• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri paling penting penghasil minyak masak industri maupun bahan bakar (biodiesel). Pengembangan kelapa sawit di Indonesia dimulai sejak 1970 dan mengalami pertumbuhannya yang cukup pesat terutama periode 1980-an. Pada tahun 1980 areal kelapa sawit hanya seluas 294 ribu Ha dan terus meningkat dengan pesat sehingga pada tahun 2009 mencapai 7,32 juta Ha, dengan rincian 47,81 berupa perkebunan besar swasta (PBS), 43,76% perkebunan rakyat (PR), dan 8,43% perkebunan besar Negara (PBN). Dengan luas areal tersebut, Indonesia merupakan Negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2009, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 20,6 juta ton, diikuti Malaysia pada urutan kedua dengan produksi 17,57 juta ton. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008 mencapai 80% dari total produksi. Negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia adalah India dengan pangsa pasar sebesar 33%. Cina sebesar 13 % dan Belanda 9% dari total ekspor kelapa sawit Indonesia [9].

Tabel 2.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit 2006-2011 [10] Tahun Perkebunan Rakyat (Ha) Perkebunan Besar Negara (Ha) Perkebunan Besar Swasta (Ha) Total Nasional (Ha) 2006 2.549.572 687.428 3.357.914 6.594.914 2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836 2008 2.881.898 602.963 3.878.986 7.363.847 2009 3.061.413 630.512 4.181.368 7.873.294 2010*) 3.077.629 637.485 4.321.317 8.430.027 2011**) 3.090.407 643.952 4.465.809 8.036.431 *)Angka Sementara **)Angka Estimasi

Tabel 2.1 memperlihatkan tabulasi perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia berdasarkan pengusahaannya tahun 2006-2011. Kebutuhan buah kelapa sawit meningkat tajam seiring dengan meningkatnya

(2)

kebutuhan CPO dunia, seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Selain itu juga dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia menjadikan CPO sebagai pilihan untuk bahan baku pembuatan bio energi sebagai alternatif bahan bakar. Diperkirakan beberapa tahun ke depan investasi terbesar sub sektor perkebunan masih didominasi oleh kelapa sawit. Produktivitas perkebunan kelapa sawit pada kurun waktu 2006-2010 dapat dilihat pada Tabel 2.2 yang menunjukkan pengusahaan produksi kelapa sawit yang semakin lama semakin meningkat dan begitu juga pendapatan Negara yang diperoleh dari ekspor minyak kelapa sawit [10].

Tabel 2.2 Volume dan Nilai Ekspor Kelapa Sawit Tahun 2006-2010 [11]

Tahun Volume (Ton) Nilai (Ribu US$)

2006 11.745.954 4.139.286 2007 15.200.733 9.078.283 2008 18.141.006 14.110.229 2009 21.151.127 11.605.431 2010*) 20.615.958 12.626.595 *)Angka Sementara

Kebun dan pabrik kelapa sawit (PKS) menghasilkan limbah padat dan cair (Palm Oil Mill Effluent, POME) dalam jumlah besar yang saat ini belum dimanfaatkan secara optimal, serat dan sebagian cangkang sawit biasanya dipakai untuk bahan bakar boiler di pabrik, sedangkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) yang jumlahnya sekitar 23% dari tandan buah segar yang diolah, biasanya hanya dimanfaatkan sebagai mulsa atau kompos untuk tanaman kelapa sawit [12]. Pemanfaatan dengan cara tersebut hanya menghasilkan nilai tambah rendah di dalam rangkaian proses pemanfaatannya.

Proses pengolahana tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menjadi CPO secara sederhana dapat dilakukan pada Gambar 2.1. Blok diagram pengolahan TBS menjadi CPO pada PKS dengan kapasitas 40 ton/jam diperkirakan menghasilkan CPO sebanyak 8.720 kg/jam. Proses pengolahan ini akan menghasilkan limbah padat dan cair. Diperkirakan limbah cair PKS berasal dari air kondensat rebusan (150-175kg/tonTBS). Pada PKS dengan kapasitas olah 40 ton TBS/ jam menghasilkan limbah cair sebanyak 33.700 kg/jam atau sekitar 360-480 m3/hari dengan konsentrasi BOD rata-rata 25.000 mg/l. Saat ini diperkirakan

(3)

7

jumlah limbah PKS di Indonesia yang berupa TKKS sebesar 15,2 juta ton/tahun can POME mencapai 28,7 ton/tahun [13].

Gambar 2.1. Blok diagram pengolahan TBS menjadi CPO [13]

2.2 LIMBAH PABRIK KELAPA SAWIT

Limbah pada sebuah pabrik kelapa sawit terdiri atas limbah padat, cair dan gas. Limbah padat terdiri atas tandan kosong dan cangkang, sedangkan limbah cair kelapa sawit ( Palm Oil Mill Effluent , POME ) terdiri dari sludge, air kondensat, air cucian pabrik, air hydrocyclone dan sebagainya. Pengolahan limbah kelapa sawit meliputi pengendalian pengolahan (in-plant control), sistem pengendalian pada kolam limbah dan pemanfaatan limbah, sehingga air yang keluar dari pabrik memenuhi persyaratan undang-undang lingkungan hidup.

Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Bah Jambi Kebun Adolina Perbaungan dengan luas area unit kebun seluas 8.965,69 ha dengan kapasitas 30 ton TBS/jam memiliki tingkat stagnasi 2,28 % serta lossis ditekan mencapai 1,63 %. Pabrik Kelapa Sawit PTPN IV Bah Jambi Kebu Adolina Perbaungan menghasilkan

(4)

limbah cair per hari 420 m3 dari pengolahan dimana maksimum jam operasionalnya adalah 20 jam. Total volume kolam limbah adalah 21000 m3 dan efektif volume kolam limbah terisi 16.800m3. Limbah cair tersebut mengandung konsentrasi yang tinggi dari Chemical Oxygen Demand (COD), Biochemical

Oxygen Demand (BOD), minyak dan zat-zat padat [14].

2.3 PALM OIL MILL EFFLUENT (POME)

2.3.1 Spesifikasi Palm Oil Mill Effluent (POME)

POME berasal dari stasiun rebusan/sterilisasi dan klarifikasi yang dialirkan ke fat pit untuk tujuan pengutipan minyak dimana limbah tersebut mengalir dengan debit rata-rata 21m3/jam dengan waktu operasional 20 jam dalam satu hari. Karakteristik POME dapat dilihat pada tabel 2.3 Karakteristik POME dari sampel Adolina berikut ini:

Tabel 2.3 Karakteristik POME dari sampel Adolina [15]

No. Nama Sampel Satuan

Keluaran Cooling Tower 1. pH - 4,15 2. TS mg/L 41.000 3. VS mg/L 35.000 4. BOD mg/L 40.000 5. COD mg/L 43.000 6. NH4-N mg/L 21 7. VFA mg/L 4.510 8. Asam Asetat mg/L 3.570 9. Asam Proponiat mg/L 200 10. n-Hex mg/L 4.300 11. C % 37,3 12. H % 5,04 13. N % 1,99 14. S % 0,31 15. P % 0,17 16. COD:N:P - 350:7:1,5

(5)

9

2.3.2 PENGOLAHAN PALM OIL MILL EFFLUENT (POME)

Limbah cair kelapa sawit sebelum dibuang ke sungai maka pabrik-pabrik kelapa sawit terlebih dahulu melakukan proses pengolahan sederhana yang berupa pengolahan melalui kolam-kolam penampungan. Secara konvensional pengolahan limbah di pabrik kelapa sawit (PKS) dilakukan secara biologis dengan menggunakan sistem kolam, yaitu limbah cair diproses di dalam satu kolam anaerobik dan aerobik dengan memanfaatkan mikroba sebagai pe-rombak BOD dan menetralisir ke-asaman cairan limbah. Hal ini di-lakukan karena pengolahan limbah dengan menggunakan teknik tersebut cukup sederhana dan dianggap murah. Namun demikian lahan yang diperlu-kan untuk pengolahan limbah sangat luas, yaitu sekitar 7 ha untuk PKS yang mempunyai kapasitas 30 ton TBS/jam. Kebutuhan lahan yang cukup luas pada teknik pengolahan limbah dengan menggunakan sistem kolam dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk kebun kelapa sawit. Waktu retensi yang diperlukan untuk me-rombak bahan organik yang terdapat dalam limbah cair ialah 120 – 140 hari. Efisiensi perombakan limbah cair PKS dengan sistem kolam hanya sebesar 60 – 70 %. Disamping itu pengolahan limbah PKS dengan menggunakan sistem kolam sering mengalami pendangkalan sehingga masa retensi menjadi lebih singkat dan baku mutu limbah tidak dapat tercapai. Oleh karena itu perlu dicari sistem pengolahan limbah yang lebih efisien dengan waktu retensi yang rendah dan efisiensi yang tinggi. Teknik pengolahan limbah PKS dengan sistem tangki anaerobik adalah salah satu sistem pengolahan limbah yang dilakukan secara anaerobik dengan kecepatan tinggi dan sangat efisien. Adapun prinsip kerja teknik pengolahan limbah tersebut adalah degradasi bahan organik oleh bakteri secara anaerobik.

(6)

Gambar 2.2 POME dari Adolina

2.4 ALTERNATIF KONVERSI POME MENJADI BIOGAS

POME tidak dapat dibuang langsung ke sungai/parit, karena akan sangat berbahaya bagi lingkungan. Saat ini, umumnya PKS menampung limbah cair tersebut di dalam kolam-kolam terbuka (lagoon) kemudian diolah dalam beberapa tahap sebelum dibuang ke sungai/parit. Secara alami, limbah cair di dalam kolam akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan. Gas-gas tersebut antara lain adalah campuran dari gas metan (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Kedua gas ini sebenarnya adalah biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Potensi biogas yang dapat dihasilkan dari 600–700 kg POME kurang lebih mencapai 20 m3 biogas. Penelitian pemaanfaatan POME untuk menghasilkan biogas saat ini menjadi perhatian banyak pihak. Selain sebagai sumber energi, teknologi biogas ini juga dapat mengurangi dampak emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan [16].

Biogas dapat dibuat dari berbagai macam bahan baku seperti kotoran hewan, sampah organik ataupun limbah cair kelapa sawit. Secara ilmiah, biogas yang dihasilkan dari sampah organik adalah gas yang mudah terbakar (flammable). Gas ini dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi tanpa udara). Umumnya, semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas. Tetapi hanya bahan organik homogen, baik padat maupun cair yang cocok untuk sistem biogas sederhana. Bila sampah-sampah organik tersebut membusuk, akan dihasilkan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Tapi, hanya CH4 yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Umumnya kandungan metana dalam reaktor sampah organik berbeda-beda

(7)

11

Zhang et al. (1997) dalam penelitiannya, menghasilkan metana sebesar 50-80% dan karbondioksida 20-50%. Sedangkan Hansen (2001) , dalam reaktor biogasnya mengandung sekitar 60-70% metana, 30-40% karbon dioksida, dan gas-gas lain, meliputi amonia, hidrogen sulfida, merkaptan (tio alkohol) dan gas lainnya. Tetapi secara umum rentang komposisi biogas adalah dapat dilihat dalam table 2.4

Tabel 2.4 Komposisi Biogas [17]

Komponen %

Metana (CH4) 55-75

Karbon dioksida (CO2) 25-45

Nitrogen (N2) 0-0,3

Hidrogen (H2) 1-5

Hidrogen sulfida (H2S) 0-3

Oksigen (O2) 0,1-0,5

2.5 MEKANISME PEMBENTUKAN BIOGAS

Proses pembentukan biogas melalui pencernaan anaerobik merupakan proses bertahap, dengan tiga tahap utama, yakni hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis.

Hidrolisis

Senyawa-senyawa polimer seperti lemak, protein dan karbohidrat adalah senyawa-senyawa yang terdapat di dalam sampah organik termasuk POME, senywa ini adalah senyawa yang pertama yang akan dihidrolisa oleh mikroba-mikroba yang menghasilkan enzim lipase, protase, sellulosa, amilase dan lain sebagainya. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba tersebut akan mengubah rantai polimer menjadi molekul-molekul yang lebih kecil atau menjadi monomer yang kemudian akan dikonsumsi oleh mikroba.

Pada tahap ini protein umumnya akan dihidrolisa menjadi asam amino dengan bantuan enzim protase, yang akan diproduksi oleh Bacteroides,

Butyrivibrio, Clostridium, Fusobacterium, Selenomonas, dan Streptococcus.

Asam amino yang diproduksi akan didegradasi menjadi asam lemak seperti asetat, propionat, dan butirat, dan ada yang menjadi amonia yang akan dilakukan

(8)

Pada tahap ini intinya bahan-bahan organik seperti karbohidrat, lipid, dan protein didegradasi oleh mikroorganisme hidrolitik menjadi senyawa terlarut seperti asam karboksilat, asam keto, asam hidroksi, keton, alkohol, gula sederhana, asam-asam amino, H2 dan CO2 [17].

Asidogenesis

Pada tahap ini yang bekerja adalah bakteri asidogenik yang akan mengubah senyawa-senyawa terlarut yang dihasilkan oleh tahap hidrolisis menjadi senyawa-senyawa yang memiliki rantai yang lebih pendek seperti asam asetat dan asam format.

Metanogenesis

Metanogenesis adalah proses yang menghasilkan gas metana dengan digester anaerobik. Walaupun asetat dan H2/CO2 adalah substrat utama pada proses ini, tetapi senyawa-senyawa lain seperti asam format, metanol, metilamina dan CO akan dikonversi juga untuk menghasilkan metana. Pada tahap ini mikroba yang bekerja adalah methanobacteria [18].

2.6 PARAMETER FERMENTASI

Pada dasarnya efisiensi produksi biogas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi : suhu, derajat keasaman (pH), konsentrasi asam-asam lemak volatil, nutrisi (terutama nisbah karbon dan nitrogen), zat racun, waktu retensi hidrolik, kecepatan bahan organik, dan konsentrasi amonia. Dari berbagai penelitian yang penulis peroleh, dapat dirangkum beberapa kondisi optimum proses produksi biogas yaitu:

Tabel 2.5 Kondisi Optimum Produksi Biogas [17]

Parameter Kondisi Optimum

Suhu 550C

Derajat Keasaman 6,8-7,8

Nutrien Utama Karbon dan Nitrogen

Sulfida <200 mg/L Logam-logam berat terlarut < 1 mg/L Sodium <5000 mg/L Kalsium < 2000 mg/L Magnesium Amonia < 1200 mg/L < 1700 mg/L

(9)

13

Parameter-parameter di dalam produksi biogas harus diperhatikan dan dijaga karena jika kondisi di atas tidak terpenuhi maka pada proses yang dilakukan bukan metana sebagai produk utama akan tetapi akan dihasilkan karbon dioksida sebagai produk utama.

Alkalinitas

Alkalinitas pada limbah cair dapat dihasilkan dari hidrokarbon, karbonat(CO32-) dan bikarbonat (HCO3-) yang berikatan dengan kalsium, magnesium, kalium dan amonia. Alkaliniti pada limbah cair membantu untuk mempertahankan pH agar tidak mudah berubah yang disebabkan oleh penambahan asam. Konsentrasi dari alkaliniti pada limbah cair sangatlah penting karena kadar alkaliniti mempengaruhi pengolahan zat-zat kimia dan biologi, juga dibutuhkan untuk nutrisi bagi mikroba.

Kadar alkaliniti di dapat dengan menitrasi sampel dengan larutan standar asam, hasil yang didapat akan dalam satuan mg/L CaCO3 [19].

pH

Konsentrasi ion-hidrogen merupakan kualitas parameter yang penting di dalam limbah cair. Konsentrasi dari pH dapat diartikan sebagai eksistensi dari kehidupan mikroba di dalam limbah cair (biasanya pH diantara 6 sampai 9). Limbah cair mempunyai konsentrasi pH yang sulit diatur karena adanya proses pengasaman pada limbah cair. pH mempunyai arti yang sangat penting di dalam pengolahan limbah cair karena dari pH dapat diketahui kondisi mikroba yang ada di dalam limbah cair [19].

Nutrisi

Nutrisi sangat penting bagi pertumbuhan mikroba, nutrisi untuk pertumbuhan mikroba dalam limbah cair umumnya adalah nitrogen dan phospor. Untuk mendapatkan sludge yang kecil pada proses anaerobik, maka diperlukan kadar nitrogen dan phospor dalam kandungan yang cukup untuk pertumbuhan biomassa. Oleh karena itu, penambahan nitrogen dan/atau phospor yang dibutuhkan tergantung dari substrat dan nilai dari SRT (Solid Retention Time),

(10)

biasanya jumlah nutrisi yang dibutuhkan seperti nitrogen, phospor, dan sulfur pada range 10-13,2-2,6 dan 1-2 mg per 100 mg limbah. Akan tetapi, agar methanogenesis maksimum, konsentrasi nitrogen, phospor dan sulfur biasanya 50, 10, dan 5 mg/L. Kandungan nitrogen dapat diperoleh dari berbagai macam senyawa seperti NH4HCO3 (amonium hidrogen karbonat) [19].

Logam Berat Terlarut

Logam berat terlarut sangat penting di dalam proses fermentasi limbah cair, terutama pada proses methanogenesis. Logam berat terlarut ini berfungsi sebagai nutrisi penting pada pertumbuhan mikroba. Kandungan untuk logam berat terlarut yang direkomendasikan pada pengolahan limbah cair seperti besi, kobalt, nikel dan seng adalah 0,02; 0,004; 0,003 dan 0,02 mg/g produksi asam asetat. Penambahan logam-logam ini meningkatkan aktifitas mikroba dan sangat menguntungkan pada proses anaerobik untuk limbah cair. Kadar logam berat terlarut yang direkomendasikan per liter reaktor adalah 1 mg FeCl2; 0,1 mg CaCl2; 0,1 mg NiCl2; dan 0,1 mg ZnCl2 [19].

2.7 FERMENTASI ANAEROBIK

Fermentasi secara anaerob berarti selama proses ferementasi tidak ada udara yang masuk di dalam reaktor. Fermentasi anaerob memiliki bebearapa keuntungan dan kerugian, yaitu:

Tabel 2.6 Keuntungan dan Kerugian Fermentasi Anaerobik [19]

No. Keuntungan Kerugian

1. Energi yang dibutuhkan sedikit Membutuhkan waktu pembiakan yang lama

2. Produk samping yang dihasilkan sedikit

Membutuhkan penambahan senyawa alkalinity

3. Nutrisi yang dibutuhkan sedikit Tidak mendegradasi senyawa nitrogen dan phospor

4. Dapat menghasilkan senyawa methana yang merupakan sumber energi yang potensial

Sangat sensitif terhadap efek dari perubahan temperatur

5. Hanya membutuhkan rekator dengan volume yang kecil

Menghasilkan senyawa yang beracun seperti H2S.

(11)

15 2.8 NILAI POTENSIAL BIOGAS

Biogas yang bebas pengotor (H2O, H2S, CO2, dan partikulat lainnya) dan telah mencapai kualitas pipeline adalah setara dengan gas alam. Dalam bentuk ini, gas dapat digunakan sama seperti penggunaan gas alam. Pemanfaatannya pun telah layak sebagai bahan baku pembangkit listrik, pemanas ruangan, dan pemanas air. Jika dikompresi, biogas dapat menggantikan gas alam terkompresi yang digunakan pada kendaraan. Di Indonesia nilai potensial pemanfaatan biogas ini akan terus meningkat karena adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang menjanjikan. Berdasarkan sumber Departemen Pertanian, nilai kesetaraan biogas dengan sumber energi lain adalah sebagai berikut:

Tabel 2.7 Kesetaraan biogas dengan sumber lain [17]

Bahan Bakar Jumlah

Biogas Elpiji Minyak tanah Minyak solar Bensin Gas kota Kayu bakar 1 m3 0,46 kg 0,62 liter 0,52 liter 0,8 liter 1,5 m3 3,5 kg

2.9 BERBAGAI PENELITIAN FERMENTASI POME MENJADI BIOGAS YANG TELAH DILAKUKAN

Biogas yang komponen utamanya gas metan (CH4) sebenarnya sudah mulai dimanfaatkan sejak puluh tahun yang lalu, namun tidak banyak dipergunakan masyarakat. Biogas yang dikenal masyarakat lebih banyak dihasilkan dari pengolahan kotoran ternak atau kotoran manusia. Sebenarnya biogas juga dapat dihasilkan dari biomassa yang lain. Biogas lebih ramah lingkungan daripada BBM. Pembakaran biogas (metan) akan menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Jika dibandingkan dengan BBM, 1 m3 gas

(12)

metan dapat diubah menjadi energi sebesar 4700 – 6000 kkal atau 20 – 24 MJ. Energi sebesar itu setara dengan energi yang dihasilkan oleh 0,48 kg gas elpiji (LPG). Penggunaan gas metan tidak hanya menghasilkan energi yang besar tetapi juga lebih ramah lingkungan [20].

Penelitian seperti ini sudah banyak dilakukan. Riki & Alviah, 2009, melaporkan bahwa fermentasi POME pada skala laboratorium sistem tertutup (

Close Digester Tank ), termofilik, pH 7 dan alkalinitas dijaga 4.000 mg/L telah

dapat menghasilkan biogas. Variasi HRT 10, 8, 6 & 4 hari. Produksi biogas terbesar diperoleh pada HRT 6 hari . Mereka juga melaporkan bahwa laju dekomposisi bahan organik pada HRT 6 hari adalah sekitar 75 % sedangkan laju dekomposisi bahan organik terbaik yakni ± 79 % dicapai pada HRT 10 hari [5]. Beberapa penelitian yang dilakukan tidak hanya sebatas memvariasikan HRT saja, akan tetapi sudah ada penelitian yang melakukan variasi recycle terhadap laju dekomposisi. Amalia Yolanda dan Senafati. 2009, melakukan perbaikan sistem tertutup pada skala laboratorium dengan melakukan recycle terhadap keluaran fermentor. Cairan keluaran fermentor di tampung dan di endapakan selama 6 jam .Cairan pekat atau yang berada dibagian bawah pengendap di recycle kembali ke fermentor sedangkan cairan jernih ( bagian atas ) dikeluarkan dari sistem . Perbaikan sistem ini telah berhasil meningkatkan laju dekomposisi bahan organik menjadi 85 % pada HRT 6 hari [7].

Febriansyah dan Vandi. 2010, telah berhasil melaksanakan proses fermentasi POME sistem tertutup pada skala pilot , walaupun penelitian tersebut masih merupakan kajian awal, namun telah berhasil melakukan penyesuaian kondisi operasi, loading up, dan sinkronisasi sistem [6].

Arie & Elton, 2011, telah berhasil melaksanakn proses fermentasi POME sistem tertutup pada skala pilot, dimana peneliti melakukan recycle sludge sebesar 34% terhadap keluaran fermentor pada suhu 550C dan berhasil meningkatkan laju dekomposisi bahan organik sebesar 77,35% pada HRT 6 hari [8].

(13)

17

Tabel 2.8 Berbagai Penelitian fermentasi POME menjadi Biogas yang telah dilakukan

Institusi/Peneliti Bahan Baku

Sistem / Kondisi Hasil

Institut Kyushu Jepang dengan

UPM Malaysia POME

Open Digester Tank Kandungan metan di dalam biogas 13,5 – 49%

Palm Oil Research Centre Malaysia

POME

Close Digester Tank Walaupun konsentrasi CH4 65%, namun volume biogas masih rendah

University of Port-Harcourt, Nigeria

POME

- close Digester Tank - variasi HRT 20,18 & 10 hari - Tanpa pemanasan - laju dekomposisi ba-han organik tinggi - volume biogas rendah Walailak University, Thailand POME

- close Digester Tank - variasi suhu 37- 55oC - HRT 7 hari

volume biogas tinggi pada range temperatur 52-55oC

Riki Handoko & Alviah Nadya Sari Simbolon

POME -Close Digester Tank &

suhu 550C -Variasi HRT 10,8,6 & 4 - -Pengaruh HRT terhadap fermentasi POME -HRT terbanyak menghasilkan biogas adalah HRT 6 -Laju dekomposisi

bahan organik pada HRT 6 hari sekitar 75 % - -Laju dekomposisi bahan organik terbaik ± 79 % dicapai pada HRT 10 hari Vivian Wongistani & M. Izni Harahap

POME -Close Digester Tank & suhu 550C -Variasi HRT 20,10 & 8 -Pengaruh HRT terhadap fermentasi POME HRT terbanyak yang menghasilkan biogas adalah HRT 8

(14)

Jumri Prico Pangihutan & Ismaulida Sari Lubis

POME -Close Digester Tank & suhu 550C

-Variasi lokasi PKS Pagar Merbau, Rambutan & Sisirau

Biogas PKS

Rambutan lebih baik daripada PKS Merbau dan PKS Sisirau

Amalia & Senafati POME -Close Digester Tank & suhu 550C

-Variasi recycle terhadap laju dekomposisi

Laju dekomposisi dengan metode recycle dapat mencapai 80 %

Febri & Vandi POME Fermentasi POME sistem tertutup pada skala pilot

Penyesuaian terhadap kondisi operasi, loading up dan sinkronisasi sistem

Arie & Elton POME - Close Digester Tank & Suhu 550C

- Recycle sludge sebanyak 34%. Diperoleh dekomposisi VS ≈ 77,35%, dan produsi biogas sebesar 0,00176410 L/mgVS hari

Penelitian yang dilakukan merupakan pengembangan dari penelitian Arie & Elton. Penelitian dilakukan dengan skala pilot dengan melakukan recycle terhadap keluaran fermentor dengan menggunakan mixing in-line. Penelitian tersebut bertujuan untuk memperoleh laju dekomposisi bahan organik ≥ 77,35% yang dicapai pada HRT 6 hari.

(15)

19

2.10 FERMENTASI POME DENGAN RECYCLE SLUDGE

Gambar 2.3 Sketsa neraca massa Fermentasi POME dengan Recycle Sludge Analisa neraca massa didasarkan pada prinsip bahwa massa tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, tetapi massa dapat diukur. Analisa massa biasanya difungsikan dalam waktu. Pada fermentor dengan sistem recycle alur masuk adalah berupa umpan segar POME dan sludge yang dikembalikan pada reaktor (return sludge). Sedangkan alur keluarannya adalah berupa digested slurry. Secara simbolis : V r C Q C Q C Q V dt dC g out out r r in in ) . . ( ..    (2.1) Dimana : dt dC

= laju perubahan konsentrasi biomassa pada reaktor (kg/m3hari) V = volume reaktor (m3)

Qin = laju alir masuk (m3/ hari)

Cin = konsentrasi biomassa pada aliran masuk (kg/m3) Qout = laju alir keluar (m3/ hari)

Cout = konsentrasi biomassa pada aliran keluaran (kg/m3) Qr = laju alir recycle (m3/ hari)

(16)

Cr = konsentrasi biomassa pada aliran recycle (kg/m3) rg = kecepatan netto dari produksi biomassa (kg/m3.hari)

Jika diasumsikan konsentrasi dari mikroorganisme pada influent (masukan) dapat diabaikan dan keadaan steady state (dC/dt=0), persamaan di atas menjadi:

Qout.CoutQr.Crrg.V

(2.2)

Hubungan antara laju pertumbuhan dengan laju utilisasi substrat pada sistem kontinu yaitu: rg YrsukdC

(2.3)

Dimana :

rg = kecepatan netto dari produksi biomassa (kg/m3.hari) Y = koefisien yield sintesis (kg/kg COD)

rsu = laju konsentrasi substrat yang berubah menuju utilisasi (kg/m3 hari) kd = koefisien pembusukan endogenus (kg/kg hari)

Jika kedua persamaan di atas dikombinasikan

kd C Yr VC C Q C Qout out r r su     . . (2.4)

Inversi dari ruas kiri didefenisikan sebagai nilai Sludge Retention Time (SRT).

SRT= r r out outC Q C Q VC . .  (2.5) [19]

Hydraulic Retention Time (HRT) adalah waktu tinggal suatu bahan dalam

reaktor yaitu perbandingan antara volume reaktor dengan laju alir masuk pada reaktor. Pada penelitian ini digunakan HRT 6 hari.

Dari gambar diperoleh:

V= 6Q

Qout=Q Q=0,34Q

(17)

21 Cd=C

Cout= x.C

Cr= ( 1-x ).C

HRT= 6 hari

Substitusi nilai tersebut ke persamaan :

SRT= r r out outC Q C Q VC . .  SRT= C x Q QxC QC ) 1 ( 34 , 0 6   SRT= ) 1 ( 34 , 0 6 x x  SRT= 34 , 0 34 , 1 6  x hari (2.6) 2.11 MIXING TANK

Mixing tank merupakan alat pencampur yang mencampurkan suatu zat

dengan zat lain yang biasanya berbentuk silinder dengan sumbu terpasang vertikal yang biasanya bervolume > 250 liter Sekat (buffle) [21]. Sebuah mixing tank terdiri atas:

1. Agitator (pengaduk)

Agitator (pengaduk) digunakan untuk mengaduk campuran, jenis dari impeller beragam disesuaikan pada sifat dari zat yang akan dicampurkan.

Jenis-jenis impeller yang umumnya digunakan adalah tree-blades yang digunakan untuk mencampurkan bahan dengan viskositas rendah dengan putaran tinggi [22].

2. Sekat (buffle)

Sekat (buffle) adalah alat berbentuk batang yang digunakan dipinggir tangki yang berguna untuk menghindari vortex dan digunakan untuk mempolakan aliran menjadi turbulen [22].

(18)

3. Heater

Heater merupakan alat pemanas dimana suhu dan waktunya dapat diatur

sesuai dengan kebutuhan untuk memanaskan bagian inner ring suatu bantalan yang akan dipasang ke suatu poros [23].

4. Motor

Motor merupakan alat penggerak pengaduk (agitator) dimana kecepatan dapat diatur sesuai dengan proses yang diinginkan [23].

Salah satu aplikasi mixing tank yang paling terkenal adalah reaktor tangki berpengaduk (RATB). Prinisip kerja suatu RATB adalah memasukkan satu atau lebih reaktan ke dalam tangki dan pada saat bersamaan mengeluarkan sejumlah produk dari reactor. Pengaduk dalam mixing tank dirancang sedemikian rupa sehingga campuran reaktan akan teraduk dengan sempurna dan reaksi berlangsung seoptimal mungkin. Hal ini sangat penting karena ketika beroperasi dalam kondisi

steady state, jumlah reaktan yang masuk ke dalam reaktan harus sesuai dengan

jumlah produk yang dihasilkan (the flow rate in must equal to the mass flow rate

out). Mixing tank yang dilengkapi dengan pengaduk, motor, dan heater

menjadikan alat ini menjadi boros terhadap penggunaan energi listrik dan kurang efisien jika digunakan [24].

Dalam penggunaan suatu mixing tank, maka harus diperhatikan bagaimana pemilihan reaktor yang tepat. Adapun pemilihan reaktor yang tepat bertujuan untuk :

1. Mendapatkan keuntungan yang besar. 2. Biaya produksi yang murah.

3. Modal kecil/volume reaktor minimum. 4. Operasinya sederhana dan murah. 5. Keselamatan kerja terjamin.

6. Polusi terhadap sekelilingnya dijaga sekecil-kecilnya. [21].

(19)

23 2.12 STATIC MIXER

Pengadukan atau pencampuran suatu fluida biasa terjadi dalam sebuah tangki pencampur (vessel), tangki yang digunakan terdiri dari pengaduk dan motor serta sekat atau baffle. Untuk skala yang lebih besar pengadukan dengan menggunakan tangki akan menimbulkanbiaya yang lebih besar untuk itu digunakan peralatan pencampuran fluida yang lebih fleksibel dalam perbesaran skala produksi yaitu metode pengadukan dengan static mixer (pengadukan diam).

Static mixer (mixing in pipe) dapat berupa sepotong pipa kosong atai pipa

yang diberi sekat atau orifis yang akan membuat fluida saling berkontak. Ada lima mekanisme proses yang akan terjadi bila suatu fluida dicampurkan di dalam static mixing

Gambar 2.4 Jenis Pola Aliran di Dalam Static Mixer  Membagi (Dividing)

 Memutar (Rotating)

 Menghubungkan (Chaneling)  Membelokkan (Diverting)

 Menggabungkan Kembali (Recombining) [25].

2.13 STATIC IN-LINE MIXER DALAM PENELITIAN

Pada penelitian ini static mixing yang akan digunakan memiliki kareteristik seperti gambar 2.5, yaitu terdiri dari sebuah pipa yang didalamnya terdapat sekat atau baffle. Penggunaan sekat ditujukan untuk memberikan pengontakan atau pertemuan antara sludge dengan umpan yaitu POME yang kemudian akan diteruskan ke tangki bioreactor. Dimana sludge yang dikeluarkan yaitu sebesar 34%.

(20)

Gambar 2.5 Rancangan Static In-Line Mixer Dalam Penelitian

Penelitiaan mengenai pola aliran pada pipa bersekat (baffles) sebelumnya telah dilakukan Al – tabi dan Ooi et All, dimana mereka menjadikan Cystic duct (kelenjar kista) sebagai latar belakang pemodelan dari studi mereka. Al- tabi melakukan percobaan dengan memvariasikan aliran fluida ( berbagai macam nilai Re) yang masuk kedalam fluida serta memvariasikan jarak atau rasio panjang sekat serta membandingkannya dengan pipa yang tanpa sekat.

(21)

25

Al-tabi mengambil variasi c/D ( 0,3 ; 0,5; 0,7 ) dimana jarak antar sekat adalah 1,5 D.

Gambar 2.7 Pola Aliran untuk Nilai Reynolds 110 Aliran dari Kiri ke Kanan [26]

Gambar 2.8 Pola Aliran untuk Nilai Reynolds 100, c/D = 0,5 Aliran dari Kiri ke Kanan [26]

(22)

Gambar 2.10 Pola Aliran c/D = 0,5 [26]

Gambar 2.11 Pola Aliran c/D = 0,3 [26]

(23)

27

Gambar 2.13 Faktor Friksi Vs Angka Reynolds pada variasi nila c/D [27]

(24)

Gambar 2.15 Kesimpulan [27]

Dari penelitian ini ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam perancangan atau penggunaan static mixer antara lain

1. Penggunaan sekat (baffle) pada pipa dapat menciptakan suatu turbulensi aliran yang dimana aliran yang semulanya laminar, kemudiaan menjadi transisi dan menjadi turbulen. Pada c/D (0,7) resirkulasi aliran masih belum begitu baik sehingga turbulensi tidak terjadi pada sekat – sekat awal terutama untuk aliran dengan NRe yang rendah, c/D (0,5) dimana tinggi sekat akan semakin tinggi sehingga lebih mampu menciptakan resirkulasi aliran yang mengakibatkan turbulensi dapat lebih cepat terjadi pada sekat – sekata awal sedangkan c/D (0,3) aliran turbulensi akan lebih cepat terbentuk serta hal ini membuktikan bahwa semakin rendah nilai c/D dari

(25)

29

rancangan sekat pada static mixer akan semakin cepat menciptakan turbulensi [27].

2. Penggunaan sekat dapat meningkatkan faktor friksi dan nilai c/D yang kecil akan membuat nilai faktor friksi yang tinggi. Hal ini terlihat dari nilai c/D 0,3 memiliki nilai faktor friksi yang lebih besar jika dibandingkan dengan c/D 0,5 & 0,7. Namun untuk nilai c/Dyang semakin kecil gradien faktor friksi vs NRe semakin menurun yang dapat diasumsikan bahwa hanya sedikit keterikatan antara faktor friksi pada Nilai Reynod, dan pada nilai Reynold yang tinggi nilai dari faktor friksi tetap ( tidak terikat dengan nilai Reynold) dan dapat dikatakan ini merupakan karakter dari aliran turbulen [27].

3. Penggunaan sekat dapat menurunkan nilai koefesien variance (derajat pencampuran). Dimana nilai c/D yang semakin kecil akan semakin menurunkan nilai koefesien variance yang berati pencampuran akan lebih sempurna [26].

4. Keidealan aliran dalam pengaduk ini akan semakin baik terutama untuk rezim aliran non - turbulen, jika ditambahkan valve (mampu mengatur aliran fluida) untuk mencegah aliran kosong pada pipa bersekat. Kinerja valve yang dimaksut mirip dengan fungsi Valves of Heisters pada kelenjar kista [28].

2.14 BERBAGAI PENELITIAN YANG MENGGUNAKAN STATIC MIXER

Static mixer merupakan alat pencampur yang digunakan untuk

mencampurkan dua zat atau lebih yang bertujuan untuk menghomogenitaskan campuran zat tersebut yang berupa sepotong pipa yang di dalamnya ada sekat yang berfungsi untuk memberikan pola aliran sehingga campuran menjadi homogen.

Penelitian tentang penggunaan static mixer sudah banyak dilakukan. Hei Cheon Yang dan Sang Kyoo Park pada tahun 2004, mereka meniliti tentang pengaruh preasure drop dari static mixer. Pencampur yang digunakan dalam penelitian ini merupakan alat berbentuk tabung acrylic yang berdiameter 40 mm yang dilengkapi dengan sekat-sekat. Dimana terdapat 8 elemen SSC, YNU dan

(26)

SMX yang terbuat dari baja stainless dengan diameter 40 mm dan rasio L/D sama dengan satu. Tebal plat yang berbentuk bulat panjang adalah 2 mm.

Gambar 2.16 Bentuk dari SSC, YNU dan YMX (Dari Atas ke Bawah)

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa faktor friksi dari SMX memiliki kualitas yang baik sesuai dengan data yang ada, faktor friksi dari penggunaan SSC dan YNU masing-masing yaitu 36% lebih rendah dari SMX dan 6% lebih tinggi dari SMX, faktor friksi SMX dengan YNU lebih baik daripada penggunaan SSC [29].

Yang H.C pada tahun 2006, meneliti tentang karakteristik pencampuran dengan pencampuran yang bergerak. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pencampuran dengan menggunakan sekat berupa SMX dengan penggabungan YHC dan YNU. Rancangan dari masing-masing jenis sekat ini menggunakan baja stainless stells, dimana setiap sekat yang digunakan memiliki diameter 40 mm dengan rasio L/D adalah satu. Tebal rata-rata dari plat yang digunakan berbentuk bulat panjang seperti pipa dengan tebal 2 mm. Dari penelitian dilaporkan bahwa karakteristik pencampuran yang digunakan masing-masing pencampur berbeda, ini telihat dari hasil visualisasi. Pada SMX dan YHC, bentuk pencampuran berupa membelah aliran dan menyilang sedangkan pada YNU menunjukkan pola aliran berupa cross-sectional. Dalam SMX, bisa dipasang 5 elemen sekat di dalam alat pencampur sehingga pencampuran bisa lebih baik, sementara pada YNU dan YHC hanya bisaa dipasang 1 dan 2 elemen saja [30].

.Penelitian selanjutnya yang diteliti oleh Kuo-Tung Chang, Jer-Huan Jang, Teng-Chuang Lai dan Jun-Nan Chen pada tahun 2011 meneliti tentang pola aliran dari static mixer dengan menggunakan sekat berupa tri-helical secara numerik dan visualisasi. Peneletian ini menggunakan konsep visualisasi agar mendapatkan

(27)

31

bentuk pola aliran yang terbentuk dari tri-helical. Cairan yang digunakan adalah air. Pada percobaan ini menggunakan Nd-YAG laser, tri-helical sebagai bentuk pengujian, pengatur laju masuk dan keluar air dan penangkap sistem gambar dari percobaan. Dalam penelitian ini, tri-helical digunakan dengan memasukkannya ke dalam tabung untuk visualisasi aliran. Tri-helical dibagi menjadi 3 bagian di dalam pipa. Pengujian ini terdiri atas 4 elemen dengan pengaturan kiri dan kanan diatur secara aksial dalam pipa sehingga bagian ujung pipa aka membentuk sudut 600. Dimensi dari masing-masing elemen adalah 40 x 60 mm, dimana rasio untuk setiap elemen adalah 1,5. Ketebalan pipa 1,2 mm, diameter pipa yaitu 40,4 mm sehingga ada celah kcil antara tri-helical dengan pipa. Panjang total pipa adalah 1000 mm, sedangkan panjang modul penguji adalah 240 mm. Rangkaian peralatan dapat dilihat pada gambar 2.17 berikut.

Gambar 2.17 Skema Penelitian Visualisasi Tri-Helical Staic Mixer [31] Dari penelitian yang dilakukan, disimpulkan bahwa visualisasi aliran dalam tri-helical dapat dibuktikan secara numerik dan eksperimental, software CFD dengan menggunakan Star-CD berhasil digunakan untuk memprediksi aliran laminar dalam tri-helical, hasil bentuk pola aliran yang diperoleh dari tri-helical ini adalah pola tri-lobus, dan disipasi aliran pencampuran di hilir meningkat [31].

(28)

2.15 STUDI PILOT PLANT

Percobaan khas yang bertujuan untuk pengembangan proses adalah dengan menggunakan percobaan Pilot plant. Pilot plant merupakan suatu alat experiment dimana sekurang-kurangnya alat operasi yang ada terdapat dalam pilot plant tersebut dapat menampilkan atau mewakili alat operasi yang ada di pabrik sebenarnya. Bagian dari operasi yang ada pada pilot plant tersebut menggambarkan secara tidak langsung operasi yang ada pada komersial plant yang dapat dirubah dengan menggunakan model matematik [32].

Gambar 2.18 Langkah-langkah Pengembangan Scale Up

Dalam proses industri, data eksperimental sering tersedia dalam skala laboratorium atau system agitasi skala pilot, dan tergantung pada hasil scale-up untuk mendesain satu unit penuh. Ketika prose Scale-up menjadi sangat beranekaragam, tidak ada metode tunggal yang dapat mengatasi masalah scale-up, dan banyak pendekatan yang ada dari scale-up. Kesamaan geometri, tentunya sangat penting dan paling sederhana yang biasa didapatkan. Kesamaan kinematika dapat diartikan sebagai bagian perbandingan dari kecepatan atau waktu. Kesamaan dinamika memerlukan perbandingan tetap dari viskos, inersia dan gaya gravitasi. Meskipun jika kesamaan geometri telah didapatkan, kesamaan dinamika dan kinematika sering tidak bisa diperroleh pada waktu yang bersamaan. Maka,

(29)

33

sering sekali tergantung si desainer untuk mengandalkan penilaian dan pengalaman dalam melakukan scale-up.

Dalam banyak kasus, objek utama biasanya mewakili proses agitasi seperti: gerakan cairan yang sama, seperti pencampuran cairan, dimana gerakan cairan mewakili kecepatan yang diperkirakan sama pada kasus kedua : suspensi solid yang sama, dengan tingkat suspensi yang sama ; dan laju perpindahan masa yang sama, dengan perpindahan masa terjadi diantara fasa cair dan padat, fase cair-cair, dan dengan laju yang sama [33].

2.16 ANALISA EKONOMI

Penelitiaan ini bertujuaan menggantikan peran tangki berpengaduk (mixing tank) dengan static in line mixer. Harapan dari penggantiaan ini adalah efesiensi dari biaya pabrikasi awal dan biaya operasional, dimana tangki berpengaduk menghabiskan biaya yang cukup besar dan tidak lunak terhadap kapasitas pengolahan. Adapun spesifikasi dari static in line mixing dan mixing tank dapat dilihat pada tabel

Tabel 2.9 Spesifikasi Pembuatan dan Biaya Tangki Berpengaduk

Bahan Harga Jumlah Total Biaya

Pelat besi 8 mm 1.679.760 2 3.359.520 Gear box 1.500.000 1 1.200.000 Heater & Thermocouple 1.409.600 1 1.409.600 motor 2.619.760 1 2.619.760 Plat alumunium 346.580 2 693.160 Rockwoll 220.000 1 220.000 Batang pengaduk (round bar) 512.640 1 512.640 Valve 130.000 1 130.000 Pompa 30.000.000 3 90.000.000 Operasional (1 hari) 30.780 30.780 Total 100.175.460

(30)

Tabel 2.10 Spesifikasi Pembuatan dan Harga Static in line mixing

Bahan Harga Jumlah Total Biaya

Pipa 1,5 inch 800.000 1 800.000 Baffle 5.000 5 20.000 Heater & thermocouple 961.600 1 961.600 Pompa 30.000.000 2 60.000.000 Operasional ( 1hari) 9.120 9.120 Total 61.790.720 Efesiensi biaya = = = 0,38 ~ 38%

Nilai diatas merupakan besarnya penghematan dari biaya investasi pada alat pencampur.

Gambar

Gambar 2.1. Blok diagram pengolahan TBS menjadi CPO [13]
Gambar 2.3 Sketsa neraca massa Fermentasi POME dengan Recycle Sludge               Analisa  neraca  massa  didasarkan  pada  prinsip  bahwa  massa  tidak  dapat  diciptakan  dan  dimusnahkan,  tetapi  massa  dapat  diukur
Gambar 2.5 Rancangan Static In-Line Mixer Dalam Penelitian  Penelitiaan mengenai pola aliran pada pipa bersekat (baffles) sebelumnya  telah dilakukan Al  – tabi dan Ooi et All, dimana mereka menjadikan  Cystic duct  (kelenjar  kista)  sebagai  latar  belak
Gambar 2.9 Pola Aliran c/D= 0,7 [26]
+7

Referensi

Dokumen terkait

17 Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa margin pemasaran atau tataniaga komoditas pertanian adalah selisih harga dari yang dibayarkan di

Penelitian dilakukan oleh P.U Nwachukwu tahun 2017, dapat dilihat pada Gambar 2.7 hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pengerolan panas pada suhu penggilasan akhir 958

Aliran Seragam adalah aliran yang terjadi apabila kedalaman aliran sama pada setiap penampang saluran, suatu aliran seragan dapat bersifat tunak atau tidak tunak,

Skema warna komplementer atau kontras adalah suatu skema warna yang merupakan perpaduan antara dua warna yang terletak bersebrangan satu sama lain pada lingkaran

Dari skema dibawah ini, kerangka konsep dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap resiko 4T meliputi (resiko hamil terlalu muda,

17 Berdasarkan para pendapat tabel 2.3 dapat disimpulkan adapun aspek-aspek yang mempengaruhi pelayanan drainase menurut Putra 2019, Helfira et al 2013, Dutanegara 2014, dan

31 2.2 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 : Referensi Jurnal No Nama Peneliti Tahun Penelitian Judul Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan 1 Toni Nurhadianto dan Nur

2.24 Klasifikasi menentukan jenis aliran bila ditunjau dari nilai Froude adalah - 𝐹 < 1, jenis aliran subkritis - 𝐹 = 1, jenis aliran kritis - 𝐹 > 1, jenis aliran superkritis 2.6