• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Dialek

Dialek adalah sebagai sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat hubungannya (Weijnen dalam Ayatrohaedi, 1983:1).

Ada dua ciri yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Meillet 1967:69).

2.1.2 Isolek

Adelaar dalam Hudson (1970:302-303) menyatakan bahwa isolek digunakan untuk mengacu pada bentuk bahasa tanpa memperhatikan statusnya sebagai bahasa ataukah sebagai dialek. Istilah isolek merupakan istilah netral yang dapat digunakan untuk menunjuk pada bahasa, dialek, atau subdialek.

2.1.3 Geografi Dialek

Menurut Keraf (1984:143), geografi dialek mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa. Geografi dialek mengungkapkan fakta-fakta tentang perluasan ciri-ciri linguistis yang sekarang tercatat sebagai ciri-ciri dialek.

(2)

Dalam memperoleh hasil penelitian yang baik, penelitian geografi dialek harus didasarkan pada dua hal yaitu:

1. Pengamatan yang setara terhadap daerah yang diteliti

2. Bahannya harus dapat diperbandingkan sesamanya, dan keterangan yang bertalian dengan kenyataan-kenyataannya dikumpulkan dengan aturan dan cara yang sama.

Geografi dialek adalah cabang dialektologi yang bertujuan mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut, (Dubois dkk., 1973:230 dalam Ayatrohaedi, 1983:29). Geografi dialek menyajikan hal-hal yang bertalian dengan pemakaian anasir bahasa yang diteliti pada saat penelitian dilakukan sehingga dapat dibuktikan (Jaberg dalam Ayatrohaedi, 1983:29).

Berdasarkan konsep di atas, disimpulkan bahwa geografi dialek adalah variasi bahasa yang dituturkan masyarakat dengan cara yang berbeda berdasarkan tempat. Dari konsep tersebut diharapkan dapat ditemukan variasi dialek dari bahasa yang akan diteliti pada daerah pengamatan.

2.1.4 Variasi Morfologi

Perbedaan morfologi yang di deskripsikan menyangkut semua perbedaan aspek kajian morfologis, yang terdapat dalam bahasa yang diteliti. Perbedaan itu dapat menyangkut aspek afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan morfofonemik (Mahsun 1995:51).

Dalam penelitian ini perbedaan morfologi yang dideskripsikan hanya menyangkut perbedaan dalam aspek reduplikasi. Contohnya, di Desa Munte, Desa Singgamanik, Desa Tanjung Beringin, Desa Kuta Suah, dan Desa Guru Benua terdapat kata ulang yang bentuk

(3)

disebut dengan ‘dwipurwa’, sedangkan di Desa Gunung Saribu, Desa Sukarame dan di Desa Sari Munte tidak terdapat reduplikasi dwipurwa, melainkan di desa tersebut menggunakan kata ulang utuh atau penuh yang sering disebut dengan ‘dwilingga’. Sebagai contoh yaitu untuk menyatakan kata ‘pohon-pohon’, di Desa Munte, Desa Singgamanik, Desa Tanjung Beringin, Desa Kuta Suah, dan Desa Guru Benua mengatakan babatang sedangkan di Desa Gunung Saribu, Desa Sukarame dan Desa Sari Munte menggunakan kata batang-batang. Contoh lain, untuk merealisasikan kata ‘ibu-ibu’ di Desa Munte, Desa Singgamanik, Desa Tanjung Beringin, Desa Kuta Suah, dan Desa Guru Benua mengatakan nanande , sedangkan di Desa Sukarame, Desa Sarimunte dan Desa Gunung Saribu merealisasikan kata ‘gayung’ dengan nande-nande.

2.1.5 Variasi Leksikon

Suatu perbedaan disebut sebagai perbedaan dalam bidang leksikon, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari satu etimon prabahasa. Semua perbedaan leksikon selalu berupa variasi (Mahsun, 1995:54). Sebagai contoh, Desa Munte menggunakan kata salimar untuk menyatakan ‘dinding bambu’, sedangkan di Desa Gunung Saribu menggunakan kata bayu-bayu. Contoh lain, seperti dalam menyatakan ‘hisap’, di Desa Munte menggunakan kata sirup, sedangkan di Desa Sari Munte menggunakan kata isap.

2.1.6 Isoglos atau Watas kata

Isoglos atau garis watas kata adalah garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan itu yang berbeda yang dinyatakan dalam peta peta bahasa (Dubois dkk. dalam Ayatrohaedi, 1983:5). Garis watas kata ini kadang disebut juga sebagai heteroglos (Kurath dalam Ayatrohaedi, 1983:5).

(4)

Isoglos juga memunyai arti, yaitu garis yang menghubungkan kata-kata atau bentuk-bentuk yang sama (Keraf, 1991:158)

Menurut Kridalaksana (1984:78), isoglos adalah garis pada peta bahasa atau peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa. Jadi isoglos dapat menunjukkan batas-batas dari dialek dan dapat menunjukkan perkembangan yang terjadi pada daerah pemakai bahasa.

Lauder (dalam Mahsun, 2005:163) menyebutkan bahwa isoglos pada dasarnya merupakan garis imajiner yang diterakan di atas peta. Oleh karena itu, tidak seorang pun dapat menentukan dengan pasti daerah-daerah mana yang dilalui garis-garis tersebut.

2.1.7 Peta Bahasa

Gambaran umum mengenai sejumlah dialek akan tampak jelas jika semua gejala kebahasaan yang ditampilkan dari bahasa yang terkumpul selama penelitian dipetakan. Dalam peta bahasa tergambar pernyataan yang lebih umum tentang perbedaan dialek yang penting dari satu bahasa dengan daerah yang lain. Oleh karena itu, kedudukan dan peran peta bahasa dalam kajian geografi dialek mutlak diperlukan (Ayatrohaedi, 1983:31).

Ada dua jenis peta yang digunakan dalam dialektologi yaitu peta peragaan (display dan peta map) penafsiran (interpretative map) (Chamber dan Trudgill dalam Mahsun, 1995:58). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan peta peragaan dan peta penafsiran untuk menyatakan gambaran umum mengenai sejumlah dialek.

Peta peragaan merupakan peta yang berisi tabulasi data lapangan dengan maksud agar data-data itu tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis.Dalam peta peragaan tercakup distribusi geografis perbedaan-perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara daerah pengamatan (Mahsun, 1995:59).

(5)

Peta penafsiran merupakan peta yang memuat akumulasi pernyataan-pernyataan umum tentang distribusi perbedaan-perbedaan unsur linguistik yang dihasilkan berdasarkan peta peragaan.Peta penafsiran merupakan peta yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan inovasi dan relik, juga termasuk peta berkas isoglos (Mahsun, 1995:68).

2.1.8 Bahasa Karo

Matius Sembiring dalam disertasinya (2009) yang berjudul ”Variasi Dialek Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang” menyatakan bahwa bahasa Karo adalah salah suatu bahasa daerah di Sumatera Utara yang penuturnya disebut masyarakat Karo. Bahasa Karo dipergunakan masyarakat Karo untuk berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk melakukan aktivitasnya, masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo. Bahasa Karo memang sangat luas daerah pakainya bila dilihat dari segi geografis karena daerahnya tidak saja di Kabupaten Karo, tetapi sampai ke Kabupaten Dairi, Langkat, Deli Serdang, dan beberapa daerah lainnya.

2.2 Landasan Teori

Pada dasarnya dialektologi merupakan ilmu tentang dialek, atau cabang dari linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (bandingkan dengan Kridalaksana, 1984:39). Dalam praktiknya, studi dialektologi berkenaan dengan wilayah-wilayah atau daerah-daerah yang menjadi sorotannya untuk meneliti suatu dialek untuk berbagai tujuan. Wilayah atau daerah yang menjadi tempat penelitian variasi bahasa tersebut tentu berbeda satu dengan yang lainnya, baik dari segi kontur wilayah, keadaan alam (lingkungan), mata pencaharian, agama, dan adat-istiadat tersendiri.

Istilah dialek yang merupakan padanan kata logat lebih umum digunakan dalam pembicaraan ilmu bahasa, termasuk di Indonesia. Istilah dialek yang berasal dari bahasa

(6)

Yunani yaitu, dialektos pada mulanya digunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani terdapat bedaan-bedaan kecil dalam bahasa yang digunakan oleh para penuturnya. Namun, sedemikian jauh hal itu tidak sampai meyebabkan mereka menganggap bahwa mereka mempunyai bahasa yang berbeda (Meillet dalam Ayatrohaedi 2003:2). Oleh karena itu, ciri utama dialek adalah “perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan”. Dialek merupakan penilaian hasil perbandingan dengan salah satu isolek lainnya yang dianggap unggul (Steinhauer, 1991:4-5).

Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi struktural. Variasi dialek bahasa Batak Karo di Kecamatan Munte Kabupaten Karo akan dianalisis berdasarkan teori dialektologi struktural.

Menurut (Chambers, 1990:54) dialektologi struktural adalah salah satu upaya untuk menerapkan dialektologi dalam membandingkan varietas bahasa. Teori dialektologi struktural tidak mengelompokkan variasi-variasi menurut apakah bentuk itu memiliki kesamaan secara fonetis atau tidak. Oleh karena itu, teori struktural ini membandingkan bentuk-bentuk individual tanpa melihat persamaan dan perbedaan, tetapi melihat bagian-bagian konstituen sistemnya. Dialektologi struktural muncul pada tahun 1954 yang dikemukan oleh Uriel Weinreich dalam artikelnya “Is a structural dialectology possible?” Apakah dialektologi struktural memungkinkan?.

Dalam penelitian ini juga menggunakan pemetaan bahasa sesuai dengan objek kajiannya yang berupa perbedaan unsur-unsur kebahasaan karena faktor spasial (geografis). Peta bahasa dalam dialektologi khususnya dialek geografis memiliki peran yang cukup penting. Peran itu berkaitan dengan upaya memvisualisasikan data lapangan ke dalam bentuk peta agar data itu tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis serta memvisualisasikan pernyataan-pernyataan umum yang dihasilkan berdasarkan distribusi

(7)

geografis perbedaan-perbedaan yang lebih dominan dari wilayah ke wilayah yang dipetakan. Ada dua jenis peta yang digunakan dalam dialektologi yaitu peta peragaan dan peta penafsiran (Mahsun, 1995: 58-59).Pada peta bahasa akan diterangkan sejumlah unsur perbedaan baik secara morfologi maupun leksikon yang diperoleh di daerah pengamatan dengan menggunakan sistem lambang, misalnya lambang bulat ( ), segitiga ( ) dan lambang kotak ( ) yang sederhana bentuknya.

Selanjutnya, untuk mengelompokkan unsur-unsur yang sama, data yang sama agar tampak berbeda dengan data yang lainnya, baik perbedaan dalam aspek reduplikasi maupun perbedaan leksikal, digunakan isoglos. Selanjutnya isoglos tersebut diakumulasikan menjadi sekumpulan isoglos-isoglos dalam sebuah peta. Kumpulan tersebut disebut berkas isoglos, baik berkas isoglos reduplikasi maupun berkas isoglos leksikal. Berkas isoglos adalah kumpulan dari beberapa isoglos yang membentuk satu berkas.

Perbedaan secara leksikal dihitung statusnya, apakah perbedaan-perbedaan itu merupakan perbedaan dialek atau perbedaan subdialek dengan menggunakan perhitungan statistik bahasa atau dialektometri. Dialektometri merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat tersebut (Revier dalam Mahsun, 1995: 118). Setelah langkah-langkah itu, dirumuskanlah status isolek Kecamatan Munte.

Perbedaan unsur kebahasaan yang diteliti yaitu dari bidang leksikal dan reduplikasi. Dikatakan perbedaan dalam bidang leksikal, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari suatu etimon prabahasa (Mahsun,

(8)

1995:54). Contohnya, pada bahasa Karo terdapat dua kata untuk merealisasikan kata ‘kamu’, yaitu kam dan әŋkO.

Dikatakan perbedaan dalam aspek reduplikasi, jika variasi kata berada di bidang morfologi. Penelitian ini mendeskripsikan perbedaan dalam aspek reduplikasi yang terdapat dalam bahasa Karo di Kecamatan Munte Kabupaten Karo tersebut. Contohnya, untuk merealisasikan kata ‘anak’ di Desa Munte, Desa Singgamanik, Desa Tanjung Beringin, Desa Kuta Suah, dan Desa Guru Benua mengatakan dadanak, sedangkan di Desa Sukarame, Desa Sarimunte dan Desa Gunung Saribu merealisasikan kata ‘gayung’ dengan danak-danak.

Sama halnya dengan perbedaan unsur kebahasaan dalam bahasa Karo, variasi perbedaan bahasa atau dialek juga penting. Teori yang dipaparkan di atas dapat menunjukkan perbandingan antar variasi dialek di Kecamatan Munte Kabupaten Karo.

2.3 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pemetaan kebahasaan dapat disampaiskan sebagai berikut:

Bangun, dkk (1982) dalam penelitian yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Batak Toba”, menyatakan bahwa bahasa Batak Toba terdiri atas lima dialek yaitu dialek Silindung, dialek Humbang, dialek Toba, dialek Samosir, dan dialek Sibolga. Ciri yang digunakan sebagai pembeda adalah perbedaan fonologis, perbedaan morfologis, dan perbedaan semantis. Penelitian ini menggunakan metode cakap dalam pengumpulan data dan menggunakan metode padan dalam menganalisis data. Penelitian ini berlandaskan teori dialektologi struktural.

(9)

Widayati (1997) dalam tesisnya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Melayu di Wilayah Timur Asahan”, mengkaji bidang fonologi, morfologi dan leksikal. Deskripsi leksikal menunjukkan adanya beberapa perbedaan dengan bahasa Melayu Umum dan dalam bahasa Melayu Asahan terdapat dua dialek, yaitu dialek Batubara dan dialek Tanjung Balai. . Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi struktural. Penelitian ini menggunakan metode cakap dalam pengumpulan data dan menggunakan metode padan untuk menganalisis data yang diperoleh.

Khairiyah (1999) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Melayu di Kecamatan Tanjung Pura”, menyimpulkan bahwa terdapat variasi yang disebabkan oleh faktor geografis, faktor mobilitas penduduk, dan faktor sosiologis. Variasi fonologi dapat dilihat kesejajarannya dengan variasi leksikal yang secara bersama membedakan kelompok-kelompok titik pengamatan hasil perhitungan dialektometri. Berdasarkan uraian dan perhitungan dialektometri, bahasa Melayu di Kecamatan Tanjung Pura memiliki perbedaan wicara, yaitu perbedaan wicara Melayu Dataran Tinggi dan perbedaan wicara Melayu Pesisir. Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi struktural. Metode dan teknik pengumpulan data pada penelitian dialektologi ini adalah menggunakan metode cakap. Penelitian ini menggunakan metode padan untuk menganalisis data yang diperoleh.

Kaban (2000) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Bahasa Batak Karo di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo”, membahas variasi-variasi pada bidang leksikon dan fonologi. Dengan perhitungan dialektometri diketahui ada dua subdialek yang berbeda, yaitu subdialek Surbakti dan subdialek Tigapancur. Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi struktural. Metode dan teknik pengumpulan data pada penelitian dialektologi ini adalah menggunakan metode cakap. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan.

(10)

Nasution (2001) dalam skripsinya yang berjudul ”Geografi Dialek Bahasa Mandailing di Kecamatan Lembah Melintang”, membahas tentang variasi di bidang leksikon dan fonologi. Variasi fonologi dapat dilihat kesejajarannya dengan variasi leksikon yang secara bersama membedakan kelompok-kelompok titik pengamatan hasil penghitungan dialektometri. Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi struktural. Metode dan teknik pengumpulan data pada penelitian dialektologi ini adalah menggunakan metode cakap.

Sembiring (2009) dalam disertasinya yang berjudul ”Variasi Dialek Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang” meneliti tiga kabupaten. Sebagai hasilnya dapat ditemukan bahwa pada ketiga kabupaten tersebut sudah ada tiga dialek bahasa Karo, yaitu dialek Karo Singalor Lau yang daerah pakainya di Kecamatan Juhar dan Lau Baleng, dialek Karo Julu yang daerah pakainya di Kecamatan Tiga Panah dan Merek dengan subdialeknya di Kecamatan Kuta Buluh dan Payung, dan dialek Karo Jahe yang daerah pakainya di Kabupaten Langkat serta daerah subdialeknya di Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini adalah suatu penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Kualitatif sebagai utama dan kuantitatif untuk menentukan jarak peta yang dibandingkan. Dalam hal menganalisis data, peneliti mendeskripsikan semua ujaran yang diperoleh dari informan. Setelah pendeskripsian ujaran selesai maka dikelompokkan ucapan tersebut sesuai daerah data tersebut diperoleh. Selanjutnya, ujaran tersebut diamati unsur pembeda antara satu dengan lainnya.

Toha (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Isolek-Isolek di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh : Kajian Dialektologi” meneliti isolek Tamiang menggunakan kajian dialektologi. Hasil penghitungan dialektometri pada 400 kosakata pada tataran leksikal menunjukkan dalam isolek Tamiang terdapat dua dialek; Hilir dan Hulu. Hasil

(11)

vokal. Hasil analisis diakronis menunjukkan bahwa dialek Hilir masih memelihara unsur relik, sehingga dapat dikatakan dialek Hilir sebagai daerah relik, sedangkan dialek Hulu merupakan daerah inovasi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode cakap, teknik simak libat cakap diterapkan dengan melakukan penyadapan dengan cara berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan. Penelitian ini berlandaskan pada kerangka teori dialektologi. Teori dialektologi digunakan dalam pendeskripsian perbedaan pada unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara daerah pengamatan yang menjadi sampel penelitian.

Yonelda (2013) dalam skripsinya yang berjudul ”Geografi Dialek Bahasa Batak Toba di Kabupaten Samosir”, membahas tentang variasi leksikal di Kabupaten Samosir dan terdapat 79 variasi leksikal dari 100 kosakata yang digunakan di tiga kecamatan di kabupaten Samosir. Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi struktural. Metode dan teknik pengumpulan data pada penelitian dialektologi ini adalah menggunakan metode cakap. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan, metode berkas isogloss, dan metode dialektometri.

Simanjuntak (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan”, membahas tentang variasi fonemis dan variasi leksikon di Kabupaten Humbang Hasundutan. Kabupaten Humbang Hasundutan terlihat adanya variasi bunyi dalam pemakaian bahasa batak Toba. Variasi tersebut ada pada bidang leksikon dan bidang fonologi. Variasi fonologi dapat dilihat dengan variasi leksikon yang secara bersama membedakan kelompok-kelompok daerah pengamatan hasil perhitungan dialektometri. Dialek Humbang Hasundutan Selatan terdiri atas dua subdialek, yaitu Subdialek Humbang Hasundutan Selatan sebelah Barat (desa Sionom Hudon Timur dan desa Siambaton Pahae), dan Subdialek Humbang Hasundutan Selatan sebelah Timur pada ( desa Sosor Gonting, desa Matiti, desa Pasaribu, desa Pulogodang, dan desa Purba

(12)

Baringin ). Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Dialektologi Struktural, yaitu menganalisis perbedaan atau variasi isolek berdasarkan strukturnya, misalnya struktur bunyi dan juga perbedaan leksikon. Metode pengumpulan data pada penelitian dialektologi ini adalah metode cakap. Metode yang digunakan dalam pengkajian data adalah metode padan, yaitu metode padan artikulatoris dengan alat penentunya organ wicara.

Novita (2015) dalam skripsinya yang berjudul “ Geografi Dialek bahasa Minangkabau di Kabupaten Pesisir Selatan”. Terdapat variasi fonologi dan leksikon pada bahasa Minangkabau di Kabupaten Pesisir Selatan. Variasi pada fonologi berupa variasi fonemis dan korespondensi fonemis. Pada dialek bahasa Minangkabau di Kabupaten Pesisir Selatan dianalisis berdasarkan teori dialektologi struktural. Metode dan teknik pengumpulan data pada penelitian dialektologi ini adalah metode cakap. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode padan, yaitu metode padan artikulatoris dengan alat penentu referen organ wicara. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu, yaitu penentu artikulatoris.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

yang dinyatakan dalam Y.. Variabel bebas yaitu variabel yang mendahului atau mempengaruhi.. variabel terikat. Variabel bebas

Dengan terbatasnya alat produksi proses pembuatan Bakso Aci juga berdampak pada tidak terpenuhinya target produksi Bakso Aci (Nursalim et al., 2019). Dari uraian diatas maka

Penelitian dengan judul “Pengaruh Bauran Pemasaran Terhadap Keputusan Pembelian Obat Generik di Apotek SAIYO FARMA Jombang” ini dilakukan untuk mengetahui

Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui tingkat keterlaksanaan Program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada tahapan 1) masukan (antecedents), 2) proses (transactions), 3)

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Berdasarkan dari evaluasi data yang diperoleh pada daftar tabel pada siklus pertama putaran pertama, maka dapat dilihat bahwa hanya sebagian kecil saja anak yang

Analoginya seperti kita mengisi air didalam jerigen, ketika keran kita buka full, maka air dalam jerigen akan beriak dan akan membuat jerigen seolah- olah sudah penuh, karena