perempuan yang bekerja kadang dianggap bahwa dia bekerja hanya sekedar untuk membantu suami sebagai pencari naskah utama. Hal ini tampak dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh

2 Departemen Ketenagakerjaan, ”Hukum Berkeadilan Jender” , Diakses dari

(10)

Imma Indra Dewi W tahun 2002 pada pekerja beberapa perusahaan percetakan di DIY dan DKI Jakarta. Dalam penelitian tersebut terungkap pada umumnya pengusaha yang diteliti menyatakan bahwa perempuan tidak berkedudukan sebagai kepala rumah tangga. Konsekuensinya perempuan tidak mempunyai kewajiban untuk membiayai rumah tangganya andai perempuan itu sudah menikah. Jadi hadirnya anak dalam rumah tangga pembiayaannya merupaka tanggung jawab suaminya. Akibat pandangan demikian pengusaha memutuskan menerapkan pemberian tunjangan yang berbeda antara tenanga kerja laki-laki dan perempuan. (Ima Indra Dewi W, 2002). Hal ini tentu merugikan pihak pekerja perempuan, terlebih bila pada keluarga tersebut istri telah mengambil alih kewajiban suami sebagai pencari nafkah utama. Kondisi ini terjadi karena seorang perempuan dianggap bukan pencari nafkah utama maka ia tidak diberikan tunjangan sebagaimana pekerja laki-laki.

2. Penyalahgunaan kodrat perempuan

Alasan lain yang sering dijadikan alasan dasar pendiskriminasian antara pekerja laki-laki dan perempuan adalah terutama perempuan yang sudah menikah dan berprofesi sebagai pekerja akan lebih banyak mengambil cuti dibandingkan pekerja laki-laki. Rasionya karena perempuan yang sudah menikah seketika akan hamil, melahirkan dan menyusui. Hal ini akan menyebabkan pekerja perempuan lebih banyak mengamnil cuti dari pada pekerja laki-laki. Kondisi demikian menurut kacamata pengusaha dipandang tidak efisien dan cenderung merugikan perusahaan dalam menjalankan proses produksi. Selain itu kodrat yang telah disandang perempouan untuk hamil, melahirkan dan menyusui tersebut kadang dianggap sebagai bukti otentik untuk mengukuhkan pandangan bahwa tugas perempuan adalah mengurus masalah domestik rumah tangga.

3. Ketidakseimbangan posisi tawar kerja pekerja perempuan

(11)

dan keluarganya, sementara pengusaha merupakan pihak yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan tersebut melalui upah yang diberikan pada pekerja.

Situasi ini diperparah dengan besarnya jumlah angkatan kerja, terutama perempuan, yang membutuhkan pekerjaan di Indonesia tetapi belum tersalurkan. Sebagai contoh jumlah penduduk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 sebagai berikut: jumlah penduduk laki-laki sebesar 1.708.910 jiwa dan perempuan sebanyak 1.748.581 jiwa3. Artinya dari hasil sensus tersebut

dapat dikertahui bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar dibanding penduduk laki-laki. Dalam kondisi seperti ini tidak mustahil jumlah angkatan kerja yang tersedia pun menjadi lebih besar. Sayangnya besarnya jumlah angkatan kerja perempuan ini tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia.

Selain itu juga faktor pendidikan pekerja perempuan juga berpengaruh terhadap posisi tawar perempuan. Mengutip hasil BPS tahun 2004, diketahui bahwa jumlah lulusan SD perempuan hanya sekitar 20%, sedangkan pada tingkap SLTP jumlah lulusan perempuan hanya sekitar 17%. Pada tingkat yang lebih tinggi yaitu SLTA jumlah lulusan perempuan hanya sekitar 18,8% serta ditingkat perguuruan tinggi hanya sekitar 8%. Semua jumlah persen tersebut berangkat dari total penduduk perempuan berumur 15 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkannya, yaitu sebanyak 1.288.425 jiwa. Sedangkan jumlah prosentase kelulusan dari penduduk laki-laki yang berusia diatas 15 tahun kesemuanya melebihi prosentase dari penduduk perempuan. Data diatas menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan formal bagi laki-laki dan perempuan.

Akibatnya posisi tawar seorang pekerja perempuan menjadi lebih rendah dibanding pekerja laki-laki. Apalagi diperparah dengan anggapan pengusaha bahwa pekerja perempuan lebih banyak mengambil cuti sehubungan dengan kodratnya sebagai perempuan dan anggapan bahwa perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga. Hal ini menyebabkan

(12)

pekerja perempuan menjadi semakin lemah kedudukannya dibanding dengan pengusaha.

.

4. Kepentingan penguasa

Logikanya jika suatu ketentuan telah mendapatkan suatu pengaturan secara tegas serta didalamnya telah dimuat sanksi bila tidak melaksanakan isis ketentuan tersebut, maka pihak yang melakukan pelanggaran mendapat sanksi. Namun dalam hal ini seolah-olah penguasa mengalami dilema untuk menegakkan berbagai ketentuan perundangan ketenagakerjaan, terutama bidang pengupahan yang berkeadilan jender. Pengusaha yang melanggar ketentuan tidak pernah mendapat sanksi dari pejabat berwenang. Hal ini dapat dipahami karena dalam pelaksanaanya masih banyak oknum dari pihak yang berwenang berperan sebagai pelindung.

Berkaitan dnegan pemberian upah undang-undang telah mengatur tentang sanksi bagi pengusaha yang melakukan diskriminasi upah. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 31 PP No 8 Tahun 1981 yang mengatur bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3 PP No 8 Tahun 1981 tentang larangan diskriminasi upah terhadap pekerja laki-laki dan perempuan dapat dikenai sanksi pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Demikian pula pasal 190 UU No 13 Tahun 2003 ditegaskan bahwa bagi pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 5 dan 6 tentang adanya larangan diskriminasi bagi pekerja dapat dikenai sanksi administratif sebagai berikut: a. teguran

b. peringatan tertulis

c. pembatasan kegiatan usaha d. pembekuan kegiatan usaha e. pembatalan persetujuan f. pembatalan pendaftaran

(13)

Namun adanya kepentingan penguasa maka sanksi-sanksi tersebut seolah hanya berfungsi sebagai hiasan dalam undang-undang, karena tidak pernah dilaksanakan.

Di sisi lain berkaitan dengan sumber dana daerah maupun Negara, pengusaha merpakan pemasok terbesar baik dari sudut pajak maupun dana tak terduga lainnya. Faktanya dalam setiap kesempatan pengusaha seolah-olah berperan sebagai bank tidak resmi yang “multifungsi” bagi penguasa. Di sisi lain pengusaha juga menikmati fasilitas atas ke-“multifungsi”-annya terhadap penguasa. Akibatnya pekerja, terutama pekerja perempuan sebagai pihak terlemah diantara pengusaha dan penguasa harus menanggung penderitaan. Adanya kepentingan penguasa ini tentu saja akan memberikan pertimbangan tersendiri bagi pihak yang terkait untuk menjatuhkan sanksi pada pengusaha.

5. Ketidaktahuan berlakunya suatu hukum

(14)

C. Kajian Sudut Pandang Hukum Atas Pengupahan Yang Diskriminatif

Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut hukum, apabila hukum tidak lagi pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan4.

Berdasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo ini, merupakan suatu keharusan bahwa segala peraturan yang telah dibuat harus diwujudnyatakan. Dari sinilah diperlukan peranan Negara sebagai penegak hukum yang terdiri dari Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan, dan juga Badan Peraturan Perundang-undangan. Dengan adanya penegak hukum, janji-janji serta kehendak yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum dapat diwujudkan.

Dengan adanya para penegak hukum maka praktek diskriminasi upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang terjadi di masyarakat seharusnya tidak boleh lagi terjadi. Apalagi setelah diadopsinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW oleh Negara melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Secara khusus dalam Pasal 11 huruf (d) konvensi ini memberikan hak kepada perempuan untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan

pekerjaan yang sama dengan nilai yang sama maupun persamaan perlakuan dalam

penilaian kualitas pekerjaan.

Tidak hanya Konvensi CEDAW, terdapat pula konvensi/ ketentuan yang bersifat internasional yang memuat tentang penghapusan diskriminasi yakni, Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya. Konvensi ILO ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada 11 Mei 1957 dengan Undang-Undang No.80 Tahun 1957. Itu artinya, setelah diratifikasi Undang-Undang tersebut dinyatakan berlaku, dan sudah merupakan kewajiban dari Negara untuk melaksanakan perannya. Dalam konvensi ini telah ditetapkan bahwa Negara perlu menerapkan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini dan memberikan laporannya kepada Kantor perwakilan ILO di Indonesia.

4 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,

(15)

Secara garis besar, dalam Kovensi ILO No.100 ditentukan bagaimana seharusnya peran Negara dalam mewujudkan kesetaraan upah pekerja laki-laki dan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, yaitu: 1) Negara menjamin menjamin penerapan prinsip kesetaraan upah dengan mengadakan koordinasi dengan lembaga terkait dan sedemikian rupa dibuat hukumnya; 2) Negara menjamin bahwa pengusaha dan pekerja telah sepenuhnya diberitahu tentang persyaratan hukum tersebut dan diberi nasehat tentang penerapannya; 3) Negara mempromosikan pemahaman masyarakat tentang alasan-alasan yang harus dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya dapat dilaksanakan dengan baik.

Dalam ketentuan hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan kesetaraan upah juga diatur dalam Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dalam ayatnya yang pertama dinyatakan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dilanjutkan pada ayat berikutnya bahwa untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

Dengan demikian dari beberapa ketentuan yang telah mengatur terdapat hak dasar pekerja perempuan yang bagi negara harus mutlak melindunginya. Hak yang dimaksud ialah hak akan upah setara untuk pekerjaan yang sama. Pemenuhan hak upah ini bukanlah suatu hal yang mustahil dipenuhi, sebab sampai saat ini telah banyak aturan hukum yang digunakan sebagai dasarnya. Mulai dari Pasal 11 CEDAW yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.80 Tahun 1957, Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, hingga Pasal 38 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun dapat digunakan sebagai rujukannya.

(16)

perempuan memperoleh upah rata-rata 81% dari upah laki-laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia, perempuan mewakili sekitar 38% layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh, yang cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki.Padahal upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan/ dikerahkannya (activities or efforts) tanpa perlu dibeda-bedakan antara perkerja laki-laki maupun perempuan.5 Setiap pekerja terutama perempuan berhak memperoleh

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar dengan memperhatikan prinsip kesetaraan.6

4. KESIMPULAN

5 G. Kartasapoetra, Hukum KetenagakerjaanSuatu Pengantar, Penerbit Angkasa, Bandung, 1986,

hlm 94

(17)

Citra perempuan di mata masyarakat tidak terlepas dari peranan wanita sendiri dalam kehidupan kesehariannya. Seringkali wanita menanggung beban baik fisik, maupun mental. Tuntutan jaman industrial telah memaksa wanita ikut bekerja di pabrik-pabrik. Bahkan mereka lebih disenangi dari pada buruh laki-laki. Sebab wanita lebih menurut, sabar, takut, dan diberi upah yang diskriminatif, tidak setara. Adanya pemberian upah yang diskriminatif bagi pekerja perempuan ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: masih tumbuh suburnya budaya patriarkhi yang dianut sebagian besar masyarakat, konstruksi masyarakat perihal kodrat perempuan yang disalahgunakan, ketidakseimbangan posisi ekonomi, adanya kepentingan penguasa, dan ketidaktahuan berlakunya suatu hukum.

Dalam hal ini fungsi Negara untuk memberikan pelindungan melalui berbagai pengaturan telah berjalan. Berbagai Konvensi Internasional mengenai kesetaraan upah pekerja dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), serta Undang-undang Ketenagakerjaan sebenarnya sudah mengatur adanya kesetaran upah bagi pekerja laki-laki dan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Meskipun telah ada pengaturan maupun sanksi yang telah ditentukan, tidak serta merta ketimpangan tersebut dapat teratasi. Dalam pelaksanaan di lapangan, upaya Negara untuk menekan adanya tidakan pemberian upah yang diskriminatif belum terwujud. Hak warganya (khususnya perempuan) untuk mendapatkan upah yang setara tidak didapatkan sepenuhnya.

(18)

dengan baik. Dengan demikian, peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dapat terlaksana. Dapat membawa masyarakat yang ada menjadi masyarakat yang lebih baik.

(19)

Buku-Buku :

Kartasapoetra, G. 1986. Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Penerbit Angkasa: Bandung

Kustandi, Abas. 1995. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Alumni: Bandung.

Rahardjo, Satjipto.2009. Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing: Yogyakarta

Rusli, Hardijan. 2011. Hukum Ketenagakerjaan . Ghalia Indonesia: Bogor

Soedijana. 2012. Ekonomi Pembangunan Indonesia, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta: Yogyakarta

Soepomo,Iman. 1976. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Rineka Cipta : Jakarta

Hasil Penelitian:

Ima Indra Dewi W. 2002. Implikasi Pasal 31 ayat (1) dan (3) jo Pasal 34 UU No 1 Tahun 1974 Terhadap Penerapan Kebijakan Di Bidang Ketenagakerjaan bagi tenaga Kerja Perempuan pada Perusahaan Percetakan

Peraturan Perundang-Undangan:

Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya

Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 1984

Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1981tentang Perlindungan Upah

Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(20)

Departemen Ketenagakerjaan. “Hukum Berkeadilan Jender” . 4 juni 2015. http://jdih.depnakertrans.go.id.com

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY . “DIY Dalam Angka 2013”. 29 Mei 2015. http:// yogyakarta . bps .go.id

Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY . “Keadaan Angkatan Kerja Daerah Istimewa Yogyakarta Agustus 2014”. 29 Mei 2015. http://yogyakarta.bps.go.id/

Referensi

Dokumen terkait

Multimedia merupakan media periklanan yang unik dan sangat kuat karena mengandung elemen penglihatan, video dan suara yang dapat dikombinasikan dengan strategi

Dengan menggunakan metode Penelitian dan Pengembangan (research & development), pada penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu produk baru atau

Dari dua puluh kesalahan yang dikemukakan oleh Darsel diatas maka kesalahan yang masih sering dilakukan oleh kepala dalam melaksanakan supervisi kepada guru

LAPORAN KEUANGAN PROVINSI DKI JAKARTA TAHUN ANGGARAN

Penelitian ini berjudul Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Mengubah Dan Menetapkan Undang-Undang Dasar Setelah Perubahan Undang- Undang Dasar Negara

Dampak kejadian tsunami pada kawasan Kepesisiran DI Yogyakarta tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan tsunami Aceh tahun 2004 dan tsunami Krakatau tahun 1883,

Peserta wajib mentaati perintah/peraturan tentang pelaksanaan ujian wawancara yang akan diberikan menjelang dan selama ujian berlangsung. (Bagi

Rendahnya nilai NRR pada perlakuan semen sexing menggunakan sedimentasi putih telur terjadi karena terdapat penurunan jumlah spermatozoa yang