• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Irian Jaya merupakan salah satu dari lima pulau besar di Indonesia. Irian Jaya kemudian resmi berganti nama menjadi Papua pada 1 Januari 2000 dibawah pemerintahan presiden KH Abdurrahman Wahid sesuai atas tuntutan masyarakat Papua. Pulau ini terletak diujung timur Indonesia dengan luas 421.981 kilometer persegi. Wilayah Papua ini dihuni oleh etnis Papua yang memiliki penanda warna kulit sangat gelap, kecoklatan atau hitam, kadang-kadang hampir mendekati, tetapi tidak pernah sama dengan pekatnya warna kulit ras Negroid. Etnis Papua sangat berbeda dalam warna kulit dengan etnis Melayu yang dominan ada di Indonesia, kadang-kadang agak hitam atau kecoklatan dengan rambut sangat kasar dan kering. Di Papua sendiri terdapat keanekaragaman latar belakang ras, yaitu Negroid, Melanosoid, Mikronesia, dan Mongoloid. Keanekaragaman penduduk Papua juga dapat terlihat dari 250 bahasa yang digunakannya. Pada beberapa daerah di Papua, penduduk menggunakan bahasa lokal dengan dialeg berbeda-beda.

Dilihat dari letak geografis, Papua terletak kurang lebih 1o dari Selatan katulistiwa, antara 130 O Bujur Barat dan 141 O Bujur Timur sedangkan secara topografis, Papua terbagi dalam tiga wilayah. Pertama, wilayah “kepala burung”, yang mencakup Manokwari, Fakfak, Sorong, Kaimana, Teminabuan, Bintuni, Ransiki, Ayamaru, dan Windesi. Kedua, wilayah pegunungan tengah sampai utara, yakni Jayawijaya, Nabire, Kepulauan Yapen, Biak, Numfor, Supiori, Sarmi, dan Jayapura. Ketiga, wilayah selatan pegunungan tengah, yakni Mimika, Asmat, dan Merauke. Pulau papua ini pemerintahan kolonial dibagi menjadi dua bagian dengan menarik suatu garis perbatasan dari utara ke selatan yang membagi pulau ini menjadi dua, yaitu Nieuw Guniea atau sekarang Papua dibagian barat dan Papua New Guinea di bagian Timur.

(2)

Provinsi Papua sangat kaya dengan berbagai potensi sumberdaya alam. Sektor pertambangannya sudah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% perekonomian Papua, dengan tembaga, emas, minyak dan gas menempati posisi teratas yang dapat memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah itu. Pada bidang pertambangan, provinsi ini memiliki potensi 2,5 miliar ton batuan biji emas dan tembaga, semuanya terdapat di wilayah konsesi Freeport. Di samping itu, masih terdapat beberapa potensi tambang lain seperti batu bara berjumlah 6,3 juta ton, batu gamping di atas areal seluas 190.000 ha, pasir kuarsa seluas 75 ha dengan potensi hasil 21,5 juta ton, lempung sebanyak 1,2 jura ton, marmer sebanyak 350 juta ton, granit sebanyak 125 juta ton dan hasil tambang lainnya seperti pasir besi, nikel dan krom (http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-papua/sumber-daya-alam).

Papua tidak hanya memiliki kekayaan alam dari sisi pertambangan yang melimpah namun wilayah Papua juga memiliki potensi pariwisata yang yang terkenal seperti Taman Nasional Lorentz yang merupakan salah satu kawasan konservasi istimewa yang tidak biasa seperti kawasan lainnya karena pada tanggal 12 Desember 1999 PBB melalui United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) secara resmi menetapkannya sebagai situs alam warisan dunia yang memiliki kurang lebih 43 jenis ekosistem. Potensi parawisata lain yang dimiliki oleh Papua adalah Kepulauan Raja Ampat yang merupakan salah satu destinasi menyelam terbaik di dunia. Raja Ampat memiliki memiliki konsentrasi kehidupan laut terbesar di dunia yang terdiri dari 75% spesies karang, lebih dari 10 ribu spesies ikan, kura-kura, ikan hiu dan manta yang

belum terjamah oleh banyak orang

(http://lifestyle.sindonews.com/read/1075578/156/raja-ampat-taman-nasional-komodo-tempat-menyelam-terbaik-dunia-1452304501).

Kekayaan alam yang kaya di Papua ditambah dengan jumlah penduduk yang tidak padat yaitu sekitar 3,6 juta seharusnya mampu menjadi indikator Papua untuk menjadi daerah yang maju dan makmur. Namun kenyataannya, Papua merupakan provinsi tertinggal, dengan kemiskinan tertinggi serta Indeks Pembangunan Manusia paling rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya.

(3)

Sebagai perbandingan, IPM Nasional tahun 2011 mencapai 72,77%, sedangkan IPM Papua mencapai 65,36%. Angka melek huruf Nasional mencapai 92,99% sedangkan Papua mencapai 75,91%. Demikian juga tingkat kesenjangan kemiskinan Papua jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Jika kemiskinan nasional mencapai 11,66% maka Papua berada pada kisaran 30,66%

(http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php.index-berita- bulanan/2014/desember2013/568-affirmative-action-jalan-pintas-pendidikan-papua).

Masalah kemiskinan yang dimiliki oleh Papua kemudian menjadi penghambat utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Jika pemerintah dan berbagai pihak tidak memberikan perhatian khusus bagi daerah Indonesia Timur yang masih tertinggal dalam hal mutu dan kualitas pendidikan maka akan timbul ketimpangan sosial. Pendidikan adalah ujung tombak dari pemecahan masalah kesejahteraan masyarakat tertinggal saat ini dengan majunya pendidikan maka diharapkan generasi muda dapat kembali ke daerah asalnya mampu untuk membangun tanah kelahirannya.

“Menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua yaitu Bapak Elias Wonda di Papua, untuk mewujudkan implementasi pendidikan, memang masih terkendala dengan beberapa persoalan, yaitu selain permasalahan teknis seperti tenaga pendidik yang masih minim, juga ditambah dengan lokasi sekolah yang berjauhan, kondisi topografis, demografi dan geografi wilayah Papua yang berada di kawasan dataran tinggi dan pegunungan tempat sekolah berada. Bahkan untuk mencapai sebuah sekolah yang terletak di kawasan pegunungan, harus menggunakan transportasi udara yang kemudian harus disambung dengan berjalan kaki (Friastuti dalam Syahputra, 2015:3)”.

Usaha dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan Papua juga masih terdapat kendala lainnya. Salah satu kendalanya adalah banyak tenaga pengajar yang tidak bertahan di tempat tugasnya khususnya di daerah terpencil di Papua dan distribusi tenaga pengajar yang masih tidak merata di Papua ditambah dengan kurangnya infrastruktur sekolah dan pengawasan pendidikan yang masih sangat rendah dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.

(4)

(http://m.republika.co.id/berita/pendidikan/11/04/06/lj8hm9-infrastruktur-hambata-peningkatan-pendidikan-di-papua).

Pemerataan dan keterbukaan akses pendidikan sangat penting untuk memperkokoh kekuatan dan kesatuan bangsa. Keutuhan berbangsa tercermin dari tingkat pendidikan yang merata sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Lemahnya latar belakang pendidikan pada salah satu bagian wilayah, menyebabkan lemahnya kekuatan rantai persatuan sebagai bangsa. Upaya untuk mengatasi dan memperkuat rantai kesatuan berbangsa tersebut, salah satunya melalui peningkatan akses dan penuntasan pendidikan tinggi bagi daerah terpinggirkan dan daerah yang mengalami ketertinggalan dalam

pendidikan khususnya bagi daerah Papua

(https://www.google.co.id/?gws_rd=cr&ei=UvofV_DPJsLhuQS_-puYAg#q=program+adik+papua).

Usaha pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengatasi permasalahan ketertinggalan pendidikan di Papua adalah melakukan berbagai program prioritas untuk mencapai kemajuan dan percepatan pembangunan pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Salah satu program yang dilaksanakan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi, Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) dan Majelis Rektor Perguruan tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) yaitu Afirmasi Pendidikan Tinggi bagi Putra-Putri asli Papua dan Papua Barat (ADIK Papua). Program ADIK Papua memberikan kesempatan bagi generasi muda Asli Papua untuk bisa mengikuti pendidikan tinggi negeri bersama dengan mahasiswa lain dari seluruh Indonesia.

Sampai saat ini ADIK Papua masih terus ditingkatkan kualitasnya dari tahun ke tahun. Melihat tujuan dari Program ADIK Papua ini adalah memberikan kesempatan kepada putra-putri Asli Papua lulusan SMA sederajat yang berprestasi akademik baik, untuk memperoleh pendidikan tinggi di PTN terbaik; mendapatkan calon mahasiswa baru putra-putri Asli Papua melalui seleksi nasional dan seleksi khusus bagi siswa berprestasi akademik di SMA sederajat; menyiapkan sumber daya manusia putra-putri asli Papua yang berkualitas untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional. Program ini meningkat dari tahun ke tahun. Kuota beasiswa ADIK di tahun 2014 baru sebesar 269 orang, namun pada

(5)

tahun 2015 kuota penerimanya naik menjadi 434 orang

(http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php.index-berita- bulanan/2014/desember2013/568-affirmative-action-jalan-pintas-pendidikan-papua). Adanya peningkatan penerima Program ADIK Papua dapat menjadi jawaban salah satu permasalahan ketertinggalan pendidikan Papua mengingat bahwa semakin banyak sumber daya manusia Papua yang dipersiapkan untuk membangun peningkatan kesejahteraan Papua.

Lulusan dari program Afirmasi ini diharapkan akan menjadi kaum intelektual baru yang akan kembali dan membangun tanah Papua. Program ini memberi kesempatan kepada calon mahasiswa untuk memilih jurusan pendidikan sesuai minat dan kemampuan akademik. Program studi yang sudah disiapkan adalah: Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Teknik, Pertanian, Akuntansi, Statitiska, Keguruan dan Ilmu Pendidikan di 39 perguruan tinggi negeri di Indonesia. Salah satu perguruan tinggi negeri yang bekerjasama dengan program ADIK Papua adalah Universitas Sumatera Utara (USU).

Universitas Sumatera Utara mulai menerima mahasiswa Afirmasi sejak tahun pertama diadakan yaitu tahun 2012 dengan jumlah mahasiswa 17 orang sebagai angkatan I, angkatan II (2013) berjumlah 12 orang, angkatan III (2014) berjumlah 17 mahasiswa dan angkatan IV (2015) berjumlah 26 orang. Mahasiswa asal Papua yang berjumlah 72 orang tersebut tersebar di 8 Fakultas yakni, Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Pertanian, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Teknik, Fakultas Farmasi dan Keperawatan . Di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik terdapat 2 mahasiswa asal Papua yakni di jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Kesejahteraan Sosial (pra penelitian dengan Agustinus – anggota IMP (Ikatan Mahasiswa Papua) Sumut, 2015).

Program ADIK Papua yang telah dikerjakan oleh pemerintah ini tidak sepenuhnya berjalan lancar hal ini dikarenakan banyak mahasiswa Papua kembali ke tanah kelahirannya sebelum menyelesaikan studinya. Wakil Rektor I USU, Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D mengatakan bahwa mahasiswa asal Papua kurang rajin atau kurang usaha dalam mengikuti perkuliahan. Beberapa dari mereka ada yang meminta pindah jurusan karena tidak mampu mengikuti perkuliahan. Ada pula yang sudah tidak masuk kuliah seminggu dengan alasan

(6)

yang sama bahkan ada mahasiswa yang kembali ke Papua tanpa melapor ke Universitas (Syahputra, 2014: 6-7). Hal ini menunjukkan ada ketidakyakinan terhadap kemampuan yang mereka miliki, rasa rendah diri, dan konflik dalam diri mereka akibat dari kondisi sekitar mereka yang jauh dari harapan. Padahal untuk bisa menerima beasiswa ini mereka telah melewati proses seleksi di daerahnya yang secara nasional dirancang dalam beberapa tahapan, dimulai dari tahapan pendataan dan pendaftaran, seleksi/ujian, pembekalan, mobilisasi, registrasi, pembiayaan, pembinaan dan pembimbingan belajar agar mahasiswa dapat menyelesaikan pendidikan tingginya dengan tuntas dan hasil yang baik.

Mahasiswa asal Papua harus merantau dan meninggalkan keluarga serta tanah kelahirannya untuk sebuah tujuan untuk perbaikan kualitas pendidikan. Di lingkungan yang baru mereka harus berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda jauh dengan latar belakang budaya mereka. Dengan latar belakang budaya yang sudah melekat pada diri mereka, termasuk tata cara komunikasi yang telah terekam secara baik di saraf individu dan tak terpisahkan dari pribadi individu tersebut, kemudian diharuskan memasuki suatu lingkungan baru dengan variasi latar belakang budaya yang tentunya jauh berbeda membuat mereka menjadi orang asing di lingkungan itu (Maulida, 2014:3).

Pada awal berinteraksi dengan lingkungan baru mahasiswa asal Papua cenderung tidak percaya diri dan menarik diri untuk berkomunikasi dengan lingkungan barunya. Hal ini dikarenakan adanya kecemasan, perasaan takut ditolak, tekanan dari dalam diri dalam menghadapi budaya yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Keterbatasan pengetahuan tentang budaya tempat tinggal mereka sekarang dan ditambah dengan adanya perbedaan budaya yang sangat jauh dengan budaya mereka membuat mereka stress secara psikologis dalam pertemuan-pertemuan antarbudaya serta merasa tidak nyaman dalam berkomunikasi dengan lingkungannya (pra penelitian dengan Agustinus, 2015).

Medan merupakan kota Metropolitan dengan berbagai kemajemukan dan keragaman budaya yang ada. Budaya yang pluralis dan heterogen di Kota Medan membuat setiap penduduknya diperhadapkan pada interaksi antarbudaya termasuk mahasiswa Papua yang tinggal di kota Medan. Masa kuliah mahasiswa Papua yang mencapai 4 tahun atau lebih diperlukan suatu modal dalam berkomunikasi

(7)

antarbudaya dalam berinteraksi dengan lingkungan tempat mereka menuntut ilmu dan ini menjadi suatu hal yang menarik untuk diteliti.

Kecemasan bagaimana harus berkomunikasi ketika memasuki lingkungan budaya yang baru adalah hal yang wajar. Namun, jika hal tersebut berkelanjutan dan terus terjadi maka individu yang memasuki budaya baru tersebut akan mengalami tekanan mental yang mengarah pada kondisi ketidaknyamanan dan merasa tertolak di lingkungan baru tersebut. Kesulitan beradaptasi dengan lingkungan tempat mahasiswa Papua yang menuntut ilmu baik dengan mahasiswa lainnya maupun dengan dosen yang mengajar mereka akan mempengaruhi keefektifan perkuliahan mereka. Adanya mahasiswa Papua yang kembali pulang ke daerah asalnya menunjukkan bahwa tidak semua mahasiswa Papua mampu menghadapi kondisi lingkungan baru mereka dengan baik.

Suatu kecakapan dan kemampuan komunikasi dibutuhkan untuk dapat berbaur baik dengan lingkungan sekitar khususnya dengan lingkungan yang berbeda budaya seperti yang dialami oleh para mahasiswa asal Papua yang menuntut ilmu di Universitas Sumatera Utara. Adanya mahasiswa asal Papua yang kembali ke tanah kelahirannya menunjukkan adanya ketidaknyamanan ketika berkomunikasi antarbudaya. Ketidaknyamanan ini dikarenakan kurangnya kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki mahasiswa asal Papua.

Liliweri (2009) mendefenisikan kompetensi antarbudaya sebagai kompetensi antarbudaya sebagai kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, kelompok, organisasi atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas , keterampilan, pengetahuan, yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang lain yang berbeda kebudayaannya. Menurut Spitzberg (dalam Kurniawan, 2011:49) kompetensi komunikasi antarbudaya mencakup beberapa komponen yaitu : pengetahuan, motivasi dan keterampilan masing-masing individu dalam melakukan komunikasi antarbudaya.

Bagi para peserta komunikasi antarbudaya dibutuhkan suatu kecakapan untuk mengelolah pesan maupun hambatan yang ada di dalam komunikasi antarbudaya. Sehingga penting bagi peserta komunikasi antarbudaya untuk

(8)

memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya agar komunikasi yang terjalin diantara peserta komunikasi mencapai suatu tujuan komunikasi yaitu kesamaan makna serta adanya kenyamanan diantara pihak yang berkomunikasi.

Mahasiswa Papua di dalam proses interaksinya dengan lingkungan sosialnya terkhususnya mahasiswa dan dosen seharusnya memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya. Hal ini dikarenakan budaya tidak hanya meliputi cara berpakaian maupun bahasa yang digunakan, namun budaya juga meliputi etika, nilai, konsep keadilan, perilaku, hubungan pria wanita, konsep kebersihan, gaya belajar, gaya hidup, motivasi bekerja, ketertiban lalulintas, kebiasaan dan sebagainya (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 97). Perbedaan latar belakang budaya yang sangat jauh tentunya akan menimbulkan suatu hambatan dalam berkomunikasi.

Penelitian mengenai mahasiswa asal Papua di USU sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Indah Maulida dan Nurhayati yang menitikberatkan pada culture shock (gegar budaya) yang dialami oleh Mahasiswa asal Papua. Dalam penelitian Indah Maulida menunjukkan bahwa mahasiswa Papua memiliki kecenderungan culture shock yang tergolong sedang. Hal ini berarti mereka sudah bisa menyesuaikan diri dan merasa nyaman tinggal di Medan. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati menunjukkan bahwa kecenderungan informan Papua mengalami beberapa gegar budaya seperti kurikulum pelajaran, konsep harga, makanan, kebiasaan dan beberapa sistem komunikasi seperti: penggunaan bahasa, intonasi, aksen ketika berkomunikasi dengan teman non Papua. Penelitian lain terkait mahasiswa Papua juga pernah dilakukan oleh Ronny Syahputra mengenai gambaran self-efficiacy (keyakinan mengenai kemampuan dirinya). Hasil penelitian menunjukkan self-efficacy mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang berasal dari Papua berada pada kategori sedang.

Berdasarkan uraian-uraian di atas peneliti tertarik untuk melihat interaksi yang terjadi antara mahasiswa Papua dengan mahasiswa dan dosen di USU. Hal-hal apa saja yang telah mereka persiapkan sebelumnya ketika memasuki lingkungan baru dan kompetensi komunikasi antarbudaya mereka. Peneliti memilih subjek penelitian mahasiswa asal Papua dari angkatan 2013, 2014 dan

(9)

2015 yang merupakan mahasiswa aktif dalam kegiatan perkuliahan di USU. Rentang waktu tinggal yang lama di Kota Medan dan interaksi budaya yang setiap saat mereka alami seharusnya membuat mereka mempersiapkan kemampuan mereka dalam berkomunikasi dengan lingkungan budaya Medan yang sangat jauh dari budaya asal mereka.

1.2 Fokus Masalah

Fokus masalah yang dapat diajukan untuk penelitian ini berdasarkan konteks masalah di atas adalah:

“Bagaimanakah kompetensi komunikasi antarbudaya pada mahasiswa asal Papua dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan dosen di Universitas Sumatera Utara?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya mahasiswa Papua dalam berinteraksi dengan mahasiswa dan dosen di Universitas Sumatera Utara.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh mahasiswa asal Papua dalam interaksi komunikasi antarbudaya dengan mahasiswa dan dosen.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa asal Papua di Universitas Sumatera Utara yang dapat muncul dalam interaksi komunikasi antarbudaya.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi penelitian dibidang ilmu komunikasi antarbudaya terkhusus dalam memberikan gambaran mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya.

(10)

2. Secara akademisi, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya pengetahuan mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya dan penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi khususnya ditempat peneliti menuntut ilmu yaitu di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bersama baik kepada instansi pemerintah dan Universitas Sumatera Utara dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya pada mahasiswa Papua serta kendala dan tantangan dalam proses belajar yang dialami oleh mereka sehingga diharapkan dapat mengambil langkah demi keefektifan proses belajar dan menjadi masukan dan pembelajaran bagi peserta komunikasi antarbudaya agar mampu mengelola dengan baik seluruh faktor penghambat komunikasi antarbudaya dengan kecakapan dan keterampilan yang dimiliki.

Referensi

Dokumen terkait

tua, bimbingan belajar, dan tingkat kecerdasan (IQ) dengan kemampuan bina diri bagi siswa tunagrahita di SDLB Pembina Malang. Penelitian ini menggunakan metode survey

Hasil pengolahan data melalui SPSS.22, terkait Persamaan regresi berganda dan estimasinya, dapat diketahui persamaan regresi berganda dalam penelitian ini adalah:

Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT).

kondisi Al berbeda dan pH rendah telah dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber- daya Genetik Pertanian, Bogor, dengan menggunakan embriozigotik

Grup ini termasuk demam tipoid dan paratipoid, yang menjadi penyebab hampir semua penyakit yang disebabkan oleh Salmonella; (2) Serovar yang telah adaptasi pada inang

Perpindahan panas akibat aliran fluida yang terjadi di luar pipa dianalisa berdasarkan analisa perpindahan panas secara konveksi yang melewati susunan tube.Besarnya

Medical Surgical and Critical Care Nursing Community Health and Primary Care Nursing Geriatric Nursing. Room 2

(EPS) yang positif. Arah koefisien positif menjelaskan bahwa peningkatan ROA akan mengakibatkan peningkatan return saham unggulan. Pengaruh EPS yang signifikan