• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA PERBANDINGAN KEBUTUHAN AIR IRIGASI TANAMAN PADI METODE KONVENSIONAL DENGAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) ORGANIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISA PERBANDINGAN KEBUTUHAN AIR IRIGASI TANAMAN PADI METODE KONVENSIONAL DENGAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI) ORGANIK"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

67 - Volume 3, No. 4, November 2014

ANALISA PERBANDINGAN KEBUTUHAN AIR IRIGASI

TANAMAN PADI METODE KONVENSIONAL DENGAN

METODE “SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION” (SRI)

ORGANIK

Faisal Rizal, Dr.Ir.Alfiansyah YBC, Ir.Maimun Rizalihadi,M.Sc.Eng

1) Magister Teknik Sipil Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh 2,3) Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala

Email: faisal.puaceh@gmail.com

Abstract: Availability of water becomes an important issue in improving food to compensate for population growth. SRI method is a method that is expected to address the problem of lack of water availability. Intermitted concept which allows the reduction of water relied upon by eliminating standing water up to 80% soil moisture conditions (fallow). In field conditions SRI methods are still not familiar with the farmers due to the lack of research that provides details kebutuhanan SRI method of irrigation water. This study aims to compare the need for irrigation water between SRI cultivation method and the conventional method. Research with menggunnakan lisimeter as a measure to try to answer questions from farmers. Concepts used in the water balance concept lisimeter is where the amount of water entering the water must be equal to the exit. Input must be equal to the output of the difference between the two is zero. With rain parameters (HJ), the provision of irrigation water (PAI), evapotranspiration (ETC), deep percolation (P) as well as the last output drainage water needs, it can be necessary. From the results of research with the conditioned area in accordance with the water level signaled the need for irrigation water by using the SRI method is more efficient than conventional methods of water. The average value of the irrigation water requirement of SRI method of 2.44 mm / day, while the conventional method of 3.79 mm / day, in order to obtain the SRI method results over 35% water saving compared to conventional methods.

Keywords: Lysimeter, Irrigation Water Requirements, Irrigation Water Provision, SRI method.

Abstrak: Ketersedian air menjadi masalah penting dalam usaha peningkatan pangan untuk

mengimbangi pertumbuhan penduduk. Metode SRI adalah metode yang diharapkan untuk mengatasi masalah kurangnya ketersediaan air. Konsep intermitted yang diandalkan memungkinkan adanya pengurangan air dengan meniadakan air genangan sampai kondisi lengas tanah 80% (bera). Pada kondisi lapangan metode SRI masih belum familiar dengan petani dikarenakan belum adanya penelitian yang memberikan rincian kebutuhanan air irigasi metode SRI. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan kebutuhan air irigasi antara penanaman metode SRI dan metode konvensional. Penelitian dengan menggunnakan lisimeter sebagai alat ukur mencoba menjawab pertanyaan dari petani. Konsep yang digunakan dalam lisimeter adalah konsep keseimbangan air dimana jumlah air yang masuk haruslah sama dengan air yang keluar. Input harus sama dengan output dengan selisih antara keduanya adalah nol. Dengan parameter hujan (HJ), pemberian air irigasi (PAI), Evapotranspirasi (ETc), Perkolasi (P) serta drainase sebagai output terakhir maka dapat kebutuhan air yang diperlukan. Dari hasil penelitian dengan lahan yang terkondisikan sesuai dengan tinggi genangan yang diisyaratkan maka kebutuhan air irigasi dengan menggunakan metode SRI lebih hemat air dibandingkan metode konvensional. Nilai rata-rata kebutuhan air irigasi metode SRI 2,44 mm/hari sedangkan metode konvensional 3,79 mm/hari, sehingga diperoleh hasil metode SRI lebih hemat air 35 % dibanding metode konvensional.

(2)

Volume 3, No. 4, November 2014 - 68 PENDAHULUAN

Pada saat ini ketersediaan air merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kebutuhan air di sawah. Air yang tidak cukup menyebabkan pertumbuhan padi tidak sempurna bahkan bisa menyebabkan padi mati kekeringan.

Mengantisipasi ketersediaan air yang semakin terbatas maka perlu dicari terus cara budidaya tanaman padi yang mengarah pada penghematan konsumsi air. Cara pemberian terputus / berkala (intermitten irrigation) terbukti efektif dilapangan dalam usaha hemat air, namun mengandung kelemahan dalam membatasi pertumbuhan rumput. Dari beberapa metode yang ada kiranya metode “System Rice of Intensification (SRI)” dapat dipertimbangkan. Sistem pemberian air terputus/berkala sesuai untuk daerah dengan debit tersedia aktual lebih rendah dari debit andalan 80% (KP 03.2010;”Kriteria Perencanaan Bagian Saluran”).

Menurut KP 03 (2010) metode SRI dapat direkomendasikan untuk dijadikan dasar perhitungan kebutuhan air apabila metode ini diterima oleh petani, ketersediaan pupuk mencukupi, sumberdaya manusia dan modal tersedia serta ketersediaan air terbatas.

Metode budidaya padi SRI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1983 di Madagaskar oleh pastor sekaligus agrikulturis asal Perancis, Fr. Henri de Laulanie, yang telah bertugas di Madagaskar sejak 1961. Awalnya SRI adalah singkatan dari "Systeme de Riziculture Intensive" dan pertama kali muncul di jurnal

Tropicultura tahun 1993.

(epetani.pertanian.go.id;”Budidaya padi dengan pendekatan Teknologi SRI)

Metode SRI organik pada konsep dasarnya adalah pindah tanam satu bibit perlubang dengan usia bibit 7-14 hari setelah semai, jarak tanam longgar 25 cm x 25 cm dan adanya perubahan perlakuan pemberian air irigasi secara putus-putus yang ditakar secara visualisasi sesuai dengan usia padi tanpa genangan dipetak sawah, sehingga kebutuhan air lebih hemat dibandingkan dengan kebutuhan air metode konvensional dan mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional.

KAJIAN KEPUSTAKAAN Konsep pengairan metode SRI

Menurut Eko Suhartono (n.d) Inti konsep pengairan intermittent SRI adalah hanya memberikan air irigasi sesuai dengan jumlah dan waktu yang dibutuhkan oleh tanaman. Pada saat genangan air di sawah telah habis, tidak langsung diairi kembali melainkan dibiarkan sampai tanah sawah kondisi retak atau kondisi mendekati titik stres tanaman baru diairi kembali. Pola SRI dianggap berhasil jika mampu meningkatkan produktifitas lahan dan mampu mengefisienkan penggunaan air

Irigasi hemat air pada budidaya padi dalam metode SRI dilakukan dengan memberikan air irigasi secara terputus (intermittent) berdasarkan alternasi antara periode basah (genangan dangkal) dan kering. Metode irigasi ini disertai metode pengelolaan

(3)

69 - Volume 3, No. 4, November 2014 tanaman yang baik dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi hingga 30-100% bila dibandingkan dengan menggunakan metode irigasi konvensional (tergenang kontinu).

Beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi pola pengiran SRI, adalah sebagai berikut :

- Iklim dan curah hujan,

- Karakteristik tanah dan kesesuaian lahan, - Pola operasi jaringan irigasi,

- Partisipasi Petani. Kebutuhan Air Irigasi

Menurut KP 03 (2010) kebutuhan air disawah untuk padi ditentukan oleh factor- faktor berikut :

a) Penyiapan lahan; b) Penggunaan konsumtif; c) Perkolasi dan rembesan; d) Pergantian lapisan air; e) Curah hujan efektif.

Penyiapan lahan untuk padi

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya menentukan kebutuhan maksimum air irigasi pada suatu proyek irigasi. Faktor – faktor penting yang menentukan besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan (Anonim 3;2010) adalah :

a. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan penyiapan lahan. b. Jumlah air yang dibutuhkan untuk

penyiapan lahan.

Kebutuhan air untuk penyiapan lahan

Menurut KP 03 (2010) pada umumnya jumlah air yang dibutuhkan untuk penyiapan lahan dapat ditentukan berdasarkan kedalaman porositas kesawah. Rumus berikut dipakai untuk memperkirakan kebutuhan air untuk penyiapan lahan; 1 10 ) ( 4 Pd F Sb Sa PWR    dimana :

PWR = Kebutuhan air penyiapan lahan Sa = derajat kejenuhan tanah setelah,

penyiapan lahan dimulai, % Sb = derajat kejenuhan tanah sebelum

penyiapan lahan dimulai, %

N = porositas tanah dalam % pada harga rata-rata untuk kedalaman tanah d = asumsi kedalaman tanah setelah pekerjaan penyiapan lahan, mm Pd = kedalaman genangan setelah

pekerjaan penyiapan lahan, mm FI = kehilangan air disawah selama 1 hari,

mm

Kebutuhan air selama penyiapan lahan Untuk perhitungan kebutuhan irigasi selama penyiapan lahan, digunakan metode yang dikembangkan oleh Van de Goor dan Zijlstra

berdasarkan KP 03

(1986). Metode tersebut didasarkan pada laju air konstan dalam l/dtk selama periode penyiapan lahan dan menghasilkan rumus berikut :

1   k k e Me IR

P

E

M

0

(4)

Volume 3, No. 4, November 2014 - 70

S MT K

dimana :

IR = kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari);

M = kebutuhan air untuk

mengganti/mengkonpensasi air yang hilang akibat evaporasi dan perkolasi disawah yang telah dijenuhkan (mm/hari);

Eo = evaporasi air terbuka yang diambil 1,1 x ETo selama penyiapan lahan (mm/hari);

P = perkolasi (mm/hari);

K = parameter fungsi dari air yang diperlukan untuk penjenuhan waktu penyiapan lahan dan kebutuhan air untuk lapisan pengganti;

T = jangka waktu penyiapan lahan ( 45 hari );

S = kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air ( 50 mm );

S = 250 + 50 =300 mm 250 + 50 = 300 mm;

e = 2,7182818.

Evapotranspirasi

Evapotranspirasi tanaman acuan adalah evapotranspirasi tanaman yang dijadikan acuan yakni rerumputan pendek. Besarnya evapotranspirasi dapat diperkirakan dengan metode langsung dan tidak langsung

Metode langsung

Pengukuran secara lansung dilakukan dengan melakukan pengukuran langsung di lapangan menggunakan panci evaporasi dan lisimeter. Lisimeter adalah suatu metode

perhitungan evapotranspirasi yang mengikuti konsep keseimbangan air (water balance). Untuk lebih jelasnya skema dasar alat lisimeter dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Konsep Dasar Lisimeter Sumber : FAO,1990 Metode tidak langsung

Dalam metode tidak langsung, persamaan-persamaan empiris didapat dengan menggunakan data-data klimatologi. Ada beberapa pendekatan berupa metode empiris yang digunakan untuk mengestimasi evapotranspirasi, pendekatan ini mengabungkan beberapa parameter cuaca untuk mendapatkan nilai evapotranspirasi yang disesuaikan dengan iklim dan keadaan cuaca setempat. Metode empiris yang digunakan untuk mengestimasi evapotranspirasi pada penelitian ini adalah Metode Penman Modifikasi. Menurut KP 03 (2010) Persamaan Penman modifikasi dirumuskan sebagai berikut:

ETo = c[W.Rn + (1-W).f (u).(ea-ed)] Rn = Rns-Rn1 Rn = (1-α).Ra(0,25+0,5n/Nc) Rn1 = f (t).f (ed).f (n/Nc) f (u) = 0,27 (1+u/100) ed = ed . RH/100

(5)

71 - Volume 3, No. 4, November 2014 di mana :

ETo = evapotranspirasi potensial (mm/hari); c = faktor perkiraan kondisi musim; W = faktor temperature;

W = Δ / (Δ + y);

Δ = slope saturation pressure; 1-W = y / (y + Δ);

Rn = radiasi;

f (u) = faktor kecepatan angin;

ea = tekanan uap jenuh (mbar); ed = tekanan uap udara (mbar); Rns = harga radiasi matahari; Rn1 = radiasigelombang panjang

Ra = radiasi matahari yang didasarkan letak lintang;

N = lamanya penyinaran matahari rerata yang mungkin terjadi;

f (T) = faktor yang tergantung pada

temperature;

f (ed) = faktor yang tergantung pada uap jenuh;

f (n/N)= faktor yang tergantung pada jam

penyinaran matahari;

n = penyinaran matahari yang diperoleh dari data terukur

(jam/hari); U = kecepatan angin;

RH = kelembaban relative (%).

Penggunaan konsumtif

Menurut KP 03 (2010) penggunaan konsumtif dihitung dengan rumus berikut :

ETc = Kc x ETo dimana :

ETc = Evapotranspirasi tanaman, mm/hari, ETo = Evapotranspirasi tanaman acuan,

mm/hari,

Kc = Koefisiensi tanaman.

Perkolasi

Menurut KP 03 (2010) perkolasi adalah proses aliran dalam tanah secara vertikal akibat gaya grafitasi. Perkolasi akan terjadi apabila kapasitas lapang telah terlampaui.

Penggantian lapisan air (WLR)

WLR (Water Losses Requirment)

setinggi 50 mm dilakukan dua kali, yaitu satu bulan setelah transplantasi dan dua bulan setelah transplantasi. Pergantian lapisan air dilakukan setelah proses pemupukan dilakukan. Oleh karena itu jadwal penggantian air sangat mempengaruhi oleh umur tanaman padi. Penggantian lapisan air dapat diberikan selama setengah bulan sebesar 3,3 mm/hari dan selama satu bulan sebesar 1,7 mm/hari (Anonim 2, 1986 :165).

Curah hujan efektif

Curah hujan efektif adalah curah hujan andalan yang jatuh disuatu daerah dan digunakan tanaman untuk pertumbuhannya (Triatmodjo, 2008 : 318). Menurut Anonim I (1986 :10), Untuk tanaman padi besarnya curah hujan efektif diperkirakan sebesar 70 % dari curah hujan tengah bulanan dengan probabilitas 80 %. Besarnya curah hujan efektif untuk tanaman padi diambil 70 % dari curah hujan minimum tengah bulanan dengan periode ulang 5 tahun. % 70 15 ) ( % 80 x lan setengahbu R Ref

(6)

Volume 3, No. 4, November 2014 - 72

I

P

Et

D

1

D

2

Δ

s

Dimana :

Reff = Curah hujan efektif (mm/hari); R80 = Curah hujan yang memungkinkan

terpenuhi 80%

Kebutuhan air irigasi tanaman padi

kebutuhan air bersih disawah untuk tanaman padi dapat dihitung dengan dua rumus :

NFR = ETc + P – Ref + WLR

di mana :

NFR = Kebutuhan bersih air untuk padi (mm/hari)

Ref = curah hujan efektif (mm/hari); ETC = kebutuhan air konsumtif (mm/hari); P = perkolasi (mm/hari)

WLR = penggantian lapisan air (mm/hari).

Konsep keseimbangan air

Pada lisimeter keandalan perhitungan kebutuhan air tergantung pada dekatnya peniruan alam sebenarnya. Dimana perubahan dalam cadangan tanah (ΔS) hanya dapat diukur dengan tipe lisimeter yang dapat ditimbang seperti yang dijelaskan pada gambar 2.

Gambar 2. konsep keseimbangan air lisimeter

Berdasarkan gambar diatas nilai

keseimbangan air di dalam lisimeter dapat dihitung dengan persamaan, gambar prinsip nilai keseimbangan air dapat dilhat pada gambar :

P + I = D + Et +ΔS Et = P + I - D +ΔS di mana :

P = Presipitasi,air yang berasal dari hujan yang masuk kedalam lisimeter (ml). I = Air yang dimasukkan atau disiramkan ke

dalam lysimeter (ml).

Et = Evapotranspirasi yang terjadi (mm/hari). ΔS = Perubahan dalam cadangan karena

perubahan kandungan air tanah, permukaan air tanah dan intersepsi (ml). D = Drainase, jika drainase permukaan ada

maka diukur secara terpisah D1 + D2

Menurut bowles (1993), besarnya kandungan air tanah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

S = Ww = w x VT x γw

di mana :

S = Ww = berat air (gram)

W = Kadar air di dalam tanah (cm3) VT = Volume total tanah (%) γw = Berat jenis air (gr/cm3)

Pengukuran kadar air (w) dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode yang paling banyak digunakan dalam penentuan kadar air tanah adalah dengan pengambilan sampel tanah dan pengeringan. Kadar air di dalam tanah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

(7)

73 - Volume 3, No. 4, November 2014 100%

METODE PENELITIAN Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Data primer merupakan data yang di peroleh dari pengukuran langsung dilapangan dengan menggunakan lisimeter, data yang dipeoleh terdiri dari data evapotranspirasi, pemberian air irigasi, hujan, perkolasi. Dari data ini nantinya diperoleh data kebutuhan air irigasi (NFR).

Data Sekunder adalah data pembanding yang diperoleh dari Badan Meteorolgi dan Geofisika Blang bintang, Aceh Besar. Data yang diperoleh dari data sekunder adalah data klimatologi yang nantinya diperoleh data Evapotranspirasi Potensial (ETo).

Pola Pemberian air metode konvensional

Pola Pemberian air metode SRI

Pola pemberian air dapat dirinci sebagai berikut :

1. Petak 1 ditanami padi per titik 3 bibit berumur 20 hari dengan pemberian air

irigasi selama 95 hari dengan penggenangan secara terus menerus setinggi 3 cm. petak ini disebut dengan petak konvensional. Pemupukan dilakukan tiga kali pada hari ke -8, 25 dan 40 menggunakan pupuk kimia. Sebelum pemupukan pemberian air dihentikan. Pola pemberian air irigasi pada petak ini disebut dengan penggenangan terus menerus.

2. Petak 2 ditanami padi metode SRI organik pada konsep dasarnya adalah pindah tanam satu bibit perlubang dengan usia bibit padi 7-14 Hari Setelah Semai (HSS), Pemupukan dilakukan tiga kali pada hari ke -7 sebelum tananam, kemudian hari ke -25 dan 40 setelah tanam menggunakan pupuk kompos. Pada masa vegetatif (pertumbuhan anakan) umur 1-45 Hari Setelah Tanam (HST) kondisi tanah macak-macak, kemudian pada saat penyiangan tanaman digenangi lebih kurang 2 cm untuk mengemburkan tanah agar mudah dalam melakukan penyiangan, penyiangan dilakukan sebanyak empat kali dengan interval 10 hari, ketika umur padi mencapai masa reproduktif (perkembang biakan) umur 45 hari air dikeringkan selama 10 hari untuk menghambat pertumbuhan anakan. Kemudian air diberikan kembali secara macak-macak selama 20 hari untuk masa pertumbuhan malai, pengisian bulir hinggan bernas, seterusnya sawah di keringkan hingga panen.

3. untuk padi konvensional dipakai WLR yang dilakukan dilapangan yaitu jumlah penggantian lapisan air selama satu bulan

(8)

Volume 3, No. 4, November 2014 - 74 dan dua bulan setelah tranplantasi dikurang

masa pengeringan pada saat pemberian pupuk sedangkan untuk metode SRI tidak digunakan WLR karena tidak terjadinnya pergantian lapisan air disebabkan kondisi penanaman SRI hanya membutuhkan tanah yang macak-macak. Metode SRI membutuhkan air pada saat penyiangan.

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam suatu bentuk diagram alir. Diagram alir dari sistematika penelitian ini dapat ditunjukkan pada Gambar 3 dibawah ini:

Gambar 3. Diagram Alir Penelitian (Sumber: Olahan)

(9)

75 - Volume 3, No. 4, November 2014 HASIL PEMBAHASAN

hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi nilai evapotranspirasi tanaman acuan (Eto) yang diperoleh dari data klimatologi yang dikonversikan ke persamaan Penman Modifikasi dan data evapotranspirasi (ETc) dari lapangan yang diperoleh dari prinsip keseimbangan air. Data curah hujan diperoleh dari penakar hujan manual dan data dari Station Klimatologi Geofisika Blangbintang sebagai data pembanding. Untuk data perkolasi diperoleh dari data yang diambil dilapangan.

Kebutuhan air irigasi metode SRI

Tabel 1. Kebutuhan air irigasi untuk metode SRI Periode satu musim tanam P mm/hari Re+PAI mm/h ETc mm/h NFR mm/h (1) (2) (3) (4) (5) 0 - 15 2,05 2,0 4,7 4,75 16 - 30 2,47 2,2 3,9 4,17 31 - 45 2,15 2,6 4,1 3,65 45 - 60 0,89 1,2 2,1 1,79 61 - 75 1,26 1,7 2,9 2,46 75 - 90 0,07 0,2 0,6 0,47 91 - 105 0 0 0,1 0,10

Kebutuhan air irigasi rata-rata 2,44

Kebutuhan air irigasi metode konvensional

Tabel 2. Kebutuhan air irigasi untuk metode konvensional Periode satu musim tanam P mm/hari Re+PAI mm/h ETc mm/h NFR mm/h (1) (2) (3) (4) (5) 0 - 15 2,72 2,6 4,2 4,32 16 - 30 2,79 2,6 3,4 3,59 31 - 45 3,21 2,6 3,1 3,71 45 - 60 3,29 3,0 4,0 4,29 61 - 75 3,01 2,7 4,0 4,31 75 - 90 3,04 2,9 4,1 4,24 91 - 105 2,26 1,8 1,6 2,06

Kebutuhan air irigasi rata-rata 3,79

Grafik 1. Perbandingan metode SRI dan konvensional

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Cara pemberian air yang berbeda antara metode konvensional dan SRI mengakibatkan adanya perbedaan tinggi genangan pada masing-masing metode. 2. Konsep imbangan air dengan menggunakan

lisimeter dapat digunakan sebagai dasar perbandingan metode padi konvensional dan padi metode SRI dengan melakukan perbandingan air masukan dan keluaran. 3. Kebutuhan air irigasi dengan menggunakan

metode SRI lebih hemat air dibandingkan metode konvensional. Nilai rata-rata kebutuhan air irigasi metode SRI 2,44 mm/hari sedangkan metode konvensional 3,79 mm/hari, sehingga diperoleh hasil metode SRI lebih hemat air 35 % dibanding metode konvensional.

4. Hasil panen padi metode SRI (0,42 kg/m2) > hasil panen metode konvensional (0,3 kg/m2)

Saran

Penelitian ini telah dilakukan di daerah Ajuen, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten

(10)

Volume 3, No. 4, November 2014 - 76 Aceh Besar, dari hasil penelitian ini metode SRI

bisa diterapkan diwilayah Aceh Besar dan sekitarnya. Untuk ketelitian lebih lanjut diharapkan dapat dilanjutkan pada areal petak sawah agar didapat kondisi lapangan yang sebenarnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anonymous, 1990. Evapotranspiration. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.

Anonymous, 1990. Lysimeter Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Allen, et al., 1998. Crop Evapotranspiration,

Irrigation and Drainage paper No. 56 Food dan Agriculture Organization of The United Nations. Rome.

Bambang, T., 2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Bowles, J.E., 1993. sifat-sifat fisis dan geoteknis

tanah (mekanika tanah. terjemahan J.K.Hainim. Jakarta: Erlangga.

epetani.pertanian.go.id;”Budidaya padi dengan pendekatan Teknologi SRI”

KP 01, 2010. Standar Perencanaan Irigasi,Kriteria

Perencanaan jaringan irigasi. Departemen

Pekerjaan Umum. Direktorat Sumber Daya Air.

KP 03, 2010. Standar Perencanaan Irigasi,Kriteria

Perencanaan Bagian Saluran. Departemen

Pekerjaan Umum. Direktorat Sumber Daya Air.

Mutakin, J., 2005. Budidaya dan keunggulan padi

organik metode SRI.

Nurrochmad, F., 2007. kajian pola hemat pemberian air irigasi. Forum Teknik Sipil. No. XVII/2-Mei.

Seyhan, E., 1990. Dasar-Dasar Hidrologi,

Terjemahan Sentot Subagyo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gambar

Gambar 2.  konsep keseimbangan air lisimeter
Gambar 3. Diagram Alir Penelitian (Sumber: Olahan)
Tabel 1.  Kebutuhan  air  irigasi  untuk  metode  SRI   Periode  satu  musim  tanam  P  mm/hari  Re+PAI mm/h  ETc  mm/h  NFR  mm/h  (1)  (2)  (3)  (4)  (5)  0 - 15  2,05  2,0  4,7  4,75  16 - 30  2,47  2,2  3,9  4,17  31 - 45  2,15  2,6  4,1  3,65  45 - 60

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil perbandingan tingkat pendapatan antara kegiatan usahatani padi sehat metode SRI dengan usahatani padi konvensional dapat diketahui bahwa pendapatan usahatani

Dari aspek irigasi, cara konvensional lahan sawah yang siap tanam mempunyai ketebalan air (genangan) sekitar 1-10 cm. Sedangkan sistem SRI lahan siap tanam

Sistem pertanian organik dengan metode SRI ( System of Rice Intensification ) menjadi salah satu alternatif pertanian yang ramah lingkungan yang diharapkan dapat

Dari aspek irigasi, cara konvensional lahan sawah yang siap tanam mempunyai ketebalan air (genangan) sekitar 1-10 cm. Sedangkan sistem SRI lahan siap tanam

Tabel 3 juga menunjukkan bahwa perlakuan umur semai 6 hari menghasilkan jumlah anakan produktif lebih banyak dan berbeda dengan pola tanam konvensional.. Laju

Hasil panen pada metode SRI pada musim pertama tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya (metode konvensional) dan terus meningkat pada musim berikutnya sejalan dengan meningkatnya

Bibit padi muda yang berumur 8 hari ditanam pada plot-plot percobaan yang telah disiapkan. Bibit ditanam dengan jarak tanam 30 x 30 cm sebanyak satu bibit setiap titik

Tabel 3 juga menunjukkan bahwa perlakuan umur semai 6 hari menghasilkan jumlah anakan produktif lebih banyak dan berbeda dengan pola tanam konvensional.. Laju