• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG UPACARA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN

2.1 Perkawinan pada Masyarakat Jepang

Perkawinan di Jepang ada dua, yaitu berdasarkan agama dan pemerintah/hukum. Sekarang ini di Jepang paling banyak pasangan pengantin yang menikah di Gereja yaitu sekitar 60%, sedangkan di Kuil 40% dan di tempat-tempat lain 10%.

Perkawinan dalam Bahasa Jepang disebut dengan istilah kekkon (結婚) atau kon’in. Istilah kekkon terdiri dari dua karakter kanji yaitu ketsu (結) yang berarti ikatan, dan kon (婚) yang berarti perkawinan. Sedangkan kon’in terdiri dari kon yang berarti perkawinan dan in yang juga berarti perkawinan.

Masyarakat Jepang memiliki adat istiadat tentang perkawinan yang berbeda dari negara lain. Perkawinan dan penyelenggaraan kehidupan berkeluarga di Jepang di atur oleh sebuah sistem keluarga (Martha, 1995:2).

Pada umumnya perkawinan orang Jepang bersifat monogami, walaupun pergundikan juga dilakukan dan keturunannya diakui dalam masyarakat, namun dari segi pewarisan kekayaan maupun kedudukan dalam lingkungan sosial, status mereka lebih rendah dari isteri sah dan anak-anaknya.

Usia perkawinan orang Jepang sejak Zaman Meiji berkisar pada usia 26-27 tahun bagi pria dan 23-24 tahun bagi wanita. Sampai tahun 20 showa (1945) biasanya perbedaan umur suami dan isteri adalah 4 tahun, tetapi setelah tahun

(2)

1945 itu, perbedaan umur suami isteri semakin dekat yaitu menjadi 3 tahun bahkan hanya 2 tahun pada tahun 1975.

Penyebab tingginya usia perkawinan bagi wanita di Jepang menurut Martha (1995:4) adalah meningkatnya pendidikan, kemajuan dalam pekerjaan, sifat bebas dan mandiri serta kemajuan ilmu kedokteran.

Cara bagaimana calon suami atau calon isteri di pilih ada dua macam, yaitu berdasarkan Miai ( (見合い) dipertemukan dalam konteks perkawinan memiliki pengertian dijodohkan) dan Ren’ai ( (恋愛) cinta). Perkawinan yang terjadi karena Miai disebut Miai kekkon (見合い結婚), sedangkan karena Ren’ai disebut Ren’ai kekkon (恋愛結婚).

Miai kekkon terlaksana dengan cara orang tua dari seorang anak yang telah dewasa, meminta bantuan perantara yang disebut Nakoodo (仲人) untuk mempertemukan kedua belah pihak. Fungsi Nakoodo menurut Martha (1995:5) adalah mengatur perkawinan, termasuk memperkenalkan pihak-pihak yang berminat untuk mencari calon suami atau calon isteri. Namun lain halnya menurut Wibowo (2005:18), Nakoodo adalah orang yang bertindak sebagai perantara pada awal perundingan sebelum perkawinan, memimpin upacara perkawinan dan mengurus hubungan yang berlangsung terus-menerus setelah perkawinan, termasuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara pasangan itu.

Ren’ai kekkon yaitu perkawinan yang didasari oleh cinta, semakin banyak terjadi terutama sejak zaman Meiji, dimana pemikiran-pemikiran barat banyak di serap dalam segala aspek kehidupan orang Jepang, bahkan dewasa ini banyak perkawinan yang berdasarkan cinta kasih dan didahului dengan pacaran. Dalam

(3)

63% di desa dan 90% di kota. Angka-angka itu termasuk pasangan yang diperkenalkan oleh pihak ketiga, yaitu perantara, meskipun keputusan terakhir ada pada mereka sendiri (Rahmadayani, 2005:25).

Hukum perkawinan Jepang didasari pada monogami dan secara legal melindungi suatu perkawinan yang hanya merupakan penyatuan di antara seorang pria dan seorang wanita yang terbentuk sesuai syarat-syarat hukum yang berlaku.

Di bawah undang-undang 1898, perkawinan di Jepang di atur secara besar-besaran dalam satu Ie, yang dikontrol oleh seorang koshu (戸主). Jadi, perkawinan menyangkut satu kelompok yang meninggalkan Ie-nya. Sebagai seorang Yome (menantu perempuan) atau Muko (menantu laki-laki) untuk menjadi bagian dari Ie yang lain. Supaya tercapai hal ini, maka persetujuan di antara kedua kepala keluarga sangat diperlukan.

Sesuai ketentuan yang dituliskan dalam Undang-undang tahun 1947, yang melindungi martabat individu dan kesamaan di antara pria dan wanita, maka Ie dihapuskan dan juga ketidaksamaan antara suami-isteri dihapuskan.

Menurut Undang-undang perdata Jepang, perkawinan baru dianggap sah jika dapat memenuhi syarat-syarat secara hukum, sebagai berikut:

1. Sesuai dengan Koseki Hoo (Registrasi Keluarga) diperlukan sebagai pemberitahuan secara tertulis, seorang wakil dan dua orang dewasa sebagai saksi dari masing-masing keluarga.

2. Kedua pihak harus menyetujui perkawinan ini. Perkawinan yang dilakukan atas dasar paksaan dapat dibatalkan.

(4)

4. Kalau wanita yang telah bercerai melangsungkan perkawinan lagi, sekurang-kurangya 6 bulan sejak keputusan perceraiannya dari perkawinan yang terdahulu.

5. Perkawinan tidak boleh dengan dua orang isteri (bigami).

6. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan dengan orang yang memiliki hubungan darah dengan pasangannya.

7. Seseorang yang belum dewasa atau dibawah umur yang telah ditentukan, harus memperoleh izin dari kedua orang tua mereka (Martha, 1995:19-20). Setelah perkawinan terbentuk, kedua pasangan dipanggil dengan satu nama keluarga. Berdasarkan pasal 75 Undang-undang perdata, Myooji (nama keluarga) dapat dipakai dari nama suami atau nama isteri. Namun demikian, 98,9% isteri di Jepang mengubah nama keluarganya dengan nama keluarga suaminya atau dengan kata lain pihak wanita ikut pihak keluarga pria.

2.1.1 Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Jepang A. Bentuk Keluarga

Menurut Situmorang (2006:22) Kazoku adalah general konsep tentang keluarga dalam masyarakat Jepang. Dalam konsep umum yang dimaksud dengan Kazoku adalah hubungan suami isteri, hubungan orang tua dan anak, dan akhirnya diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut dan struktur keluarga berbeda pada masing-masing masyarakat budaya.

Dasar dari Kazoku adalah pernikahan. Dengan adanya pernikahan melahirkan hubungan darah dan hubungan bukan darah. Hubungan darah dapat dibagi atas hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal misalnya

(5)

hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu. Sedangkan hubungan horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara laki-laki atau saudara perempuan atau juga dengan sepupu. Dengan adanya pernikahan ini pula melahirkan hubungan keluarga Inzoku, yaitu pihak keluarga isteri. Memang tidak ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan keluarga melalui pernikahan.

Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan darah secara langsung seperti hubungan vertikal dan hubungan horizontal tersebut di atas disebut Shinru, sedangkan hubungan dengan sepupu atau kemenakan disebut Enru dan hubungan keluarga melalui pernikahan disebut Enja.

Lebih lanjut Situmorang (2006:22) mengatakan jenis-jenis Kazoku adalah keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygami family), dan keluarga luas (extende family).

Jadi yang dimaksud dengan Kazoku adalah kelompok yang terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah. Adapun dasar pembentukannya adalah hubungan suami isteri.

Kazoku merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan, dari Kazoku inilah akan lahir sistem keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie.

B. Ie

Menurut kamus besar Bahasa Jepang, Ie adalah bangunan tempat tinggal keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak. Kata Ie ini dimana huruf ( I ) berfungsi sebagai imbuhan dan huruf ( e ) berarti ro, yaitu tungku perapian

(6)

sebagai alat memasak yang biasanya diletakkan ditengah-tengah rumah dan tungku ini merupakan simbol tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk makan bersama-sama.

Menurut Kizaemon dalam Situmorang (2000:46-47), Ie adalah suatu jenis keluarga khas Jepang yang anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi, meliputi anggota yang masih hidup dan mati. Di dalam keluarga tersebut diusahakan melanjutkan simbol-simbol keluarga dan menjalankan usaha keluarga. Di samping itu ada pendapat yang dikemukakan oleh Nakane dalam Oktarina (2002:7), bahwa Ie dapat dikatakan sebagai kelompok yang tinggal bersama di bawah satu atap dan makan dari makanan yang di masak dari dandang yang sama.

Keluarga Ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah. Perbedaan yang paling utama antara Kazoku dengan keluarga Ie adalah bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau isteri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi. Sedangkan Ie terbentuk minimal dua generasi, karenanya Ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau isteri dalam keluarga tersebut (Situmorang, 2006:22).

Dari pendapat di atas jelaslah bahwa Ie bukan hanya adanya ikatan tali darah saja tetapi lebih ditekankan kepada kelompok yang menyelenggarakan kehidupan bersama, baik dalam sosial maupun ekonomi. Ie juga tidak mengacu kepada anggota keluarga yang masih hidup, tetapi leluhur atau nenek moyang mereka juga merupakan suatu kesatuan yang mengikat antara masa lalu mereka dan sampai masa sekarang. Oleh karena itu, terdapat suatu ikatan yang

(7)

berkesinambungan antara orang-orang yang masih hidup dengan para leluhur mereka.

Dalam sebuah Ie, adanya perkawinan tidak dengan sendirinya akan membentuk Ie baru tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan ke dalam sebuah keluarga lain yaitu keluarga suami (Dilla,2004:16).

Selanjutnya Dilla (2004:16) juga menjelaskan keluarga tradisional Jepang biasanya terdiri dari tiga generasi, yaitu anak yang akan mewarisi Ie, orang tua, serta kakek dan nenek yang semuanya hidup di bawah naungan atap yang sama dan menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi bersama-sama.

Apabila keluarga Ie tidak mempunyai anak yang dapat meneruskan kesinambungan Ie, maka Ie dapat dilanjutkan oleh orang-orang yang bekerja (hokonin) di dalam Ie yang telah dipercaya walaupun tidak mempunyai hubungan darah dengan kepala keluarga.

Dilla (2004:18) juga menerangkan bahwa dalam struktur sosial Ie, yang memegang kekuasaan terbesar adalah ayah sebagai kepala keluarga (kacho). Kepala keluarga memegang peranan penting dalam penyelenggaraan kehidupan. Oleh karena itu, ayah haruslah dihormati dan ditaati oleh anggota keluarganya. Anggota-anggota keluarga yang lain harus menjalankan tugas masing-masing di bawah pengawasan kepala keluarga.

2.1.2 Makna Perkawinan Pada Masyarakat Jepang

Dasar dari sebuah keluarga adalah pernikahan, dengan adanya pernikahan melahirkan hubungan dalam anggota keluarga. Hubungan tersebut dalam

(8)

masyarakat Jepang adalah hubungan darah dan hubungan bukan darah. Hubungan darah dapat dibagi atas hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal misalnya hubungan antara kakek, ayah, diri sendiri, anak dan cucu, sedangkan hubungan horizontal maksudnya hubungan antara diri sendiri dengan saudara laki-laki atau saudara perempuan atau juga dengan sepupu. Dengan adanya pernikahan ini pula melahirkan hubungan keluarga Inzoku, yaitu pihak keluarga isteri. Memang tidak ada hubungan darah dengan diri sendiri tetapi ada hubungan keluarga melalui pernikahan. Hubungan keluarga yang dibentuk atas hubungan darah secara langsung seperti hubungan vertikal dan horizontal tersebut di atas disebut Shinru. Sedangkan hubungan dengan sepupu atau kemenakan disebut Enru dan hubungan keluarga melalui pernikahan disebut Enja.

Dalam sebuah Ie, pernikahan tidak dengan sendirinya membentuk Ie baru tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan ke dalam sebuah keluarga lain, yaitu keluarga suami. Bentuk ini jelas dalam Fokogu kazoku atau keluarga besar yang kompleks. Pada keluarga ini baik Ji-sannan atau anak laki-laki kedua, ketiga dan seterusnya maupun Kokonin (pembantu) akan tetap berada di bawah naungan atap yang sama. Mereka tetap merupakan bagian dari Ie, hidup dan bekerja bersama-sama dengan Kacho termasuk di dalam perhitungan anggaran belanja Ie yang bersangkutan (Martha,1995:25).

Dari ulasan di atas dapat dikemukakan bahwa perkawinan bagi masyarakat Jepang disamping sebagai pengukuhan hak dan kewajiban sebagai suami isteri, perkawinan juga bermakna sebagai sarana dalam pelestarian keluarga tradisional Jepang.

(9)

2.1.3 Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang

Setelah pasangan calon pengantin memutuskan untuk meneruskan hubungan mereka ke jenjang perkawinan, maka rangkaian acara mulai dari pertukaran barang pertunangan, upacara perkawinan dan resepsi perkawinan diselenggarakan. Puncaknya adalah upacara perkawinan.

Tahapan pertama adalah peresmian atau pemberitahuan pertunangan yang disebut dengan Yuinoo. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin. Pertukaran barang-barang pemberian sebagai tanda pertunangan disebut dengan Yuinoohin. Sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin, pihak wanita akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya.

Setelah tercapai kesepakatan di antara kedua calon pengantin, maka pihak pria akan mengirimkan pemberian-pemberian sebagai hadiah tanda persetujuan dari pihak wanita. Untuk mendengar kabar ini, maka diundanglah sanak saudaranya. Istilah ini disebut dengan Kimecha (決め茶) yaitu pemberian berupa teh kepada sanak saudaranya.

Dalam merayakan pertunangan ini juga diberikan Kugicha (釘茶), yaitu sejenis arak Jepang dan ikan tai (sejenis ikan kakap) kepada undangan yang datang.

Setelah Kimecha, maka akan dilakukan penentuan hari perkawinan. Seorang Nakoodo akan merundingkan dengan pihak wanita tentang penentuan waktu yang baik untuk pelaksanaan resepsi upacara perkawinan. Waktu yang baik artinya hari yang mempunyai keberuntungan yaitu keuntungan terbesar dalam siklus enam hari untuk satu perkawinan. Untuk tujuan ini penduduk di daerah tertentu selalu

(10)

berkonsultasi dengan seorang Ogamiyasan yang dapat memberikan nasihat tentang hal tersebut. Buku petunjuk tentang perkawinan juga digunakan untuk memberikan keterangan praktis seperti menghindari dari hari-hari menstruasi pengantin wanita dan pada musim panas, karena akan menyusahkan untuk berdandan. Biasanya hari Minggu banyak dipilih sebagai hari yang baik bagi upacara dan resepsi perkawinan karena banyak para tamu yang bekerja pada hari-hari biasa. Sekitar bulan September-November pada musim gugur (aki) banyak yang melangsungkan resepsi perkawinan.

Jika hari perkawinan sudah ditetapkan, maka akan dilakukan Honcha (本茶) yaitu pemberian hadiah pertunangan utama dari rumah calon pengantin pria ke rumah calon pengantin wanita. Pemberian tersebut bisa berupa Kimono (着物) dan aksesorisnya atau sejumlah uang. Pemberian lain adalah satu cincin pertunangan.

2.2 Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan

Perkawinan di Tapanuli Selatan sampai sekarang yang dipandang ideal ialah perkawinan menurut adat (perkawinan yang dilaksanakan menurut adat) dan norma-norma agama. Tentang tingkat kedewasaan untuk dapat melangsungkan perkawinan yang bersangkutan harus sudah dewasa. Namun demikian pada masa lalu telah ada pertunangan masa kecil sesuai dengan adat. Pertunangan semasa kecil ini pada umumnya terjadi di antara orang yang berfamili (antara pihak Mora dengan pihak Anak Boru). Dan satu hal bahwa, perkawinan secara paksa pada masa sekarang tidak ada lagi (Ritonga, 1997:50).

(11)

Biasanya setelah pasangan calon pengantin sudah dinikahkan berdasarkan agama Islam dan sudah mendaftarkan diri ke kantor urusan agama, maka dilanjutkan lagi perkawinan menurut adat.

Koentjaraningrat (1980:90) mengemukakan bahwa “dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seks-nya. Karena menurut pengertian masyarakat, perkawinan menyebabkan seorang laki-laki tidak boleh melakuka n hubungan seks dengan sembarang wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa wanita tertentu dalam masyarakat, yaitu wanita yang sudah disahkan sebagai isterinya.” Ia kemukakan pula bahwa perkawinan mempunyai beberapa fungsi lain. Diantaranya ialah untuk memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup, harta, gengsi dalam masyarakat dan untuk memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil dari perkawinan (anak).

Pemeliharaan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat yang tertentu sering pula menjadi alasan bagi perkawinan. Alasan yang demikian ini cukup penting bagi masyarakat Tapanuli Selatan, sehingga sampai kini perkawinan antara anggota kelompok kerabat Anak Boru dengan anggota kelompok kerabat Mora masih agak sering terjadi dan masih dipandang sebagai perkawinan preferensi (Lubis, 1998:166).

Preferensi perkawinan (marriage preference) dalam masyarakat Tapanuli Selatan ialah perkawinan antara seorang pemuda dengan Boru Tulang-nya atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya. Atau perkawinan antara seorang gadis dengan Anak Namboru-nya atau anak laki-laki dari saudara perempuan ayahnya. Keadaan ini jelas menunjukkan bahwa dalam masyarakat Tapanuli

(12)

Selatan berlaku perkawinan cross-cousin atau perkawinan antara saudara sepupu. Tetapi karena kaidah adat tidak memperbolehkan seorang pemuda kawin dengan Boru Namboru-nya atau anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya (meskipun keduanya berlainan marga), maka yang berlaku dalam masyarakat Tapanuli Selatan ialah perkawinan cross-cousin yang a-simetris atau perkawinan antara saudara sepupu yang sepihak saja.

Pada masa belakangan ini generasi muda masyarakat Tapanuli Selatan sudah tidak begitu terikat lagi oleh preferensi perkawinan seperti yang dikemukakan di atas. Generasi muda sudah cenderung untuk dibebaskan memilih sendiri jodoh yang mereka sukai. Kemajuan pendidikan, keadaan pergaulan muda-mudi yang sudah cukup bebas dan masuknya dengan mudah berbagai pengaruh dari luar melalui bermacam sarana komunikasi modern dan mass media, mungkin sekali merupakan faktor-faktor yang mendorong generasi muda untuk membebaskan diri dari preferensi perkawinan yang tradisional itu.

Tetapi meskipun demikian, di pihak lain masih cukup banyak orang tua yang cenderung untuk mengawinkan anak mereka yang laki-laki dengan Boru Tulang-nya atau mengawinkan anak perempuan mereka dengan Anak Namboru-nya, agar hubungan kekerabatan antara pihak-pihak mereka yang bersangkutan (pihak Anak Boru dan pihak Mora) tetap terpelihara ke-eratannya seperti yang dikehendaki oleh adat (Lubis, 1998:167-168).

Kaidah adat masyarakat Tapanuli Selatan melarang pula seseorang kawin dengan:

1) Saudaranya yang seibu-sebapak, saudaranya yang se-ibu lain bapak dan saudaranya se-bapak lain ibu,

(13)

2) Saudara dari ibu kandungnya kalau ibu kandungnya masih hidup, 3) Saudara kandung dari isterinya kalau isterinya masih hidup, 4) Anak dari saudaranya yang perempuan,

5) Anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya.

Kaidah adat masyarakat Tapanuli Selatan tidak melarang poligami, tetapi sama sekali tidak memperbolehkan poliandri.

2.2.1 Bentuk Keluarga Pada Masyarakat Tapanuli Selatan

Bentuk keluarga di Tapanuli Selatan erat kaitannya dengan sistem kemasyarakatan. Sistem kemasyarakatan suatu masyarakat akan mencakup hal-hal yang berkaitan dengan sistem kekerabatan, prinsip-prinsip keturunan, istilah-istilah kekerabatan, stratifikasi sosial, aktifitas-aktifitas sosial dan sebagainya.

Dalam masyarakat Tapanuli Selatan Marga merupakan suatu bentuk kelompok kekerabatan (kin group) yang para anggotanya adalah keturunan dari seorang kakek bersama; oleh karena itu pada hakekatnya para anggota suatu marga satu sama lain terikat oleh pertalian atau hubungan darah (blood-ties). Masing-masing marga dalam masyarakat Tapanuli Selatan mempunyai namanya sendiri. Nama-nama marga antara lain ialah Siregar, Pane, Harahap, dan Hutasuhut. Karena nama dari suatu marga merupakan bahagian yang inheren dari marga yang bersangkutan, maka sudah lazim nama marga diidentikkan orang dengan marga. Misalnya Siregar dipandang sebagai suatu marga, bukan sebagai nama dari suatu marga.

Orang-orang Tapanuli Selatan mempunyai kebiasaan memakai nama marga masing-masing sebagai pelengkap nama dirinya. Misalnya nama diri seseorang

(14)

ialah Baringin dan nama marganya ialah Siregar. Karena nama marganya itu dipakainya sebagai nama pelengkap dirinya, maka ia dikenal sebagai orang yang bernama Baringin Siregar.

Dengan mengetahui kebiasaan yang demikian itu, dapat pula diketahui bahwa orang-orang Tapanuli Selatan yang memakai nama marga yang sama sebagai pelengkap nama diri masing-masing merupakan anggota dari satu marga. Dengan kata lain mereka semua adalah orang-orang yang semarga atau keturunan dari seorang kakek bersama (Lubis, 1998:133).

Marga merupakan klen besar dan Kahanggi merupakan klen kecil atau sub kelompok marga. Dalam hubungan ini Koentjaraningrat (1980:119) mengemukakan bahwa “klen kecil merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri dari segabungan keluarga luas yang merasakan diri berasal dari seorang nenek moyang, dan satu dengan lain terikat melalui garis-garis keturunan laki-laki saja ialah patrilineal, atau melalui garis keturunan wanita saja disebut matrilineal”. Dalam masyarakat Tapanuli Selatan suatu keluarga luas yang merasakan diri berasal dari seorang nenek moyang (kakek bersama) dan merupakan bahagian dari suatu klen kecil atau Kahanggi disebut Saparompuan (se-kakek).

Selain membentuk kelompok kekerabatan berdasarkan pertalian darah dengan garis keturunan patrilineal, yakni kelompok kekerabatan berupa klen besar yang dinamakan marga, masyarakat Tapanuli Selatan juga membentuk berbagai kelompok kekerabatan affiniti (kelompok kekerabatan berdasarkan hubungan perkawinan). Berdasarkan statusnya dalam hubungan perkawinan, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat empat macam kelompok kekerabatan

(15)

affiniti. Masing-masing ialah yang disebut Mora, Anak Boru, Mora ni mora dan Pisang Raut.

Kelompok kekerabatan affiniti yang disebut Mora merupakan kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai pemberi anak gadis (bride giver) dalam hubungan perkawinan. Yang disebut Anak Boru merupakan kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai penerima anak gadis (bride receiver) dari Mora. Yang disebut Mora ni mora ialah kelompok kekerabatan affiniti yang berstatus sebagai pemberi anak gadis bagi suatu kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai Mora. Dan yang disebut Pisang Raut ialah kelompok kekerabatan affiniti yang berstatus sebagai penerima anak gadis dari kelompok kekerabatan yang berstatus sebagai Anak Boru. Pada hakekatnya Mora dan Mora ni mora mempunyai status yang serupa sebagai pemberi anak gadis. Demikian pula Anak Boru dan Pisang Raut sama-sama punya status sebagai penerima anak gadis (Lubis, 1998:134).

Bentuk keluarga inti masyarakat Tapanuli Selatan pada umumnya mempunyai kesamaan dari berbagai sub etnis. Adapun bentuk dari keluarga inti terdiri dari seorang suami, isteri dan anak-anak.

Disamping keluarga lengkap, terdapat pula keluarga tidak lengkap. Seorang isteri berpisah dengan suaminya karena bercerai atau kematian. Pada keluarga seperti ini, isteri mempunyai kedudukan ganda yaitu sebagai kepala keluarga dan ibu rumah tangga.

Dalam keluarga inti lengkap, suami berkedudukan sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab memberi nafkah seluruh anggota keluarganya. Disamping itu berperan sebagai pengambil keputusan untuk dijalankan oleh

(16)

anggota keluarga. Isteri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Tugas dan tanggung jawabnya adalah mengurus pekerjaan dapur dan menyiapkan makan sehari-hari. Disamping itu seorang ibu juga dituntut mampu mendidik anak-anak dan memberikan kasih sayang.

2.2.2 Makna Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan

Dalam masyarakat Tapanuli Selatan, perkawinan tidak hanya sebagai sarana untuk kebutuhan biologis, tetapi juga tidak terlepas dari keyakinan bahwa perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan religius dimana perkawinan merupakan perintah Tuhan.

Bagi masyarakat Tapanuli Selatan yang beragama Islam, perkawinan adalah suatu ibadah. Dimana dalam agama Islam, perkawinan akan menghalalkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Hasil hubungan tersebut akan melahirkan keturunan yang sah.

Sudah jelas bahwa makna perkawinan bagi masyarakat Tapanuli Selatan adalah melaksanakan perintah agama untuk meneruskan keturunan yang sah. Dalam perkawinan akan terbentuklah sebuah keluarga dimana akan terlihat bagaimana tanggung jawab seorang suami terhadap isteri dan anak-anaknya dan sebaliknya. Perkawinan juga dapat membina sifat kasih sayang dan saling menghormati satu sama lain.

2.2.3 Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Tapanuli Selatan Dalam adat istiadat orang Tapanuli Selatan, menentukan pasangan adalah kegiatan pertama yang dilakukan dalam tahapan upacara perkawinan. Banyak cara

(17)

yang dilakukan untuk mendapatkan hasil di dalam menentukan pasangan hidup. Yang jelas, apabila lamaran diterima oleh pihak perempuan, maka akan dilakukan acara pertunangan sekaligus antar tanda. Pada acara pertunangan ini juga akan dibicarakan tentang hari yang baik untuk melangsungkan hari resepsi perkawinan.

Sehari sebelum upacara perkawinan, kegiatan yang tidak boleh ditinggalkan adalah pengucapan Ijab Qabul atau aqad nikah. Acara ini biasanya dilakukan pada pagi hari. Tetapi ada juga yang melakukan acara aqad nikah di gabung dengan acara resepsi. Pagi melakukan aqad nikah dan siang acara resepsi perkawinan. Semua itu tergantung dengan keputusan dari kedua belah pihak yang ingin mengadakan upacara perkawinan.

Referensi

Dokumen terkait

ketidakseimbangan waktu penyelesaian produk di setiap stasiun kerja yang akan.. mengakibatkan adanya penumpukan barang setengah jadi dan idle time

Dalam turunannya konsep jihad dapat terinternalisai menjadi karakter, dan dapat dipelajari menjadi pendidikan karakter bangsa Indonesia maka diantara karakter yang

Adapun kendala yang dihadapi oleh bidan dalam pelaksanaan informed consent ini adalah kendala bahasa atau komunikasi dan ketakutan bidan untuk memberikan informasi

Data dianalisis menggunakan Indeks Williamson yaitu suatu analisis untuk mengetahui daerah Satuan Wilayah Pembangunan II (SWP II) Propinsi Jawa Timur yang

dilakukan oleh para penyanyi campursari, dalam hal ini Anjas dan Tini. Melalui testimoni yang diambil dari pengalaman mereka

Bagi Pemegang Saham yang sahamnya dimasukkan dalam penitipan kolektif KSEI, pembayaran dividen tunai dilaksanakan melalui KSEI dan akan didistribusikan ke dalam

as-built data, terrestrial laser scanner, panoramic images, CAD models, industrial applications, large scale scanning

bahwa dalam rangka memastikan proses dan hasil-hasil akreditasi yang bermutu diperlukan adanya Prosedur Operasional Standar (POS) sebagai panduan bagi pihak-pihak