• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi Panataran merupakan situs percandian terbesar di Jawa Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Candi Panataran merupakan situs percandian terbesar di Jawa Timur."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Candi Panataran merupakan situs percandian terbesar di Jawa Timur. Komplekss percandian Panataran memiliki luas kurang lebih 12.946 m2. Posisi candi ini membujur dari barat daya ke timur laut dengan gerbang yang berada di sebelah barat. Secara keruangan candi ini memiliki tiga halaman yang mana halaman I-nya terletak di bagian paling barat, halaman II berada di tengah dan halaman III terletak dibagian paling belakang, tiap halaman tersebut disekat oleh pagar dan dihubungkan dengan pintu gerbang/gapura. Keletakan bangunan tersebut semakin ke belakang semakin tinggi dan semakin suci (Kumoro, 2007). Konsep keruangan yang dimiliki oleh Candi Panataran ini menjadi latar belakang keruangan Pura di Bali pada masa sekarang ini. Kesamaan antara Candi Panataran dengan pura yang terdapat di Bali yakni adanya konsep Tri-Mandala yang terdiri dari Utama Mandala (jeroan), Madya Mandala (jaba tengah) dan Nista Mandala (jaba sisi) (Rata. dkk, 1987: 28).

Keberadaan Candi Panataran saat ini merupakan salah satu potensi yang cukup besar dalam perkembangan pariwisata di Kabupaten Blitar. Candi tersebut termasuk dalam koridor Pembangunan Wisata IV yang memiliki potensi pariwisata cukup kuat, antara lain: (1) Keberadaan Candi Panataran sebagai objek warisan budaya yang dibangun dari masa Kerajaan Kadiri hingga masa Kerajaan Majapahit; (2) Candi terbesar di Jawa Timur dengan konsep bangunan Tri-Mandala; (3) Terletak ±10 km sebelah utara Kota Blitar dan berada dalam

satu jalur dengan Objek Wisata Makam Proklamator Ir. Soekarno, yaitu sekitar 8 km, sehingga berpotensi menjaring wisatawan yang berkunjung ke Makam Bung

(2)

Karno; (4) Pencapaian yang mudah, karena kondisi jalan yang sudah diaspal; (5) Beriklim relatif sejuk yang berkisar antara 23ºC-32ºC karena terletak di kaki Gunung Kelud; dan (5) Menawarkan kondisi alam dengan pemandangan daerah pedesaan karena wilayahnya didominasi oleh lahan pertanian.

Melihat potensi yang ditawarkan tersebut dalam jangka panjang akan menarik pengunjung yang cukup banyak. Data yang diperoleh dalam jangka tiga tahun terakhir (2009, 2010, dan 2011) menunjukan bahwa puncak kunjungan terjadi pada bulan Juni dengan jumlah kunjungan melebihi 20.000 pengunjung dalam bulan tersebut. Selain itu Candi Panataran juga menempati posisi teratas dalam jumlah pengunjung terbanyak dalam kategori “Jumlah Pengunjung Peninggalan Klasik Hindu-Budha” pada tahun 2011 dengan wisatawan sebanyak 159.047 orang dan masuk dalam sepuluh besar (peringkat 6) pengunjung terbanyak wisata budaya di Provinsi Jawa Timur. Posisi tersebut hanya kalah banyak dari pengunjung kategori pengunjung peninggalan masa Islam yang menempati posisi satu hingga lima. Hal tersebut dapat dipahami karena mayoritas penduduk di Jawa Timur memeluk agama Islam dimana ziarah merupakan salah satu kegiatan keagamaan yang kerap dilakukan (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur, 2012: 12-14).

Pemanfaatan cagar budaya sebagai objek dan daya tarik wisata juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan cagar budaya itu sendiri agar mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena memiliki nilai ekonomis. Pariwisata sebagai sektor ekonomi, memiliki potensi sebagai sumber devisa negara, menciptakan lapangan kerja, memperluas kesempatan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat di daerah tujuan wisata. Pariwisata budaya yang merupakan bagian strategi pembangunan berkelanjutan adalah

(3)

strategi pelestarian sumberdaya budaya. Pelestarian melalui pemanfaatan pariwisata merupakan strategi pembangunan yang mendatangkan keuntungan, karena selain upaya melestarikan, di satu sisi mendatangkan devisa akibat dari pemanfaatan candi tersebut yang dijadikan sebagai objek wisata.

Dalam hal ini cagar budaya yang dijadikan objek wisata akan didorong untuk menarik pengunjung sebanyak-banyaknya demi peningkatan perekonomian. Meskipun jumlah pengunjung yang cukup banyak tergolong menggembirakan di sektor pariwisata, namun hal tersebut pastinya juga akan memiliki dampak buruk terkait pelestarian situs itu sendiri. Menurut Subroto (1997: 10) dalam tulisan Najib (2010: 209-210) kerusakan situs disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:

1. Faktor Mekanis: Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas alam misalnya banjir, gempa bumi, dan gunung meletus;

2. Faktor Kimia: Kerusakan akibat proses kimia misalnya oksidasi; dan

3. Faktor Biologi: kerusakan akibat perlakuan makhluk hidup misalnya tumbuhan, hewan maupun manusia.

Taufik (2005: 110-138) menyebutkan beberapa jenis kerusakan yang disebabkan oleh manusia akibat adanya kegiatan pariwisata, diantaranya:

1. Vandalisme: vandalisme merupakan kegiatan merusak. Kegiatan merusak pada cagar budaya berupa memanjat dinding candi, pencungkilan relief, corat-coret dan peledakan;

2. Sampah: sampah merupakan barang sisa dari hasil perbuatan manusia. Sampah tersebut bisa berupa kertas pembungkus, sisa makanan dan minuman, puntung rokok, dll;

(4)

3. Keausan: keausan disebabkan oleh adanya gesekan antara batu penyusun candi dengan alas kaki manusia;

4. Kerontokan: kerontokan terjadi bisa disebabkan dua hal yaitu karena pengunjung yang berupa pijakan kaki kaki pengunjung serta dari kegiatan konservasi yang berupa penyikatan; dan

5. Keretakan: keretakan disebabkan oleh beban yang harus ditanggung sebuah bangunan. Beban tersebut dibagi menjadi dua hal yaitu beban dinamis dan beban statis. Beban statis merupakan beban yang dimiliki bangunan itu sendiri sedangkan beban dinamis merupakan beban bergerak yang berasal dari pengunjung.

Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa di antara situs-situs arkeologi yang termasuk dalam World Heritage Sites menurut ICOMOS (International Council of Monuments and Sites) mengalami kerusakan atau terganggu dengan

adanya aktivitas wisatawan (Najib, 2010: 210). Pendapat tersebut juga pernah diungkapkan M. Taufik (2005) bahwa meningkatnya jumlah pengunjung ke Candi Borobudur akan memberikan dampak kurang baik bagi upaya pelestarian warisan budaya, keberadaan Taman Wisata Borobudur diharapkan membuat pengunjung akan tersebar ke berbagai penjuru taman. Tersebarnya pengunjung akan mengurangi beban yang ditanggung oleh bangunan candi (Tanudirjo, 1993-1994 dalam Taufik, 2005). Dampak dari banyaknya pengunjung di Candi Borobudur dikhawatirkan akan terjadi pula di Candi Panataran.

Candi merupakan salah satu cagar budaya yang material penyusunnya terbuat baik dari batuan andesit maupun bata akan mudah aus dari waktu ke waktu serta akan mengalami penurunan kondisi maupun kualitasnya. Dengan mengetahui kondisi tersebut maka pemanfaatan candi yang dijadikan objek

(5)

wisata akan dapat mempercepat kerusakan candi sehingga perlu diadakan perhitungan mengenai daya dukung yang ada (Setyastuti, 2005). Daya dukung merupakan hal yang cukup penting mengingat setiap bangunan memiliki daya dukungnya masing-masing. Ketika daya dukung tersebut melebihi kapasitas maka yang terjadi adalah sumberdaya tersebut secara perlahan akan kehilangan fungsi dan harapannya (Witten, 2001: 588).

Fandeli (2005: 161-166) pernah menerapkan salah satu strategi untuk mengetahui ambang batas jumlah kunjungan melalui strategi penghitungan PCC (Physical Carrying Capacity) dengan memberi contoh studi kasus di Wisata Alam Grojogan Sewu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. PCC atau Daya Dukung Fisik merupakan salah satu metode daya dukung yang digunakan untuk menghitung mengenai jumlah wisatawan yang masih dapat ditampung dalam suatu tempat secara fisik (bangunan) dan tetap dapat memberikan kualitas pengalaman terhadap wisatawan. Perlunya penghitungan ini sebenarnya untuk memberikan kepuasan bagi wisatawan yang akan berkunjung di situs tersebut dan yang paling penting mampu memberikan solusi atau upaya konservasi situs-situs arkeologi (Najib, 2010: 217; Fandeli, 2002: 260).

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diketahui bahwa Komplekss Percandian Panataran memiliki beberapa permasalahan yang berkaitan dengan daya dukung fisik. Adapun permasalahannya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Berapa daya dukung fisik Candi Panataran pada Halaman I, Halaman II, dan Halaman III?

(6)

2. Apakah jumlah pengunjung pada Halaman I, Halaman II dan Halaman III di Candi Panataran sudah sesuai dengan daya dukung fisiknya? 3. Bagaimana korelasi antara daya dukung fisik dengan aktifitas

pengunjung?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya. Adapun tujuannya antara lain:

• Untuk mengetahui nilai ambang batas pengunjung yang sesuai dengan daya dukung fisik Candi Panataran;

• Menentukan langkah-langkah yang perlu diterapkan apabila kapasitas pengunjung tersebut tidak sesuai dengan daya dukung situs Candi Panataran;

• Memberikan kontribusi keilmuan terhadap pengembangan wisata Candi Panataran di masa depan yang berguna untuk mengimbangi antara pemanfaatan dan pelestarian; dan

• Memunculkan rekomendasi untuk mengantisipasi jumlah pengunjung yang terus meningkat setiap tahunnya.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan hasil penelusuran penulis sampai saat ini, ada beberapa tulisan yang membahas tentang daya dukung objek wisata terhadap pengunjung. Dalam buku Pearson & Sullivan (1995) berjudul “Looking After Heritage Places” diungkapkan bahwa dalam melakukan penetapan pengelolaan manajemen yang tepat dalam menjaga cagar budaya ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi

(7)

antara lain konservasi, manajamen pengunjung, marketing, penggunaan jasa konsultan, dan perlindungan hukum. Salah satu metode terebut yakni manajemen pengunjung merupakan bagian penting dalam penulisan skripsi ini karena berkaitan dengan CRM (Cultural Resource Management) dan memunculkan rekomendasi yang tepat dalam pengelolaan situs cagar budaya.

Seorang ahli Ekowisata (ecoutourism) Chafid Fandeli dalam tulisannya yang berjudul “Perencanaan Kepariwisataan Alam” menjelaskan tentang pengelolaan atraksi. Menurut Fandeli (2002: 237-239) atraksi wisata memiliki beragam jenis di antaranya atraksi alam, atraksi buatan, heritage, dan living culture. Dalam hal ini pengelolaan atraksi menjadi hal yang penting terkait

dengan konservasi heritage (cagar budaya), yakni dengan menghitung jumlah wisatawan yang dapat ditampung dalam suatu destinasi dalam satuan luas dan waktu tertentu, tetapi masih memberikan kepuasan dan kenyamanan bagi pengunjung. Fandeli juga menambahkan bahwa terlalu banyak pengunjung dalam suatu area pariwisata menyebabkan daerah tujuan wisata tersebut menjadi tidak menarik lagi dan akan mengurangi tingkat kepuasan pengunjung. Dalam kasus kepariwisataan alam banyaknya pengunjung juga menyebabkan berbagai macam kasus yang menyebabkan atraksi alam menjadi tidak menarik lagi diantaranya vandalisme, pencemaraan udara, kebisingan selain itu sampah yang menumpuk juga akan menghilangkan estetika. Untuk itu perlu diterapkannya beberapa strategi untuk membatasi jumlah pengunjung. Salah satu strategi yang diterapkan Fandeli ialah melakukan pembatasan jumlah pengunjung dengan cara mendistribusikan pada atraksi-atraksi lain di lingkungan objek wisata (Fandeli, 2002: 44). Hal tersebut dapat dicapai dengan melibatkan atraksi wisata lain atau membuat atraksi wisata di lingkungan objek wisata.

(8)

Tulisan Fandeli (2005) yang lain dengan judul “Pengembangan Ekowisata Berbasis Konservasi Di Taman Nasional” juga memaparkan tentang metode

pembatasan pengunjung dan juga cara mengatur arus pengunjung dengan harapan untuk meminimalisir dampak buruk akibat ekowisata (ecotourism).

Penelitian yang dilakukan di Candi Prambanan oleh Setyastuti (2005) dalam tesis-nya yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Candi-candi Di Kawasan Prambanan (Analisis Berdasarkan Pendekatan Pariwisata

Pengembangan Yang Berkelanjutan)”. Dalam tulisan tersebut beliau memaparkan mengenai langkah-langkah pengembangan pariwisata berkelanjutan dan kaitannya dengan objek peninggalan budaya yang dapat dikategorikan dalam tujuh prinsip dasar. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: prinsip konservasi, prinsip partisipasi masyarakat, prinsip edukasi, prinsip ekonomi, prinsip wisata, prinsip ekologis dan prinsip fisik. Dalam kesimpulannya Setyastuti berpendapat bahwa pengelolaan berdasarkan Keppres No. 1 Tahun 1992 memiliki kelemahan terutama dalam hal pelestarian dan pemanfaatan sebagai objek wisata. Model pengelolaan tersebut telah memunculkan berbagai macam konflik kepentingan diantaranya pemanfaatan yang tidak memberikan kontribusi bagi pelestarian objek, konflik dalam pengembangan atraksi, pengelolaan pengunjung (visitor management) yang tidak dikoordinasikan dengan baik.

Muhammad Taufik (2005) dalam tesis-nya yang berjudul “Minimalisasi Dampak Negatif Pemanfaatan Candi Borobudur Sebagai Objek Wisata”

menjelaskan mengenai adanya kerusakan-kerusakan di Candi Borobudur akibat perilaku pengunjung sekaligus memberikan rekomendasi mengenai penanggulangan dampak negatif-nya. Dampak negatif terhadap Candi

(9)

Borobudur dalam kasus ini antara lain berupa vandalisme, sampah, keausan, kerontokan, keretakan, rembesan air. Pemanfaatan Candi Borobudur yang dijadikan objek wisata tidak selamanya membawa dampak buruk, Taufik (2005) juga menjelaskan beberapa manfaat situs yang dijadikan objek wisata antara lain situs Candi Borobudur saat ini lebih diperhatikan. Selain itu pemintakatan (zonasi) juga sudah dilakukan demi melindungi situs dari upaya kerusakan yang

dilakukan baik oleh manusia, binatang maupun alam.

Beberapa penelitian mengenai daya dukung fisik juga pernah ditulis dalam jurnal penelitian. Tulisan Rahma Hayati (2010) yang berjudul “Model Ambang Batas Fisik Dalam Perencanaan Kawasan Area Wisata Berwawasan

Konservasi Di Komplekss Candi Gedongsongo Kabupaten Semarang”

membahas tentang daya dukung fisik dan daya dukung ekologi Candi Gedongsongo. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa daya dukung ekologi dan daya dukung fisik belum melebihi ambang batas sehingga perlu dipertahankan atau justru ditingkatkan. Pada Jurnal Konservasi Benda Cagar Budaya Borobudur Vol. IV No. 4 terdapat tulisan berjudul “Physical Carrying Capacity (Daya Dukung Fisik) Candi Borobudur” yang ditulis oleh Wahyuningsih

(2010). Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa pada musim puncak kunjungan jumlah kunjungan di Candi Borobudur bisa mencapai lebih dari 70% dibanding daya dukung fisik Candi Borobudur sendiri.

E. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini hanya difokuskan terhadap Kompleks Percandian Panataran. Proses penghitungan jumlah pengunjung dan pengambilan sampel nantinya dilakukan di dalam Kompleks Percandian Panataran yang meliputi

(10)

Halaman I (Nista Mandala), Halaman II (Madya Mandala) dan Halaman III (Utama Mandala).

F. KEASLIAN PENELITIAN

Candi Panataran ditemukan kembali pada tahun 1815 oleh Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826), Letnan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Inggris yang berkuasa di Hindia Belanda pada waktu itu. Setelah diketemukan kembali oleh Raffles, para peneliti mulai berdatangan untuk melakukan penyelidikan dan pencatatan benda purbakala di kawasan Panataran.Penelitian tentang Candi Panataran sudah dimulai sejak jaman penjajahan Hindia-Belanda. Penelitian pada waktu itu diantaranya dilakukan oleh J.L.A Brandes yang pada tahun 1887 melaporkan bahwa dia telah berhasil mengenal relief-relief Batur Pendopo yang melukiskan sebuah kidung Jawa. Bentuk kata dan ejaan kata-kata pada tulisan-tulisan singkat di atas relief-relief tersebut cocok juga dengan angka yang ada batur itu yaitu 1297 Ç. Dia juga menerangkan arah hadap untuk membaca relief-relief itu searah dengan jarum jam (pradaksina). Setelah itu Brandes juga menguraikan relief serta pahatan binatang pada pelipit atas yang tersusun menjadi cerita binatang (Sulaiman, 1981). Kemudian Brandes dalam notulen XL 1902 juga membahas tentang relief yang terdapat di dinding Candi Induk. Menurutnya relief binatang tersebut merupakan cerita binatang (fabel). Adapun cerita tersebut dihubungkan dengan relief binatang yang ada di dinding Candi Kidal, Tumpang. P.V. van Stein Callenfels pada tahun 1919 mengulas kembali mengenai relief cerita Bubuksah. Dia secara khusus juga membahas tentang alat musik yang dihubungkan dengan relief yang ada di Batur Pendopo yang dalam adegannya ada figur memainkan alat musik. Menurutnya alat-alat

(11)

musik tersebut merupakan alat musik jenis gambang dan saron seprti yang pernah dilihatnya di Bali (Callenfels 1919, Bijlage IX: 191-193 dalam Ngadiono, dkk. 2003: 10).

Satyawati Suleiman pada tahun 1981 membahas khusus tentang bangunan Batur Pendopo yang dimuat dalam seri penerbitan bergambar dengan judul “Batur Pendopo Panataran”. Dalam buku tersebut beliau membahas tentang relief-relief terdapat di dinding Batur Pendopo baik yang belum maupun sudah diketahui jalan ceritanya. Bagian relief yang sudah diketahui jalan ceritanya adalah relief Sang Satyawan dan relief cerita Bubuksah. Sedangkan relief tentang Sri Tanjung, Suleiman menanyakan kembali pendapat dari Galestin yang pada 1948 menyebutkan tentang beberapa relief yang merupakan bagian dari adegan dalam cerita Sri Tanjung.

Bob Hering pada tahun 1985 menerbitkan bukunya yang berjudul “Candi and Pura a Pictorial History”. Dalam buku tersebut dia membahas beberapa

candi dimana diantaranya ialah Candi Panataran. Dia berpendapat bahwa denah halaman yang dimiliki oleh Candi Panataran berbentuk memanjang ke belakang mirip sekali dengan denah pura-pura di Bali.

Bambang Sulistyanto pada tahun 1985 membahas tentang relief Bubuksah dan Gagang-Aking yang terdapat di dinding Batur Pendopo dalam skripsinya yang berjudul “Relief Bubuksah-Gagang Aking Pada Candi-Candi Periode Jawa Timur”. Kesimpulan dari hasil penelitiannya ialah relief tersebut

merupakan simbol persatuan agama Budha dan Siwa. Hal tersebut dikarenakan cerita Bubuksah adalah jenis karya sastra Budha sehingga tanpa adanya pandangan persatuan keagamaan tidak mungkin relief tersebut dipahatkan pada relief Candi Siwa.

(12)

Pada tahun 1987 Hariana Suryaningsih dalam skripsinya yang berjudul “Peranan dan Fungsi Tokoh Punakawan Pada Candi-Candi Periode Jawa

Timur”. Dalam skripsi tersebut Suryaningsih menyinggung tentang relief tokoh

punakawan yang ada di kompleks Candi Panataran. Dalam tulisan tersebut dia menyimpulkan bahwa tokoh punakawan merupakan salah satu unsur kepercayaan asli Indonesia. Hal tersebut dilihatnya melalui penampakan relief tokoh Punakawan dalam Candi Hindu, dimana dalam ajaran agama Hindu tidak dikenal adanya tokoh Punakawan.

Pada tahun 1991 penelitian terhadap Prasasti Palah dilakukan oleh Ismail Luthfi melalui skripsinya yang berjudul “Telaah Prasasti Palah Dalam Hubungannya Dengan Candi Panataran”. Dalam penelitiannya tersebut Lutfi

menyimpulkan bahwa Prasasti Palah dikeluarkan oleh Raja Srengga atau Kertajaya dari Kadiri bukan sebagai piagam pendirian bangunan suci (candi) melainkan piagam penetapan sima. Sima tersebut berujuan untuk menjaga keberlangsungan peribadatan di tempat suci Palah. Selain itu usia Prasasti Palah yang lebih tua 100 tahun dibandingkan dengan Candi Panataran menunjukan adanya pembangunan tempat perbidatan Palah yang baru di lokasi yang sama. Sehingga antara Prasasti Palah dan Candi Panataran memiliki akar kesejarahan yang sama.

Sukawati Susetyo pada tahun 1993 dalam skripsinya yang berjudul “Cerita Sri Tanjung: Studi Perbandingan Antara Relief Dengan Naskah Cerita”,

juga menyinggung tentang tentang relief Sri Tanjung di Batur Pendopo Panataran. Menurutnya relief tersebut dipahatkan dalam delapan panil di sisi depan dinding sebelah selatan mulai dari tangga naik kedua ke selatan sampai sudut barat daya. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa adegan cerita Sri

(13)

Tanjung dimulai saat Sidapaksa kebingungan hendak pergi ke Kahyangan dan

diakhiri saat Sidapaksa menyusul istrinya di Pranggalas.

Pada tahun 1995, skripsi mahasiswa UGM berjudul “Aspek Pendidikan Politik Pada Relief Cerita Ramayana di Candi Panataran dan Kakawin Ramayana” yang ditulis oleh Widya Rahmayani. Dalam skripsi tersebut disimpulkan bahwa episode cerita Ramayana yang terdapat pada panil di Candi Panataran sarat akan aspek pendidikan politik yang berhubungan dengan kerajaan lain, yakni kerajaan Langka ketika terjadi konflik. Menurutnya hal tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian sebenarnya di kerajaan Singasari dan Majapahit. Kertanegara sebagai raja terakhir Singasari pernah melakukan politik mandala seperti dimuat dalam Nagarakrtagama pupuh XLII/2. Setelah itu penerapan ajaran astabrata oleh raja tampak pada pemberian hadiah sima untuk daerah tertentu. Sedangkan penerapan ajaran sadguna tampak pada kisah perjuangan Raden Wijaya dalam usaha merebut kekuasaan dari raja Jayakatwang.

Skripsi lain yang ditulis pada tahun 1995 oleh mahasiswa UGM berjudul “Pola Tangga Candi-Candi Periode Jawa Timur: Studi Kasus Pada Candi Jago dan Candi Induk Panataran Berdasarkan Kajian Arsitektural” yang ditulis oleh Edi

Seno Adji. Skripsi tersebut membahas tentang variasi pola tangga di candi-candi periode Jawa Timur sekaligus menyinggung tentang kesesuaian pola tangga dalam satu sisi di Candi Induk Panataran yang dihubungkan dengan kaidah pendirian bangunan suci di India. Dalam bahasannya Edi Seno Adji mengaitkan hubungan pola tangga dengan prosesi pradaksina dan prasaviya.

Dalam Skripsi jurusan Arkeologi UGM pernah ada beberapa tulisan yang membahas tentang relief di Candi Panataran diantaranya Brediana

(14)

Dwimarta (1996) dengan judul “Latar Belakang Pemilihan Episode Cerita Kresna di Candi Wisnu Candi Panataran dan Candi Jago”. Dalam skripsi ini

Dwimartha mencoba menghubungkan kondisi sosial politik pemerintahan saat itu dengan konsep dewa raja melalui relief cerita Kresna. Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa setiap komponen dalam pembangunan candi-candi di Jawa TImur termasuk penggambaran relief Kresna secara tidak langsung mendudukan raja tersebut dalam posisi yang cukup tinggi di mata rakyatnya. Seperti hal nya di Candi Panataran, Dwimartha juga menjelaskan bahwa pemilihan cerita Kresna di candi tersebut secara religi akan memperkokoh posisi rajasebagai identifikasi Dewa Wisnu.

Dalam skripsi Rr. Isti Retno Kumaraningrum pada tahun 1997 yang berjudul “Nilai-Nilai Kepahlawanan Krsna dan Latar Belakang Penggambarannya Dalam Relief Cerita Krsnayana di Candi Panataran” secara mendalam dibahas

mengenai relief Krsnayana yang berada di Candi Induk Panataran. Kesimpulan di dalam skripsi tersebut dinyatakan bahwa penggambaran tokoh tersebut berkaitan dengan pemimpin yang diidamkan oleh masyarakat Kadiri pada saat itu. Hal tersebut didasari oleh tokoh Krsna yang merupakan perwujudan Dewa Wisnu sehingga merupakan karakter yang ideal sebagai seorang pemimpin. Selain itu Candi Panataran yang secara terus-menerus digunakan hingga masa Majapahit juga menimbulkan asumsi bahwa nilai-nilai tersebut masih tetap relevan hingga masa Majapahit.

Pada tahun 2000 Yuni Dwi Rahmawati membahas tentang relief cerita Ramayana dalam skripsinya yang berjudul “Studi Komparatif Relief Cerita Ramayana Pada Candi Prambanan dan Candi Panataran”. Dalam skripsi

(15)

penggambaran kedua cerita Ramayana yang dikarenakan perbedaan budaya di Jawa Tengah dan Jawa TImur. Perbedaan tersebut terletak pada gaya pahatan ragam hias dan pola penempatan relief. Pada Candi Prambanan gaya relief digambarkan lebih naturalis dibandingkan yang terdapat di Candi Induk Panataran yang digambarkan dalam dua dimensi seperti penggambaran dalam tokoh Wayang. Selain itu pahatan di Candi Prambanan juga lebih dalam atau disebut dengan relief tinggi (haut relief) sedangkan Candi Panataran tampak lebih tipis atau disebut dengan relief rendah (bas relief).

Penelitian sebelumnya lebih fokus terhadap aspek historis, arsitektur, serta budaya sedangkan penelitian kali ini akan membahas tentang daya dukung fisik di Candi Panataran yang dijadikan sebagai objek wisata. Candi Panataran yang merupakan salah satu objek wisata potensial di Kabupaten Blitar dan sekaligus menjadi salah satu candi terbesar di Jawa Timur sangat penting untuk diketahui daya dukung fisik-nya terhadap pengunjung.

G. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis untuk memberikan gambaran tentang fakta-fakta yang terjadi pada saat penelitian berlangsung. Penalaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penalaran induktif, yaitu penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris. Dalam penalaran induktif seperti ini kerangka pikir yang diuraikan berdasarkan pada dugaan yang belum pasti, bahwa terdapat hubungan-hubungan tertentu dalam variabel masalah yang tidak dideduksi dari teori yang baku (Sharer dan Ashmore, 1993: 564).

(16)

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini ialah CRM (Cultural Resource Management), karena di dalam studi arkeologi segala hal yang

berkaitan dengan pelestarian dan pemanfaatan situs akan menjadi kajian dalam CRM (Pearson & Sullivan, 1995: 5). Prasodjo (2000: 157) mengutip tulisan Pearson & Sullivan (1995: 8-9) mengenai gambaran tahapan pengelolaan cagar budaya melalui empat tahap yang dipaparkan sebagai berikut:

1. Identifikasi sumberdaya arkeologis. Tahap ini digunakan untuk mengenali situs dengan dilakukannya deskripisi lokasi, identifikasi, dan dokumentasi batas-batas situs yang mengandung sumberdaya lokasi.

2. Penaksiran terhadap nilai penting situs terhadap masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.

3. Perencanaan dan pembuatan kebijakan, dengan menimbang nilai penting yang dimiliki situs terhadap kepentingan lainnya. Pada tahap ini pengelola situs harus memperhatikan kelestarian situs sebagai dasar dalam menghasilkan kebijakan.

4. Implementasi dari kebijakan yang dihasilkan dan ditetapkan untuk mengelola situs pada masa mendatang.

Dalam hal ini penelitian mengenai daya dukung Candi Panataran merupakan kajian dalam CRM karena berkaitan dengan pemanfaatan. Selain itu penelitian ini juga mendukung kegiatan pada tahap pertama (identifikasi), kedua (penaksiran nilai penting) hingga ketiga (perencanaan dan pembuatan kebijakan) dalam pengelolaan CRM.

Alur penelitian mengenai daya dukung fisik Candi Panataran kali ini diuraikan sebagai berikut:

(17)

1. Tahap Pengumpulan Data

Data dalam sebuah penelitian dibagi menjadi dua macam yaitu data primer dan data sekunder. Pada penelitian kali ini penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data tersebut. Data primer merupakan data yang diperoleh peneliti di lapangan sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber lain yang dapat menjadi rujukan dalam penelitian ini.

Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data langsung ke lapangan (data primer) berupa survei, observasi, wawancara serta melakukan pendokumentasian. Data primer pertama kali didapatkan dari hasil survei dan observasi hal ini dilakukan untuk mendapatkan secara pasti jumlah pengunjung yang datang ke lokasi penelitian. Hasil survei yang didapatkan dari buku pengunjung di Candi Panataran (2010-2012) menunjukan bahwa puncak kunjungan terjadi pada setiap bulan Juni. Dengan pengamatan tersebut penelitian ini dilakukan pada waktu dan pada bulan tersebut karena bertepatan dengan musim puncak kunjungan.

Pada saat penelitian berlangsung yakni pada saat puncak kunjungan peneliti menghitung seluruh pengunjung yang masuk. Selain itu peneliti juga mengambil data lain sebagai syarat penghitungan daya dukung fisik berupa rata-rata durasi kunjungan pada masing-masing halaman Candi Panataran melalui pengambilan sampel. Sampel sendiri merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh suatu populasi (keseluruhan objek) (Sugiyono, 2008: 81).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini ialah Probability Sampling. Probability Sampling adalah teknik

(18)

pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi simple random sampling, stratified random sampling, disproportionate strafified random sampling dan cluster sampling

(sampling menurut daerah). Dalam kasus pencarian sampel seperti yang dilakukan dalam penelitian PCC semacam ini maka seluruh pengunjung dianggap sama dengan kata lain populasi yang dicari bersifat homogen. Dalam pencarian sampel, penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling. Simple random sampling merupakan pengambilan

anggota sampel dari suatu populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada di dalam populasi tersebut. cara demikian dilakukan apabila populasi bersifat homogen (Sugiyono, 2008: 82).

Pengunjung dalam hal ini merupakan unsur dari populasi yang akan dipilih secara acak. Adapun pengambilan sampel yang bersifat homogen pada dasarnya dengan jumlah sampel yang mencapai 1% saja sudah cukup mewakili jumlah populasi yang ada. Meskipun demikian pengunjung yang akan diambil sampling yakni 300 orang yang disaring menjadi 200 orang dengan syarat mereka memasuki Halaman I, Halaman II dan Halaman III. Hal tersebut digunakan untuk mengantisipasi pengunjung yang hanya memasuki area sebagian candi akan membuyarkan hasil perhitungan sampel untuk dimasukkan ke dalam persamaan PCC. Adapun jumlah 200 pengunjung tersebut kurang lebih setara dengan 20% dari total populasi kunjungan pada rata-rata peak season di bulan Juni yang mencapai 1000 pengunjung per hari. Sampel

(19)

Data primer lain berupa wawancara dan pendokumentasian. Wawancara dilakukan untuk mengetahui tentang pengelolaan Candi Panataran sebagai objek wisata maupun kegiatan atau event yang pernah diadakan di lokasi penelitian yang berpengaruh terhadap manajemen pengunjung. Hasil wawancara tersebut diperoleh dari narasumber yang berasal dari pengelola dan pihak-pihak yang terkait dengan penanganan pelestarian Candi Panataran. Perolehan data secara langsung lainnya yakni berupa pendokumentasian yang dilakukan di lokasi penelitian sebagai bukti visual. Hasil dari dokumentasi diharapkan dapat membantu penulis dalam melakukan analisis serta menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan.

Pengumpulan data tidak dilakukan secara langsung di lapangan saja melainkan melalui data-data yang sudah tertulis dan dapat diacu sebagai pijakan dalam penelitian ini yang biasa disebut dengan data sekunder. Pada tahap ini peneliti mengumpulkan informasi yang menyangkut masalah penelitian. Informasi tertulis tersebut menjadi rujukan dalam penelitian ini secara garis besar terkait dengan masalah pelestarian yang mencakup pengelolaan, pariwisata, manajemen pengunjung, serta gambaran umum mengenai Candi Panataran dan pemanfaatannya selama ini.

2. Tahap Analisis Data

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan pada tahap pengumpulan data, kemudian data diolah pada tahap analisis data. Adapun data tersebut akan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif akan dilakukan untuk merepresentasikan hasil dari

(20)

penghitungan daya dukung fisik yang didapat dari pengambilan sampel pengunjung. Sedangkan analisis kualitatif dilakukan setelah memperoleh data dari hasil analisis kuantitatif yang dirujuk dari data survei, observasi, wawancara dan kajian pustaka untuk menghasilkan rekomendasi (Taufik, 2005: 23).

Analisis yang dilakukan melalui data yang didapat dari jumlah pengunjung dan durasi pengunjung dalam zona inti kemudian diolah dengan menggunakan rumus penghitungan PCC (Physical Carrying Capacity) yang diadopsi Fandeli (2002: 260) dari Douglas (1975) sebagai berikut:

Rumus yang diuraikan di atas digunakan untuk mengetahui daya dukung fisik Candi Panataran. Adapun untuk pengukuran luas area pada masing-masing halaman candi dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS Desktop 10.0 untuk membuat kartografi digital yang merupakan

salah satu kajian dalam Sistem Informasi Geografi (GIS). Proses pengukuran ini dimulai dengan input data berupa foto citra satelit Candi Panataran yang diambil dari google earth yang kemudian akan di overlay (tumpang susun) ke dalam peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) yang sudah teregristasi ke dalam ArcGIS Desktop.

PCC = A x V/a x Rf Keterangan:

PCC = Physical Carrying Capacity (Daya Dukung Fisik) A = Luas Area (Wilayah Penelitian)

Nilai V/a = Areal yang dibutuhkan wisatawan dalam menikmati situs Nilai Rf = Rotation Factor (Berdasar puncak kunjungan selama satu

(21)

Setelah melalui rumus penghitungan PCC data akan diolah dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif. Penggambaran Teknik analisis data dalam peneltian kuantitatif semacam ini disebut statistik deskriptif. Teknik analisis seperti ini digunakan untuk menganalisis dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul. Penyajian data dalam analisis semacam ini bisa berupa tabel dan grafik (Sugiyono, 2008: 147-148).

Analisis ini juga dapat dilakukan untuk mencari korelasi, yaitu berupa hasil dari daya dukung fisik yang dikorelasikan dengan aktifitas kegiatan wisata pada masing-masing halaman di Candi Panataran. Pada tahap ini analisis sudah menggunakan analisis kualitatif atas dasar hasil analisis kuantitatif yang berupa daya dukung fisik. Hasil tersebut akan digunakan untuk menjelaskan fenomena kegiatan kunjungan pada masing-masing halaman Candi Panataran.

3. Penutup

Data yang telah diolah dalam proses analisis data akan menghasilkan sebuah kesimpulan mengenai nilai ambang batas daya dukung fisik (Physical Carrying Capacity) Situs Candi Panataran pada Halaman I, Halaman II dan Halaman III serta korelasinya dengan aktifitas pengunjung. Selain itu diharapkan penelitian ini memunculkan rekomendasi sebagai respon atas hasil penelitian mengenai kegiatan wisata yang berkaitan dengan daya dukung fisik. Rekomendasi tersebut nantinya selain difokuskan untuk menjaga kelestarian situs juga akan disesuaikan ke arah pemberdayaan masyarakat setempat tanpa mengkesampingkan prinsip pelestarian cagar budaya. Hal tersebut

(22)

dikarenakan dalam praktek CRM terhadap tinggalan arkeologi di satu sisi adalah untuk melestarikan warisan budaya tersebut dan di lain sisi juga dapat memanfaatkannya bagi kepentingan masyarakat (Prasodjo, 2000: 152).

(23)

Studi Pustaka - Pengambilan Sampel

Durasi

- Pengukuran Area

dengan GIS Kajian Daya

Dukung Fisik Wawancara Dengan Pengelola (BPCB, Disporbudpar. dan Kepala Desa) Pencatatan Data Kunjungan

Analisis Daya Dukung Fisik Halaman I, Halaman II, dan Halaman III Candi Panataran

Data Artefaktual Dokumentasi

Identifikasi Nilai Penting

Analisis Korelasi Dukung Fisik Candi Panataran Dengan

Aktifitas Kegiatan Wisata

Kesimpulan Rekomendasi

Keterangan:

: Hasil Berupa : Diperoleh Juga Dari

Referensi

Dokumen terkait

mengapa Ruben tidak ada di tempat justru pada saat yang krusial dan penting dalam relasinya dengan Yusuf, atau sama sekali tidak diungkapkan bahwa Ruben

Selanjutnya ia menyebutkan dengan konsep perdagangan bebas ini, suatu negara dapat memproduksi produk-produk yang lebih efisien dengan biaya produksi yang lebih rendah

dengan alamat email sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Bank Indonesia ini.. Bank harus menyampaikan

Bagi kota tropis seperti di Indonesia tumbuhan atau pohon yang ditanam pada taman dan jalur hijau berfungsi paling tidak untuk mengurangi pencemaran dan pemanasan udara

Berikut adalah alur penelitian pengaruh ekstrak kulit buah manggis terhadap kerusakan struktur histologis paru mencit yang diinduksi asap obat nyamuk

Dengan adanya identitas visual yang baru, diharapkan Taman Wisata Alam Angke Kapuk dapat lebih mencitrakan nilai-nilai yang dimiliki dan dikenal baik melalui identitasnya

Jumlah dekstran yang terdegradasi merupakan selisih antara kadar gula pereduksi yang terbentuk pada sampel nira yang ditambahkan dekstranase dengan kadar gula pereduksi pada dosis

Tambahan defisit anggaran dalam hal realisasi anggaran pendapatan negara dan hibah sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (5), tidak sepenuhnya memenuhi sasaran yang