• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan hayati tanah untuk meningkatkan peran fauna tanah dalam proses dekomposisi jerami padi pada budidaya System of Rice Intensification (SRI) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan hayati tanah untuk meningkatkan peran fauna tanah dalam proses dekomposisi jerami padi pada budidaya System of Rice Intensification (SRI) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES DEKOMPOSISI JERAMI PADI PADA BUDIDAYA SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.)

DI KECAMATAN CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR

NESYA AYU DEWI A14060573

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Fauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Jerami Padi pada Budidaya System of Rice Intensification (S.R.I.) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RAHAYU WIDYASTUTI dan ISWANDI ANAS.

Produktivitas pertanian yang rendah menjadi masalah utama pertanian di Indonesia saat ini, khususnya pada tanaman pangan. System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan teknik budidaya tanaman padi yang mampu meningkatkan produktivitas padi dengan sistem manajemen tanah, tanaman dan air. Prinsip utama S.R.I. meliputi penanaman bibit muda, penanaman satu bibit per titik tanam dengan akar yang tidak dibenamkan, jarak tanam yang lebar dan pemberian air tidak tergenang dengan irigasi putus-putus. Pengelolaan hayati tanah dapat mendukung terciptanya lingkungan yang sesuai bagi peningkatan populasi dan peran fauna tanah, terutama dalam mendekomposisikan bahan organik. Pengelolaan hayati tanah pada lahan sawah diantaranya adalah dengan modifikasi jarak pematang.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jarak pematang sawah (4 m dan 8 m) terhadap peran fauna tanah dalam mendekomposisikan jerami padi pada budidaya S.R.I. dengan menggunakan metode liiterbag. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dirancang dengan perlakuan jarak pematang, 2 level dan 4 ulangan. Jarak pematang tersebut adalah jarak pematang sempit (4 m) dan jarak pematang lebar (8 m). Pengukuran laju dekomposisi jerami padi dilakukan dengan menggunakan litterbag berukuran mesh 10 mm (kasar), 0.25 mm (sedang) dan 0.038 mm (halus), yang masing-masing berisi 10 g potongan jerami padi didalamnya. Litterbag ini dieksposisi pada plot sawah dengan kondisi air macak-macak dan diambil kembali pada hari ke-30, 60 dan 90 setelah tanam. Laju dekomposisi diukur dengan menghitung selisih berat jerami padi sebelum diekspos dengan berat jerami padi setelah diekspos.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju dekomposisi jerami padi pada plot sawah dengan jarak pematang 4 m lebih tinggi dibanding jarak pematang 8 m. Berdasarkan ukuran litterbag, laju dekomposisi yang dihitung pada hari ke-90, tertinggi pada litterbag kasar (93.91%), kemudian diikuti oleh litterbag sedang (89.07%) dan halus (81.58%) pada jarak pematang 4 m. Untuk jarak pematang 8 m, laju dekomposisi tertinggi terdapat pada litterbag kasar (88.98%), diikuti oleh litterbag sedang (85.87%) dan halus (78.53%). Lebih tingginya laju dekomposisi serasah pada plot dengan jarak pematang sempit menunjukkan bahwa plot tersebut merupakan habitat yang lebih kondusif bagi fauna tanah dibanding plot dengan jarak pematang lebar, sehingga mereka dapat lebih optimum dalam menjalankan fungsinya, seperti mendekomposisikan bahan organik.

(3)

Fauna in Decomposition of Rice Straw in System of Rice Intensification (S.R.I.) Cultivation at Cibungbulang Subdistrict, Bogor Regency. Supervised by RAHAYU WIDYASTUTI and ISWANDI ANAS.

Recently, low agricultural production is becoming a main problem in agricultural sector in Indonesia, especially for food crop. System of Rice Intensification (S.R.I.) is a method of rice cultivation which is able to increase crop yield through soil, crop and water management system. The principles of the S.R.I. technique include planting of young and single seedlings with shallow-root planting, wide spacing and maintain unflooded soil condition with intermittent irrigation. Soil biological management can be applied to support the creating of more conducive environment for improving population and role of soil fauna, especially on organic matter decomposition. Modification of bund distance in rice field is one of those methods.

This research aimed to study the effect of bund distance (4 meters and 8 meters) on the role of soil fauna in rice straw decomposition in S.R.I. cultivation technique by using litterbag method. The research was conducted in NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) field in Cijujung Village, Cibungbulang Subdistrict, Bogor Regency. This research was designed according to bund distance treatment, two levels (short, 4 meters and long, 8 meters) and four replications. Measurement of the decomposition rate of rice straw performed by using litterbag in coarse mesh (10 mm), medium mesh (0.25 mm) and fine mesh (0.038 mm), which contained 10 g rice straw per litterbag. These litterbags were exposured to the rice field with humid soil condition and retrieved after 30, 60 and 90 days. Decomposition rate was measured by counting the difference weight of before and after exposure time.

The result showed that decomposition rate of the rice straw in the field with short bund distance (4 meters) is higher than in the field with long bund distance (8 meters). Decomposition rate based on the difference of litterbag showed that in field with short bund distance, coarse mesh litterbag have the higher rate with 93.91%, meanwhile medium mesh size about 89.07% and fine mesh about 81.58%. In long bund distance field, percentage of coarse -, medium - and fine mesh sizes are 88.98%; 85.87% and 78.53%, respectively. This result showed that the field with short bund distance have the higher decomposition rate, indicated that field with short bund distance has more soil fauna population that involved in decomposition process, compared to field with long bund distance.

(4)

PROSES DEKOMPOSISI JERAMI PADI PADA BUDIDAYA SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.)

DI KECAMATAN CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN

pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

NESYA AYU DEWI A14060573

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Intensification (S.R.I.) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor

Nama Mahasiswa : Nesya Ayu Dewi Nomor Pokok : A14060573

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc NIP. 19610607 199002 2 001 NIP.19500509 197703 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP: 19621113 198703 1 003

(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 1988. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Hilman Darmaputera dan Ibu R. Ati Ekawati. Penulis telah menempuh pendidikan dasar di TK. Nusa Indah Jakarta pada tahun 1993-1994, yang kemudian dilanjutkan di SD Muhammadiyah II Jakarta Pusat pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 216 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Ditahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 77 Jakarta dan lulus pada tahun 2006.

(7)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengelolaan Hayati Tanah untuk Meningkatkan Peran Fauna Tanah dalam Proses Dekomposisi Jerami Padi pada Budidaya System of Rice Intensification (S.R.I.) di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat kelulusan untuk menjadi Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Atas terselesaikannya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc. selaku dosen pembimbing pertama dan Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc. selaku dosen pembimbing kedua, yang telah memberikan banyak bantuan, saran, bimbingan, motivasi serta kesabarannya selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Ibu Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Darmawan, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik atas arahan dan bimbingannya selama menjalankan proses pendidikan di Departemen ITSL.

4. Bapak Jatnika selaku pemilik lahan NOSC Cibungbulang atas izinnya untuk menggunakan lahan NOSC sebagai lahan penelitian serta Bapak Opik, Bapak Sukar dan Bapak Ahdi yang telah banyak membantu selama penelitian di lapang.

5. Mama, Papa, Silvy Alexin dan seluruh Keluarga besar Darmaputera atas segala doa, pengorbanan, kesabaran dan kasih sayang tulus tanpa batas yang senantiasa diberikan kepada penulis.

6. Seluruh Staf Laboratorium Bioteknologi Tanah yang telah banyak memberi dukungan selama masa penelitian.

(8)

8. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Namun, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua.

Bogor, Januari 2011

(9)

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Hipotesis ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Fauna Tanah ... 3

2.1.1. Klasifikasi Fauna Tanah ... 3

2.1.2. Contoh Fauna Tanah Penting ... 6

2.2. Peranan Fauna Tanah ... 7

2.3. Pengukuran Aktivitas Fauna Tanah ... 9

2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktivitas Fauna Tanah ... 10

2.3.2. Dekomposisi Bahan Organik ... 11

2.4. System of Rice Intensification (S.R.I.) ... 12

III. BAHAN DAN METODE ... 14

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 14

3.2. Bahan dan Alat ... 14

3.3. Metode Penelitian ... 14

3.3.1. Tahap Persiapan ... 14

3.3.2. Tahap Pelaksanaan ... 17

3.4. Analisis Tanah ... 20

3.5. Analisis Data ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

4.1. Laju Dekomposisi Jerami Padi pada Plot dengan Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter ... 22

(10)

4.3. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Padi pada Plot dengan Jarak

Pematang 4 meter dan 8 meter ... 29

4.4. Hama Tanaman Padi ... 32

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1. Kesimpulan ... 34

5.2. Saran ... 34

(11)

Nomor Halaman Teks

1. Pengelompokkan Fauna Tanah Berdasarkan Keberadaan di dalam Tanah ... 4 2. Pengaruh Fauna Tanah terhadap Sifat Tanah dalam Ekosistem ... 9 3. Persentase Berat Sisa Jerami Padi (%) dengan Ukuran Litterbag yang

Berbeda pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter ... 22 4. Persentase Berat Sisa Jerami padi (%) pada Jarak Pematang 4 meter dan 8

meter ... 24 5. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Tanaman Padi pada Umur 8 MST ... 30

Lampiran

1. Sifat Kimia dan Fisik Tanah pada Lokasi Penelitian ... 40 2. Kandungan Hara Pupuk Urea, SP-36 dan KCl yang Digunakan dalam

Penelitian ... 40 3. Dosis Pupuk Tanaman Padi ... 40 4. Dosis Pupuk Tanaman Kedelai ... 41 5. Komponen Produksi Tanaman Padi yang Dihitung dari Jarak Pematang 4

meter dan 8 meter ... 41 6. Berat Jerami Padi (g) yang Hilang pada Plot Sawah dengan Jarak

Pematang 4 meter ... 42 7. Berat Jerami Padi (g) yang Hilang pada Plot Sawah dengan Jarak

Pematang 8 meter ... 43 8. Persentase Berat Sisa Jerami Padi yang Hilang Setelah Dieksposisi pada

Plot Sawah dengan Jarak Pematang 4 meter ... 44 9. Persentase Berat Sisa Jerami Padi yang Hilang Setelah Dieksposisi pada

(12)

Nomor Halaman Teks

1. Layout Plot Percobaan di Lapang ... 15

2. Litterbag Berukuran Halus, Sedang dan Kasar ... 17

3. Persentase Penurunan Jumlah Jerami Padi yang Menunjukkan Laju Dekomposisi ... 23

4. Persentase Penurunan Berat Jerami Padi pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter ... 25

5. Laju Dekomposisi Jerami Padi dalam Tiga Ukuran Litterbag... 27

6. Tinggi Tanaman Padi pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter ... 29

7. Jumlah Anakan Padi pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter ... 30

Lampiran 1. Produksi Tanaman Padi pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter ... 41

2. Persiapan Lahan Penelitian ... 46

3. Persemaian Benih Padi ... 46

4. Pemeliharaan Tanaman Padi ... 47

5. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Padi... 47

6. Tahap Panen Padi ... 47

7. Pematang yang Ditanami Kedelai ... 48

(13)

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu, namun meningkatnya jumlah penduduk ini, tidak disertai dengan peningkatan produksi bahan pangan utama, khususnya beras. Kondisi pertanian yang semakin mengkhawatirkan dengan produktivitas rendah menjadi masalah utama pertanian Indonesia saat ini. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya pengembangan sistem pertanian yang mampu meningkatkan produktivitas tanaman pangan, salah satunya adalah dengan metode System of Rice Intensification (S.R.I.). S.R.I. merupakan teknik budidaya tanaman padi yang mampu meningkatkan produktivitas padi dengan sistem manajemen tanah, tanaman, air dan unsur hara yang lebih baik dari teknik budidaya konvensional serta penggunaan input yang lebih efisien (Anugrah et al., 2008).

Prinsip utama S.R.I. antara lain meliputi: penanaman bibit muda ketika bibit masih berdaun dua helai (usia 8-12 hari setelah semai), penanaman satu bibit per titik tanam dengan akar yang tidak dibenamkan, jarak tanam yang lebar (minimal 30 x 30 cm), pemberian air secara macak-macak (lembab, tetapi tidak tergenang) dengan irigasi putus-putus, melakukan penyiangan/pendagiran sebanyak 2-3 kali dan sebisa mungkin menggunakan pupuk organik/kompos. Dengan prinsip budidaya seperti ini, S.R.I. akan memberikan produktivitas yang lebih banyak dari sistem penanaman padi konvensional (Mutakin, 2009).

Pengelolaan lahan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mencapai

(14)

dekomposisi bahan organik dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui unsur-unsur hara yang dihasilkan.

Pengelolaan hayati tanah pada lahan sawah, diantaranya adalah dengan modifikasi jarak pematang sawah. Widyastuti (2002) menyatakan bahwa kondisi yang tidak tergenang memiliki jumlah fauna tanah yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanah yang tergenang. Kondisi lahan padi budidaya S.R.I. yang tidak tergenang lebih cocok bagi pertumbuhan organisme tanah, karena kebutuhan oksigen lebih tercukupi pada lahan yang lembab. Fauna tanah yang tidak menyukai kondisi lahan tergenang ini, akan bermigrasi ke pinggir-pinggir atau pematang sawah saat air memasuki plot sawah sebagai pengairan.

Dalam penelitian ini, dipelajari peran fauna tanah dalam laju dekomposisi jerami padi pada plot dengan jarak pematang sempit (4 meter) dan lebar (8 meter). Pada plot sawah dengan jarak pematang sempit ditemukan populasi fauna tanah yang lebih banyak dibanding plot sawah dengan jarak pematang lebar, karena fauna tanah lebih mudah bermigrasi dari area tanam jika jarak pematangnya sempit (Widyastuti, 2002). Jarak pematang sawah dapat mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik dilihat dari banyaknya populasi fauna tanah pada lahan sawah.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mempelajari pengaruh jarak pematang sawah (4 m dan 8 m) terhadap peran fauna tanah dalam mendekomposisikan jerami padi pada budidaya S.R.I. 2. Mempelajari pengaruh jarak pematang sawah dan peran fauna tanah terhadap

pertumbuhan vegetatif tanaman padi.

1.3. Hipotesis

(15)

2.1. Fauna Tanah

Organisme tanah atau disebut juga biota tanah merupakan semua makhluk hidup, baik hewan (fauna) maupun tumbuhan (flora) yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada dalam sistem tanah. Fauna tanah merupakan salah satu makhluk hidup heterotrof yang hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen utama di dalam tanah (Richards, 1974). Fauna tanah merupakan bagian ekosistem tanah yang kehidupannya tidak sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor lain di dalam lingkungan. Adanya interaksi tersebut dapat mempengaruhi keberadaannya, penyebaran dan kepadatan fauna tanah. Fauna tanah adalah hewan yang hidup di tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun di dalam tanah. Kelompok hewan tanah sangat banyak dan beraneka ragam, mulai dari Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda hingga Vertebrata (Suin, 2006).

2.1.1. Klasifikasi Fauna Tanah

Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuh, kehadiran dalam tanah, habitat yang dipilihnya dan kegiatan makannya (Suin, 2006).

a) Ukuran Tubuh

(16)

(1) Mikrofauna, memiliki rentang ukuran tubuh 20 μm sampai 200 μm. Hanya ada satu kelompok pada kategori ini, yaitu Protozoa, meskipun ukuran terkecil dari Tungau, Nematoda, Rotifera, Tardigrada dan Crustacea dapat dimasukkan pada rentang ukuran tubuh ini.

(2) Mesofauna, memiliki rentang ukuran tubuh 200 μm sampai 1 cm. Kelompok Mikroarthropoda (Acari/tungau dan Collembola) adalah anggota penting dalam grup ini yang juga meliputi Nematoda, Rotifera, Tardigrada serta sebagian besar kelompok Araneida (laba-laba), Chelonethi (kalajengking), Opiliones, Enchytraeidae, larva serangga, ukuran terkecil dari kaki seribu dan Isopoda.

(3) Makrofauna, memiliki ukuran tubuh lebih dari 1 cm. Kategori ini meliputi kelompok Lumbricidae, Mollusca, serangga, Arachnida yang berukuran besar dan vertebrata kecil penghuni tanah.

b) Keberadaan dalam Tanah

Pengelompokan fauna tanah berdasarkan keberadaannya di dalam tanah dibagi menjadi empat kategori, yaitu transient, temporary, periodic dan permanent. Pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengelompokkan Fauna Tanah Berdasarkan Keberadaan di dalam Tanah

Kategori Keterangan Contoh Fauna

Transient Fauna yang meletakkan telur dan kepompongnya di dalam tanah, tetapi ketika masuk tahap kehidupan yang aktif tidak lagi berada di dalam tubuh tanah

Beberapa insekta

Temporary Awal kehidupan aktifnya berada di dalam tanah, sedangkan kehidupan selanjutnya berada di luar tanah

Larva dari insekta

Periodic Fauna yang sering sekali keluar masuk tanah

Beberapa insekta

Permanent Seluruh siklus hidupnya berlangsung di dalam tanah

Collembola, Acari

(17)

c) Habitat

Berdasarkan habitatnya, fauna tanah ada yang digolongkan sebagai epigeon, hemiedafon dan euedafon. Hewan epigeon hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, hemiedafon pada lapisan organik tanah dan euedafon hidup pada tanah lapisan mineral (Suin, 2006).

d) Perilaku Makan

Beberapa fauna tanah merupakan herbivora, karena mereka memakan langsung akar tanaman hidup, tetapi paling banyak yang memakan bahan tanaman mati, mikroba yang berasosiasi dengan akar tanaman mati, atau kombinasi dari keduanya. Fauna tanah lainnya adalah karnivora, parasit dan predator (Coleman et al., 2004). Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan perilaku makannya menjadi:

(1)Carnivore, yaitu predator (Carabidae, Pselaphidae, Scydmaenidae, kumbang Staphylinidae, tungau Mesostigmata dan Prostigmata, laba-laba, kalajengking, lipan, Nematoda serta Mollusca) dan binatang parasit (Ichneumonidae, Diptera parasit dan Nematoda).

(2)Phytophagous, yaitu fauna pemakan tumbuhan (Mollusca dan larva Lepidoptera), fauna pemakan akar tanaman (Nematoda parasit tanaman, Symphylidae, larva Diptera, Coleoptera, Lepidoptera, Mollusca dan Orthoptera pelubang) serta fauna pemakan kayu (rayap, larva kumbang dan tungau Pthiracaroidae).

(3)Saprophagous, yaitu fauna pemakan tanaman mati dan bahan organik yang busuk (Lumbricidae, Enchytraeid, Isopoda, Milipedes, tungau, Collembola dan serangga). Beberapa dari mereka juga merupakan pemakan feses (coprophages), pemakan kayu (xylophages) dan pemakan bangkai (necrophages) yang seringkali disebut sebagai detritivor.

(4)Microphytic-feeders, yaitu fauna pemakan jamur, alga, lichens dan bakteri, misalnya tungau Saprophagous, Collembola serta serangga pemakan fungi. (5)Miscellaneous-feeders, yaitu fauna pemakan tanaman atau hewan, misalnya

(18)

2.1.2. Contoh Fauna Tanah Penting a) Cacing

Cacing tanah merupakan fauna tanah yang umum dijumpai, salah satu fauna tanah yang penting dan berpengaruh besar dalam sistem tanah. Fauna tanah ini memiliki tubuh yang lunak, terdiri dari beberapa segmen dan rentang ukuran tubuh yang luas, yaitu dari beberapa milimeter sampai 1 meter. Cacing tanah memproduksi kotoran (kasting) yang berpengaruh bagi struktur tanah (Coleman et al., 2004). Iswandi (1990) menyebutkan bahwa cacing tanah sangat sensitif terhadap kemasaman tanah. Cacing tanah menyukai habitat yang lembab. Mereka memerlukan bahan organik dan akan hidup baik di daerah yang dapat menyediakan banyak bahan organik (Soepardi, 1983).

Menurut Richards (1974), cacing-cacing Oligochaeta kecil (Enchytraeid) berwarna putih, sering hadir dalam tanah dengan jumlah yang sangat besar dan tidak terdistribusi secara merata, melainkan membentuk kelompok-kelompok. Enchytraeid sangat sensitif terhadap kekeringan dan paling banyak ditemukan pada tanah di daerah beriklim basah. Jumlah Enchytraeid maksimum ditemukan pada tanah masam dengan kandungan bahan organik yang tinggi, dimana populasinya kemungkinan mencapai 105/m2.

b) Semut dan Rayap

Semut terdapat hampir di semua habitat, dimulai dari tempat yang lembab sampai panas (Wallwork, 1970). Semut dan rayap merupakan serangga sosial yang hidup secara berkoloni dan membentuk sarang atau gundukan tanah sebagai tempat berlindung. Biasanya jumlah koloni dari serangga sosial ini terdiri dari ratusan, ribuan sampai jutaan individu (Wallwork, 1982). Menurut Richards (1974), rayap dapat dikelompokkan berdasarkan makanannya, yaitu rayap pemakan kayu, pemakan humus atau perombak organik dan pemakan fungi. Rayap dapat hidup pada habitat yang kering.

c) Coleoptera (kumbang)

(19)

kotoran, bangkai dan sebagainya. Jumlah kumbang sangat besar dan habitatnya bervariasi. Beberapa spesies menghabiskan hidupnya di dalam sampah, sedangkan yang lainnya menggali tanah dengan kedalaman beberapa sentimenter serta membawa kotoran atau bentuk bahan organik lainnya ke dalam tanah tersebut (Adianto, 1993).

d) Collembola dan Acari

Collembola hanya ada pada keadaan yang lembab, tetapi beberapa dari mereka dapat tahan terhadap kekeringan sampai batas tertentu. Makanan Collembola sangat bervariasi, yaitu bakteri, jamur, hifa dan spora, mendekomposisi bahan organik, kotoran, tanaman serta hewan. Collembola tidak berperan langsung dalam penyediaan nutrisi tanah, tetapi mereka aktif dalam fragmentasi serasah tanaman dan dalam hal ini dapat berperan langsung terhadap tanah (Richards, 1974). Collembola hidup pada habitat yang tersembunyi, seperti reruntuhan daun, di bawah kulit kayu, kulit kayu yang membusuk dan pada jamur. Collembola merupakan fauna tanah dengan persentase yang besar dan penting dalam menghancurkan zat-zat organik dan mendorong kesuburan tanah. Acari ditemukan di dalam tumpukan daun, di bawah kulit kayu, di bawah tanah serta batu-batu (Borror et al., 1992).

Acari/tungau merupakan fauna tanah yang keberadaannya paling banyak diantara fauna tanah lainnya. Acari terdiri dari empat jenis, yaitu: Prostigmata, Mesostigmata, Astigmata dan Cryptostigmata. Anggota tungau Prostigmata dan Mesostigmata biasanya aktif berkembang di dalam tanah dan beberapa diantaranya bersifat predator. Beberapa tungau Cryptostigmata berukuran lebih kecil, pergerakannya lambat dan bersifat detritivor. Tungau Astigmata tidak selalu berada di dalam tanah (Richards, 1974).

2.2. Peranan Fauna Tanah

(20)

lain. Sebagai ˝transformator serasah˝, seperti microarthropods, fragmen serasah yang membusuk dapat meningkatkan ketersediaan mikroba. Sebagai ˝ mikro-jejaring makanan˝, termasuk kelompok mikroba dan mikrofauna predator (Nematoda dan Protozoa). Ketiga tingkat partisipasi ini beroperasi pada ukuran, tata ruang dan skala waktu yang berbeda.

Fauna tanah berperan dalam memperbaiki struktur tanah melalui

penurunan berat jenis, peningkatan ruang pori, aerasi, drainase, kapasitas

penyimpanan air, dekomposisi bahan organik, pencampuran partikel tanah,

penyebaran mikroba dan perbaikan struktur agregat tanah. Walaupun pengaruhnya

terhadap pembentukan tanah dan dekomposisi bahan organik bersifat tidak

langsung, secara umum fauna tanah dapat dipandang sebagai pengatur terjadinya

proses dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah dapat

meningkatkan P tersedia tanah dan jumlah kation, menurunkan rasio C/N,

mengeliminir Al dalam tanah, meningkatkan ruang pori total, menurunkan bulk density serta meningkatkan pori drainase dan permeabilitas tanah (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008).

Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan makanan. Tanah diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror et al., 1992).

Biota tanah seperti Oligochaeta, Collembola dan Acari berperan dalam dekomposisi bahan organik, distribusi hara, pencampuran tanah dan pembentukan

agregat tanah. Cacing tanah yang dalam siklus hidupnya dapat membuat lubang

dalam tanah dapat mencegah pemadatan tanah, mempertebal tanah lapisan atas

dan meningkatkan ketersediaan hara (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

(21)

kation. Hal ini disebabkan kotoran cacing tanah mengandung lebih banyak unsur hara dan C-organik daripada tanah aslinya. Kotoran cacing berpengaruh terhadap keragaman populasi mikroorganisme (Ma’shum et al., 2003). Pengaruh fauna tanah terhadap sifat tanah dalam ekosistem dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Fauna Tanah terhadap Sifat Tanah dalam Ekosistem

Fauna Tanah Aktivitas Pengaruh terhadap Tanah Mikrofauna Mengatur populasi bakteri

dan fungi

Mempengaruhi struktur agregat tanah dan berinteraksi dengan mikroflora

Perombakan unsur hara Mesofauna Mengatur populasi fungi dan

mikrofauna

Menghasilkan fecal pellets

Perombakan unsur hara Menciptakan biopore Menghancurkan sisa

tanaman

Meningkatkan humifikasi

Makrofauna Menghancurkan sisa tanaman

Mencampurkan bahan organik dan bahan mineral

Merangsang kegiatan mikroorganisme

Penyebaran bahan organik dan mikroorganisme

Menciptakan biopore Meningkatkan humifikasi

Menghasilkan fecal pellets

Sumber: Hendrix et al. (1990) dalam Coleman et al. (2004)

2.3. Pengukuran Aktivitas Fauna Tanah

(22)

mesofauna (Collembola dan tungau) dan makrofauna (Arthropoda dan cacing) dalam proses dekomposisi bahan organik (Killham, 1994).

Laju dekomposisi dipelajari dengan menggunakan litterbag yang terbuat dari stainless-steel, berukuran 20 x 20 cm dengan ukuran mesh yang berbeda, yaitu 0.038 mm, 0.25 mm dan 10 mm. Litterbag yang berukuran mesh 10 mm melibatkan semua ukuran fauna tanah, mesh 0.25 mm tidak melibatkan makrofauna dan mesh 0.038 mm tidak melibatkan mesofauna maupun makrofauna (Widyastuti, 2002). Litterbag merupakan metode yang berharga dalam mempelajari perbandingan laju dekomposisi. Litterbag yang berisi serasah daun dan sejenisnya ditempatkan pada suatu lahan, kemudian litterbag tersebut dikumpulkan pada suatu waktu dan dihitung sisa serasah yang ada dalam litterbag (Coleman et al., 2004).

Untuk mengetahui kelimpahan, biomassa dan keanekaragaman fauna tanah serta aktivitasnya di hutan, kebun dan sawah tadah hujan dapat juga dievaluasi dengan menggunakan metode Bait lamina (Torne, 1990a dalam Widyastuti, 2002). Bait lamina merupakan metode sederhana, tidak mahal dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam mengukur aktivitas fauna tanah. Bait lamina terbuat dari lempengan plastik berukuran 120 x 6 x 1 mm, dengan potongan runcing di ujungnya. Pada bagian bawah, terdapat 16 lubang berdiameter 5.5 mm yang diisi dengan bahan-bahan campuran antara selulosa, agar-agar, serbuk dedak dan sedikit karbon aktif. Bait lamina dimasukkan ke dalam tanah selama 2 hari. Metode ini didesain untuk mengukur tingkat dekomposisi bahan organik yang melibatkan fauna tanah. Aktivitas fauna tanah dihitung dari banyaknya lubang yang kosong (sebagai lubang yang isinya sudah dimakan) pada akhir waktu eksposisi (Widyastuti, 2006).

2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktivitas Fauna Tanah

(23)

suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Keberadaan dan kepadatan fauna tanah juga sangat tergantung pada pH tanah. Fauna tanah ada yang dapat hidup pada tanah dengan pH masam dan ada pula yang senang pada tanah yang pH nya basa (Suin, 2006).

Agroekosistem dengan pengolahan lahan yang secara fisik mempengaruhi agregasi tanah juga mempengaruhi dinamika organisme tanah. Pengaruh penghancuran agregat tanah dalam pengolahan berkaitan erat dengan peningkatan laju dekomposisi bahan organik yang akhirnya berkaitan dengan aktivitas biota tanah. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas organisme tanah adalah ketersediaan hara dalam tanah, air tanah, atmosfer tanah, potensi redoks tanah, kemasaman (pH) tanah, temperatur tanah dan cahaya dalam tanah (Makalew, 2001).

Tian et al. (1997) menyatakan bahwa bahan organik merupakan sumber energi bagi fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Fauna tanah berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah. Mikro flora dan fauna tanah saling berinteraksi karena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh.

2.3.2. Dekomposisi Bahan Organik

(24)

Dekomposisi serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh organisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah) atau sering disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana (Sutedjo et al., 1991). Ma’shum et al. (2003) menyatakan proses dekomposisi bahan organik di dalam tanah memiliki beberapa tahapan proses. Tahapan pertama adalah tahap penghancuran bahan organik segar menjadi partikel yang berukuran kecil-kecil yang dilakukan oleh cacing tanah dan makrofauna yang lain. Tahapan selanjutnya yaitu tahapan transformasi, dimana pada tahap ini, sebagian senyawa organik akan terurai dengan cepat, sebagian terurai dengan kecepatan sedang dan bagian yang lain terurai secara lambat.

2.4. System of Rice Intensification (S.R.I.)

System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan suatu inovasi metode

dengan menggunakan cara-cara yang tidak biasa, tetapi secara bersamaan dapat meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja, air dan investsi modal dalam produksi padi sawah (Uphoff, 2008). Metode S.R.I. pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, seorang Pastor asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Metode ini dalam bahasa Prancis dinamakan Le Systme de Riziculture Intensive disingkat S.R.I. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification (Mutakin, 2009).

(25)

produksi dan efisiensi usaha tani secara finansial dan (4) pangsa harga pasar produk lebih tinggi (Anugrah et al., 2008).

Berkelaar (2001) memaparkan penjelasan ilmiah secara singkat terkait penerapan S.R.I., antara lain sebagai berikut: (1) Adanya proses fiksasi biologis nitrogen. Bakteri-bakteri di dalam dan sekitar akar padi memiliki kemampuan menyediakan dan menguraikan nitrogen untuk tanaman, tetapi potensi ini tidak akan nyata bila penggunaan pupuk N kimia diteruskan atau kondisi tanah anaerob dan tergenang. (2) Mempertahankan tanah agar tetap teraerasi, lembab dan tidak tergenang, agar akar dapat bernafas. (3) Tranplantasi bibit muda untuk mempertahankan potensi pertambahan batang dan pertumbuhan akar yang optimal serta menanam pada jarak tanam yang cukup lebar serta satu bibit per titik tanam dapat mengurangi kompetisi tanaman dalam serumpun maupun antar rumpun. (4) Tanaman dengan akar yang bebas menyebar dapat menyerap hara apapun di dalam tanah. Pertumbuhan akar yang bebas hanya mungkin terjadi pada akar bibit muda yang punya banyak ruang dan oksigen.

(26)

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Pengukuran laju dekomposisi jerami padi dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: benih padi varietas Ciherang, benih kedelai varietas Wilis, pupuk anorganik (Urea dengan kadar N-total 46.77 %, SP-36 dengan kadar P 36.84 %, dan KCl dengan kadar K 60.73 %), jerami padi dan bahan-bahan untuk pestisida nabati. Tanah pada lokasi penelitian ini sebelumnya selalu digunakan untuk pertanian organik. Tanah ini memiliki tekstur liat, pH 5.8, KB sedang, KTK rendah dan kandungan hara (Ca, Mg, Na, K) yang relatif sedang.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian meliputi: litterbag dengan tiga ukuran mesh yang berbeda, yaitu halus (0.038 mm), sedang (0.25 mm) dan kasar (10 mm), sebagai kantung jerami padi yang diekspos pada plot sawah. Alat untuk mengukur laju dekomposisi adalah oven dengan suhu 1050C (untuk mendapatkan bobot kering jerami padi), muffle dengan suhu 7000C (untuk pengabuan jerami padi) dan timbangan.

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Tahap Persiapan a) Lahan Percobaan

Penelitian ini dirancang dengan perlakuan jarak pematang, 2 level dan 4 ulangan, yaitu:

(27)

Plot percobaan yang dibuat berjumlah 12 plot, dengan setiap perlakuan jarak pematang memiliki 4 plot ulangan yang diletakkan litterbag. Persiapan lahan dilakukan untuk mengatur keadaan air, mengolah tanah dan membuat plot percobaan. Pengolahan lahan dilaksanakan satu minggu sebelum penanaman dan dilakukan dengan pembajakan, penggarukan dan penggenangan. Setiap plot percobaan memiliki saluran air masuk (inlet) dan saluran air keluar (outlet).

(28)

b) Persiapan Benih Padi dan Kedelai

Benih padi yang digunakan adalah padi dengan varietas Ciherang. Sebelum benih padi disemai, terlebih dahulu dilakukan uji kualitas benih agar mendapatkan benih yang berisi (tidak hampa) untuk disemai. Setelah benih yang berisi terpilih, benih direndam dengan air bersih selama satu malam. Kemudian benih diperam dalam karung goni selama 2 malam, tujuannya untuk menumbuhkan kecambah pada ujung benih. Benih yang telah berkecambah tersebut disemai pada nampan-nampan yang berisi campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 1:1. Nampan-nampan tersebut diletakkan pada lokasi yang cukup terkena cahaya, namun tidak terkena hujan. Penyiraman rutin dilakukan setiap hari dan tunggu sampai benih menjadi bibit muda siap tanam (berdaun dua helai, usia 8 – 12 hari setelah semai).

Benih kedelai yang digunakan adalah kedelai dengan varietas Wilis. Sebelum benih kedelai ditanam, dilakukan perendaman benih dengan air hangat selama ±3 jam. Tujuannya agar benih kedelai merekah, sehingga mudah berkecambah saat ditanam. Setelah direndam, benih kedelai dijemur dengan cara dikeringudarakan sampai benih kering. Kemudian benih kedelai telah siap tanam.

c) Persiapan Litterbag

(29)

Gambar 2. Litterbag Berukuran Halus, Sedang dan Kasar

3.3.2. Tahap Pelaksanaan a) Penanaman Padi dan Kedelai

Bibit padi muda yang berumur 8 hari ditanam pada plot-plot percobaan yang telah disiapkan. Bibit ditanam dengan jarak tanam 30 x 30 cm sebanyak satu bibit setiap titik tanam dengan posisi akar membentuk huruf L. Pengairan diatur sampai tanah mencapai kondisi lembab, tetapi tidak tergenang. Untuk tanaman kedelai, benih yang telah siap ditanam di semua pematang yang mengelilingi plot percobaan. Lebar pematang yang dibuat adalah 30 cm. Pada pematang yang akan ditanami, dibuat lubang-lubang kecil terlebih dahulu dengan menggunakan tugal. Jarak antar tanaman sekitar 30 cm dengan 2 – 3 butir benih kedelai per lubangnya. Tujuan penanaman kedelai di pematang adalah sebagai tanaman naungan bagi fauna tanah, agar suhu di pematang tidak terlalu panas sehingga disukai oleh fauna. Selain itu juga sebagai salah satu sumber bahan organik bagi fauna tanah yang berimigrasi dari plot sawah ke pematang, sehingga akan semakin banyak fauna tanah yang hadir dan tanah menjadi semakin subur. Dari segi ekonomi, sebagai upaya memaksimalkan lahan dengan penanaman komoditas lain yang tentunya akan memberikan keuntungan lebih bagi petani.

b) Pemupukan dan Perawatan Tanaman

(30)

ini dilakukan karena sifat N yang terkandung pada pupuk urea mudah menguap, sehingga agar pemberian pupuk efektif dan dapat diserap tanaman sebelum urea yang ditebarkan habis karena menguap. Aplikasi SP-36 dan KCl dilakukan satu kali dengan dosis 100%.

Pemupukan tanaman padi dilakukan pada minggu pertama, yaitu satu hari setelah tanam. Saat dilakukan pemupukan padi, jangan sampai ada banyak air yang menggenangi lahan, agar tidak terjadi pencucian hara. Untuk tanaman padi, dosis pupuk Urea, SP-36 dan KCl yang diberikan pada satu kali aplikasi adalah sebagai berikut: (1) Jarak pematang 4 m (luas plot 20 m2): 250 g Urea/plot; 200 g SP-36/plot dan 200 g KCl/plot, (2) Jarak pematang 8 m (luas plot 40 m2): 500 g Urea/plot; 400 g SP-36/plot dan 400 g KCl/plot.

Pemupukan pada tanaman kedelai dilakukan pada 3 MST (Minggu Setelah Tanam), saat tanaman kedelai telah tumbuh. Pupuk diberikan di sepanjang pematang yang ditanami kedelai dengan dibuat alur dekat tanaman terlebih dahulu. Untuk tanaman kedelai, dosis pupuk Urea, SP-36 dan KCl yang diberikan pada satu kali aplikasi, yaitu: (1) Jarak pematang 4 m (total luas pematang 32.7 m2): 408.75 g Urea; 327 g SP-36 dan 327 g KCl, (2) Jarak pematang 8 m (total luas pematang 26.7 m2): 333.75 g Urea; 267 g SP-36 dan 267 g KCl.

(31)

c) Pengukuran Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Padi

Pengamatan data agronomis tanaman dilakukan setiap 2 minggu sekali, yaitu pada 2, 4, 6 dan 8 MST. Pengamatan dilakukan pada 10 contoh tanaman yang dipilih secara acak pada masing-masing plot ulangan. Komponen pertumbuhan tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman dan jumlah anakan (jumlah batang per rumpun). Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi pada saat fase vegetatif. Jumlah batang yang dihitung adalah jumlah batang yang masih aktif (tidak mati).

d) Pengukuran Laju Dekomposisi Jerami padi

Satu set litterbag berukuran halus, sedang dan kasar dieksposisi pada plot sawah secara berdekatan di satu titik dengan kedalaman tanah ±3 cm. Pengambilan kembali litterbag berisi sampel jerami padi dilakukan pada hari ke-30, 60 dan 90 setelah tanam. Laju dekomposisi ini diukur dari berat jerami padi yang berkurang. Pada setiap waktu eksposisi, diambil satu set litterbag di setiap plot ulangan. Jerami padi dikeluarkan dari kantung litterbag, dibersihkan dan dicuci dengan air untuk menghilangkan butiran tanah yang menempel pada jerami. Kemudian jerami padi dimasukkan dalam kantung kertas yang bobotnya telah ditimbang sebelumnya. Lalu jerami padi dalam kantung kertas dikeringudarakan dan ditimbang untuk mendapatkan Bobot Kering Udara (BKU). Setelah itu jerami padi dimasukkan kedalam oven 1050C selama 24 jam, timbang berat keringnya dan hitung Bobot Kering Mutlak (BKM).

Tahap berikutnya dilakukan pengabuan, yaitu jerami padi dihancurkan dengan mesin penggiling tanaman, ditimbang pada cawan porselen, dimasukkan ke dalam muffle dengan suhu 7000C selama ±3 jam, setelah itu ditimbang berat abunya. Pengabuan ini dilakukan untuk memisahkan substrat dengan material lainnya, seperti tanah yang masih menempel pada jerami padi, agar diketahui substrat jerami padi sesungguhnya. Laju dekomposisi diukur dengan menghitung selisih berat jerami padi sebelum dieksposisi dengan berat jerami padi setelah dieksposisi.

(32)

Keterangan:

E = Berat jerami padi yang hilang setelah dieksposisi (g) A = Berat kering jerami padi sebelum dieksposisi (BKM) (g)

A = BKU/(1+F1)

F1 = Faktor koreksi 1, yaitu rataan kadar air jerami padi sebelum dieksposisi C = Berat abu dari jerami padi sebelum dieksposisi (g)

C = F2 x A

F2 = Faktor koreksi 2, yaitu rataan berat abu sebelum dieksposisi B = Berat kering jerami padi setelah dieksposisi (BKM) (g)

B = BKU/(1+F3)

F3 = Faktor koreksi 3, yaitu kadar air jerami padi setelah dieksposisi D = Berat abu dari jerami padi setelah dieksposisi (g)

D = F4 x B

F4 = Faktor koreksi 4, yaitu rataan berat abu setelah dieksposisi Xa = Persentase berat jerami padi yang hilang setelah dieksposisi (%)

3.4. Analisis Tanah

(33)

3.5. Analisis Data

(34)

4.1. Laju Dekomposisi Jerami Padi pada Plot dengan Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter

Laju dekomposisi jerami padi pada plot dengan jarak pematang 4 m dan 8 m disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Berat Sisa Jerami Padi (%) dengan Ukuran Litterbag yang Berbeda pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter

Jarak Pematang (m)

Ukuran Mesh (mm)

Waktu Eksposisi (hari)

30 60 90

4 10 14.74 aAB 11.74 aAB 6.09 aA

0.25 29.22 abB 14.45 aA 10.93 abA

0.038 42.22 bB 21.24 aAB 18.42 bcA

8 10 15.45 aAB 17.89 aB 11.02 abAB

0.25 34.54 bB 17.38 aA 14.13 abcA

0.038 40.45 bB 26.60 aAB 21.47 cAB Keterangan: Pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dan baris yang diikuti oleh

huruf besar yang sama, tidak berbeda nyata menurut Uji Lanjut Duncan 5% berdasarkan waktu eksposisi (hari) dan ukuran litterbag pada setiap jarak pematang.

Berdasarkan Tabel 3, pada plot sawah dengan jarak pematang 4 m laju dekomposisinya lebih cepat daripada jarak pematang 8 m. Hal ini terlihat dari persentase berat sisa jerami padi yang lebih tinggi pada jarak pematang 8 m dibandingkan dengan jarak pematang 4 m, kecuali pada litterbag halus di hari ke-30. Lebih cepatnya laju dekomposisi pada plot dengan jarak pematang 4 m, diduga karena pada plot dengan jarak pematang yang sempit, jumlah populasi fauna tanahnya lebih banyak dibandingkan dengan plot berjarak pematang 8 m. Menurut hasil penelitian Damayanti (Unpublish), plot dengan jarak pematang 4 m memiliki total jumlah populasi fauna tanah lebih banyak (26239 individu/m2), dibanding dengan jarak pematang 8 m (8403 individu/m2).

[image:34.612.135.510.232.346.2]
(35)

m) terlalu jauh untuk fauna tanah berpindah tempat. Diperkirakan fauna tanah sudah mati sebelum mereka sampai ke pematang. Oleh karena itu, jumlah fauna tanah pada plot sawah dengan jarak pematang 4 m lebih banyak daripada jarak pematang 8 m (Damayanti, Unpublish) dan mengakibatkan laju dekomposisi pada jarak pematang sempit lebih cepat dari jarak pematang lebar.

Lamanya waktu (hari) eksposisi jerami padi akan mempengaruhi proses dekomposisi. Semakin lama waktu dalam proses dekomposisi, maka bahan-bahan yang dirombak atau dihancurkan akan menjadi lebih sederhana dan berkurang. Dapat dilihat pada Tabel 3, persentase berat sisa jerami padi semakin berkurang pada hari ke-30, 60 dan 90. Sebagaimana dijelaskan oleh Barnes et al. (1997) bahwa fauna tanah memainkan peranan yang sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik, yaitu dengan cara: menghancurkan jaringan bahan organik secara fisik, melakukan pembusukan pada bahan seperti gula, selulosa dan lignin, merubah sisa-sisa tumbuhan menjadi humus, menggabungkan bahan yang membusuk pada lapisan tanah bagian atas serta membentuk kemantapan agregat antara bahan organik dan bahan mineral tanah.

Laju dekomposisi jerami padi pada perlakuan pematang 4 m dan 8 m berdasarkan ukuran litterbag kasar, sedang dan halus ditampilkan pada Gambar 3.

(a) (b)

Gambar 3. Persentase Penurunan Jumlah Jerami Padi yang Menunjukkan Laju Dekomposisi (a. Pematang 4 meter, b. Pematang 8 meter)

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa pada 30 hari pertama, terjadi penurunan persentase berat jerami padi yang tinggi pada plot dengan jarak pematang 4 m dan 8 m. Untuk jarak pematang 4 m, penurunan berat jerami yang terjadi sebesar 85.26%; 70.78% dan 57.78% (berturut-turut pada litterbag

0 20 40 60 80 100

0 30 60 90

Waktu (hari) S is a S era sa h ( % ) 0 20 40 60 80 100

0 30 60 90

(36)

berukuran kasar, sedang dan halus). Pada jarak pematang 8 m, penurunan yang terjadi sebesar 84.55%; 65.46% dan 59.55% (berturut-turut pada litterbag berukuran kasar, sedang dan halus). Hal ini menunjukkan adanya laju dekomposisi yang cepat di 30 hari pertama karena fauna tanah yang terdapat pada plot sawah mendekomposisikan bahan-bahan yang mudah didekomposisi terlebih dahulu. Menurut Nandi (2000), bahan-bahan serasah yang mudah didekomposisi meliputi gula, zat pati dan protein. Bahan yang agak sulit didekomposisi adalah hemiselulosa dan selulosa, sedangkan bahan yang resisten untuk didekomposisi adalah lignin dan lipid.

Laju dekomposisi pada hari ke-60 dan 90 berjalan lambat, dikarenakan fauna tanah mendekomposisikan bahan-bahan tersisa dari jerami padi yang sudah sulit untuk didekomposisikan, seperti lignin. Soepardi (1983) menyebutkan bahwa lignin merupakan senyawa-senyawa yang sulit dilapuk dan ditemukan dalam jaringan tumbuhan tua, seperti batang dan kayu. Persentase berat jerami padi yang hilang pada masing-masing ukuran litterbag kasar, sedang dan halus untuk jarak pematang 4 m pada hari ke-60 adalah sebesar 88.26%; 85.55% dan 78.76%; pada hari ke-90 sebesar 93.91%; 89.07% dan 81.58%. Untuk jarak pematang 8 m, persentase berat jerami padi yang hilang pada hari ke-60 sebesar 82.12%; 82.62% dan 73.40%; pada hari ke-90 sebesar 88.98%; 85.87%; dan 78.53% (berturut-turut pada litterbag ukuran kasar, sedang dan halus).

Perbedaan persentase berat sisa jerami padi pada jarak pematang 4 m dan 8 m disajikan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Berat Sisa Jerami padi (%) pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter

Jarak Pematang (m)

Waktu Eksposisi (hari)

30 60 90

4 28.72 aB 15.81 aA 11.82 aA

8 30.15 aB 20.62 aAB 15.54 aA Keterangan: Pada kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama dan baris yang

diikuti oleh huruf besar yang sama, tidak berbeda nyata menurut Uji Lanjut Duncan 5% berdasarkan waktu eksposisi (hari) dan jarak pematang.

(37)

pematang 4 m, terdapat perbedaan yang nyata, namun antara hari ke-60 dengan hari ke-90, perbedaannya tidak nyata meskipun hari ke-90 menunjukkan sisa jerami padi yang lebih sedikit dari hari ke-60. Terjadi penurunan berat jerami padi yang drastis pada 30 hari pertama. Kemudian penurunan berat jerami padi berjalan lambat pada hari ke-60 dan 90.

Perbandingan laju dekomposisi jerami padi antara jarak pematang 4 m dan 8 m ditampilkan pada Gambar 4.

0 20 40 60 80 100 120

0 30 60 90

Waktu (hari)

S

is

a

S

er

a

sa

h

(

%

)

4 m 8 m

Gambar 4. Persentase Penurunan Berat Jerami Padi pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter

(38)

4.2. Laju Dekomposisi Jerami padi Berdasarkan Perbedaan Ukuran Litterbag pada Litterbag Kasar, Sedang dan Halus

Laju dekomposisi jerami padi juga dipengaruhi oleh perbedaan ukuran litterbag. Mengacu pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa persentase berat sisa jerami padi paling banyak di hari ke-90 adalah pada litterbag ukuran mesh 0.038 mm (halus), yaitu 18.42 % dan 21.47 % (untuk jarak pematang 4 m dan 8 m). Kemudian litterbag ukuran mesh 0.25 mm (sedang) memiliki persentase berat sisa jerami padi sebesar 10.93 % dan 14.13 % (untuk jarak pematang 4 m dan 8 m). Persentase berat sisa jerami padi yang paling sedikit adalah pada litterbag ukuran mesh 10 mm (kasar), yaitu 6.09 % dan 11.02 % (untuk jarak pematang 4 m dan 8 m). Hal ini disebabkan karena litterbag halus hanya dapat dimasuki oleh mikroorganisme, sehingga hanya mikrofauna atau mikroorganisme saja yang berperan dalam proses dekomposisi. Litterbag sedang dapat dimasuki oleh mesofauna dan mikrofauna, sehingga berat jerami padi yang tersisa lebih sedikit dari litterbag halus, sedangkan pada litterbag kasar, yang terlibat dalam proses dekomposisi adalah semua ukuran fauna tanah, baik makro, meso maupun mikro.

(39)

Gambar 5. Laju Dekomposisi Jerami Padi dalam Tiga Ukuran Litterbag (a. Litterbag Kasar, b. Litterbag Sedang, c. Litterbag Halus)

Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat bahwa laju dekomposisi jerami padi pada kedua level jarak pematang berdasarkan ukuran litterbag, yang paling tinggi adalah laju dekomposisi pada litterbag ukuran kasar. Laju dekomposisi litterbag kasar pada jarak pematang 4 m cenderung lebih tinggi daripada jarak pematang 8 m. Pada litterbag ukuran kasar, makrofauna seperti semut dan kumbang adalah yang paling berperan dalam proses dekomposisi. Hal ini mengacu pada penelitian Damayanti (Unpublish) yang menyebutkan bahwa Hymenoptera (semut) dan Coleoptera (kumbang) adalah makrofauna yang keberadaannya paling dominan pada plot sawah. Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan dengan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah. Seperti disebutkan oleh Arief (2001), makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik tanah dan penyediaan unsur hara. Makrofauna akan meremah-remah substansi nabati yang mati, kemudian bahan tersebut akan dikeluarkan dalam bentuk kotoran.

[image:39.612.160.459.76.293.2]
(40)

yang ukurannya lebih dari 2 mm. Pada litterbag ukuran sedang ini, laju dekomposisi jerami padi pada jarak pematang 4 m cenderung lebih tinggi daripada jarak pematang 8 m. Mesofauna yang keberadaanya paling dominan di dalam tanah adalah tungau/Acari dan Collembola, yang ditemukan pada sebagian besar jenis tanah (Coleman et al., 2004). Damayanti (Unpublish) menyebutkan bahwa Collembola adalah mesofauna yang paling dominan dengan populasi mencapai 9957 individu/m2 (pada plot dengan jarak pematang 4 m) dan 3101 individu/m2 (pada plot dengan jarak pematang 8 m).

Keberadaan mesofauna dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah. Dengan ketersediaan energi dan hara bagi mesofauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas mesofauna tanah akan berlangsung baik dan akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah (Arief, 2001). Semakin banyaknya fauna tanah yang terdapat pada lahan, maka semakin kompleks rantai makanan yang terjadi di dalam sub-sistem tanah tersebut. Hal ini mengakibatkan semakin efisiennya proses dekomposisi dan immobilisasi unsur hara hasil mineralisasi (Sugiyarto, 2000).

(41)

4.3. Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Padi pada Plot dengan Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter

Pengamatan perkembangan vegetatif tanaman padi dilakukan setiap 2 minggu sekali, yaitu pada 2, 4, 6 dan 8 MST (Minggu Setelah Tanam). Pengamatan dilakukan pada 10 contoh tanaman yang dipilih secara acak pada masing-masing plot ulangan. Komponen pertumbuhan tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman dan jumlah batang per rumpun (jumlah anakan). Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi pada saat fase vegetatif, sedangkan jumlah batang yang dihitung adalah jumlah batang yang masih aktif (tidak mati).

Perbandingan tinggi tanaman padi antara jarak pematang 4 m dengan jarak pematang 8 m dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Tinggi Tanaman Padi pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter

(42)

Tabel 5. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Tanaman Padi pada Umur 8 MST

Jarak Pematang Tinggi Tanaman (cm)

Jumlah Anakan (batang per rumpun)

4 m 89.60 a 52.50 a

8 m 85.70 b 43.03 b

Keterangan: Pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata menurut Uji Lanjut Duncan 5%

Berdasarkan pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa tinggi tanaman pada umur 8 MST antara jarak pematang 4 m dengan 8 m berbeda nyata menurut Uji Lanjut Duncan. Jarak pematang 4 m memiliki pertumbuhan tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan jarak pematang 8 m. Salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan tanaman pada jarak pematang 4 m adalah populasi fauna tanah yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan jarak pematang 8 m (Damayanti, Unpublish). Keberadaan organisme tanah pada lahan sawah dapat membantu dalam merangsang pertumbuhan tanaman karena salah satu fungsinya sebagai penyedia hara bagi tanaman dan membantu tanaman dalam penyerapan hara tersebut. Berbagai organisme tanah yang mampu memfiksasi N dan melarutkan P dapat menyediakan unsur hara essensial bagi pertumbuhan tanaman.

Perbandingan jumlah anakan (batang per rumpun) tanaman padi antara jarak pematang 4 m dengan jarak pematang 8 m dapat dilihat pada Gambar 7.

0 10 20 30 40 50 60

2 4 6 8

Minggu Setelah Tanam (MST)

J u m la h A n a k a n (b at an g/ ru m p u n ) 4 m 8 m

Gambar 7. Jumlah Anakan Padi pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter

(43)

untuk pertumbuhan pucuk akibat kerusakan dan dipersiapkan untuk perakaran dan anakan padi yang baru (Ardi, 2009). Berdasarkan Gambar 7, dapat ditunjukkan bahwa hasil rata-rata jumlah anakan tanaman padi pada jarak pematang 4 m memiliki perkembangan yang lebih baik dari jarak pematang 8 m. Pada awal pengukuran (2 MST) terlihat bahwa jumlah anakan yang berkembang masih sedikit. Jumlah tersebut makin meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman.

Mengacu pada Tabel 5, jumlah anakan tanaman padi pada umur 8 MST dapat dilihat bahwa jarak pematang 4 m memiliki perbedaan yang nyata dengan jarak pematang 8 m. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor jumlah fauna tanah yang semakin berkembang dari hari ke hari, dimana semakin banyak bahan organik, maka akan semakin banyak fauna tanah yang tumbuh pada lahan akibat aktivitas organisme tanah tersebut. Semakin banyaknya fauna tanah yang terdapat pada lahan dapat mempercepat laju dekomposisi bahan organik. Seperti pada Gambar 4, yang menunjukkan penurunan sisa jerami padi seiring dengan lamanya waktu eksposisi. Semakin lamanya waktu eksposisi ini, populasi fauna tanah semakin bertambah. Pertumbuhan dan perkembangan organisme tanah inilah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan jumlah anakan tanaman.

Menurut Suprihatno et al. (2007), pertumbuhan tinggi tanaman padi varietas Ciherang pada budidaya konvensional memiliki kisaran antara 107 – 115 cm. Berbeda dengan rata-rata tinggi tanaman padi pada penelitian ini yang memiliki kisaran tinggi antara 85 – 89 cm. Hal ini disebabkan karena pada budidaya konvensional, bibit ditanam pada usia lebih dari 21 hari (bibit sudah tinggi), sedangkan pada budidaya S.R.I., bibit ditanam muda, yaitu pada usia 8 hari (masih kecil). Menyebabkan pertumbuhan tinggi yang maksimal dicapai oleh budidaya konvensional.

(44)

Perakaran yang masih muda, dapat mencapai perkembangan anakan secara maksimal. Persaingan antar tanaman untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam tanah akan berkurang dengan penanaman satu bibit per lubang dan jarak tanam lebar, sehingga perakaran memiliki banyak ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran (Berkelaar, 2001). Pemberian air secara macak-macak dan intermitten menjamin ketersediaan O2 di zona perakaran dan

secara konsisten memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan yang digenangi secara terus-menerus (Gani et al., 2002).

4.4. Hama Tanaman Padi

Terdapat berbagai hama tanaman padi yang menggangu selama masa tanam. Hama-hama tersebut, yaitu keong mas, belalang, penggerek batang dan walang sangit. Keong mas adalah hama yang pertama menyerang tanaman padi pada saat tanaman baru dipindahkan dari persemaian ke plot percobaan sampai dengan umur tanaman 3 MST, saat batang padi masih sangat muda. Setelah itu serangan keong mas mulai menurun. Keong mas bersifat aktif pada air yang menggenang. Hama ini memakan pangkal batang padi dengan cara memotongnya, sehingga menyebabkan tanaman rusak dan hilangnya bibit yang sudah ditanam. Pengendalian yang dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan mengambil keong mas dan menghancurkan telur-telurnya. Telur keong mas ini berwarna merah muda dan suka menempel pada batang tanaman.

Belalang merusak tanaman padi bagian daun. Saat umur tanaman padi relatif masih muda, tanaman sangat rentan akan keberadaan belalang. Daun tanaman menjadi rusak dan batang tanaman banyak yang mati. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi sangat terhambat dan menyebabkan banyak anakan produktif menjadi mati. Pengendalian yang dilakukan untuk mengendalikan hama ini dengan cara manual mengambilnya satu per satu dan dengan aplikasi pestisida nabati. Setelah dilakukan aplikasi pestisida nabati secara berkala, jumlah hama belalang yang menyerang semakin berkurang.

(45)

terinfeksi tersebut menjadi mati. Penggerek batang merusak pertanaman padi pada semua fase. Serangan yang terjadi pada fase vegetatif mengakibatkan anakan menjadi berwarna coklat dan kemudian mati. Sedangkan serangan yang terjadi pada fase generatif mengakibatkan malai menjadi kosong dan berwarna putih. Kondisi lahan pada padi budidaya S.R.I. yang tidak tergenang air menyebabkan hama dapat hidup dengan baik di batang padi yang dekat dengan tanah. Pengendalian dilakukan dengan penggenangan lahan selama beberapa saat untuk mematikan ulat. Namun serangan hama ini cukup sedikit.

(46)

5.1. Kesimpulan

Tinggi rendahnya laju dekomposisi jerami padi dapat dilihat dari persentase jumlah jerami padi yang hilang pada waktu eksposisi selama 30, 60 dan 90 hari. Laju dekomposisi jerami padi di hari ke-90 pada jarak pematang 4 m untuk litterbag kasar, sedang dan halus berturut-turut adalah 93.91%; 89.07% dan 81.58%. Nilai ini lebih tinggi bila dibanding dengan plot berjarak pematang 8 m dengan nilai masing-masing untuk litterbag ukuran kasar, sedang, dan halus adalah 88.98%; 85.87% dan 78.53%. Pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan padi pada plot dengan jarak pematang 4 m lebih tinggi dibanding jarak pematang 8 m. Rata-rata tinggi tanaman padi pada umur 8 MST adalah 89.60 cm (untuk jarak pematang 4 m) dan 85.70 cm (untuk jarak pematang 8 m). Rata-rata jumlah anakan tanaman padi pada umur 8 MST adalah 52.50 batang/rumpun (untuk jarak pematang 4 m) dan 43.03 batang/rumpun (untuk jarak pematang 8 m). Fauna tanah berperan penting dalam proses dekomposisi jerami padi. Tinggi rendahnya laju dekomposisi menunjukkan aktivitas fauna tanah pada lahan.

5.2. Saran

Perlu dilakukan aplikasi jarak pematang sawah yang sempit pada skala lapang yang lebih luas dengan memaksimalkan lahan pematang sebagai lahan tanam komoditas lain, selain padi. Hal ini sebagai upaya untuk peningkatan populasi fauna tanah, agar keberadaan fauna tanah lebih mendukung bagi kesuburan tanah dan perkembangan tanaman.

(47)

Adianto. 1993. Biologi Pertanian, Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati dan Insektisida. Alumni. Bandung.

Agustamar dan Z. Syarif. 2007. Perbandingan metode S.R.I. dengan cara konvensional pada sawah lama dan pengaruhnya terhadap hasil padi. Jurnal Dinamika Pertanian. 22(1): 1-7.

Anugrah, I. S., Sumedi dan I. P. Wardana. 2008. Gagasan dan implementasi system of rice intensification (S.R.I.) dalam kegiatan budidaya padi ekologis (BPE). Analisis Kebijakan Pertanian. 6(1): 75-99.

Ardi, F. 2009. Emisi Gas Metan (CH4) dan Nitro Oksida (N2O) pada Budidya

Padi S.R.I. di Desa Nagrak, Sukabumi. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Pemanfaatan biota tanah untuk keberlanjutan produktivitas pertanian lahan kering masam. Tim Sintesis Kebijakan. Pengembangan Inovasi Pertanian. 1(2): 157-163.

Barnes, B. V., R. Z. Donald, R. D. Shirley and H. S. Stephen. 1997. Forest Ecology. 4th Edition. John Wiley and Sons Inc. New York.

Berkelaar, D. 2001. Sistem Intensifikasi Padi (The System of Rice Intensification-S.R.I.): Sedikit Dapat Memberi Lebih Banyak. (Terjemahan). http://www.elsppat.or.id/download/file/S.R.I.-echo%20note.htm (Diakses 25 Januari 2010)

Borror, D. J., C. A. Triplehorn and N. F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Ke-6. S. Partosoedjono, penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to The Study of Insect.

Coleman, D. C., D. A. Crossley, and P. F. Hendrix. 2004. Fundamentals of Soil Ecology. 2nd Edition. Elsevier Academic Press. New York.

Gani, A., A. Rahman, Dahono, Rustam and H. Hengsdijk. 2002. Synopsis of water management experiment in Indonesia. Proceedings of the International Workshop on Water-Wise Rice Production, 8-11 April 2002, Los Banos, Philippines.

Iswandi, A. 1990. Metode Penelitian Cacing Tanah dan Nematoda. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Killham, K. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press. Melbourne.

(48)

Ma’shum, M., J. Soedarsono, dan L. E. Susilowati. 2003. Biologi Tanah. CPIU Pasca IAEUP, Bagpro Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Makalew, A. D. N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/02201/ afra_dnm.htm (Diakses 26 September 2010)

Mutakin, J. 2009. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode S.R.I. (System of Rice Intensification). http://www.garutkab.go.id/download_files/article/ ARTIKEL%20S.R.I..pdf. (Diakses 25 Januari 2010)

Nandi, N., F. H. Rahman, N. B. Sinha and J. N. Hajra. 2000. Compatibility of lignin-degrading and cellulose-decomposing fungi during decomposition of rice straw. Journal of the Indian Society of Soil Science. 48(2): 387-389. Purwowidodo. 2005. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan. Laboratorium

Pengaruh Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Richards, B. N. 1974. Introduction to The Soil Ecosystem. Longman Group Limited. London.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Sugiyarto. 2000. Aplikasi bahan organik tanaman terhadap komunitas fauna tanah dan pertumbuhan kacang hijau (Vigna radiata). Biodiversitas. 1(1): 25-29. Suin, N. M. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Edisi Ke-3. Bumi Aksara. Jakarta. Suprihatno, B., A. A. Daradjat, A. Setyono, H. Sembiring, I. N. Widiarta, S. D.

Indrasari, S. E. Baehaki, Satoto dan O. S. Lesmana. 2007. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang.

Suratno, W. 1997. Fluks Nitrous Oksida (N2O) dari Tanah Sawah: Pengaruh Teknik Irigasi, Pupuk Urea dan Varietas Padi. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Sutedjo, M. M., A. G. Kartasapoetra dan R. D. S. Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

Tian, G., L. Brussaard, B.T., Kang and M.J. Swift. 1997. Soil fauna-mediated decomposition of plant residues under constrained environmental and residue quality condition. In Driven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition. G. Cadisch and K. E. Giller (Eds). Department of Biological Sciences. Wey College. University of London, UK.

Uphoff, N. 2007. Farmer innovations improving the system of rice intensification (S.R.I.). Jurnal Tanah dan Lingkungan. 9(2): 45-56.

(49)

____________. 1982. Desert Soil Fauna. Westfield College. University of London. Praeger Scientific. Publisher. New York. USA.

Widyastuti, R. 2002. Soil Fauna in Rainfed Paddy Field Ecosystem: Their Role in Organic Matter Decomposition and Nitrogen Mineralization. Center for Development Research University of Bonn. Cuvillier Verlag. Gottingen. ___________. 2006. Feeding rate of soil animals in different ecosystems in pati,

(50)
(51)

Deskripsi Karakteristik Tanaman Padi Varietas Ciherang (Suprihatno et al., 2007)

CIHERANG

Nomor Seleksi : S3383-1D-PN-41-3-1

Asal Persilangan : IR18349-53-1-3-1-3/2*IR19661-131-3-1-3//4 *IR64 Cere

Umur Tanaman : 116 – 125 hari Bentuk Tanaman : Tegak

Tinggi Tanaman : 107 – 115 cm Anakan Produktif : 14 -17 batang

Warna Kaki : Hijau

Warna Batang : Hijau

Warna Telinga Daun : Tidak berwarna Warna Lidah Daun : Tidak berwarna

Warna Daun : Hijau

Muka Daun : Kasar pada sebelah bawah

Posisi Daun : Tegak

Daun Bendera : Tegak

Bentuk Gabah : Panjang ramping Warna Gabah : Kuning bersih

Kerontokan : Sedang

Kerebahan : Sedang

Tekstur Nasi : Pulen

Kadar Amilosa : 23 %

Bobot 1000 Butir : 28 gram

Rata-rata Hasil : 6,0 ton/Ha GKG Potensi Hasil : 8,5 ton/Ha GKG

Ketahanan terhadap Hama : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3

Ketahanan terhadap Penyakit : Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV

Anjuran Tanam : Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 mdpl

Pemulia : Tarzat T., Z. A. Simanullang, E. Jumadi dan Aan A. Daradjat

(52)
[image:52.612.135.523.94.429.2]

Tabel Lampiran 1. Sifat Kimia dan Fisik Tanah pada Lokasi Penelitian

Parameter Metode Nilai Kriteria (PPT, 1983)

pH H2O (1:1) 5.8 Agak Masam

KCl (1:1) 5

C-organik Walkley & Black 1.99% Rendah

N-Total Kjeldhal 0.21% Sedang

P Bray I 8.6 ppm Sangat Rendah

HCl 25 % 85.0 ppm Sangat Tinggi

Ca N NH4OAc pH 7.0 5.84 me/100 g Sedang Mg N NH4OAc pH 7.0 0.98 me/100 g Rendah

K N NH4OAc pH 7.0 0.56 me/100 g Sedang

Na N NH4OAc pH 7.0 0.67 me/100 g Sedang KTK N NH4OAc pH 7.0 16.34 me/100 g Rendah

KB

Gambar

Tabel 3. Persentase Berat Sisa Jerami Padi (%) dengan Ukuran Litterbag yang Berbeda pada Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter
Gambar 5. Laju Dekomposisi Jerami Padi dalam Tiga Ukuran Litterbag (a. Litterbag Kasar, b
Tabel Lampiran 2. Kandungan Hara Pupuk Urea, SP-36 dan KCl yang
Tabel Lampiran 6. Berat Jerami Padi (g) yang Hilang pada Plot Sawah dengan Jarak Pematang 4 meter
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah ( Oryza sativa L.) pada Teknik Budidaya System of Rice Intensification (SRI).. The Effect of Biofertilizer on

Penelitian ini dibagi menjadi dua percobaan, percobaan pertama bertujuan untuk mengisolasi dan menyeleksi mikrob perombak bahan organik (selulolitik) yang memiliki kemampuan

Di sisi lain, sistem non -salibu (batang padi sisa panen 20 cm di atas permukaan tanah) menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat mencapai masa generatif, sehingga malai

Dalam percobaan ini diduga terdapat hubungan pengaruh interval hari penggenangan dan pengeringan lahan terhadap produktivitas tanaman padi serta interval irigasi

Penanaman padi dengan jarak tanam 25 x 25 cm dengan metode penggenangan air pada saat umur tanam 35 hss sangat efektif dalam metode penggenangan air serta

Penelitian ini menggunakan rancangan petak terpisah (RPT) dengan petak utama perlakuan jerami padi yaitu J0 (Sisa jerami dibiarkan), J1 (Sisa jerami dibabat dan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari populasi serta keragaman organisme tanah yaitu fauna tanah, total mikrob, total fungi, Azotobacter dan mikrob pelarut fosfat pada