• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

VI-1

BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

1. PROSES PENANGANAN BARANG BERBAHAYA DI SETIAP PELABUHAN

a) Proses penanganan serta pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di setiap Pelabuhan dinilai belum mengindahkan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup terkait.

b) Pengelolaan dan pemanfaatan limbah B-3 di Pelabuhan Tanjung Priok, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan UU Nomor 32 Tahun 2009, dilakukan oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II. Karena itu, Pelindo II juga didukung dengan berbagai alat/perangkat operasional, antara lain berupa reception facilities (RF) untuk menghindari pencemaran di laut. Namun sayangnya, kini RF dan perangkat lainnya lebih banyak menganggur atau tidak digunakan. "Sebagian besar limbah B3, entah dari kapal domestik maupun luar negeri, dikelola dan dimanfatkan oleh perusahaan yang sesungguhnya tidak mempunyai izin. Selama ini penanganan limbah B-3 dari sekitar 50 sampai 60 kapal yang ada di pelabuhan, tidak atas seizin instansi yang berwenang. Pelindo II dibuat tidak berdaya dan hanya menjadi penonton atas penyerobotan lahan usahanya itu, selaku pengelola limbah B-3 dari kapal di pelabuhan yang ditunjuk pemerintah, Pelindo II berupaya keras untuk melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya dengan baik.

c) Proses penanganan barang berbahaya kelas 1 sampai dengan kelas 9 tidak sepenuhnya menurut aturan ketentuan IMDG Code terkini. Petugas semua lini sejak kedatangan barang berbahaya dari area parkir, penumpukan sementara sampai pengangkutan ke kepal dilakukan tidak menggunakan formulir data pengecekan (check lis)t secara urut dari

(2)

VI-2

pengecekan Multimoda Shiper’s Declaration, kemasan, label & marking, dokumen kiriman barang berbahaya di bidang pelayaran

2. KINERJA INDIKATOR KESELAMATAN TRANSPORTASI a. Pencapaian kinerja penanganan bahan berbahaya dan beracun

(B3) masih ada permasalahan yang dihadapi oleh sub sektor perhubungan laut dalam penanganan barang-barang berbahaya berupa

1) Aspek Kebijakan

Peraturan perundangan terkait pengangkutan dengan barang berbahaya baik nasional maupun Internasional semua pelababuhan lokasi survei masih belum sesuai dengan aturan bahkan aturannya masih terdapat kerancuan antara penyebutan/ nomeklatur Barang beracun, bahan berbahaya beracun, limbah dan barang berbahaya menurut UU Nomor 32 Tahun 2009 Kementrian Lingkungan Hidup RI dengan IMDG Code International Maritim Organization. Aturan yang dipakai untuk acuan dalam pelaksanaan peningkatan penanganan barang berbahaya di bidang pelayaran adalah sebagai berikut:

a. UU Nomor 32 Tahun 2009 Kementrian Lingkungan Hidup RI Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Republik Indonesia.

b. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 60 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan.

c. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 02 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 17 Tahun 2000 Tentang Pedoman Penanganan Bahan/ Barang Berbahaya Dalam Kegiatan Pelayaran

(3)

VI-3

d. UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

e. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. f. PP No.20 Tahun 2010, Tentang Angkutan di Perairan g. Peraturan Bandar 1925, Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 13

Ayat 1

h. International Maritime Dangerous Goods-Code (IMDG-Code)

2) Aspek Penanganan

Kondisi eksisting penanganan barang berbahaya melalui laut pada umumnya dijalankan secara rutinitas dengan ketentuan yang berlaku. Para petugas kesyahbandaran dan operator pelabuhan tidak memberlakukan secara ketat selama sea freight forwarder/ perusahaan pelayaran dari awal melaksanakan tertib administrasi dan melakukan pengepakan/ pengemasan sesuai dengan ketentuan IMDG-code dan disiapkan dari pabrikan. Tidak diberlakukan penempatan sementara barang berabahaya, langsung dilakukan loading dari truck ke kapal dan sebaliknya unloading dari kapal langsung ke truck.

3) Aspek Segregation

Penempatan container berisi barang berbahaya dengan memberlakukan aturan segregation di dalam kapal. Dalam pelaksanaan penempatan pada tempat penumpukan sementara dan loading/ unloading di kapal di awasi oleh petugas KPLP (Coast Guard) masih ada pelaksanaan yang tidak mengacu pada ketentuan pemisahan (segregation) aturan IMDG Code khusus untuk pengangkutan kendaraan bermotor (mobil, motor, bus) dan truk tangki bahan bakar. Selain pemisahaan ruang untuk kendaraan, pemilik tidak diperkenankan berada dalam kendaraaan dan menghidupkan mesin.

4) Aspek Pengangkutan

Konsep pengangkutan barang berbahaya di bidang pelayaran dilakukan oleh setiap pelabuhan di lokasi survei mengacu pada ketentuan dan peraturan yang berlaku baik

(4)

VI-4

peraturan pemerintah Republik Indonesia maupun International Maritime Organization masih belum memadai, terutama berkaitan:

a) Mensosialisasikan peraturan

b) Menerbitkan surat edaran ketentuan penanganan pengiriman barang berbahaya

c) Menyiapkan sarana pelatihan penanganan barang berbahaya untuk petugas Kesyahbandaran, Operator Pelabuhan, Perusahaan Pelayaran

d) Menetapkan standar operating prosedur dan mengingatkan kepada petugas pentingnya keselamatan (safety) kerja penanganan barang berbahaya.

b. Kinerja Indikator Keselamatan Transportasi 1) Kinerja Marine Inspector/ Surveyor

Marine Inspector bekerja sejak sebuah kapal mulai dibangun di galangan sampai kapal tersebut di besituakan (scrap). Mereka memeriksa apakah konstruksi lambung, perlistrikan dan permesinan kapal, dan lainnya telah memenuhi standar keselamatan yang tercantum di dalam Safety of Life at Sea (SOLAS). di Indonesia belum dapat diserahkan semuanya kepada BKI/ PT. Hanya negara-negara flag of convenience (FoC) saja yang mendelegasikan pemeriksaan aspek keselamatan kapal yang mengibarkan bendera mereka kepada klasifikasi asing karena mereka memang tidak memilikinya. Kementrian Perhubungan selaku pihak yang memegang kewenangan penerapan SOLAS – dalam istilah IMO disebut Administration telah melimpahkan pemeriksaan konstruksi lambung, perlistrikan dan permesinan kapal kepada Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Sementara, aspek lainnya, umpama; instalasi radio, kelaikan alat- alat keselamatan di atas kapal, dll masih dilaksanakan langsung oleh Direktorat Perhubungan Laut melalui Marine Inspector-nya. Kondisi seperti itulah yang sering diistilahkan oleh pemilik kapal domestik dengan multiple classification. Pada awalnya diklasifikasi oleh BKI kemudian diklasifikasi oleh Kemenhub. Di negara lain lazimnya pihak klasifikasi melakukan hampir seluruh pekerjaan yang terkait dengan aspek keselamatan kapal karena pemerintahnya telah melimpahkannya kepada mereka. Mencermati keterangan para korban selamat dari berbagai kecelakaan kapal yang terjadi di Indonesia dan

(5)

VI-5

temuan pihak berwenang yang tewas jatuh karena alat-alat keselamatan yang ada di atas kapal tidak cukup atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

2) Kinerja Kesyahbandaran, Pengelola Terminal (PT. Pelindo), Sea Freight Forwader, Nakhoda/ Mualim Pencapaian kinerja masih ada permasalahan yang dihadapi oleh sub sektor perhubungan laut dalam penanganan barang-barang berbahaya. Beberapa masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan transportasi laut adalah sebagai berikut:

a. Peraturan perundangan terkait pengangkutan dengan barang berbahaya baik nasional maupun Internasional semua pelababuhan lokasi survei masih belum sesuai dengan aturan bahkan aturannya masih terdapat kerancuan antara penyebutan/ nomeklatur Barang beracun, bahan berbahaya beracun, limbah dan barang berbahaya menurut UU Nomor 32 Tahun 2009 Kementrian Lingkungan Hidup RI dengan IMDG Code International Maritim Organization.

Aturan yang dipakai untuk acuan dalam pelaksanaan peningkatan penanganan barang berbahaya di bidang pelayaran adalah sebagai berikut:

• UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

• UU Nomor 32 Tahun 2009 Kementrian Lingkungan Hidup RI

• PP No.20 Tahun 2010, Tentang Angkutan di Perairan

• Peraturan Bandar 1925, Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 13 Ayat 1

• International Maritime Dangerous Goods-Code (IMDG-Code)

b. Penanganan barang berbahaya melalui angkutan laut belum cermat sesuai dengan aturan internasional khusus barang dasar kimia dan bahan bakar minyak untuk industry dimana bahan kimia tersebut terdiri dari kelas 1 sampai dengan kelas 9 adalah barang berbahaya yang tidak dapat diangkut dengan angkutan udara karena terbatas kapasitas ruang kargo maupun ketentuan tidak dapat diperkenankan diangkut karena tingkat bahaya (packing group) oleh pesawat udara berdasarkan ketentuan IATA Dangerous Goods

(6)

VI-6

Regulation. Oleh karena itu penanganan barang berbahaya melalui angkutan laut sangat penting dan perlu diatur dengan cermat dan sesuai dengan aturan internasional (IMDG Code). Jenis barang berbahaya yang ditangani dan diangkut dengan angkutan kapal laut, sebagai berikut:

1) Bahan Bakar Minyak (solar, bensin) 2) Gas Mudah terbakar

3) Limbah B3, padat dan cair 4) Crude Oil dan BBM

5) Generator Pembangkit Listrik

6) Bahan Kimia Oxidizer, untuk bahan Peledak (dinamit/ TNT)

7) Peralatan Pemboran Ladang Minyak (Radio Active Material)

8) Kendaraan bermotor roda empat / lebih

B. REKOMENDASI

1. Memberikan Pendidikan dan Pelatihan kepada Petugas Kesyahbandaran/ KPLP, Operator terminal/ Pelabuhan, Awak Kapal dan Perusahaan Pelayaran berupa General awareness/ familiarization training sesuai anjuran IMDG-Code

a) dangerous goods transport provisions

b) description of the classes of dangerous goods

c) labelling, .marking, placarding

d) packing, stowage, segregation and compatibility provisions

e) description of the purpose and content of the dangerous goods transport documents (such as the Multimodal Dangerous Goods Form and the Container/Vehicle Packing Certificate)

f) description of available emergency response

g) documentations,

2. Pelatihan khusus bagi awak kapal/ shore-side personnel involved in the transport of dangerous goods under the IMDG Code Function

a) Classify dangerous goods and identify Proper Shipping Name

b) Pack dangerous goods in packages

(7)

VI-7

d) Pack/unpack cargo transport units*

e) Prepare transport documents for dangerous goods

f) Classification requirements, in particular -the structure of the description of substances, -the classes of dangerous goods and the principles of their classification, -the nature of the dangerous substances and articles transported (their physical, chemical and toxicological properties), -the procedure for classifying solutions and mixtures, -identification by Proper Shipping Name use of Dangerous Goods List Classes

g) Packaging requirements -type of packages (IBC, large packaging, tank container and bulk container) - UN marking for approved packagings, -segregation requirements, - limited quantities

h) Marking and labelling

i) First aid measures, Emergency response procedures j) Safe handling procedures, Classes, Marking, labelling and

placarding requirements, - primary and subsidiary risk labels marine pollutants, - limited quantities

k) Documentation, Classes, Marking, labelling and placarding 1) Stowage requirements, where applicable Segregation

equirements

Cargo securing requirements (as contained in the IM /ILO / UN ECE Guidelines) CSC requirements

2) Safe handling procedures, Documentation requirements – transport document, -container/ vehicle packing

certificate, - competentauthorities' approval, -waste transport documentation, -special documentation,

3. Sertifikasi peserta yang telah mengikuti diklat sesuai dengan standar IMDG-Code

4. Pelaksanaan pelatihan penyegaran (refreshing training) kepada petugas yang berlisensi secara berkala setiap 24 bulan.

5. Keharusan pemakaian peralatan penunjang keselamatan kerja: safety shoe, safety coat, safety glasses, ear muff, sarung tangan, topi helmet dan masker.

6. Sosialisasi secara berkala perihal Peraturan penanganan pengiriman barang-barang berbahaya pada pelayaran serta sanksi bagi yang tidak mengikuti aturan dengan baik.

(8)

VI-8

7. Pembuatan petunjuk penanganan barang berbahaya secara singkat berupa buku saku, brosur dan leaflet.

8. Pengecekan secara runtun dalam pemeriksaan pengiriman barang berbahaya dari penerimaan awal, penumpukan sementara di area pelabuhan dan penempatan di kapal.

9. Penggunaan Ship Shore Safety Check List setiap pelaksanaan muat bahan bakar cair (bulk liquid) di kapal

10. Penggunaan Checklist for in-transit fumigation untuk pengapalan dalam penempatan cargo bahan peptisida (pepticides)

11. Aturan sanksi kepada petugas pelaksana penerimaan dan pemuatan barang berbahaya serta pengirim yang tidak mengikuti aturan yang berlaku

12. Penyedian tempat penumpukan sementara dengan pembagian pembatas mengacu pada tabel segregration IMDG-code berdasarkan class barang berbahaya.

13. Menyamakan nomenklatur barang-barang berbahaya dengan barang berbahaya beracun antara Kementrian Perhubungan RI dengan Kementrian Lingkungan Hidup RI.

14. Pelaksanaan pelatihan dasar (initial) dan penyegaran (refreshment) penanganan barang berbahaya di bidang pelayaran merujuk pada Training curricula IMO/ IMDG Code

Referensi

Dokumen terkait

(3) Persyaratan pencalonan berupa jumlah dukungan bagi calon perseorangan untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, sebagaimana dimaksud dalam huruf D angka (1),

l..

Visi Panin Life adalah menjadi perusahaan jasa keuangan ritel terkemuka di Indonesia, yang mampu memberikan solusi inovatif yang dapat memuaskan kebutuhan nasabah baik untuk

Lebih luas mereka memaparkannya, sebagai berikut: (1) Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan yang mampu memutuskan kebijakan dan massa

17 Ksmir, Etika Customer Service, .(Jakarta:PT RajagrafindoPersada.2005).Hal.15-22.. sesuai standar, jumlah karyawan yang disediakan juga harus seimbang, Jangan sampai pelanggan

Kami adalah kader konservasi dari Tim Kerja Pemulihan Dieng (TKPD) dan kami saat ini sedang melakukan studi untuk menghitung nilai yang dibutuhkan untuk

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi

Tingkat penetasan telur tertinggi dicapai pada perlakuan kombinasi ekstender madu dengan DMSO 15% (87,97%) dan tidak berbeda baik dengan kontrol segar maupun