• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Lanskap Ekologi

Menurut Forman dan Godron (1986) bahwa lanskap mempunyai sifat yang heterogen dengan struktur yang berbeda pada distribusi spesies, energi, dan material pada elemen patches, koridor dan matriks. Ekologi dapat disebut sebagai bagian dari ekosistem yang menunjuk kepada organisme atau makhluk hidup yang berada di suatu tempat dan berinteraksi dengan lingkungan.

Lanskap ekologi mempunyai teori dasar ekologi yang kuat antara perencana lanskap dan ekologis yang berhubungan dengan bagian-bagian lanskap antara tiga pandangan yaitu aspek visual, aspek kronologi dan aspek ekosistem. Kesepahaman pada kerja lanskap menggambarkan struktur, proses dan lokasi. Dengan struktur, komposisi biologi dan elemen alami dengan lingkungan manusia. Hubungan fungsional antara elemen seperti, iklim, bentukan lahan, tanah, flora dan fauna. Proses menggambarkan pergerakan energi, material, dan organisme di lanskap. Sedangkan lokasi menunjuk pada distribusi elemen dan proses di lanskap dan hubungannya dengan iklim dan bentukan lahan (Thompson, 1997). Taman ekologi memiliki definisi bahwa heterogenitas, atau pola-pola spasial yang berbeda, terdiri atas inti pertanyaan penelitian dalam lanskap ekologi. Tema utama yang terdiri dari lanskap ekologi meliputi:

• pola spasial atau struktur lanskap, mulai dari padang gurun ke kota

• hubungan antara proses pola dan lanskap, termasuk implikasi ekologis pola populasi, komunitas, dan ekosistem

• efek skala pada lanskap

• proses yang terlibat dalam pembentukan pola, seperti fisik (abiotik) lingkungan hidup, tanggapan demografis ini, dan gangguan rezim

• hubungan antara aktivitas manusia untuk lanskap pola, proses dan perubahan (misalnya aplikasi dalam perencanaan penggunaan lahan) Lansekap ekologi terjadi pada berbagai skala, sehingga sebuah "pemandangan" dapat mencakup wilayah yang terdiri dari beberapa ekosistem, atau mungkin merupakan rumah berbagai serangga yang memanjang beberapa meter di

(2)

seberang. Daripada ukuran tertentu, lanskap didefinisikan oleh pola spasial (heterogenitas) dan proses-proses yang terjadi di atasnya yang berada di bawah pertimbangan. Dengan demikian, resolusi, gandum, dan sejauh mana konsep-konsep penting dalam ekologi lansekap. Ini juga berarti bahwa tingkat organisasi, berbeda dari skala, adalah konsep yang penting, yang berasal dari jenis interaksi di bawah pertimbangan dalam usaha penelitian tertentu. Dengan penentuan aspek-aspek studi, pola dapat dinilai, yang biasanya digambarkan sebagai suatu mosaik tambalan.

Lanskap memiliki beberapa hal yang tidak diharapkan:

a Kumuh (slum [slúm]) yaitu lanskap dengan sarana dan prasarana lingkungan yang inferior.

b Squatter [skówtu(r)] yaitu liar, hunian liar.

c Urban sprawl [sprol] yaitu menyebar tidak teratur

Berakibat pada penurunan kualitas estetika dan penyediaan sarana dan prasarana (jejaring lintas wilayah, penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dll) menjadi tidak layak.

d Konurbasi (conurbation [‘kónur’beyshun]), agregasi atau jejaring yang kontinyu komuniti kota, tidak ada jeda kota-desa.

Relevan dengan efisiensi sarana dan prasarana. e Lapuk (blight [blIt]), integritas lanskap rusak

Satu atau beberapa sentra prasarana dan sarana permukiman dengan aksesibilitas tertinggi secara internal (dengan seluruh bagian di kawasan urban) dan secara eksternal (dengan pusat-pusat perkotaan lainnya lainnya) dengan standard memadai.

2.2. Kawasan Permukiman

Populasi penduduk yang secara alami meningkat dan terjadinya pemusatan penduduk di kota-kota pulau Jawa menyebabkan masalah pembangunan permukiman semakin mendesak terutama di pulau Jawa. Perumahan dan prasarana lingkungan merupakan kebutuhan dasar setiap keluarga dalam masyarakat Indonesia dan merupakan faktor yang sangat penting dalam

(3)

peningkatan stabilitas sosial, dinamika dan produktivitas masyarakat. (Batubara, 1982)

Permukiman kota dihadapkan dengan permasalahan penggunaan lahan yang sangat padat disebabkan mahalnya lahan dan ruang yang terbatas (Carpenter dan Walker, 1975). Hal ini menciptakan suasana kota yang menekan. Skala yang terbentuk dalam pembangunan kota dan ruang kota seringkali gagal mencapai skala manusia. Oleh karena itu, kekurangan ruang menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan kota.

Dalam UU No. 4 tahun 1992, disebutkan pula bahwa ciri–ciri utama dari permukiman adalah sebagai berikut:

• Mayoritas peruntukan adalah hunian

• Fasilitas yang dikembangkan lebih pada pelayanan skala lingkungan (neighbourhood)

• Luas kawasan yang dikembangkan lebih kecil dari 1000 Ha

• Kebutuhan fasilitas perkotaan bagi penduduk kawasan hunian skala besar masih tergantung atau memanfaatkan fasilitas perkotaan yang berada di pusat kota 2.3. Ruang Terbuka Hijau

Dinas Tata Kota DKI, membagi Ruang Terbuka Hijau menjadi tiga yaitu : a) Ruang Terbuka Hijau Makro, seperti kawasan pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota dan landasan pengaman bandar udara.

b) Ruang Terbuka Hijau Medium, seperti kawasan area pertamanan (city park), sarana olah raga, sarana pemakaman umum.

c) Ruang Terbuka Hijau Mikro, lahan terbuka yang ada di setiap kawasan permukiman yang disediakan dalam bentuk fasilitas umum seperti taman bermain (play ground), taman lingkungan (community park), lapangan olah raga.

Menurut PERMENDAGRI no.1 tahun 2007 tentang penataaan RTH kawasan perkotaan, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas balk dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjangljalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang

(4)

selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung

manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Ruang Terbuka Hijau mempunyai fungsi sebagai berikut:

a sebagai area perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan

b sebagai area untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan keindahan lingkungan

c sebagai sarana rekreasi

d sebagai sarana pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara,

e sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan

f sebagai tempat perlindungan plasma nutfah

g sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro, h sebagai sarana pengatur tata air.

Hernowo dan Prasetyo (1989) menyatakan bahwa bentuk RTH kota dapat berupa taman lingkungan, jalur hijau, kebun pekarangan, areal rekreasi, lapangan rumput, makam, tepian sungai, kanal dan lain-lain.

Kriteria penataan RTH menurut Supriyanto (1996) adalah merupakan keterkaitan hubungan antara bentang alam dengan jenis pemanfaatan ruang serta kriteria vegetasi. Alokasi RTH : (1) rencana RTH dikembangkan sesuai dengan jenis pemanfaatan ruang kotanya, (2) pada lahan yang bentang alamnya bervariasi menurut keadaan lereng dan kegiatan di atas permukaan laut serta kedudukannya terhadap jalur sungai, jalur jalan dan jalur pengaman utilitas.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjan Umum No.5 tahun 2008 mengenai penyediaan dan pemanfaatan RTH di kawasan perkotaan, RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat. Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:

(5)

2. proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;

3. apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Pembagian jenis-jenis RTH publik dan RTH privat adalah sebagaimana Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Kepemilikan RTH

No Jenis Area Publik Area Privat

1 RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal V

b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat

usaha V

c. Taman atap bangunan V

2 RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT v V b. Taman RW v V c. Taman kelurahan v V d. Taman kecamatan v V e. Taman kota v f. Hutan kota v

g. Sabuk hijau (green belt) v 3 RTH Jalur Hijau Jalan

a. Pulau jalan dan median jalan v V

b. Jalur pejalan kaki v V

c. Ruang dibawah jalan layang v

4 RTH Fungsi Tertentu

a. RTH sempadan rel kereta api v

b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi v

c. RTH sempadan sungai v

d. RTH sempadan pantai v

e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air v

f. Pemakaman v

(6)

2.4. Ruang Terbuka Hijau pada Pemukiman

Proses kehidupan di kota, menuntut manusianya berkompetisi dan terlibat dalam aktivitas rutin yang menyebabkan stress dan kejenuhan sehingga manusia yang hidup di lingkungan perkotaan memerlukan lingkungan yang sehat dan bebas polusi. RTH memberikan manfaat kehidupan yang nyaman dengan berperan sebagai penyumbang ruang bernapas yang segar dan memberikan keindahan visual (Simonds, 1983). Carpenter, Lanphear dan Walker (1975) mengatakan bahwa manusia membutuhkan lingkungan hijau di tengah-tengah lingkungan tempat tinggalnya. Oleh karena itu, RTH berfungsi untuk melembutkan kesan keras dari struktur fisik, menolong manusia mengatasi tekanan- tekanan dari kebisingan, udara panas dan polusi di sekitarnya sebagai pembentuk kesatuan ruang.

Menurut Peraturan Menteri Perumahan Rakyat no.34 tahun 2006

mengenai penyelenggaraan prasarana, sarana dan utilitas kawasan perumahan, kawasan perumahan perlu menyediakan ruang terbuka hijau yang bermanfaat untuk menjaga kualitas dan keseimbangan lingkungan di sekitar kawasan. Ruang terbuka hijau bermanfaat tidak langsung seperti perlindungan tata air, dan konservasi hayati atau keaneka-ragaman hayati, dan bermanfaat langsung seperti kenyamanan fisik (teduh, segar) dan mendapatkan bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), tempat wisata (bermain) serta bangunan umum yang bersifat terbatas (WC umum, pos polisi, lampu taman, gardu listrik, dan lain-lain). Persyaratan ruang terbuka hijau didasarkan luas wilayah dan berdasarkan jumlah penduduk. Bentuk tipologi ruang terbuka hijau berupa ruang terbuka hijau taman lingkungan dan taman kota, jalur hijau, jalur hijau sempadan sungai, jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau tegangan tinggi, RTH pemakaman, dan RTH pekarangan (Tabel 2).

Tabel 2. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk

No Unit lingkungan Tipe RTH Luas minimal /unit (m²) Luas minimal /kapita (m²) Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 di tengah 2 2500 jiwa Taman RW 1.25 0,5 di pusat kegiatan

(7)

4 120000 jiwa

Taman 24 0,2 Dikelompokan

Pemakaman Disesuaikan 1,2 Tersebar

5 480000 jiwa

Taman kota 144 0,3 di pusat wilayah/ Hutan kota Disesuaikan 4,0 di dalam/ kawasan Untuk

fungsi-fungsi tertentu Disesuaikan 12,5 disesuaikan kebutuhan dengan Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5 Tahun 2008

Beberapa kriteria RTH permukiman (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5 Tahun 2008)

1. RTH Pekarangan

Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing-masing kota. Untuk memudahkan di dalam pengklasifikasian pekarangan maka ditentukan kategori pekarangan sebagai berikut:

a. Pekarangan Rumah Besar

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai berikut:

1) kategori yang termasuk rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di atas 500 m2;

2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;

3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.

b. Pekarangan Rumah Sedang

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah sedang adalah sebagai berikut:

1) kategori yang termasuk rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan antara 200 m² sampai dengan 500 m²;

2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m²) dikurangi luas dasar bangunan (m²) sesuai peraturan daerah setempat;

(8)

3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

c. Pekarangan Rumah Kecil

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai berikut:

1) kategori yang termasuk rumah kecil adalah rumah dengan luas lahan dibawah 200 m²;

2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m²) dikurangi luas dasar bangunan (m²) sesuai peraturan daerah setempat;

3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

4) keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan yang sempit, tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan RTH melalui penanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya.

2. RTH Taman Rukun Tetangga

Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk melayani kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m² per penduduk RT, dengan luas minimal 250 m². Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300 m dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas taman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman, juga terdapat minimal 3 (tiga) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

3. RTH Taman Rukun Warga

RTH Taman Rukun Warga (RW) dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu RW, khususnya kegiatan remaja, kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan masyarakat lainnya di lingkungan RW tersebut. Luas taman ini minimal 0,5 m² per penduduk RW, dengan luas minimal 1.250 m². Lokasi taman berada pada radius kurang dari 1000 m dari

(9)

rumah-rumah penduduk yang dilayaninya. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 10 (sepuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

4. RTH Kelurahan

RTH kelurahan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kelurahan. Luas taman ini minimal 0,30 m² per penduduk kelurahan, dengan luas minimal taman 9.000 m2. Lokasi taman berada pada wilayah kelurahan yang bersangkutan. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 25 (dua puluh lima) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman aktif dan minimal 50 (lima puluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

5. RTH Kecamatan

RTH kecamatan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kecamatan. Luas taman ini minimal 0,2 m² per penduduk kecamatan, dengan luas taman minimal 24.000 m². Lokasi taman berada pada wilayah kecamatan yang bersangkutan.Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 50 (limapuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk taman aktif dan minimal 100 (seratus) pohon tahunan dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

6. Sabuk Hijau

Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak

(10)

saling mengganggu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya. Sabuk hijau dapat berbentuk:

- RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area atau penggunaan lahan tertentu, dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai pembatas atau pemisah;

- Hutan kota;

- Kebun campuran, perkebunan, pesawahan, yang telah ada sebelumnya (eksisting) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya.

Fungsi lingkungan sabuk hijau: - Peredam kebisingan;

- Mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi energy matahari; - Penapis cahaya silau;

- Mengatasi penggenangan; daerah rendah dengan drainase yang kurang baik sering tergenang air hujan yang dapat mengganggu aktivitas kota serta menjadi sarang nyamuk.

- Penahan angin; untuk membangun sabuk hijau yang berfungsi sebagai penahan angin perlu diperhitungkan beberapa faktor yang meliputi panjang jalur, lebar jalur.

7. RTH Jalur Hijau Jalan

Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan penempatan tanaman antara 20–30% dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan kelas jalan. Untuk menentukan pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu fungsi tanaman dan persyaratan penempatannya. Disarankan agar dipilih jenis tanaman khas daerah setempat, yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah.

(11)

Tabel 3. Standar kebutuhan RTH oleh umum (Simonds, 1983)

Hierarki ∑KK/wilayah RTH

(m²/jiwa)

Bentuk perumahan

Ketetanggaan 2500 12 •Pekarangan, taman rumah

•T. lingkungan skala kecil •Taman bermain

Komuniti 10000 20 •T. lingkungan skala besar

•Lapangan olah raga •Koridor lingkungan •Termasuk RT Ketetanggaan

Kota 40 Taman kota

•Jalur hijau

•Lapangan olah raga •Koridor, ada 2.

Wilayah 80 T. Rekreasi sekitar kota

•Jalur lingkar kota •Hutan kota •Sawah/kebun

Kriteria Vegetasi untuk RTH Pekarangan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, 2008):

a. Kriteria Vegetasi untuk RTH Pekarangan Rumah Besar, Pekarangan Rumah Sedang, Pekarangan Rumah Kecil, Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha

Kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH ini adalah sebagai berikut: a) memiliki nilai estetika yang menonjol;

b) sistem perakaran masuk ke dalam tanah, tidak merusak konstruksi dan bangunan;

c) tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah, perakaran tidak mengganggu pondasi;

d) ketinggian tanaman bervariasi, warna hijau dengan variasi warna lain seimbang;

e) jenis tanaman tahunan atau musiman; f) tahan terhadap hama penyakit tanaman;

g) mampu menjerap dan menyerap cemaran udara;

(12)

b. Kriteria Vegetasi untuk RTH Taman dan Taman Kota

Kriteria pemilihan vegetasi untuk taman lingkungan dan taman kota adalah sebagai berikut:

a) tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah, perakaran tidak mengganggu pondasi;

b) tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap;

c) ketinggian tanaman bervariasi, warna hijau dengan variasi warna lain seimbang;

d) perawakan dan bentuk tajuk cukup indah; e) kecepatan tumbuh sedang;

f) berupa habitat tanaman lokal dan tanaman budidaya; g) jenis tanaman tahunan atau musiman;

h) jarak tanam setengah rapat sehingga menghasilkan keteduhan yang optimal; i) tahan terhadap hama penyakit tanaman;

j) mampu menjerap dan menyerap cemaran udara;

k) sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang burung. c. Kriteria Vegetasi untuk Sabuk Hijau

Kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH ini adalah sebagai berikut:

- Peredam kebisingan; untuk fungsi ini dipilih penanaman dengan vegetasi berdaun rapat. Pemilihan vegetasi berdaun rapat berukuran relatif besar dan tebal dapat meredam kebisingan lebih baik.

- Ameliorasi iklim mikro; tumbuhan berukuran tinggi dengan luasan area yang cukup dapat mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi energi matahari.

- Penapis cahaya silau; peletakan tanaman yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi dan menyerap cahaya.

- Mengatasi penggenangan.

- Tanaman yang ditanam didominasi oleh tanaman yang cukup tinggi, dengan dahan yang kuat namun cukup lentur;

- Memiliki kerapatan daun berkisar antara 70–85%. Kerapatan yang kurang, tidak dapat berfungsi sebagai penahan angin. Sebaliknya kerapatan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terbentuknya angin turbulen;

(13)

- Tanaman harus terdiri dari beberapa strata yaitu tanaman tinggi sedang dan rendah, sehingga mampu menutup secara baik.

2.5. Mengembangkan RTH Untuk Burung

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengembangkan RTH untuk pelestarian burung:

1. Lokasi, Luas dan Bentuk Habitat

Burung merasa betah tinggal di suatu tempat apabila terpenuhi tuntutan hidupnya seperti habitat yang mendukung dan aman dari gangguan. Lokasi yang direncanakan menjadi habitat burung harus mempunyai hubungan dengan daerah sumber populasi satwa burung (Gambar 4). Hubungan ini didasari bahwa populasi burung penyebarannya bersifat mosaic pada berbagai tipe di suatu tempat.

Menurut Hails et al. (1990), tipe habitat yang diperlukan untuk membentuk habitat burung di perkotaan adalah:

- Daerah alami yang merupakan “sumber burung” bagi taman-taman kota atau daerah yang berfungsi sebagai penampung.

- Taman-taman atau area lain yang dapat dikembangkan sebagai area burung berkembang biak.

- Koridor tanaman untuk menghubungkan antara sumber burung dan daerah berkembang biak.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membentuk habitat burung perkotaan, yaitu:

- Keanekaragaman jenis tanaman - Penutup tanah dan tanaman rendah - Kompleksitas dan kerapatan pohon.

Konsep desain RTH sebagai habitat burung berupa : - Daerah perlindungan (refugee)

- Daerah transisi - Hamparan rumput - Koridor tanaman

Lokasi RTH yang direncanakan dianggap sebagai suatu ruang dengan populasi penampung (sink population). Populasi sumber (source population)

(14)

merupakan populasi yang menempati habitat yang sesuai untuk berkembang biak. Bila jumlah keturunan yang dihasilkan melebihi daya tampung habitat setempatnya maka akan terjadi penyebaran keluar populasi sumber tersebut. Kadang terjadi kondisi populasi penampung menempati tipe-tipe habitat yang tidak memadai sebagai tempat untuk berbiak dan hasil reproduksinya tidak cukup besar untuk mempertahankan tingkat populasi setempat. Dalam hal ini ukuran populasi penampung dipertahankan dengan perpindahan-perpindahan dari populasi sumber dan sebaliknya individu-individu dari populasi penampung dapat berpindah mengisi kekosongan-kekosongan yang terjadi pada habitat populasi sumber di dekatnya (Wiens dan Rotenberry, 1981).

Gambar 3. Skema hipotetik penyebaran populasi dengan struktur sumber dan penampung (sink-source) (Wiens dan Rotenberry, 1981)

Jarak dan bentuk ketebalan RTH koridor yang ideal terdapat pada Gambar 5 (Meurk, 2005). Bila total area adalah 6.25 hektar, maka jarak batas terluar dengan area inti adalah 50 meter. Perbandingan antara luas area inti dengan total luas area adalah 1 banding 5. Jarak antara jalanan dan area bermain adalah 10 meter.

Bentuk habitat yang baik untuk keberlangsungan hidup burung adalah habitat yang mampu melindungi dari gangguan maupun menyediakan kebutuhan hidupnya. Berdasarkan teori biogeografi pulau terdapat alternatif bentuk habitat satwa seperti pada Gambar 6 (Hernowo dan Prasetyo, 1989).

Penampung  Penampung Penampung  Sumber  Sumber  Sumber 

(15)

625 m

Core area = 0 ha Total area = 6.25 ha Jalanan dan Jalur Ketetanggaan

Area bermain Untuk Habitat Burung 10 m

Core area0.06 ha Total area 1.56 ha Gambar 4. Ketebalan RTH optimal pada koridor burung (Meurk, 2005)

Gambar 5. Diagram skematis perbandingan bentuk-bentuk areal. Gambar sebelah kiri merupakan alternatif yang lebih baik dari gambar di sebelah kanan.

Menurut The University of Montana (2010), ada 3 jenis lokasi yang harus didirikan (Gambar 7):

1. Open and Cavity Nests

Luas sebesar 5 meter dan plot radius 11.3 meter berpusat pada sarang untuk semua sarang yang diketahui telah mengandung telur.

A B C D E F 100 m 50 m Zona Pembatas 10 m 125 m 125 m 25 m 25 m

(16)

2. Systematic Description Of Vegetation on Plots

Serangkaian poin dalam sistem grid harus dibentuk untuk vegetasi sampel di tingkat plot. Untuk situs yang melakukan penghitungan titik burung, plot poin vegetasi harus berpusat pada titik-titik survei. Empat pasang 5 - dan plot m 11,3 vegetasi harus dilakukan pada setiap titik vegetasi plot.

3. Vegetation on Nests Without Eggs

Biasanya menggunakan minimal jenis vegetasi ( misalnya jenis 30 tanaman).

Gambar 6. Penataan spasial lokasi ideal habitat burung 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi

Komposisi dan struktur vegetasi mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat di suatu habitat. Hal ini disebabkan karena tiap jenis burung mempunyai relung yang berbeda. Menurut Hails, Kavanagh, Kumari dan Arifin (1990) bahwa keanekaragaman struktur vegetasi dan penutupan vegetasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi keanekaragaman dan populasi burung di daerah perkotaan.

Struktur vegetasi suatu habitat merupakan penentu kuat bagi keanekaragaman jenis satwa ( Meents, Rice, Anderson dan Ohmart, 1983). Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa keanekaragaman jenis satwa mempunyai korelasi dengan distribusi dedaunan atau ketinggian tajuk. Keragaman tinggi tajuk

(17)

merupakan fungsi dari lapisan vegetasi serta distribusi dedaunan/tajuk di antara lapisan-lapisan tadi dan keragaman jenis akan semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya keragaman tajuk. Hal ini disebabkan banyak faktor-faktor lain yang turut menentukan keragaman jenis satwa pada suatu habitat. Sebagai contoh adalah keterbukaan atau kerapatan kanopi termasuk faktor yang menentukan. Habitat yang kanopinya relatif terbuka mempunyai lebih banyak jenis burung dibandingkan dengan habitat yang rapat dan tertutup.

Tabel 4. Cara Membedakan Jenis Vegetasi secara Spasial

Tekstur Bentuk Bayangan

Pohon Kasar Bulat Panjang, Warna gelap

Semak Sedang Bergerombol Sedang, Warna

Abu-abu Penutup Tanah Halus Kotak, Persegi panjang,

Tak Beraturan

Sedikit, Warna redup

Hails et al. (1990) mengelompokan tata letak tanaman menjadi dua daerah, yaitu: - Tanaman daerah dalam (interior species) yaitu species yang hanya dapat

hidup di tengah atau pedalaman hutan. Dibuat begitu rapat untuk menghindari datangnya gangguan.

- Tanaman daerah tepi (edge species) yaitu tanaman yang hidup di tepi-tepi habitat tertentu dimana habitat tersebut masih dapat dinikmati untuk rekreasi.

Menurut Leedy (1978), ada beberapa tipe tanaman yang harus ada merencanakan suatu kawasan di perkotaan menjadi perlindungan habitat liar yaitu tanaman konifer, semak berbunga sepanjang tahun, rerumputan, gabungan tanaman, kolam, tanaman tepi air dan tanaman peneduh (Gambar 8).

Jenis tanaman yang ideal sebagai elemen RTH kota untuk habitat burung adalah jenis tanaman yang mempunyai fungsi bermacam-macam bagi satwa burung. Fungsi tanaman tersebut adalah sebagai tempat berlindung, bertengger dan beristirahat, tempat mencari makan dan tempat berkembang biak.

(18)

Gambar 7. Tipe tanaman yang harus ada merencanakan suatu kawasan di perkotaan menjadi perlindungan habitat liar (Leedy, 1978)

Karakter jenis tanaman yang disukai burung berkaitan dengan strata ketinggian tanaman, diameter tajuk, sistem percabangan, struktur tanaman dan kelebatan tajuk dan jenis makanan yang dihasilkan (Pakpahan, 1993). Tabel 5 adalah daftar jenis pohon yang disukai burung.

Tabel 5. Jenis Pohon Yang Disukai Burung (www.kutilang.or.id)

Nama Lokal Nama Latin Nama local Nama Latin

Aren Arengga pinnata Kersen/Talok Muntingia calabura

Bambu Bambusa Langsat Lansium domesticum

Harendong nagri Miconia speciosa Lobi-lobi Flacourtia inermis Dadap ayam Erythrina variegate Menteng/bencoy Baccaurea lanceolata Dadap srep Erythrina indica Namnam Cynometra cauliflora Kaliandra Caliandra callothyrsus Nangka Artocarpus communis Kantil Michelia campaka Pala Myristica fragrans Trembelekan Lantana camara Rambutan Nephelium lappaceum Kenanga Cananga odorata Rukem Flacourtia rukam

Murbei Morus alba Salam Eugenia polyanthum

Nusa indah Mussaenda frundosa Srikaya Annonona squamosa Palem Livistona rotundifolia Sawo kecik Manilkara kauki Palem merah Cyrtostachys lacca Asem kranji Pithecellobium dulce Pinang sirih Areca catechu Bodi Ficus religiosa Pohon

Kupu-kupu Bauhinia variegate Beringin Ficus benjamina Si anak nakal Duranta repens Cemara laut Casuarina equisetiolia Soka Ixora spp Flamboyan Delonix regia Pisang hias Heliconia spp Jarak pagar Jatropha curcas Arbei Rubus rosaefolium Keben Baringtonia asiatica Belimbing Averrhoa carambola Kayu putih Melaleuca leucadendron

Tanaman konifer Semak berbunga sepanjang tahun

Rumput Gabungan tanaman Kolam Tanaman tepi air

Tanaman peneduh

(19)

p d s j p a m y t a R Buni Duku conde Durian Gowok Jomblang Jambu air Jambu biji Jambu bol Kelapa Kemang Kepel Hails penghasil m dan serangg sedang untu jenis rumpu pterocarpum acuminate, b Siste merupakan p yang disuka terbuka. M arsitekturnya Roux, Rauh Gamb Antid et Lans Duri Euge polyc Euge Euge Psidi Euge Coco Mang Stele burah s et al. (199 makanan ada ga, menghas k burung pe ut-rumputan. m, berbuah bersifat men em percaba percabangan ai burung ad enurut Hall a bagi habit dan Altim ( bar 8. Tipe-ti desma bunius sium domestik o zibethinus enia hephalum enia cumini enia jambos ium guajava enia malaccae os nucifera givera caesia echocarpus hol 90) menyatak alah yang m silkan bung emakan biji-b Pohon yan seperti Ficu ngundang ser angan poho n yang kontin dalah tajuk t le (dalam tat burung d Gambar 9). ipe arsitektur s Kap kum Kare Lo Lab Min Preh Ran ensis Sem Seng a Tanj Turi kan bahwa j enghasilkan a, baik tana bijian maka ng bertekstu us benjamin rangga. on yang d nyu (Mukhta tertutup nam Rusilawati, dibagi menja r pohon (Ha puk et kebo an ndi h ndu alas mpur gon jung i enis tanama buah, dapa aman tahun sumber biji ur daun halu a dan berbu disukai buru ar dan Elviza mun adapula 2002), poh adi empat tip

alle, dalam R Ceiba pe Ficus ela Ficus glo Vitex pub Melia az Ficus str Gossamp Dillenia Albizzia f Mimusop Sesbania an yang dipi at mengunda nan maupun i-bijian didap us sperti Pe unga sepert ung pada ar, 1986). Be a yang meny hon berdas pe yaitu tip Rusilawati, 2 etandra astica omerata bercens zedarach ricta pinus heptaph pubescens falcataria pos elengi a grandiflora lih sebagai ang burung musiman, patkan dari eltophorum i Bauhinia umumnya entuk tajuk yukai tajuk arkan tipe e Nezeran, 002) hylla

(20)

Tipe arsitektur pohon Nezeran mempunyai tipe percabangan kontinyu pada batang utama dengan tajuk terbuka. Tipe pohon Roux mempunyai tipe percabangan yang sama dengan Nezeran tetapi dengan tajuk tertutup. Tipe arsitektur pohon Rauh mempunyai tipe percabangan kontinyu pada cabang samping (cabang sekunder) dan bentuk tajuk tertutup. Tipe arsitektur pohon Attim mempunyai percabangan kontinyu pada cabang tersier dan bentuk tajuknya tertutup.

Hails et al. (1990) membedakan tata letak penanaman vegetasi pada ruang terbuka hijau kota sebagai habitat burung berdasarkan fungsi daerahnya, yaitu vegetasi pada daerah perlindungan (refuges), vegetasi pada daerah transisi, vegetasi koridor dan vegetasi padang rumput. Tata letak tanaman pada RTH sebagai habitat burung (Gambar 10) dibedakan sebagai berikut:

- Tanaman pada daerah perlindungan (refugee), terdiri dari komponen pepohonan yang ditanam rapat satu sama lain dan kelompok perdu tahan naungan yang ditanam di antara pepohonan tersebut.

- Tanaman pada daerah transisi, merupakan daerah yang berada di luar daerah perlindungan dan mengelilingi daerah perlindungan. Tanaman di daerah transisi berupa semak dan rumput.

- Tanaman koridor adalah tanaman penghubung antara daerah perlindungan, dimana burung-burung dapat melintas mudah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk mencari makan, mencari pasangan maupun tempat bersarang. Koridor dapat berupa jalur pepohonan, semak atau berupa sungai kecil untuk burung air dan rawa.

- Tanaman padang rumput merupakan daerah terluar setelah transisi atau dapat berdiri sendiri, terpisah dari daerah yang lebih rapat. Tanamannya berupa hamparan atau lapangan.

Ruang dimana burung-burung dapat ditemukan untuk mencari makan, beristirahat dan berkembang biak oleh Handayani (1995) dikelompokan dalam beberapa strata yaitu strata 1 (0 - 0,6 m), strata 2 (0,6 - 1,8 m), strata 3 ( 1,8 – 4,5 m), strata 4 (4,5 – 15 m) dan strata 5 ( >15 m). Jenis burung yang menggunakan strata 1 dan 2 adalah prenjak, kutilang dan burung gereja. Strata 3 dan 4 lebih

(21)

banyak digunakan sebagai tempat untuk beristirahat dan bersarang bagi burung-burung karena menyediakan lebih banyak tempat untuk sembunyi. Selain itu, strata 3 dan 4 juga menyediakan makanan, baik berupa buah-buahan maupun serangga. Hampir semua jenis burung menggunakan ruang ini. Sedang strata 5 banyak digunakan oleh jenis burung yang menyukai tajuk pohon, baik mencari makan, bersarang maupun beristirahat. Burung yang sering terlihat pada strata ini adalah kepodang dan kutilang.

Gambar 9. Tata vegetasi pada daerah perlindungan, transisi, koridor dan lapangan rumput bagi satwa burung (Hails et al., 1990)

3. Sumberdaya Pakan Untuk Burung

Rantai makanan adalah peristiwa memakan dan dimakan dengan urutan tertentu. Contoh : Makanan --> Ulat --> burung prenjak --> burung rajawali --> bakteri. Tumbuhan dimakan ulat, ulat dimakan burung prenjak, burung prenjak di makan burung rajawali.

Keterangan :

1. Tumbuhan bertindak sebagai produsen 2. Ulat bertindak sebagai konsumen tingkat I

3. Burung prenjak bertindak sebagai konsumen tingkat II

(22)

5. Bakteri bertindak sebagai decomposer / pengurai

Jaring-jaring makanan adalah kumpulan beberapa rantai makanan yang saling berhubungan. Gambar 10 merupakan gambaran jaring-jaring makanan.

Gambar 10. Jaring-jaring makanan

Menurut Boer (1994), ritme dan sedikit perubahan-perubahan stokastik dalam penawaran sumberdaya makanan dan kelimpahannya, menentukan pola dan cara pemanfaatan habitat oleh banyak jenis burung. Komponen makanan adalah penting, yaitu : (a) jenis makanan, (b) banyaknya sumberdaya makanan dan (c) distribusi makanan berdasarkan waktu. Jenis-jenis burung tersebut dapat diklasifikasikan dalam kelas-kelas makanannya, sebagai berikut :

a. Frugivore

Frugivore adalah jenis burung pemakan buah. Frugivore terbagi kedalam dua kelompok yaitu burung-burung yang memakan buah-buah ukuran besar dan burung-burung yang memakan buah-buah ukuran kecil (Karr dalam Boer, 1994).

b. Insectivore

Insectivore adalah jenis burung pemakan serangga. Fauna serangga ataupun kepadatan kehadiran Arthropoda berkorelasi erat dengan derajat penutupan tanah hutan (Numelin dalam Boer, 1994). Oleh karena itu, perubahan iklim mikro akibat penutupan tajuk merupakan hal yang penting.

(23)

c. Generalist

Secara teoritis, kelompok burung tidak begitu terspesialisasi dalam makanan yaitu insectivore-frugivore, insectivore, nectarivore-insectivore-frugivore atau nectarivore-frugivore (Boer, 1994).

4. Faktor Pendukung RTH Ekologis

Berdasarkan penelitian Deppe dan Rottenberry (2008), migrasi burung bergantung pada distribusi spesies baik luas area maupun tipe vegetasi dan hubungan migran dengan arsitektur atribut antara skala spasial dan ekologis. Komposisi dari tanaman dan arsitektur vegetasi menjadi salah satu yang berpengaruh untuk migrasi burung pada skala yang luas termasuk jenis vegetasi pantai. Hubungan migran dengan arsitektur atribut antara skala spasial dan ekologis membuktikan bahwa burung mempertimbangkan bentuk arsitektural dan sisi ekologis untuk bermigrasi pada suatu tempat. Burung-burung di alam mempunyai perilaku mendekati air bersih yang tergenang. Oleh karena itu, ketersediaan air bersih untuk mandi dan minum merupakan hal yang penting.

Pergerakan satwa antar patch melintasi gap tersebut yang kemudian ditanggapi oleh satwa secara berbeda pada skala spasial yang sangat spesifik. Pergerakan satwa antar patch melintasi gap akan bervariasi pada tiap spesies tergantung pada tipe patch dan faktor lain, seperti cuaca, musim, rute alternatif, serta resiko yang mungkin dihadapi (predator, jarak) (Wiens dan Rotenberry, 1981). Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan dan pernah digunakan di Indonesia antara lain adalah (mbojo.wordpress.com):

a.Sistem Klasifikasi Koppen

Koppen membuat klasifikasi iklim berdasarkan perbedaan temperatur dan curah hujan. Koppen memperkenalkan lima kelompok utama iklim di muka bumi yang didasarkan kepada lima prinsip kelompok nabati (vegetasi). Kelima kelompok iklim ini dilambangkan dengan lima huruf besar dimana tipe iklim A adalah tipe iklim hujan tropik (tropical rainy climates), iklim B adalah tipe iklim kering (dry climates), iklim C adalah tipe iklim hujan suhu sedang (warm temperate rainy climates),

(24)

iklim D adalah tipe iklim hutan bersalju dingin (cold snowy forest climates) dan iklim E adalah tipe iklim kutub (polar climates).

b.Sistem Klasifikasi Mohr

Klasifikasi Mohr didasarkan pada hubungan antara penguapan dan besarnya curah hujan, dari hubungan ini didapatkan tiga jenis pembagian bulan dalam kurun waktu satu tahun dimana keadaan yang disebut bulan basah apabila curah hujan >100 mm per bulan, bulan lembab bila curah hujan bulan berkisar antara 100 – 60 mm dan bulan kering bila curah hujan < 60 mm per bulan.

c.Sistem Klasifikasi Schmidt-Ferguson

Sistem iklim ini sangat terkenal di Indonesia. Menurut Irianto, dkk (2000) penyusunan peta iklim menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson lebih banyak digunakan untuk iklim hutan. Pengklasifikasian iklim menurut Schmidt-Ferguson ini didasarkan pada nisbah bulan basah dan bulan kering seperti kriteria bulan basah dan bulan kering klasifikasi iklim Mohr. Schmidt-Fergoson membagi tipe-tipe iklim dan jenis vegetasi yang tumbuh di tipe iklim tersebut adalah sebagai berikut; tipe iklim A (sangat basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim B (basah) jenis vegetasinya adalah hutan hujan tropis, tipe iklim C (agak basah) jenis vegetasinya adalah hutan dengan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya dimusim kemarau, tipe iklim D (sedang) jenis vegetasi adalah hutan musim, tipe iklim E (agak kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim F (kering) jenis vegetasinya hutan savana, tipe iklim G (sangat kering) jenis vegetasinya padang ilalang dan tipe iklim H (ekstrim kering) jenis vegetasinya adalah padang ilalang.

(25)

Berdasarkan Van Hoeve (1989), burung memiliki suhu yang naik turun, namun waktu burung keluar dari sarang adalah saat bulan kering. Suhu udara untuk burung di daerah tropis bertahan berkisar 25 – 30º C.

Menurut Thomas (1979), penyediaan RTH merupakan salah satu usaha pengelolaan habitat satwa di perkotaan. Dalam membentuk RTH kota yang dapat digunakan sebagai habitat burung, maka dilakukan pendekatan yang bertujuan:

1. Untuk memperoleh keanekaragaman spesies yang tinggi. Dalam hal ini, semua spesies dianggap penting dan diharapkan populasi semua spesies cukup memadai.

2. Untuk meningkatkan populasi spesies tertentu. Dalam hal ini hanya spesies tertentu yang diutamakan.

Menurut Bennett (1999), berdasarkan asalnya koridor dapat dibedakan atas: - Koridor alami, seperti sungai dengan tanaman pinggiran sungai (riparian),

termasuk kontur lingkungan yang merupakan hasil dari proses lingkungan. - Koridor remnant, seperti strip hutan yang tidak ditebang dalam suatu

pembukaan lahan, pepohonan di sisi jalan, atau habitat alami yang dipertahankan sebagai penyambung antar kawasan lindung,yang terpecah karena adanya pembukaan lahan atau gangguan lingkungan.

- Koridor regenerasi, merupakan hasil dari pertumbuhan kembali suatu strip tanaman yang dulu telah mengalami pembukaan atau gangguan.

- Koridor buatan seperti tanaman pertanian, windbreaks atau shelterbelts, umumnya merupakan tanaman introduksi (non-indigenous atau eksotik). - Koridor gangguan, seperti jalan kereta, jalan raya, atau fitur lainnya yang

merupakan hasil dari gangguan yang bersifat tetap dan berbentuk strip panjang.

2.6.Perencanaan Lanskap

Menurut Siti Nurisjah (2009), perencanaan lanskap adalah salah satu bentuk produk utama dalam kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan suatu bentuk kegiatan penataan yang berbasis lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu

(26)

model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan termasuk kesehatannya. Kegiatan perencanaan lanskap adalah satu bentuk kegiatan yang menitik beratkan pada data dan informasi yang dikumpulkan serta proses pengolahan data dan informasi tersebut untuk mendapatkan hasil seperti yang diinginkan atau dikonsepkan. Hasil perencanaan lanskap yang baik bila produk yang dihasilkan akan berdaya guna tinggi bagi para pemakainya dan berkelanjutan bagi lanskap atau kawasan yang direncanakan penataannya. Dalam kegiatan perencanaan lanskap ini maka proses perencanaan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung satu dengan yang lain. Proses ini merupakan suatu alat yang terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik dan fungsi lahan/tapak bentang alam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut.

Rachman (1984) menyatakan bahwa dalam proses perencanaan meliputi beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu tahap inventarisasi data, analisis, sintesis, perencanaan, perancangan, pelaksanaan dan diakhiri dengan tahap pemeliharaan.

Gambar

Tabel 2. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk  No Unit  lingkungan  Tipe RTH  Luas  minimal  /unit (m²)  Luas minimal /kapita (m²)  Lokasi
Gambar 2. Contoh Tata Letak Jalur Hijau Jalan
Tabel 3. Standar kebutuhan RTH oleh umum (Simonds, 1983)
Gambar 3. Skema hipotetik penyebaran populasi dengan struktur sumber dan  penampung (sink-source) (Wiens dan Rotenberry, 1981)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 2 dari 12 kelas dan dipilih kelas 8A dan 8B dengan pertimbangan siswa kelas 8 telah

ta tunjan?.ar:··'tunjang~n,.. bekas Presiden a&#34;tau tekas Wakil Preniden meninggal dunia sedangka.n ia.. den atau bekas Wakil Preeide&#34;j yang bvbenti dengan

Selain itu korban juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh

Dengan menggunakan adsorben (zeolit) sebagai penyangga fotokatalis (AFT), maka diperoleh penyisihan fenol yang lebih besar daripada penyisihan fenol oleh zeolit saja, TiO 2 saja

Taksonomi dari kelapa sawit ( Elaeis guineensis Jacq. Kelapa sawit berkembang biak dengan biji dan akan berkecambah untuk selanjutnya tumbuh menjadi tanaman. Susunan buah kelapa

KPR BTN Indent iB adalah produk pembiayaan dalam rangka pembelian rumah, ruko, rukan, rusun/apartemen secara indent (atau dasar pesanan), bagi nasabah perorangan dengan

Hal itu terlihat dari peningkatan total PDRB Kabupaten Seluma baik atas dasar. harga berlaku (ADHB) maupun atas dasar harga

Sehingga Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “ Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Salah Satu Anggota Keluarga Menderita Penyakit Kusta di Puskesmas Sidotopo Wetan