• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2.2. Peranan Fauna Tanah

Wardle (2002) dalam Coleman et al. (2004) mengemukakan tiga tingkat partisipasi fauna tanah terhadap proses terbentuknya tanah. Sebagai ˝perekayasa ekosistem˝, seperti cacing tanah, rayap dan semut dapat mengubah struktur fisik tanah serta mempengaruhi ketersediaan nutrisi dan aliran energi bagi organisme

lain. Sebagai ˝transformator serasah˝, seperti microarthropods, fragmen serasah yang membusuk dapat meningkatkan ketersediaan mikroba. Sebagai ˝ mikro-jejaring makanan˝, termasuk kelompok mikroba dan mikrofauna predator (Nematoda dan Protozoa). Ketiga tingkat partisipasi ini beroperasi pada ukuran, tata ruang dan skala waktu yang berbeda.

Fauna tanah berperan dalam memperbaiki struktur tanah melalui penurunan berat jenis, peningkatan ruang pori, aerasi, drainase, kapasitas penyimpanan air, dekomposisi bahan organik, pencampuran partikel tanah, penyebaran mikroba dan perbaikan struktur agregat tanah. Walaupun pengaruhnya terhadap pembentukan tanah dan dekomposisi bahan organik bersifat tidak langsung, secara umum fauna tanah dapat dipandang sebagai pengatur terjadinya proses dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cacing tanah dapat meningkatkan P tersedia tanah dan jumlah kation, menurunkan rasio C/N, mengeliminir Al dalam tanah, meningkatkan ruang pori total, menurunkan bulk density serta meningkatkan pori drainase dan permeabilitas tanah (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008).

Serangga pemakan bahan organik yang mambusuk, membantu merubah zat-zat yang membusuk menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Banyak jenis serangga yang meluangkan sebagian atau seluruh hidup mereka di dalam tanah. Tanah tersebut memberikan serangga suatu pemukiman atau sarang, pertahanan dan makanan. Tanah diterobos sedemikian rupa sehingga tanah menjadi lebih mengandung udara, tanah juga dapat diperkaya oleh hasil ekskresi dan tubuh-tubuh serangga yang mati. Serangga tanah memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya (Borror et al., 1992).

Biota tanah seperti Oligochaeta, Collembola dan Acari berperan dalam dekomposisi bahan organik, distribusi hara, pencampuran tanah dan pembentukan agregat tanah. Cacing tanah yang dalam siklus hidupnya dapat membuat lubang dalam tanah dapat mencegah pemadatan tanah, mempertebal tanah lapisan atas dan meningkatkan ketersediaan hara (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008). Masuknya cacing tanah ke dalam tanah mengakibatkan perubahan beberapa sifat kimia tanah, yaitu meningkatkan kandungan bahan organik, kandungan unsur hara tersedia dan kapasitas tukar

kation. Hal ini disebabkan kotoran cacing tanah mengandung lebih banyak unsur hara dan C-organik daripada tanah aslinya. Kotoran cacing berpengaruh terhadap keragaman populasi mikroorganisme (Ma’shum et al., 2003). Pengaruh fauna tanah terhadap sifat tanah dalam ekosistem dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Fauna Tanah terhadap Sifat Tanah dalam Ekosistem Fauna Tanah Aktivitas Pengaruh terhadap Tanah Mikrofauna Mengatur populasi bakteri

dan fungi

Mempengaruhi struktur agregat tanah dan berinteraksi dengan mikroflora

Perombakan unsur hara Mesofauna Mengatur populasi fungi dan

mikrofauna

Menghasilkan fecal pellets

Perombakan unsur hara Menciptakan biopore Menghancurkan sisa

tanaman

Meningkatkan humifikasi

Makrofauna Menghancurkan sisa tanaman

Mencampurkan bahan organik dan bahan mineral

Merangsang kegiatan mikroorganisme

Penyebaran bahan organik dan mikroorganisme

Menciptakan biopore Meningkatkan humifikasi

Menghasilkan fecal pellets

Sumber: Hendrix et al. (1990) dalam Coleman et al. (2004)

2.3. Pengukuran Aktivitas Fauna Tanah

Pengukuran aktivitas fauna tanah dapat dilakukan dengan menggunakan metode Litterbag dan Bait Lamina (feeding activity). Dalam mempelajari pengaruh penggunaan lahan terhadap kesuburan tanah, kualitas tanah dan siklus hara serta peranan fauna tanah dalam mendekomposisi bahan organik di dalam tanah, dapat digunakan metode Litterbag. Pendekatan metode ini berdasarkan perbedaan ukuran tubuh fauna tanah dalam proses dekomposisi. Pendekatan ini menunjukkan pentingnya peranan fauna tanah dalam dekomposisi bahan organik antar lokasi. Litterbag memungkinkan untuk mengevaluasi peranan mikroflora (Bakteri, Fungi dan Actinomycetes), mikrofauna (Protozoa dan Nematoda),

mesofauna (Collembola dan tungau) dan makrofauna (Arthropoda dan cacing) dalam proses dekomposisi bahan organik (Killham, 1994).

Laju dekomposisi dipelajari dengan menggunakan litterbag yang terbuat dari stainless-steel, berukuran 20 x 20 cm dengan ukuran mesh yang berbeda, yaitu 0.038 mm, 0.25 mm dan 10 mm. Litterbag yang berukuran mesh 10 mm melibatkan semua ukuran fauna tanah, mesh 0.25 mm tidak melibatkan makrofauna dan mesh 0.038 mm tidak melibatkan mesofauna maupun makrofauna (Widyastuti, 2002). Litterbag merupakan metode yang berharga dalam mempelajari perbandingan laju dekomposisi. Litterbag yang berisi serasah daun dan sejenisnya ditempatkan pada suatu lahan, kemudian litterbag tersebut dikumpulkan pada suatu waktu dan dihitung sisa serasah yang ada dalam litterbag (Coleman et al., 2004).

Untuk mengetahui kelimpahan, biomassa dan keanekaragaman fauna tanah serta aktivitasnya di hutan, kebun dan sawah tadah hujan dapat juga dievaluasi dengan menggunakan metode Bait lamina (Torne, 1990a dalam Widyastuti, 2002). Bait lamina merupakan metode sederhana, tidak mahal dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam mengukur aktivitas fauna tanah. Bait lamina terbuat dari lempengan plastik berukuran 120 x 6 x 1 mm, dengan potongan runcing di ujungnya. Pada bagian bawah, terdapat 16 lubang berdiameter 5.5 mm yang diisi dengan bahan-bahan campuran antara selulosa, agar-agar, serbuk dedak dan sedikit karbon aktif. Bait lamina dimasukkan ke dalam tanah selama 2 hari. Metode ini didesain untuk mengukur tingkat dekomposisi bahan organik yang melibatkan fauna tanah. Aktivitas fauna tanah dihitung dari banyaknya lubang yang kosong (sebagai lubang yang isinya sudah dimakan) pada akhir waktu eksposisi (Widyastuti, 2006).

2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Aktivitas Fauna Tanah

Aktivitas fauna tanah pada umumnya dipengaruhi oleh pH, kelembaban dan suhu tanah, reproduksi dan metabolisme, kandungan bahan organik (Wallwork, 1970) serta kehadiran pesaing, pemangsa dan struktur tanah (Purwowidodo, 2005). Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian

suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Keberadaan dan kepadatan fauna tanah juga sangat tergantung pada pH tanah. Fauna tanah ada yang dapat hidup pada tanah dengan pH masam dan ada pula yang senang pada tanah yang pH nya basa (Suin, 2006).

Agroekosistem dengan pengolahan lahan yang secara fisik mempengaruhi agregasi tanah juga mempengaruhi dinamika organisme tanah. Pengaruh penghancuran agregat tanah dalam pengolahan berkaitan erat dengan peningkatan laju dekomposisi bahan organik yang akhirnya berkaitan dengan aktivitas biota tanah. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi aktivitas organisme tanah adalah ketersediaan hara dalam tanah, air tanah, atmosfer tanah, potensi redoks tanah, kemasaman (pH) tanah, temperatur tanah dan cahaya dalam tanah (Makalew, 2001).

Tian et al. (1997) menyatakan bahwa bahan organik merupakan sumber energi bagi fauna tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Fauna tanah berperan dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah. Mikro flora dan fauna tanah saling berinteraksi karena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh.

2.3.2. Dekomposisi Bahan Organik

Bahan organik adalah semua fraksi bukan mineral. Bahan organik merupakan sisa tanaman dan binatang sebagian atau seluruhnya yang telah mengalami dekomposisi oleh jasad mikro tanah (Soepardi, 1983). Kononova (1966) menyatakan bahwa bahan organik adalah bagian dari tanah merupakan sistem yang komplek dan dinamis, yang terus mengalami perubahan bentuk karena dipengaruhi oleh faktor biologi, kimia dan fisika. Semakin banyak bahan organik, makin banyak pula populasi jasad mikro dalam tanah. Dekomposisi bahan organik yang lebih cepat terjadi pada suhu tinggi menyebabkan penurunan ketersediaan serasah.

Dekomposisi serasah adalah perubahan secara fisik maupun kimiawi yang sederhana oleh organisme tanah (bakteri, fungi dan hewan tanah) atau sering disebut juga mineralisasi yaitu proses penghancuran bahan organik yang berasal dari hewan dan tanaman menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana (Sutedjo et al., 1991). Ma’shum et al. (2003) menyatakan proses dekomposisi bahan organik di dalam tanah memiliki beberapa tahapan proses. Tahapan pertama adalah tahap penghancuran bahan organik segar menjadi partikel yang berukuran kecil-kecil yang dilakukan oleh cacing tanah dan makrofauna yang lain. Tahapan selanjutnya yaitu tahapan transformasi, dimana pada tahap ini, sebagian senyawa organik akan terurai dengan cepat, sebagian terurai dengan kecepatan sedang dan bagian yang lain terurai secara lambat.

2.4. System of Rice Intensification (S.R.I.)

System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan suatu inovasi metode

dengan menggunakan cara-cara yang tidak biasa, tetapi secara bersamaan dapat meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja, air dan investsi modal dalam produksi padi sawah (Uphoff, 2008). Metode S.R.I. pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, seorang Pastor asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Metode ini dalam bahasa Prancis dinamakan Le Systme de Riziculture Intensive disingkat S.R.I. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification (Mutakin, 2009).

Di Indonesia, teknik S.R.I. pertama dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Penelitian di Sukamandi, Jawa Barat pada musim kemarau tahun 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan dengan hasil rata-rata 8,2 ton/ha. Teknik S.R.I. sudah diperkenalkan dan diterapkan di sejumlah daerah di Indonesia, antara lain Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Hasil penerapan budidaya padi S.R.I. di Kabupaten Garut dan Ciamis, menunjukkan bahwa: (1) budidaya padi S.R.I. mampu meningkatkan hasil produksi dibanding budidaya padi konvensional, (2) meningkatkan pendapatan, (3) terjadi efisiensi

produksi dan efisiensi usaha tani secara finansial dan (4) pangsa harga pasar produk lebih tinggi (Anugrah et al., 2008).

Berkelaar (2001) memaparkan penjelasan ilmiah secara singkat terkait penerapan S.R.I., antara lain sebagai berikut: (1) Adanya proses fiksasi biologis nitrogen. Bakteri-bakteri di dalam dan sekitar akar padi memiliki kemampuan menyediakan dan menguraikan nitrogen untuk tanaman, tetapi potensi ini tidak akan nyata bila penggunaan pupuk N kimia diteruskan atau kondisi tanah anaerob dan tergenang. (2) Mempertahankan tanah agar tetap teraerasi, lembab dan tidak tergenang, agar akar dapat bernafas. (3) Tranplantasi bibit muda untuk mempertahankan potensi pertambahan batang dan pertumbuhan akar yang optimal serta menanam pada jarak tanam yang cukup lebar serta satu bibit per titik tanam dapat mengurangi kompetisi tanaman dalam serumpun maupun antar rumpun. (4) Tanaman dengan akar yang bebas menyebar dapat menyerap hara apapun di dalam tanah. Pertumbuhan akar yang bebas hanya mungkin terjadi pada akar bibit muda yang punya banyak ruang dan oksigen.

Kondisi aerob yang kaya bahan organik akan menjadikan perubahan keragaman organisme tanah, terutama yang melakukan proses dekomposisi. Pada saat bersamaan, perakaran memberikan stimulus pada sitokinin segera membuat formasi baru untuk mengatur pertumbuhan akar dan bagian atas tanaman (Agustamar dan Syarif, 2007). Agar bekerja efektif, organisme tanah yang berkisar dari ukuran mikroskopis sampai makro, membutuhkan kondisi yang mendukung untuk meningkatkan kelimpahan, keragaman dan aktivitasnya. Aktivitas tersebut antara lain meliputi: memperbaiki struktur tanah, menjaga kelembaban tanah, menjaga tingkat kesuburan dan dinamika sistem tanah serta mempertahankan tingkat kondusif bahan organik, oksigen dan temperatur. Kondisi lingkungan S.R.I. sangat mendukung keberadaan organisme tanah tersebut (Uphoff, 2007).

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Pengukuran laju dekomposisi jerami padi dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah dan Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: benih padi varietas Ciherang, benih kedelai varietas Wilis, pupuk anorganik (Urea dengan kadar N-total 46.77 %, SP-36 dengan kadar P 36.84 %, dan KCl dengan kadar K 60.73 %), jerami padi dan bahan-bahan untuk pestisida nabati. Tanah pada lokasi penelitian ini sebelumnya selalu digunakan untuk pertanian organik. Tanah ini memiliki tekstur liat, pH 5.8, KB sedang, KTK rendah dan kandungan hara (Ca, Mg, Na, K) yang relatif sedang.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian meliputi: litterbag dengan tiga ukuran mesh yang berbeda, yaitu halus (0.038 mm), sedang (0.25 mm) dan kasar (10 mm), sebagai kantung jerami padi yang diekspos pada plot sawah. Alat untuk mengukur laju dekomposisi adalah oven dengan suhu 1050C (untuk mendapatkan bobot kering jerami padi), muffle dengan suhu 7000C (untuk pengabuan jerami padi) dan timbangan.

3.3. Metode Penelitian