• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat 5.1.1 Penanaman

Hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian yaitu Desa Ngancar, Desa Platarejo, Desa Sajati dan Desa Tirtosuworo Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri berkembang seiring dengan program penghijauan di lahan tegal, pekarangan dan turus jalan yang dirintis sejak tahun 1956 – 1978. Hal ini terjadi karena dilatarbelakangi: 1) banyaknya lahan hutan milik negara yang mengalami kerusakan/gundul, 2) mengikuti anjuran pemerintah untuk menanggulangi banjir di waduk Gajah Mungkur, 3) berkembangnya kebun bibit dusun (KBD) atau yang biasa disebut sebagai tanpaan secara swadaya yang dikoordinir oleh Kepala Dusun, 4) adanya proyek penghijauan dari Word Food Program (WFP) dengan pemberian bibit akasia dan glirisida (trimuda/jajaran) untuk ditanam di lahan petani dan dalam proses penanamannya petani mendapatkan upah berupa bulgur, sarden, susu, dan minyak goreng. Pada tahun 1978 – 1998 ada kegiatan penanaman dengan program terasering yang bertujuan untuk menanggulangi banjir dan tanah longsor dengan mengelola lahan sesuai dengan kontur tanah (nyabuk gunung). Sampai dengan tahun 2000-an kegiatan penanaman terus digalakkan oleh pemerintah dengan melibatkan petani, seperti GNRHL dan GERHAN (PERSEPSI 2006).

Hutan rakyat di lokasi penelitian umumnya didominasi oleh jenis tanaman jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagony) dan akasia (Acacia auriculiformis). Jenis-jenis lain diantaranya adalah sonokeling (Dalbergia latifolia), nangka (Artocarpus heterophyllus), melinjo (Gnetum genemon) dan jambu mete (Anacardium occidentale L)

Pada prinsipnya, pengelolaan hutan rakyat di lokasi penelitian, baik yang sudah mendapatkan sertifikasi maupun belum mendapatkan sertifikasi berbasis lembaga keluarga, sehingga kegiatan pembangunan, pemeliharaan dan pemanfaatan juga dijalankan ”dari-oleh-untuk” keluarga. Variasai perbedaan

(2)

pengelolaan hutan rakyat terjadi antar keluarga, antar desa, dan antar wilayah. Berdasarkan aspek variasi jenis, hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian dapat dibedakan menjadi: (1) hutan rakyat monokultur, yang didominasi oleh satu jenis pohon, (2) hutan rakyat campuran, yang tersusun oleh dua atau lebih jenis pohon. Berdasarkan lokasi dan bentuknya, hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian dibedakan menjadi:

a. Sawah

Sawah merupakan bentuk pemanfaatan lahan yang digunakan untuk budidaya tananam pangan. Sawah yang ada di lokasi penelitian adalah tanah tadah hujan, yang menggantungkan pengairannya terutama dari air hujan. Seiring dengan berkembangnya hutan rakyat, petani yang pada awalnya hanya menanam tanaman palawija (jagung, ketela pohon/singkong, kedelai dan kacang tanah) mulai tahun 1990-an petani dapat menanam padi, bahkan dalam dua tahun petani dapat melakukan panen sebanyak 7 kali (4 kali palawija dan 3 kali padi). Hal ini terjadi karena banyaknya mata air yang muncul di beberapa titik.

Potensi sawah yang besar di lokasi penelitiaan adalah di Desa Platarejo karena wilayah ini bisa dikatakan lebih datar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Di sawah ini tanaman pangan lebih mendominasi dibandingkan dengan tanaman kayu. Biasanya petani menanami tananam berkayu di pematang sawah, dimana penanaman tersebut berfungsi sebagai batas kepemilikan dan mengurangi erosi tanah. Secara singkat pemanfaatan lahan sawah untuk tanaman pangan dan tanaman kayu atau pola tumpangsari/agroforestry tersaji pada Gambar 6.

(3)

Sumber : PERSEPSI (2006)

Gambar 6 Sketsa pemanfaatan lahan sawah dengan pola tumpangsari

(4)

b. Tegalan/Tegal Gunung

Tegal Gunung merupakan lahan kering yang berada lebih jauh dari tempat tinggal petani. Tegal Gunung inilah yang dijadikan petani untuk dikembangkan menjadi hutan rakyat. Selain itu Tegal Gunung ini kurang begitu cocok untuk ditanami tanaman pangan karena memiliki kelerengan yang cukup terjal dan tanahnya didominasi oleh batu-batuan berkapur (batu bertanah). Secara singkat gambaran pemanfaatan Tegal Gunung dan jenis tanah yang ada dapat terlihat pada Gambar 8 dan 9.

Sumber : PERSEPSI (2006)

(5)

Gambar 9 Kondisi Tanah yang ada di Tegal Gunung c. Pekarangan

Pekarangan merupakan lahan yang berada di sekitar bangunan rumah, petani biasanya menata sedemikian rupa untuk memaksimalkan lahan yang ada selain bangunan rumah, petani menanami lahan-lahan yang kosong dengan tanamam pangan, tanaman obat/empon-empon, buah-buahan dan tanaman berkayu.

Pemanfaatan lahan pekarangan ini biasanya memiliki ciri selain bangunan rumah terdapat kandang ternak baik itu ternak kambing maupun ternak sapi. Batas tanah ditanami dengan tanaman berkayu untuk menandakan kepemilikan. Lahan di depan rumah ditanami dengan tanaman buah-buahan dan sayur-sayuran, sedangkan di samping dan belakang rumah selain tanaman berkayu juga ditanami dengan tanaman obat-obatan/empon-empon (Gambar 10 dan 11).

(6)

Sumber : PERSEPSI (2006)

Gambar 10 Sketsa pemanfaatan lahan Pekarangan

(7)

5.1.2 Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan antara lain pemupukan, penyiangan, pemangkasan, penyulaman dan penjarangan. Dari beberapa kegiatan tersebut sebagian besar petani baik yang telah mendapatkan sertifikasi maupun belum mendapatkan sertifikasi tidak melakukan pemeliharaan sebagaimana mestinya. Kegiatan pemupukan tidak dilakukan oleh petani hutan rakyat secara langsung. Mereka hanya menumpuk serasah-serasah yang ada dan dikumpulkan dibawah pohon yang masih berdiri dengan harapan serasah-serasah tersebut dapat digunakan sebagai pupuk.

Kegiatan penyiangan atau pembersihan lahan dari tanaman yang mengganggu/gulma tidak dilakukan dalam periode waktu tertentu melainkan hanya pada saat sedang melakukan pemeliharaan tanaman palawija di tegalan sekaligus juga pemeliharaan bagi tanaman kayu, apabila lahan tersebut dimanfaatkan juga sebagai lahan untuk menanam tanaman pangan/agroforestry. Selain itu kegiatan petani mencari hijaun pakan ternak/merumput secara tidak langsung juga merupakan kegiatan penyiangan.

Kegiatan pemangkasan dan penyulaman sangat jarang dilakukan oleh petani disebabkan karena keterbatasan tenaga dan ekonomi petani dalam mengelola hutan rakyat. Hal ini yang merupakan salah satu penyebab perkembangan pohon kurang maksimal.

Kegiatan penjarangan juga hampir sama seperti pada kegiatan pengelolaan lainnya, bahkan petani tidak sama sekali melakukan kegiatan penjarangan ini. Hal ini terjadi karena para petani merasa sayang (”eman-eman”) untuk melakukan penebangan pohon yang telah hidup, maka jarak tanam pada hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian tidak teratur dan sangat rapat. Sebagian besar tanaman yang tumbuh merupakan anakan dari pohon yang ada disekitarnya dan terubusan dari pohon yang telah ditebang/sulen, dimana sulen ini dalam satu tonggak dapat mencapai 4 – 5 batang, secara jelas dapat terlihat pada Gambar (12). Oleh karena itu jarak tanamnya menjadi rapat, dari rapatnya tanaman-tanaman yang ada mengakibatkan pertumbuhan tanaman tersebut tidak maksimal.

(8)

Gambar 12 Bibit tanaman yang berasal dari terubusan (sulen)

5.1.3 Pemanenan

Pola pemanenan yang dilakukan oleh petani baik yang telah mendapatkan sertifikasi maupun belum mendapatkan sertifikasi hampir sama yaitu:

a. Petani memanen /menebang pohon untuk kebutuhan pribadi

Pemanenan/penebangan pohon ini biasanya dilakukan ketika petani membutuhkan kayu untuk bangunan, baik untuk membangun rumah maupun membangun kandang ternak. Jumlah pohon yang dipanen disesuaikan dengan kebutuhan. Petani akan memilih pohon-pohon yang dirasa sudah layak tebang. Penebangan biasanya dilakukan di lahan pekarangan untuk meminimalisasi biaya produksi.

Proses pemanenan dilakukan oleh petani sendiri dengan bantuan tetangga serta tenaga penggergaji yang ada di wilayah tersebut. Petani sudah memiliki gambaran pohon yang ditebang akan dijadikan ukuran-ukuran sesuai dengan kebutuhan dan pengolahannya dilakukan oleh tenaga penggergaji sesuai dengan permintaan petani.

(9)

Alat pengolahan kayu yang dimiliki oleh tenaga penggergaji sangat sederhana yang terdiri dari gergaji mesin/chainsaw, gergaji pengolah dan kelengkapan lainnya (kapak, tambang). Gergaji pengolahan ini dimodifikasi sedemikian rupa dari kendaraan roda empat yang telah rusak dan dijadikan sebagai mesin penggergaji yang mudah dipindahkan/gergaji portable.

Biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani untuk pemanenan kayu sampai pengolahannya bisa dikatakan relatif terjangkau. Biaya yang dikeluarkan tergantung dari besar kecilnya batang yang akan dipanen dan diolah. Untuk membayar tenaga penggergaji pohon yang memiliki diameter kurang lebih 50 cm, biaya yang dikeluarkan oleh petani kurang lebih Rp 150.000,00. Secara rinci proses pemanenan yang dilakukan oleh petani tersaji pada Gambar 13 (a dan b).

(10)

(b) Proses pengolahan kayu

Gambar 13 Proses pemanenan yang dilakukan oleh petani untuk kebutuhan pribadi

b. Sistem tebang butuh

Dalam sistem ini biasanya petani menjual langsung ke pedagang atau bakul. Kebanyakan petani akan melakukan pemanenan ketika membutuhkan biaya yang cukup besar untuk keperluan mendesak seperti untuk biaya masuk sekolah, biaya berobat ke rumah sakit dan sumbangan/kerukunan untuk pernikahan keluarga atau tetangga sehingga sistem pemanenan ini sering dinamakan dengan sistem tebang butuh.

Ada dua pola dalam pemanenan sistem tebang butuh, yaitu: pertama petani menjual pohon yang besar dan meninggalkan pohon yang masih kecil atau tebang pilih dan kedua, petani menjual seluruh pohon yang ada di lahan miliknya dengan menebang seluruh pohon yang ada tanpa menyisakan sedikitpun yang sering disebut sistem tebas/borong.

Pada sistem pemanenan ini petani tidak terbebani biaya operasional maupun administrasi karena biaya ditanggung sepenuhnya oleh pedagang/bakul.

(11)

Di lingkup Kecamatan Giriwoyo terdapat tiga bakul besar yang beroperasi, sedangkan pedagang/bakul yang kecil kurang lebih 7 – 10 orang.

5.1.4 Pemasaran

Pemasaran kayu rakyat yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian dalam bentuk pohon masih berdiri, yaitu sistem penjualan dengan cara menghitung jumlah pohon yang akan dijual dengan satuan per pohon atau dengan sistem penjualan berdasarkan luasan/tebas. Untuk sistem penjualan per pohon, pohon yang akan dijual ditandai dengan cara menoreh sedikit kulit batang pohon sebagai tanda bagi pedagang untuk menunjukan pohon yang hendak dijual, sedangkan untuk sistem tebas, petani menjual seluruh tegakan/pohon yang ada di sebidang lahan tanpa melihat jenis pohon maupun ukuran diameternya.

Biasanya petani menjual kayu rakyat kepada pedagang kecil (bakul) dan pedagang besar/pengepul. Bakul melakukan pembelian pohon berdiri dengan menanggung seluruh biaya produksi (pemanenan, penyaradan dan pengangkutan), dan biaya administrasi (pengurusan ijin tebang/pengurusan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) yang diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat setingkat Kepala Desa/Lurah. Setelah membeli kayu rakyat dari petani, bakul menjual kembali kayu tersebut ke pedagang besar/pengepul. Hal ini terjadi karena bakul tidak dapat menjual kayu rakyat tersebut keluar daerah sebelum memiliki badan hukum. Tidak berbeda dengan bakul, pengepul menanggung seluruh biaya produksi (pemanenan, penyaradan dan pengangkutan) biaya administrasinya yang meliputi pengurusan ijin tebang/pengurusan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) di desa, pengurusan dokumen untuk pengangkutan kayu rakyat ke luar daerah (Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat) yang diterbitkan oleh petugas Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten.

Pengepul yang ada di lokasi penelitian ada tiga dan ketiganya tergabung dalam sebuah organisasi yang dinamakan Asosiasi Pengusaha Kayu (ASPEK) yang didirikan di tingkat Kabupaten. Dengan keberadaan organisasi ini diharapkan dapat mendorong kerjasama antar pihak dalam pengusahaan pemasaran/penjualan kayu rakyat. Sesuai dengan keputusan Bupati Wonogiri

(12)

nomor 1 tahun 2012, para pengepul ditarik sumbangan, dan sumbangan tersebut langsung disetorkan ke Kas Daerah Pemerintah Kabupaten Wonogiri. Besar kecilnya sumbangan tersebut telah diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Kayu Jati : Rp 15.000/m3

2. Kayu Mahoni, Akasia dan Sonokeling : Rp 10.000/m3

3. Kayu Jenis Lainnya : Rp 5.000/m3

4. Kayu Bakar/Ranting/Bongkaran Rumah : Rp 5.000/m3

Petani yang akan menjual kayu rakyat cukup menghubungi beberapa bakul atau pengepul. Pemanggilan tersebut bertujuan untuk mendapatkan harga penawaran yang terbaik, harga jual akan ditentukan atas dasar kesepakatan bersama. Harga kayu berbeda-beda tergantung pada jenis, kualitas, diameter dan jarak lokasi kayu dengan jalan transportasi. Dilihat dari jenisnya kayu jati relatif lebih mahal dibandingkan jenis yang lainnya (akasia, mahoni dan kayu lokal). Demikian juga dengan besar kecilnya diameter, dimana semakin besar diameter semakin mahal harganya. Sebagai contoh harga kayu jati yang diperoleh dari pengepul di tingkat kecamatan adalah: Rp 600.000 – Rp 1.500.000 per meter kubik untuk diameter 10 – 15 cm; Rp 1.000.000 – Rp 2.250.000 untuk diameter 16 – 19 cm; Rp 2.000.000 – Rp 2.750.000 untuk diameter 22 – 28 cm; Rp 3.200.000 – Rp 5.500.000 untuk diameter 30 – 38 cm.

Selain beberapa kondisi diatas, yang menentukan harga jual dari kayu rakyat, ada beberapa kepercayaan/mitos petani yang membuat harga jual kayu rakyat menjadi sangat jatuh/tidak ada nilainya yaitu:

a. Pohon yang yang terkena sambaran petir

Masyarakat yang ada di lokasi penelitian mempercayai/mitos bahwa kayu yang tersambar petir merupakan kayu yang terkena kutukan. Oleh karena itu mereka enggan menggunakan kayu tersebut untuk bahan bangunan ataupun mebel. Mereka beranggapan jika menggunakan kayu tersebut takut terkena dampak dari kutukan tersebut, sehingga petani menjual kayu dengan harga yang murah.

(13)

b. Pohon yang roboh

Pemanfaatan pohon yang roboh merupakan salah satu pantangan bagi petani untuk digunakan sebagai bahan pembangunan rumah yang terjadi di lokasi penelitian. Hal ini terjadi karena masyarakat beranggapan bahwa dengan menggunakan kayu hasil dari pohon yang roboh akan membuat bangunan rumah yang dibuat juga akan mengalami hal yang sama seperti bahan yang mereka gunakan.

c. Pohon yang tumbuh di pemakaman

Masyarakat memiliki anggapan/mitos bahwa pohon yang tumbuh di pemakaman menjadi tempat tinggal bagi mahluk halus yang ada di pemakaman tersebut. Oleh karena itu masyarakat tidak memanfaatkan kayu-kayu tersebut untuk kebutuhan rumah tangga, karena mereka beranggapan bila menggunakan kayu-kayu tersebut akan menyebabkan adanya gangguan yang ditimbulkan oleh mahluk halus dari penghuni kayu tersebut. Hal tersebut dimanfaatkan oleh para bakul dan pengepul membeli kayu rakyat dengan harga murah.

Saluran pemasaran kayu rakyat yang ada di lokasi penelitian dapat terbagi dalam tiga yaitu:

a. Saluran pemasaran pertama

Pada saluran pertama ini, petani menjual kayu rakyat dalam bentuk pohon berdiri langsung ke bakul yang juga sekaligus langsung mengolah kayunya menjadi kayu bangunan, kusen untuk dijual kepada konsumen lingkup dusun dan desa.

b. Saluran pemasaran kedua

Pada saluran pemasaran kayu rakyat pola kedua, petani menjual kayu rakyat dalam bentuk pohon berdiri kepada bakul yang kemudian menjualnya ke bakul yang lain yang berprofesi selain menjadi bakul juga memproduksi kayu rakyat tersebut menjadi mebel dan kayu bangunan untuk kebutuhan masyarakat, instansi swasta dan pemerintah di lingkup kecamatan.

(14)

c. Saluran pemasaran ketiga

Pada saluran pemasaran kayu rakyat pola ketiga, petani menjual kayu rakyat dalam bentuk pohon berdiri kepada bakul yang kemudian menjualnya kepada pedagang pengumpul dalam bentuk kayu gelondongan. Pedagang pengumpul besar menjual kepada industri lingkup kabupaten bahkan luar kabupaten. Daerah tujuan utama dalam pemasaran kayu ini adalah Kabupaten Jepara, Kota Solo, dan Kabupaten Pacitan. Secara singkat saluran pemasaran kayu rakyat yang ada di lokasi penelitian baik yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi tersaji pada Gambar 14.

Gambar 14 Saluran pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian

Simulasi Perbandingan Pengeloaan Hutan Rakyat yang Dikelola dengan Baik dan Dikelola secara Tradisional

Untuk mendapatkan gambaran perbandingan pengelolaan hutan rakyat dengan menggunakan teknik silvikultur dibandingkan dengan pengelolaan hutan rakyat secara tradisional maka dilakukan simulasi perhitungan hasil pengelolaan hutan rakyat. Perbandingan ini dengan menggunakan asumsi biaya yang dikeluarkan dari Kementerian Kehutanan dengan daur tebang selama 20 tahun. Kelayakan pengelolaan hutan rakyat ini dapat diketahui dengan analisis finansial. Menurut Gittinger (1986) salah satu cara untuk melihat kelayakan dari analisis finansial adalah menggunakan Cast Flow Analysis. Alasan penggunaan metode ini

Bakul + Sawmill Desa

Saluran 1

Petani

Bakul Pengepul+ Sawmill + Meubel

Saluran 2

Konsumen

Bakul Industri Dalam/Luar

Kota Pengepul

(15)

adalah adanya pengaruh waktu terhadap nilai uang selama umur ekonomis kegiatan usaha. Cast Flow Analysis dilakukan setelah komponen-komponen biaya dan pendapatan ditentukan dan diperoleh nilainya. Untuk mendapatkan nilai sekarang dari masing-masing komponen maka dikalikan dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Dalam penelitian ini dibuat skenario tingkat suku bunga yang digunakan yaitu 15%, penggunaan suku bunga tersebut untuk mengetahui kelayakan pengelolaan hutan rakyat pada berbagai fluktuasi tingkat suku bunga saat ini. Suku bunga pinjaman dipakai untuk menentukan nilai kini dari biaya dan penerimaan yang didasarkan pada tingkat biaya investasi jangka panjang yang diberikan oleh bank.

Dua komponen yang perlu dianalisis untuk mengetahui pendapatan bersih sekarang yaitu komponen biaya dan pendapatan. Konsep biaya yang digunakan adalah biaya pembangunan atau pengelolaan hutan rakyat (establishment cost). Biaya tersebut dihitung seluruhnya sepanjang waktu pengelolaan hutan rakyat. Komponen biaya yang dihitung adalah biaya penyiapan lahan, penanaman, perawatan, dan biaya tahunan Biaya-biaya ini dihitung dengan mengasumsikan banyaknya atau lamanya hari orang kerja (HOK) yaitu waktu dan tenaga yang dikeluarkan petani untuk mengerjakan komponen tersebut.

Komponen biaya yang yang dikeluarkan dalam pengelolaan hutan rakyat diasumsikan sesuai dengan standar biaya Kementerian Kehutanan. Secara lengkap komponen biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan hutan rakyat tersaji pada Tabel 13.

Tabel 13. Komponen biaya untuk pengelolaan hutan rakyat per hektar

No Kegiatan Volume Biaya Satuan Total Biaya

A Persiapan lapangan & penanaman

1 Pengadaan Bibit btg 440 1.250 550.000

2 Pelabelan Bibit HOK 5 35.000 175.000

3 Pengukuran Lapangan dan

pemasangan Patok Batas HOK 24 35.000 840.000

4 Pembuatan lobang tanam dan

pemasangan ajir HOK 50 35.000 1.750.000

5 Pengangkutan bibit dan penanaman HOK 32 35.000 1.120.000 6 Perawatan (penyiraman, pemupukan

dan pemberantasan hama HOK 12 35.000 420.000

(16)

Tabel 13. Komponen biaya untuk pengelolaan ……….. (lanjutan)

No Kegiatan Volume Biaya Satuan Total Biaya

B Pemeliharaan Tahun I

1 Penyiangan, pemupukan dan

pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000

2 Upah Penyulaman dan pengankutan

bibit HOK 20 35.000 700.000

3 Pembelian Bibit sulaman paket 1 500.000 500.000

C Pemeliharaan Tahun II

1 Penyiangan, pemupukan dan

pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000

2 Pengadaan pupuk dan abat-obatan paket 1 1.000.000 1.000.000

D Pemeliharaan Tahun III

1 Penyiangan, pemupukan dan

pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000 2 Upah pembersihan jalan pemeriksaan

dan jalur isolasi HOK 20 35.000 700.000

3 Upah Pemeliharaan pagar HOK 10 35.000 350.000

E Pemeliharaan Tahun IV

1 Penyiangan, pemupukan dan

pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000 2 Upah pembersihan jalan pemeriksaan

dan jalur isolasi HOK 20 35.000 700.000

3 Upah Pemeliharaan pagar HOK 10 35.000 350.000

F Pemeliharaan Tahun V

1 Penyiangan, pemupukan dan

pemberantasan hama penyakit HOK 20 35.000 700.000 2 Upah pembersihan jalan pemeriksaan

dan jalur isolasi HOK 20 35.000 700.000

3 Upah Pemeliharaan pagar HOK 10 35.000 350.000

Total Biaya Pengelolaan 15.055.000

Sumber : Kemenhut 2011

Komponen kedua adalah pendapatan petani hutan rakyat. Dalam kajian pengelolaan hutan rakyat ini, diasumsikan kayu yang dipanen oleh masyarakat adalah tanaman jati. Petani sebenarnya tidak mempunyai waktu yang pasti untuk memanen kayu dari hutan rakyatnya, namun pada pembuatan simulasi ini daur tebang yang dilakukan oleh petani untuk tanaman jatinya adalah 20 tahun. Jumlah perolehan tebangan yang diperoleh jika tanaman tersebut dikelola dengan baik dan tidak dikelola dengan baik dengan jumlah tanaman sebanyak 440 batang tersaji pada Tabel 14.

(17)

Tabel 14 Komponen pendapatan petani dari pengelolaan hutan rakyat.

No Uraian Kegiatan

Dikelola Tidak Dikelola

Volume Kayu Harga Kayu/m3 (Rp) Jumlah (Rp) Volume Kayu Harga Kayu/m3 (Rp) Jumlah (Rp) 1 Biaya Penanaman dan Pemeliharaan 15.055.000 6.205.000 Jumlah Perngeluaran 15.055.000 6.205.000 1 Hasil Penjarangan Pertama (tahun kelima) - - - - 2 Hasil Penjarangan Kedua (tahun kesepuluh) - - - - 3 Hasil Penjarangan Ketiga (tahun kelimabelas) - - - - 4 Hasil penebangan 42,04 1.500.000 63.057.496 30,90 800.000 24.718.471 Jumlah Pendapatan 63.057.496 24.718.471

Total Pendapatan dari hutan rakyat dengan

daur 20 tahun 48.002.496 18.513.471

Perbandingan NPV, BCR dan IRR dalam Pengeloaan Hutan Rakyat yang Dikelola dengan Baik dan Dikelola Secara Tradisional

Menurut Gittinger (1986) kriteria-kriteria yang digunakan dalam suatu evaluasi terhadap investasi adalah Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate of Return (IRR).

- Net Present Value (NPV) diperoleh dari hasil pengurangan pendapatan bersih saat ini dengan total biaya saat ini, yang sudah dikalikan dengan faktor diskon pada tingkat suku bunga dengan asumsi tingkat suku bunga 15 %. - Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan angka perbandingan (ratio) jumlah

manfaat (benefit) terhadap jumlah biaya investasi dan operasional pada tingkat suku bunga 15%.

- Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat pengembalian internal dari suatu investasi pada saat NPV = 0.

Dengan menggunakan tiga kriteria yaitu NPV, BCR dan IRR diatas kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang ada di lokasi penelitian baik yang di kelola dengan baik maupun yang dikelola dengan tradisional didapatkan hasil

(18)

analisis kelayakan finansial berdasarkan tiga kriteria sebagaimana tersaji pada Tabel 15.

Tabel 15 Analisis kelayakan finansial

No Analisis Nilai

Dikelola Tidak Dikelola 1 NPV (Net Present Value) Rp(8,311,099) Rp(4,694,699)

2 BCR (Benefit Cost Ratio) 0.32 0.24

3 IRR (Internal Rate of return) 9.21% 8.63%

Tabel 15 menunjukkan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani menunjukkan hasil yang kurang memuaskan jika dilihat dari jeda waktu yang panjang. Oleh karena itu, agar pengelolaan hutan rakyat layak secara finansial maka perlu adanya subsidi dari pemerintah dalam pengelolaan hutan rakyat berupa pinjaman lunak dengan suku bunga rendah, maksimal 9% untuk hutan rakyat yang dikelola dengan baik dan 8% untuk hutan rakyat yang dikelola secara tradisional.

Dengan tingkat suku bunga tersebut pengusahaan hutan rakyat layak secara finansial, dengan syarat tidak ada oportunitas pemanfaatan lahan dengan jenis tanaman pertanian, perkebunan, atau pengunaan lain yang lebih menguntungkan.

5.2 Karakteristik Individu Petani

5.2.1 Jenis kelamin, Agama, Etnis dan Mata Pencaharian

Penelitian ini dilakukan pada dua kelompok petani, yaitu petani di lokasi yang memiliki status telah mendapatkan sertifikasi dalam pengelolaan hutan rakyat sebanyak 57 petani dan yang belum memiliki status sertifikasi/non sertifikasi dalam pengelolaan hutan rakyat dengan jumlah responden sebanyak 58 petani. Seluruh responden beretnis Jawa, dengan pekerjaan utama sebagai petani (Lampiran 2). Identifikasi individu responden berdasarkan jenis kelamin, agama, etnis dan mata pencaharian tersaji pada Tabel 16.

(19)

Tabel 16 Identifikasi individu berdasarkan Jenis Kelamin, Agama dan Etnis No Identifikasi

Individu

Sertifikasi Non sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Jenis Kelamin - Laki-laki 46 80,70 51 87,93 - Perempuan 11 19,30 7 12,07 2. Agama - Islam 57 100 46 79,31 - Katolik - 12 20,69 - Lainnya - - - - 3. Etnis - Jawa 57 100 58 100 - Lainnya - - - - Jumlah

Pada Tabel 16 terlihat bahwa sebagian besar responden baik yang memiliki hutan rakyat yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi adalah laki-laki (80,70% dan 87,93%). Hal ini terjadi karena laki-laki merupakan penanggung jawab penuh dalam pengelolaan lahan yang mereka miliki.

5.2.2 Jumlah Anggota Keluarga

Rata-rata jumlah anggota keluarga responden baik yang sertifikasi maupun non sertifikasi adalah 3 jiwa/keluarga dengan selang 2 sampai 6 jiwa/keluarga. Secara rinci jumlah anggota responden tersaji pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga

No Jumlah anggota keluarga (jiwa)

Sertifikasi Non sertifikasi Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 1. 2 21 36,84 19 32,76 2. 3 17 29,83 23 39,66 3. 4 14 24,56 12 20,69 4. 5 3 5,26 4 6,90 5. 6 2 3,51 0 0,00 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Mayoritas jumlah anggota dalam keluarga responden berjumlah 2 dan 3 jiwa/kepala keluarga. Hal ini terjadi karena banyak masyarakat di lokasi penelitian akan keluar dari daerah tersebut setelah lulus pendidikan untuk mencari pekerjaan ke kota-kota besar.

(20)

5.2.3 Umur

Umur merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas dan produktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebaran umur responden di lokasi yang tersertifikasi dan yang belum tersertifikasi secara rinci tersaji pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan umur di lokasi Penelitian No Kelompok

Umur Kategori Skor

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. 28 - 44 Rendah 3 10 17,544 10 17,241 2. 45 - 60 Sedang 2 35 61,404 36 62,069 3. 60 - 75 Tinggi 1 12 21,053 12 20,690 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Umur merupakan faktor yang mempengaruhi kekuatan fisik, cara berpikir dan bertindak seseorang. Seorang petani yang berumur muda akan mempunyai tubuh atau fisik yang kuat dan cenderung mudah menerima dan mempraktekkan teknik baru dalam bertani. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa usia produktif menunjukkan tersedianya sumber tenaga kerja yang baik, karena umur produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi.

Sementara itu, seorang petani yang sudah berumur tua, mempunyai pengalaman lebih banyak, lebih matang, tetapi memiliki kekuatan fisik yang cenderung menurun dan mempraktekkan teknik bertani yang sudah pernah dialami sebelumnya.

Terlihat bahwa sebaran umur responden di lokasi penelitian baik yang telah mendapatkan sertifikasi maupun belum mendapatkan sertifikasi didominasi petani pada kelompok umur tua. Oleh karena itu pengelolaan hutan rakyat cenderung bersifat tradisional, yaitu setelah melakukan penanaman tidak dilakukan beberapa kegiatan silvikultur untuk menunjang produktifitasnya.

(21)

5.2.4 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu ukuran kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi, merumuskan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 19. Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di lokasi penelitian

No Tingkat Pendidikan Kategori Skor

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Tidak Sekolah-Tamat SD Rendah 1 35 61,40 33 56,90 2. Tamat SLTP atau sederajat Sedang 2 14 24,56 17 29,31 3. SLTA/Diploma/Sarjana Tinggi 3 8 14,04 8 13,79 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Tingkat pendidikan sebagian besar responden di lokasi yang tersertifikasi maupun tidak tersertifikasi tergolong rendah (61,40% dan 56,90%). Tingkat pendidikan yang rendah ini diduga mempengaruhi pendapatan petani khususnya dari sektor kehutanan, karena dari lokasi penelitian petani dalam pengelolaan hutan rakyat hanya berdasarkan naluri dan pengalaman turun temurun saja tanpa adanya penerapan inovasi baru atau menerapkan sistem silvikultur yang baik. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan petani umumnya sangat terbatas (rendah), yang berdampak ada keterbatasan pengetahuan. Akibatnya untuk memulai suatu yang baru akan memakan waktu yang lama.

5.2.5 Tingkat Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal responden diperoleh dari berbagai pelatihan, kursus atau bimbingan teknis yang pernah diikuti. Tingkat pendidikan non formal responden di lokasi yang tersertifikasi tersaji pada Tabel 20.

(22)

Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan non formal di lokasi penelitian No Tingkat Pendidikan Non Formal (kali) Kategori Skor

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Tidak pernah Rendah 1 44 77.19 51 87,93 2. 1 – 3 Sedang 2 11 19.30 1 1,72 3. > 3 Tinggi 3 2 3.51 6 10,34 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Pada Tabel 20 menunjukkan petani yang berada di lokasi yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi pada umumnya tidak pernah atau jarang mengikuti pendidikan non formal (77,19% dan 87,93%). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh petani melalui kegiatan pelatihan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat baik yang dilaksanakan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten maupun Provinsi, LSM serta pihak swasta yang peduli dengan lingkungan (PT. Sari Ayu Martatilaar), berkontribusi terhadap perubahan pola pengelolaan hutan rakyat yang diterapkan petani. Pengetahuan dan keterampilan ini sangat menunjang kegiatan pengelolaan hutan rakyat sehingga berimplikasi pada produktivitas hasil hutan rakyat. Para petani yang telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan hutan rakyat akan menularkan pengalaman dan pengetahuannya kepada sesama petani melalui pertemuan-pertemuan yang ada di lingkup dusun.

5.2.6 Tingkat Pendapatan

Besar kecilnya pendapatan petani mempengaruhi keputusan apa yang akan dikerjakan dan jenis usaha yang akan dilakukannya pada sebidang lahan yang dimilikinya. Andayani (2002) menyebutkan, pemilik lahan yang latar belakang sosial ekonominya baik akan memilih jenis usaha yang memiliki nilai komersial tinggi pada lahan miliknya dan pada pemilik lahan yang secara ekonomi kurang mampu, pemilihan jenis terkendala oleh faktor ekonomi tersebut. Tingkat pendapatan responden di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 21.

(23)

Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendaparan responden di lokasi penelitian No Tingkat Pendapatan (RP) Kategori Skor

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. <500.000 Rendah 1 14 24,56 5 8,62 2. 500.000 – 1.000.000 Sedang 2 38 66,67 43 74,14 3. > 1.000.000 Tinggi 3 5 8,77 10 17,24 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Pendapatan petani yang berada di lokasi yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi masih dalam kategori rendah (66,67% dan 74,14%). Berdasarkan standard kebutuhan hidup minimal di Kabupaten Wonogiri sebesar 775.000, maka pendapatan masyarakat yang ada di lokasi penelitian masih tergolong sedang, dari hasil pendapatan petani tersebut, petani masih tergolong petani yang subsisten, hasil yang diperoleh hanya untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa pemilik kayu rakyat (yang mengusahakan hutan rakyat) umumnya adalah petani miskin dengan modal yang sangat terbatas, karena biaya pengelolaan kayu rakyat hampir tidak ada dan tenaga kerja yang digunakan untuk pemeliharaan kayu rakyat dapat dikerjakan oleh anggota keluarga. Suharjito (2002) menyebutkan salah satu alasan mengapa masyarakat memilih menanam jenis tertentu pada kebun talun adalah mudah memelihara. Hal ini merujuk pada orientasi hemat input produksi (tenaga kerja, pupuk dan obat-obatan) dan pengelolaannya kurang intensif.

5.2.7 Tingkat Kesehatan

Kesehatan merupakan faktor yang mendukung petani dalam beraktifitas dalam setiap kegiatan yang dilakukan, jika petani memiliki tingkat kesehatan yang baik maka akan kinerjanya baik juga dan begitu sebaliknya. Tingkat kesehatan responden di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 22.

(24)

Tabel 22 Sebaran responden berdasarkan tingkat kesehatan responden di lokasi penelitian No Tingkat Kesehatan (hari/tahun) Kategori Skor

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. <3 Tinggi 3 52 91,23 49 84,48 2. 3 – 6 Sedang 2 3 5,26 7 12,07 3. > 6 Rendah 1 2 3,51 2 3,45 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Tingkat kesehatan petani yang berada di lokasi yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi masuk kategori tinggi (91,23% dan 84,48%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat sangat baik, dari tingkat kesehatan ini dapat dilihat produktifitas masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat.

5.2.8 Luas Kepemilikan Lahan

Luas lahan yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi jenis usaha yang akan dilakukannya pada lahan tersebut. Semakin luas lahan yang dimiliki oleh seseorang, maka ada kemungkinan untuk menanam lebih dari satu jenis tanaman. Secara rinci luas kepemilikan lahan responden di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 23.

Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan luas lahan dan status kepemilikan di lokasi penelitian No Luas Lahan (Ha) Kategori Skor

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. < 0,3 Rendah 1 4 7,02 5 8,62 2. 0,3 – 1 Sedang 2 29 50,88 25 43,10 3. > 1 Tinggi 3 24 42,11 28 48,28 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Luas lahan petani yang berada di lokasi yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi masuk dalam kategori sedang dan tinggi (50,88% dan 48,28%). Sebagian besar lahan yang dimiliki petani adalah lahan hak milik yang diwariskan dari generasi sebelumnya (warisan), dimana lahan merupakan sarana produksi bagi usahatani, termasuk salah satu faktor produksi dan pabrik hasil pertanian.

(25)

5.2.9 Lama Tinggal

Petani yang ada di lokasi baik yang telah mendapatkan sertifikasi maupun yang belum mendapatkan sertifikasi mayoritas adalah masyarakat asli yang menempati lokasi tersebut sejak mereka dilahirkan. Sebaran responden berdasarkan lama tinggal tersaji pada Tabel 24.

Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan lama tinggal No

Lama Tinggal

(tahun)

Kategori Skor

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. < 5 Rendah 1 1 1,75 1 1,72 2. 5 – 10 Sedang 2 2 3,51 1 1,72 3. >10 Tinggi 3 54 94,74 56 96,55 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Sebagian besar responden yang berada di lokasi penelitian baik yang telah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi merupakan penduduk asli yang telah menempati lokasi tersebut sejak lahir (94,74% dan 96,55%). Hal ini merupakan dukungan positif dalam pengelolaan hutan rakyat karena masyarakat tidak hanya berupa sekumpulan manusia yang secara fisik telah bersama dalam kurun waktu tertentu melainkan terdapat semangat atau ruh yang memperkuat kehidupan kolektif.

5.2.10 Status Sosial

Status sosial menunjukkan tingkat penghargaan masyarakat kepada individu yang bersangkutan dalam kelompok masyarakat. Status sosial responden yang ada di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 25.

Tabel 25 Sebaran responden berdasarlan status sosial No Status

Sosial Skor

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Rendah 1 12 21,05 7 12,07 2. Sedang 2 44 77,19 47 81,03 3. Tinggi 3 1 1,75 4 6,90 Jumlah 57 100,00 58 100,00

(26)

Berdasarkan Tabel 25 di atas status sosial responden yang berada di kedua lokasi berada pada kategori sedang (77,19 % dan 81,03). Dilihat dari status sosial yang ada di masyarakat ini, mereka lebih mudah bergaul dengan masyarakat lain dan tidak merasa rendah diri. Status sosial ini umumnya ditentukan oleh kedudukan seseorang dalam masyarakat untuk menjaga keutuhan sosial orang wajib bertindak sesuai status masing-masing karena nilai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam struktur sosial berguna untuk kelangsungan hidup bersama (Lawang 2005).

5.3 Penilaian Karakteristik Individu

Penilaian karakteristik individu dilakukan untuk memperoleh gambaran umum dari kondisi individu sebagai anggota komunitas. Karakteristik individu petani di lokasi penelitian menunjukkan rata-rata komunitas berada pada kategori usia produktif tua, pendidikan formal sedang, pendidikan non formal pada kategori rendah, pendapatan pada kategori sedang, tingkat kesehatan pada kategori tinggi, luas lahan pada kategori sedang, lama tinggal pada kategori tinggi dan status sosial pada kategori sedang. Kategori tersebut menunjukkan kekuatan dan kelemahan dari individu-individu pada komunitas yang ada di lokasi penelitian yang mengelola hutan rakyat. Karakteristik individu sebagai kekuatan komunitas sangat mendukung dalam pengelolaan hutan rakyat, sebaliknya untuk karakteristik individu yang berupa kelemahan komunitas akan menjadi penghambat dalam pengelolaan hutan rakyat. Penilaian karakteristik individu tersaji pada Tabel 26.

Tabel 26 Penilaian karakteristik individu petani responden

No. Karakteristik Individu

Sertifikasi Non Sertifikasi

Keterangan Skor

Skor

Rata-rata Skor Rata-rata

1 umur 145 2,58≈3 147 2,53≈3 1 : usia muda

2 : usia sedang 3 : usia tua

2 Pendidikan formal 87 1,53≈2 91 1,57≈2 1 : pendidikan rendah

2 : pendidikan sedang 3 : pendidikan tinggi 3 Pendidikan Non formal 72 1,26≈1 71 1,22≈1 1 : pendidikan rendah 2 : pendidikan sedang 3 : pendidikan tinggi

(27)

Tabel 26 Penilaian karakteristik individu ...(lanjutan)

No. Karakteristik Individu

Sertifikasi Non Sertifikasi

Keterangan Skor

Skor

Rata-rata Skor

Rata-rata

4 Pendapatan 105 1,84≈2 121 2,09≈2 1 : pendapatan rendah

2 : pendapatan sedang 3 : pendapatan tinggi 5 Tingkat kesehatan 164 2,88≈3 163 2,81≈3 1 : kesehatan rendah

2 : kesehatan sedang 3 : kesehatan tinggi

6 Luas lahan 134 2,35≈2 139 2,40≈2 1 : lahan sempit

2 : lahan sedang 3 : lahan luas

7 Lama tinggal 167 2,93≈3 171 2,95≈3 1: lama tinggal rendah

2: lama tinggal sedang 3: lama tinggal tinggi

8 Status sosial 103 1,81≈2 113 1,95≈2 1: status sosial rendah

2: status sosial sedang 3: status sosial tinggi

Jumlah 978 17,16 1.016 17,52

Persamaan selang nilai untuk karakteristik individu:

Berdasarkan persamaan selang untuk petani yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi dengan X maksimum 24 dan X minimum 8 dengan jumlah kelas 3 (rendah, sedang dan tinggi) didapatkan lebar kelas adalah 5,33. Maka skala penilaian karakteristik individu untuk petani yang tersertifikasi adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik individu rendah bila jumlah skor < 13,33 2. Karakteristik individu sedang bila jumlah skor 13,33 – 18.67 3. Karakteristik individu tinggi bila jumlah skor >18,67

Karakteristik individu petani baik di lahan hutan rakyat yang telah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi berdasarkan penilainnya memiliki rata-rata skor sebesar 17,16 dan 17,52 berarti termasuk dalam kategori sedang. Sebaran tingkat karakteristik individu petani baik yang tersertifikasi dan yang belum tersertifikasi tersaji pada Tabel 27.

(28)

Tabel 27 Penilaian karakteristik individu petani yang tersertifikasi dan yang belum tersertifikasi berdasarkan kategori

No

Kategori Karakteristik

Individu

Selang Nilai

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Rendah < 13,33 1 1,75 0 0,00 2 Sedang 13,33 – 18,67 50 87,72 51 87,93 3 Tinggi >18,67 6 10,53 7 12,07 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Tabel 27 menunjukkan bahwa karakteristik individu petani yang berada baik di lokasi yang telah mendapatkan sertifikasi maupun yang belum mendapatkan sertifikasi termasuk dalam kategori sedang. Penilaian karakteristik individu petani ini menjadi hal yang sangat dibutuhkan karena tingkat karakteristik individu akan mempengaruhi tingkat modal manusia. Menurut Fukuyama (2007) dan Coleman (1988), modal manusia dalam bentuk pendidikan dan keterampilan lebih dominan dalam menentukan keberhasilan pembangunan dibandingkan modal yang berwujud fisik seperti teknologi, tanah, bangunan, mesin-mesin dan sebagainya.

5.4 Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial

Unsur-unsur modal sosial yang diukur dalam komunitas petani di lokasi penelitian terdiri dari kepercayaan, norma sosial, jaringan sosial, tindakan proaktif dan kepedulian. Tingkatan unsur modal sosial terbagi menjadi 4 tingkatan mengacu pada modal sosial Uphoff (2000), yaitu: minimum, rendah, sedang, dan tinggi.

5.4.1 Kepercayaan

Fukuyama (2007) menyatakan bahwa kepercayaan adalah sikap saling mempercayai masyarakat sedangkan Grotaert et al (2004) menyatakan bahwa kepercayaaan merupakan unsur modal sosial yang sulit untuk diukur karena mempunyai arti yang sangat luas dan berbeda bagi setiap individu. Oleh karena itu diperlukan pengkajian terhadap kepercayaan yang mencakup kepercayaan terhadap individu, institusi, dan bisnis. Penilaian kepercayaan petani responden meliputi tingkat kepercayaan terhadap orang sekitar di dalam komunitas, orang

(29)

dengan etnis yang sama tetapi di luar komunitas, orang dengan etnis yang berbeda baik di dalam maupun di luar komunitas, aparat pemerintah, kepolisian, tokoh masyarakat/adat, tokoh agama, pihak luar (LSM/swasta, instansi-instansi terkait dengan pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat) serta tingkat kepercayaan masyarakat dalam hal pinjam-meminjam uang/barang. Tingkat kepercayaan petani responden tersaji pada Tabel 28.

Tabel 28 Tingkat kepercayaan petani responden No Sub unsur

kepercayaan Tingkat

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Skor Jumlah (orang) Persentase (%) Skor 1. Kepercayaan terhadap orang sekitar (komunitas) Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Percaya 57 100,00 114 58 100,00 116 Jumlah 57 100,00 114 58 100,00 116 2. Kepercayaan terhadap orang dengan etnis yang sama Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Percaya 4 7,02 8 8 13,79 16 Percaya 53 92,98 159 50 86,21 150 Jumlah 57 100,00 167 58 100,00 166 3. Kepercayaan terhadap orang dengan etnis yang berbeda Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Percaya 14 24,56 28 17 29,31 34 Percaya 43 75,44 129 41 70,69 123 Jumlah 57 100,00 157 58 100,00 157 4. Kepercayaan terhadap aparat pemerintah Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Percaya 2 3,51 4 7 12,07 14 Percaya 55 96,49 165 51 87,93 153 Jumlah 57 100,00 169 58 100,00 167 5. Kepercayaan terhadap aparat kepolisian Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Percaya 0 0,00 0 1 1,72 2 Percaya 57 100.00 171 57 98,28 171 Jumlah 57 100,00 171 6. Kepercayaan terhadap tokoh masyarakat/ad at Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Percaya 0 0,00 0 1 1,72 2 Percaya 57 100,00 171 57 98,28 171 Jumlah 57 100,00 171 58 100,00 173 7. Kepercayaan terhadap tokoh agama Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Percaya 57 100,00 171 58 100,00 174 Jumlah 57 100,00 171 58 100,00 174

(30)

Tabel 28 Tingkat kepercayaan petani ...(lanjutan) No Sub unsur

kepercayaan Tingkat

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Skor Jumlah (orang) Persentase (%) Skor 8. Kepercayaan terhadap pihak luar (LSM/swasta) Tidak Percaya 0 0.00 0 5 8.62 5 Kurang Percaya 23 40.35 46 43 74.14 86 Percaya 34 59.65 102 10 17.24 30 Jumlah 57 100,00 148 58 100,00 121 9. Kepercayaan terhadap dinas lingkungan hidup, kehutanan dan pertambangan kabupaten Wonogiri Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Percaya 57 100,00 171 58 100,00 174 Jumlah 57 100,00 171 58 100,00 174 10 Kepercayaan terhadap BPDAS Solo Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Percaya 57 100,00 171 58 100,00 174 Jumlah 57 100,00 171 58 100,00 174 11 Kepercayaan dalam hal pinjam-meminjam barang/uang Tidak Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Percaya 0 0,00 0 0 0,00 0 Percaya 57 100,00 171 58 100,00 174 Jumlah 57 100,00 171 58 100,00 174

Jumlah skor sertifikasi dan non sertifikasi = 1.781 dan 1.769 rata-rata skor = 31,25 dan 30,50

Selang nilai kepercayaan dengan Xmax=32, Xmin=11 dan N=4 adalah 5,25 sehingga tingkat kepercayaan masyarakat dapat dibagi menjadi:

a. tingkat kepercayaan minimum jika skor ≤ 16 b. tingkat kepercayaan rendah jika skor 16 s/d 21 c. tingkat kepercayaan sedang jika skor 22 s/d 27 d. tingkat kepercayaan tinggi jika skor > 27

Tabel 28 menunjukkan bahwa rata-rata petani hutan rakyat yang telah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi memiliki tingkat kepercayaan dalam kategori tinggi (skor 31,25 dan 30,50). Seluruh responden menilai orang-orang di sekitarnya dapat dipercaya, ini berarti masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap anggota komunitas. Hal ini dikarenakan petani yang tinggal di lokasi penelitian merupakan penduduk asli. Bahkan petani responden akan mempercayai pendatang yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda, dengan catatan mereka harus menghormati adat-istiadat yang berlaku di

(31)

masyarakat dan menjaga kesopanan dalam bergaul. Sehingga tingkat kepercayaan dalam pergaulan masih menunjukkan tingkat yang positif.

Kepercayaan petani responden terhadap pemerintah tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh ketaatan mereka terhadap pemerintahan yang akan menjalankan kegiatan-kegiatan atau program pemerintah.

Selain percaya terhadap pemerintah, petani juga mempercayai tokoh masyarakat atau pemuka agama. Tokoh masyarakat di lokasi penelitian yang sangat dipercaya adalah Kepala Dusun (Kadus), dimana kadus ini memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari di komunitas masyarakat. Selain itu Kadus juga merupakan penyambung lidah bagi pelaksanaan program-program pemerintah di masyarakat.

Dalam hal pinjam meminjam, sebagian besar petani responden meminjam uang kepada keluarga dekat atau tetangga. Masyarakat masih sangat percaya kepada lingkungan sekitarnya untuk melakukan pinjam-meminjam barang dan uang (100%). Artinya masyarakat selama ini tidak pernah mengalami kesulitan untuk melakukan pinjam-meminjam uang atau barang dengan komunitas di lingkungannya. Tingkat saling kepercayaan petani responden tersaji pada Tabel 29.

Tabel 29 Tingkat saling kepercayaan petani responden No Kategori Tingkat Kepercayaan Selang Nilai

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Minimum < 16 0 0,00 0 0,00 2. Rendah 16 – 21 0 0,00 0 0,00 3. Sedang 21 – 26 0 0,00 1 1,72 4. Tinggi >27 57 100,00 57 98,28 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Tabel 29 menunjukkan bahwa tingkat saling kepercayaan petani responden pada umumnya berada pada kategori tinggi. Hal ini sesuai dengan teori Fukuyama (2007) yang menyebutkan bahwa kemakmuran akan dicapai pada masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki kepercayaan yang rendah.

(32)

5.4.2 Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan hubungan yang tersusun dalam suatu interaksi yang melibatkan orang, kelompok, masyarakat, informasi dan beragam pelayanan sosial di dalamnya (Sidu 2006). Tingkat jaringan sosial petani responden tersaji pada Tabel 30.

Tabel 30 Tingkat jaringan sosial petani di lokasi penelitian No

Sub unsur jaringan

sosial

Kategori

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Skor Jumlah (orang) Persentase (%) Skor 1 Kepadatan organisasi (jumlah anggota Keluarga yang terlibat) Minimum 0 0,00 0 0 0,00 0 Rendah 2 3,51 4 1 1,72 2 Sedang 26 45,61 78 29 50,00 87 Tinggi 29 50,88 116 28 48,28 112 Jumlah 57 100,00 198 58 100,00 201 2 Keragaman keanggotaan organisasi Minimum 0 0,00 0 0 0,00 0 Rendah 0 0,00 0 1 1,72 2 Sedang 27 47,37 81 28 48,28 84 Tinggi 30 52,63 120 29 50,00 116 Jumlah 57 100,00 201 58 100,00 202 3 Partisipasi dalam kelompok Tidak pernah 0 0,00 0 0 0,00 0 Jarang 0 0,00 0 4 6,90 8 Sering 57 100,00 171 54 93,10 162 Jumlah 57 100,00 171 170 4 Kerelaan dalam membangun jaringan Tidak Rela 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Rela 1 1,75 2 0 0,00 0 Rela 56 98,25 168 58 100,00 174 Jumlah 57 100,00 170 58 100,00 174 5 Kerjasama kelompok dengan kelompok lain di luar komunitas Tidak pernah 0 0,00 0 0 0,00 0 Jarang 2 3,51 4 1 1,72 2 Sering 55 96,49 165 57 98,28 171 Jumlah 57 100,00 169 58 100,00 173 6 Kerjasama kelompok dengan kelompok lain di luar komunitas Tidak pernah 4 7,02 4 9 15,52 9 Jarang 35 61,40 70 27 46,55 54 Sering 18 31,58 54 22 37,93 66 Jumlah 57 100,00 128 58 100,00 129 7 Kebersamaan (inisiatif anggota menjadi ketua sementara Rendah 0 0,00 0 0 0,00 0 Sedang 34 59,65 68 32 55.,17 64 Tinggi 23 40,35 69 26 44,83 78 Jumlah 57 100,00 137 58 100,00 142

(33)

Selang nilai untuk tingkat jaringan sosial dengan Xmax=23 dan Xmin=7 dengan N=4 adalah 4, sehingga tingkat jaringan sosial dapat dibagi menjadi

a. Minimum bila skor jaringan sosial < 10 b. Rendah bila skor jaringan sosial 11 s/d 14 c. Sedang bila skor jaringan sosial 15 s/d 18 d. Tinggi bila skor jaringan sosial > 18

Tabel 30 menunjukkan bahwa skor rata-rata jaringan sosial petani responden adalah 20,60 (di lokasi hutan rakyat tersertifikasi) dan 20,53 (di lokasi hutan rakyat non-tersertifikasi) yang termasuk dalam kategori tinggi. Tingkat jaringan sosial petani responden tersaji pada Tabel 31.

Tabel 31 Tingkat jaringan sosial petani responden No Kategori Tingkat Kepercayaan Selang Nilai

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Minimum < 10 0 0,00 0 0,00 2. Rendah 10 – 13 0 0,00 0 0,00 3. Sedang 14 – 18 12 21,05 9 15,52 4. Tinggi >18 45 78,95 49 84.48 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Tabel 31 menunjukkan bahwa jaringan sosial petani responden memiliki tingkat jaringan sosial yang tinggi (78,95% dan 84,48%). Menurut Hasbullah (2006) bahwa salah satu kunci keberhasilan membangun modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial.

Kemampuan anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis, akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat atau tidaknya modal sosial yang terbentuk (Hasbullah 2006). Kemampuan tersebut adalah kemampuan untuk berpartisipasi guna membangun sejumlah asosiasi serta membangun jaringannya melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility).

(34)

Organisasi yang ada di lokasi penelitian

Organisasi yang berada di lokasi penelitian baik hutan rakyat yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi ada yang dibangun sendiri oleh masyarakat ada pula organisasi yang dibangun oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Organisasi yang terdapat di lokasi penelitian antara lain:

a. Kelompok Tani

Kelompok tani yang berada di lokasi penelitian, terbentuk seiring dengan adanya kegiatan pemerintah dalam program penghijauan atau penanaman hutan di lokasi milik petani, setelah program berakhir, maka kegiatan berakhir pula kegiatan kelompok tani khususnya di lokasi yang belum tersertifikasi. Sedangkan pada lokasi yang tersertifikasi, organisasi kelompok tani sampai saat ini masih berjalan. Kelompok tani pengelola hutan tersertifikasi terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu kelompok tani tingkat Kecamatan yang bernama Perkumpulan Pelestari Rakyat (PPHR) Catur Giri Manunggal yang terdiri dari Desa Sajati, Desa Tirtosuworo, Desa Guotirto dan Kelurahan Girikikis. Untuk tingkat desa kelompok tani bernama Gabungan Pelestari Hutan Rakyat yang terdiri dari kumpulan-kumpulan dusun yang ada di desa, sedangkan tingkat terendah adalah Kesatuan Pelestari Hutan Rakyat (KPHR), yaitu kelompok tani yang berada di tingkat dusun.

Kelompok tani yang ada di lokasi tersertifikasi ini terbentuk pada tahun 2007 yang didampingi sebuah LSM yang bernama Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI). Selaku pendamping masyarakat PERSEPSI mengajukan ke PT. Mutu Agung Lestari (MAL) sebagai lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) untuk melakukan penilaian dan memberikan sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML).

Seiring berjalannya waktu kelompok tani baik yang berada di tingkat kecamatan, desa dan dusun tidak begitu maksimal dalam pelaksanaannya. Hal ini

(35)

dikarenakan sebagian besar kelompok tani yang terbentuk merupakan kelompok tani yang bersifat keproyekan. Oleh karena itu organisasi yang bergerak dalam bidang pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat belum berjalan dengan baik.

b. Kelompok Arisan

Kelompok arisan ini terbangun karena kesadaran petani di lokasi penelitian secara sukarela atas inisiatif dari tokoh-tokoh masyarakat. Mayoritas anggota arisan adalah kepala rumah tangga. Kelompok arisan ini melakukan pertemuan sebulan sekali yang diikuti oleh seluruh warga. Hal ini dilakukan selain untuk pengundian siapa yang mendapatkan arisan, pertemuan ini juga digunakan untuk membahas kegiatan-kegiatan atau program-program yang akan dilaksanakan di dusun tersebut. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya yang menyangkut kegiatan untuk kepentingan bersama/umum.

c. Koperasi

Koperasi berada di tingkat RT yang terbentuk seiring dengan program pemerintah Kabupaten Wonogiri melalui APBD. Bantuan itu berupa uang yang digunakan untuk kegiatan simpan pinjam bagi masyarakat setempat. Pertemuan untuk koperasi ini dilaksanakan sepekan sekali. Pertemuan koperasi tidak banyak membahas kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung dengan perkembangan dusun, karena koperasi ini hanya bergerak di lingkup RT saja.

d. Kelompok PKK

Hampir di seluruh dusun-dusun di lokasi penelitian terdapat kegiatan ibu-ibu dibawah naungan organisasi PKK. Kegiatan yang dilakukan PKK antara lain lomba-lomba tingkat desa maupun kecamatan dalam rangka memperingati hari besar, kegiatan bersih-bersih khusus ibu-ibu, arisan dan pembagian raskin, posyandu yang salah satu kegiatan yang rutin berupa penimbangan untuk balita dan lansia, dan pengarahan-pengarahan tentang kesehatan yang bekerjasama dengan instansi kesehatan terkait (puskesmas). Kegiatan penimbangan dan

(36)

pengarahan pengarahan dilakukan setiap sebulan sekali, bertempat di rumah kepala dusun.

5.4.3 Norma Sosial

Norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu (Hasbullah 2006). Norma sosial ini dapat berupa aturan tertulis (formal) maupun aturan-aturan yang tidak tertulis. Norma formal bersumber dari lembaga masyarakat yang resmi dan umumnya tertulis, sedangkan norma informal biasanya tidak tertulis, umumnya berisi aturan-aturan dalam masyarakat (pantangan, aturan keluarga dan adat-istiadat setempat). Tingkat norma sosial petani responden tersaji pada Tabel 32.

Tabel 32 Kategori tingkat norma sosial petani responden No Sub unsur

norma sosial Kategori

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Skor Jumlah (orang) Persentase (%) Skor 1 Ketaatan terhadap aturan tidak tertulis (norma/adat istiadat) Tidak Taat 0 0,00 0 0 0.00 0 Kurang Taat 0 0,00 0 2 3.45 4 Taat 57 100,00 171 56 96.55 168 Jumlah 57 100,00 171 58 100,00 172 2 Ketaatan terhadap aturan pemerintah Tidak Taat 0 0.00 0 0 0,00 0 Kurang Taat 2 3.51 4 0 0,00 0 Taat 55 96.49 165 58 100,00 174 Jumlah 57 100,00 169 58 100,00 174 3 Kejujuran dalam pergaulan sehari-hari Tidak Jujur 0 0,00 0 0 0.00 0 Kurang Jujur 0 0,00 0 1 1.72 2 Jujur 57 100,00 171 57 98.28 171 Jumlah 57 100,00 171 58 173 4 Kesopanan dalam pergaulan sehari-hari Tidak Sopan 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Sopan 0 0,00 0 0 0,00 0 Sopan 57 100,00 171 58 100,00 174 Jumlah 57 100,00 169 58 100,00 174 5 Kerukunan dalam pergaulan sehari-hari Tidak Rukun 0 0,00 0 0 0,00 0 Kurang Rukun 0 0,00 0 0 0,00 0 Rukun 57 100,00 171 58 100,00 174 Jumlah 57 100,00 171 58 100,00 174

Jumlah skor sertifikasi dan non sertifikasi = 853 dan 867 rata-rata skor = 14,96 dan 14,95

Selang nilai untuk tingkat norma sosial dengan Xmax=15 dan Xmin=5 dengan N=4 adalah 3, sehingga tingkat jaringan sosial dapat dibagi menjadi a. Minimum bila skor jaringan sosial < 8

(37)

b. Rendah bila skor jaringan sosial 8 s/d 11 c. Sedang bila skor jaringan sosial 12 s/d 14 d. Tinggi bila skor jaringan sosial > 14

Dari Tabel 32 diatas diketahui bahwa skor rata-rata norma sosial petani di lokasi penelitian baik yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi adalah 14,96 dan 14,95 yang masuk dalam kategori tinggi. Tingkat norma sosial petani responden tersaji pada Tabel 33.

Tabel 33 Tingkat norma sosial petani responden No Kategori Tingkat Norma Sosial Selang Nilai

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Minimum < 8 0 0,00 0 0,00 2. Rendah 8 – 11 0 0,00 0 0,00 3. Sedang 12 – 14 2 3,45 0 0,00 4. Tinggi >14 55 94,83 58 100,00 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Tabel 33 menunjukkan bahwa petani yang ada di lokasi penelitian baik yang telah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi termasuk dalam kategori tinggi (94,83% dan 100,00). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat menjunjung tinggi norma yang berlaku baik norma sosial yang tertulis maupun norma sosial yang tidak tertulis. Menurut Hasbullah (2006) tingginya norma sosial menjadi modal utama dalam suatu komunitas, karena norma yang tumbuh dan dipertahankan secara kuat akan memperkuat petani dalam ikatan modal sosial yang kuat.

5.4.4 Tindakan Proaktif

Salah satu unsur modal sosial yang penting adalah tindakan proaktif yang terwujud dalam keinginan untuk tidak saja berpartisipasi tetapi selalu mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan sosial masyarakat (Hasbullah 2006). Tingkat tindakan proaktif petani responden tersaji pada Tabel 34.

(38)

Tabel 34 Kategorisasi tingkat tindakan yang proaktif petani responden No Sub unsur tindakan yang proaktif Kategori

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Skor Jumlah (orang) Persentase (%) Skor 1 Keinginan berbagi informasi Tidak Pernah 2 3,51 2 0 0,00 0 Jarang 29 50,88 58 26 44,83 52 Sering 26 45,61 78 32 55,17 96 Jumlah 57 100,00 138 58 100,00 148 2 Keinginan berbagi pengetahuan dan pengalaman Tidak Pernah 3 5,26 3 6 10,34 6 Jarang 42 73,68 84 36 62.07 72 Sering 12 21,05 36 16 27,59 48 Jumlah 57 100,00 123 58 100,00 126 3 Keinginan memungut sampah di tempat umum Tidak Pernah 0 0,00 0 0 0,00 0 Jarang 6 10,53 12 2 3,45 4 Sering 51 89,47 153 56 96,55 168 Jumlah 57 100,00 165 58 100,00 172 4 Keinginan membersihka n lingkungan tempat tinggal Tidak Pernah 0 0,00 0 0 0,00 0 Jarang 0 0,00 0 0 0,00 0 Sering 57 100,00 171 58 100,00 174 Jumlah 57 100,00 171 58 100,00 174 5 Keinginan menjaga keamanan bersama Tidak Pernah 0 0,00 0 0 0,00 0 Jarang 7 12,28 14 7 12,07 14 Sering 50 87,72 150 51 87,93 153 Jumlah 57 100,00 164 58 100,00 167 6 Partisipasi warga mendukung pembangunan untuk kepentingan bersama Tidak Pernah 0 0,00 0 0 0,00 0 Jarang 6 10,53 12 3 5,17 6 Sering 51 89,47 153 55 94,83 165 Jumlah 57 100,00 165 58 100,00 171 7 Keinginan saling mengunjungi dalam rangka berbagi informasi Tidak Pernah 1 1,75 1 5 8,62 5 Jarang 35 61,40 70 27 46,55 54 Sering 21 36,84 63 26 44,83 78 Jumlah 57 100,00 134 58 100,00 137 8 Keaktifan dalam menyelesaika n konflik Tidak Pernah 29 50,88 29 17 29,31 17 Jarang 19 33,33 38 30 51,72 60 Sering 9 15,79 27 11 18,97 33 Jumlah 57 100,00 94 58 100,00 110

Jumlah skor sertifikasi dan non sertifikasi = 1.154 dan 1. 205 rata-rata skor = 20,25 dan 20,78

Selang nilai untuk tingkat tindakan yang proaktif dengan Xmax=24 dan Xmin=8 dengan N=4 adalah 4, sehingga tingkat jaringan sosial dapat dibagi menjadi:

(39)

a. Minimum bila skor jaringan sosial < 12 b. Rendah bila skor jaringan sosial 12 s/d 15 c. Sedang bila skor jaringan sosial 16 s/d 19 d. Tinggi bila skor jaringan sosial > 19

Dari Tabel 34 diketahui bahwa skor rata-rata tindakan yang proaktif petani di lokasi penelitian baik yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi adalah 20,25 dan 20,78 yang termasuk dalam kategori tinggi. Tingkat tindakan proaktif petani responden tersaji pada Tabel 35.

Tabel 35 Tingkat tindakan proaktif petani responden No Kategori Tindakan yang proaktif Selang Nilai

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Minimum < 12 0 0,00 0 0,00 2. Rendah 12 – 15 2 3,51 4 6,90 3. Sedang 16 – 19 32 56,14 24 41,38 4. Tinggi >19 23 40,35 30 51,72 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Berdasarkan Tabel 35 terlihat bahwa petani responden memiliki tindakan proaktif dalam kategori sedang (56,14%) sedangkan kategori tindakan proaktif petani responden di lokasi yang belum tersertifikasi termasuk dalam kategori tinggi (51,72%). Hal ini menunjukkan bahwa dalam modal sosial juga dipengaruhi oleh tindakan proaktif dari petani dalam transfer pengetahuan dan informasi yang dapat mendukung kegiatan pengelolaan maupun perdagangan kayu rakyat.

5.4.5 Kepedulian

Kepedulian merupakan semangat membantu yang lain tanpa mengharapkan imbalan seketika, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan jangka panjang dalam semangat untuk membantu kepentingan orang lain (alturism). Menurut Hasbullah (2006), kelompok masyarakat yang mempunyai tingkat kepedulian yang tinggi akan mempunyai modal sosial yang kuat dan lebih memungkinkan untuk mengatasi berbagai masalah sosial seperti kemiskinan. Tingkat kepedulian petani responden tersaji pada Tabel 36.

(40)

Tabel 36 Kategorisasi tingkat kepedulian petani responden

No Sub unsur

kepedulian Kategori

Sertifikasi Non Sertifikasi

Jumlah (orang) Persentase (%) Skor Jumlah (orang) Persentase (%) Skor 1 Kepedulian terhadap sesama Minimum 0 0,00 0 0 0,00 0 Rendah 0 0,00 0 0 0,00 0 Sedang 0 0,00 0 0 0,00 0 Tinggi 57 100,00 228 58 100,00 232 Jumlah 57 100,00 128 58 100,00 232 2 Keinginan berbagi pengetahuan dan pengalaman Minimum 0 0,00 0 0 0,00 0 Rendah 0 0,00 0 0 0,00 0 Sedang 2 3,51 6 7 12,07 21 Tinggi 55 96,49 220 51 87,93 204 Jumlah 57 100,00 226 58 100,00 225

Jumlah skor sertifikasi dan non sertifikasi = 454 dan 457 rata-rata skor = 7,96 dan 7,88

Selang nilai untuk tingkat kepedulian dengan Xmax=8 dan Xmin=2 dengan N= 4 adalah 1,5, sehingga tingkat kepedulian dapat dibagi menjadi:

a. Minimum bila skor jaringan sosial < 4 b. Rendah bila skor jaringan sosial 4 s/d 5 c. Sedang bila skor jaringan sosial 6 s/d 7 d. Tinggi bila skor jaringan sosial > 7

Dari Tabel 36 diketahui bahwa skor rata-rata kepedulian petani di lokasi penelitian baik yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi adalah 7,96 dan 7,88 yang masuk dalam kategori tinggi. Tingkat kepedulian petani responden tersaji pada Tabel 37.

Tabel 37 Tingkat kepedulian petani responden

No Kategori

Kepedulian Selang Nilai

Sertifikasi Non Sertifikasi

Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Minimum < 4 0 0,00 0 0,00 2. Rendah 4 – 5 0 0,00 0 0,00 3. Sedang 6 – 7 2 3,51 7 12,07 4. Tinggi >7 55 96,49 51 87,93 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Tabel 37 menunjukkan kepedulian petani yang ada di lokasi penelitian yang telah tersertifikasi maupun lokasi yang belum tersertifikasi masuk dalam kategori tinggi (96,49% dan 87,93%). Hal ini menunjukkan kepedulian petani

(41)

terhadap sesama sangat bagus, mereka mau berbagi dengan orang disekitarnya dan mereka mau menolong tetangga yang ada disekitarnya. Dari tingkat kepedulian yang tinggi ini diharapkan dapat mampu mengatasi masalah sosial yang terjadi di lingkunganya.

Tingkat kepedulian petani dengan lingkungan juga termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini mereka tunjukkan dalam pengelolaan hutan rakyat yang ada di lingkungannya, berbagi bibit dengan petani lain yang membutuhkan, selalu mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat gotong royong dalam memperbaiki lingkungan sekitar, bahkan mereka sering mengikuti pertemuan-pertemuan yang membahas kemajuan dan perkembangan lingkungan yang ada di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan Hasbullah (2006) yang menyatakan bahwa masyarakat/petani yang memiliki sifat terbuka akan memberikan nilai yang positif yang lebih luas ke lingkungan di sekitarnya.

5.5 Tingkat Modal Sosial Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat dan Perdagangan Kayu Rakyat

Berdasarkan unsur-unsur pembentuk modal sosial petani di lokasi penelitian baik yang telah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi maka didapatkan skor modal sosial. Tingkatan modal sosial petani responden tersaji pada Tabel 38.

Tabel 38 Tingkatan modal sosial petani responden

No Unsur

Modal Sosial

Sertifikasi Non Sertifikasi

Nilai Maximum -

Minimum Skor Rata-rata Skor Rata-rata

1. Kepercayaan 1.781 31 1.769 31 32 – 11 2. Jaringan Sosial 1.174 21 1.191 21 23 – 7 3. Norma Sosial 853 15 867 15 15 – 5 4. Tindakan yang Proaktif 1.154 20 1.205 21 24 – 8 5. Kepedulian 454 8 457 8 8 – 2 Jumlah 5.416 95 5.489 96 102 - 33

Berdasarkan persamaan selang nilai, yaitu: Selang Nilai = Xmax – Xmin = 102 – 33 N 4

(42)

Skala penilaian yang diperoleh untuk tingkatan modal sosial pada petani di lokasi penelitian baik yang tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi adalah sebagai berikut:

a. Modal sosial petani minimum apabila jumlah skor ≤ 5 0, dalam konteks pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat maka sangat sulit untuk dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.

b. Modal sosial petani rendah apabila jumlah skor antara 51 – 67, dalam konteks pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat maka sulit untuk dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.

c. Modal sosial petani sedang apabila jumlah skor antara 68 – 84, dalam konteks pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat maka mudah untuk dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.

d. Modal sosial petani tinggi apabila jumlah skor ≥ 84, dalam konteks pengelolaan hutan rakyat dan perdagangan kayu rakyat maka sangat mudah untuk dikembangkan jika dilihat dari modal sosial yang dimiliki.

Tabel 38 menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat di lokasi penelitian baik yang telah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi berada pada tingkat yang tinggi (skor 95 dan 96). Tingkat modal sosial petani responden tersaji pada Tabel 39

Tabel 39 Sebaran tingkat modal sosial petani responden No Kategori

Modal Sosial Selang Nilai

Sertifikasi Non Sertifikasi Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Minimum ≤ 50 0 0,00 0 0,00 2. Rendah 51 – 67 0 0,00 0 0,00 3. Sedang 68 – 84 0 0,00 1 1,72 4. Tinggi ≥ 84 57 100,00 57 98,28 Jumlah 57 100,00 58 100,00

Modal sosial petani responden termasuk dalam kategori tinggi, untuk petani yang berada di lokasi tersertifikasi sebesar 100,00%, sedangkan utuk petani yang berada di lokasi yang belum tersertifikasi untuk kategori sedang sebesar 98,28%. Dari pola-pola interelasi sosial yang terjadi dalam petani di lokasi penelitian baik yang telah tersertifikasi maupun yang belum tersertifikasi

Gambar

Gambar 13  Proses pemanenan yang dilakukan oleh petani untuk kebutuhan  pribadi
Tabel 13. Komponen biaya untuk pengelolaan ………………….. (lanjutan)
Tabel 14 Komponen pendapatan petani dari pengelolaan hutan rakyat.
Tabel 15 Analisis kelayakan finansial
+7

Referensi

Dokumen terkait

Warna : Berwarna, transparan Deskripsi : Alat Ini digunakan untuk menunjukkan volume dengan meng- gunakan media pasir / barang cair Limas Segi Empat Transparan Ukuran : 80 x 80

Taktik operasi gerilya 1-7 24 - Hakekat Ancaman Perang Gerilya, Taktik Dasar Perang gerilya dan Asas Operasi Gerilya T 6. Direktur Pendidikan

Faktor-faktor yang termasuk dalam kuadran ini adalah kelengkapan dan kesiapan peralatan medis (atribut 2), kesesuaian pelayanan dengan janji yang diharapkan (atribut 3),

Bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian yang lebih maksimal dengan menggunakan media yang lebih baik seperti memutar video dan alat peraga ataupun dikombinasikan

Anak terlantar adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan: kemiskinan, salah seorang dari orang tua/wali sakit,

3 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kemurnian sapi Bali di Kabupaten Barru berdasarkan identifikasi fenotipe (bentuk tanduk, warna bulu,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa variable Leverage secara parsial berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap Nilai Perusahaan,

Berdasarkan hasil survey pra pendahuluan diperoleh faktor-faktor risiko dan secara garis besar dibagi menjadi 5 bagian yaitu: Perizinan/Administrasi; Studi kelayakan/AMDAL;