• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN REVERSAL WIND DALAM MENENTUKAN PERILAKU CURAH HUJAN DI KAWASAN BARAT INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN REVERSAL WIND DALAM MENENTUKAN PERILAKU CURAH HUJAN DI KAWASAN BARAT INDONESIA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

*

Penulis penanggung jawab

i

PERAN REVERSAL WIND DALAM MENENTUKAN PERILAKU

CURAH HUJAN DI KAWASAN BARAT INDONESIA

Lilis Karmilawati

1

, Eddy Hermawan

2*

, Judhistira Aria Utama

3* 1,2Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas

Pendidikan Indonesia (UPI), Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154, Indonesia

3 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl. Dr. Junjunan No. 133 Bandung, Indonesia

liliskarmilawati@gmail.com , eddy_lapan@yahoo.com , judhistira@yahoo.com

ABSTRAK

Fenomena Monsun (Monsoon) akhir-akhir ini telah menjadi pusat perhatian peneliti atmosfer Indonesia, sebagaimana direkomendasikan oleh IPCC (Intergovernmental

Panel on Climate Change) AR-4 (Assessment Report 2007) terkait kompleksitas

dinamika atmosfer Indonesia. Monsun dicirikan oleh perbedaan yang tegas antara musim penghujan dan musim kemarau, dimana pembalikan arah dan kecepatan angin sebagai salah satu parameter utamanya (dikenal dengan istilah reversal wind). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh reversal wind terhadap curah hujan di kawasan barat Indonesia, dengan mengambil sample data curah hujan observasi dari tiga daerah kajian yakni stasiun Sicincin, Teluk Bayur dan Tabing dengan cara menganalisis kontur angin menggunakan Time Height Section, serta menganalisis secara temporal dengan menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) dan

Transformasi Wavelet. Hasil analisis data kecepatan angin dari Equatorial Atmosphere Radar (EAR) yakni angin zonal dan meridional bulanan periode 2002-2007,

menunjukan reversal wind terjadi pada lapisan 4.85 km dpl untuk angin zonal dan 9,581 km dpl untuk angin meridional. Sementara dari data curah hujan observasi ketiga kawasan tersebut ditunjukan adanya pola monsunal yang tegas yakni 12 bulanan yang dikenal dengan Annual Oscillation (AO). Didapatkan nilai korelasi yang tinggi antara

reversal wind angin meridional dengan anomali curah hujan di tiga kawasan kajian

yaitu 0,611 untuk daerah Sicincin, 0,916 untuk daerah Teluk Bayur dan 0,824 untuk daerah Tabing. Ditunjukan nilai determinasi yang paling besar untuk Teluk Bayur yaitu 83,9 % dengan persamaan regresi linier sederhana ΔCH = - 0,189 + 0,773[reversal wind meridional di 9,581 km dpl]. Analisis spasial digunakan untuk menganalisa pola curah hujan di Sumatera Barat yang dapat mewakili pola curah hujan regional. Pola curah hujan di kawasan barat Indonesia berpola monsunal dengan osilasi dominan 12 bulanan atau AO.

(2)

ii ABSTRACT

ROLE OF REVERSAL WIND IN DETERMINING THE BEHAVIOUR OF RAINFALL IN WESTERN REGION OF INDONESIA

The phenomenon of Monsoon lately has been being attention of atmospheric researchers in Indonesia, as recommended by IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) AR-4 (Assessment Report 2007) related to the complexity of the dynamics of the atmosphere of Indonesia. Monsoon is characterized by a clear differentiation between the rainy season and dry season, where the reversal of wind direction and speed as one of the main parameters (known as the reversal wind). The purpose of this study was to determine how strong the influence of reversal wind of the rainfall in the western region of Indonesia, by taking a sample of observations of rainfall data from three study areas which are Sicincin meteorological station, Teluk Bayur and Tabing. By analysing wind contour using Time Height Section, as well as analysing the temporally by using Fast Fourier Transform (FFT) and Wavelet Transformation. The results of the analysis of zonal and meridional wind speed monthly data from the Equatorial Atmosphere Radar (EAR) in period from 2002 to 2007, shows reversal wind occurs in the lining of 4.85 km asl for zonal wind and 9.581 km asl for the meridional wind. While the observation of rainfall data indicated the presence of three region monsoonal pattern that is 12 monthly that known as Annual Oscillation (AO). Obtained a high value correlation between reversal wind of the meridional wind with rainfall anomalies, 0.611 for Sicincin, 0.916 for Teluk bayur, and 0.824 for Tabing. Also demonstrated the greatest value of determination for the Teluk Bayur which is 83.9% with a simple linear regression equation ΔCH = - 0.189 + 0.773 [reversal of the meridional wind at 9.581 km dpl]. Spatial analysis is used to analyse the pattern of rainfall in West Sumatra that can represent regional rainfall patterns (western region of Indonesia). The pattern of rainfall in the western region of Indonesia patterned monsoonal with dominant oscillation 12 monthly or Annual Oscillation (AO).

Keywords: reversal wind, EAR, meridional wind, Annual Oscillation, rainfall

PENDAHULUAN

Posisi geografis Indonesia yang diapit oleh dua Benua besar (Asia dan Australia) dan dua Samudra besar (Hindia dan Pasifik) serta dengan distribusi antara lautan dan daratan yang tidak merata membuat Indonesia dikenal dengan sebutan Benua Maritim Indonesia. Selain itu, posisi geografis Indonesia yang terletak di ekuator menjadikan Benua Maritim Indonesia ini memiliki karakteristik atmosfer yang beragam. Pada daerah ekuatorial terdapat surplus energi untuk

segala musim dan jumlah curah hujan maksimum (Berliana, 1995).

Posisi geografis menyebabkan Indonesia dipengaruhi oleh fenomena global, yakni Monsun Asia dan Australia yang berosilasi sekitar 12 bulan (1 tahun). Akhir-akhir ini Monsun telah menjadi pusat perhatian peneliti atmosfer Indonesia, sebagaimana direkomendasikan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate

Change) AR-4 (Assesment Report) pada

(3)

iii atmosfer Indonesia. Mengingat posisi

geografis dan fenomena Monsun yang dominan mempengaruhi komspleksitas dinamika atmosfer Indonesia, maka akan sangat menarik apabila dilakukan kajian terhadap dinamika atmosfer kawasan Indonesia Bagian Barat (Hermawan, 2002).

Hermawan (2002) menjelaskan bahwa

Equatorial Atmosphere Radar (EAR)

merupakan radar Doppler yang dibangun untuk observasi di daerah ekuator. EAR dibangun di area pegunungan di bagian barat Sumatra yang berlokasi pada 0,2º LS 100,32º BT di daerah Bukittinggi. Data angin zonal dan meridional yang didapat dari EAR diperkirakan dapat digunakan untuk menganalisis kondisi angin.

Dengan mengidentifikasi kapan dan di ketinggian berapa terjadi pembalikan arah angin musiman (reversal wind), maka keberadaan fenomena Monsun yang mempengaruhi pola curah hujan di kawasan barat Indonesia dapat dikaji lebih dalam. Studi tentang reversal wind untuk kawasan Indonesia belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji. Dibutuhkan analisis yang lebih dalam mengenai peran reversal wind dalam penentuan perilaku curah hujan.

Pulau Sumatera dipilih karena merupakan salah satu pulau besar di Indonesia. Letaknya yang berada di ujung timur Samudra Hindia menjadikan Pulau Sumatera lebih cepat terkena pengaruh fenomena Monsun. Obyek kajian yang dipilih adalah kawasan barat Pulau Sumatera, yakni tiga obyek wilayah kajian yang terletak di Sumatera Barat. Lokasi tersebut kemudian dapat digunakan untuk mewakili representasi kejadian atmosfer dalam ruang lingkup regional (kawasan Barat Indonesia).

METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder diantaranya

yaitu data kecepatan angin zonal dan meridional dari Equatorial Atmosphere

Radar (EAR); data curah hujan observasi

harian yang dijumlahkan ke bulanan di tiga stasiun meteorologi obyek wilayah pengamatan (Sicincin terletak pada 0,6º LS; 100,22º BT; 500 mdpl, Teluk Bayur terletak pada 0,9º LS; 100,36º BT; 2 mdpl, dan Tabing terletak pada 0,7ºLS; 100,27ºBT; 2 mdpl) data curah hujan ini diperoleh dari dari situs resmi BMKG; serta curah hujan satelit dari Climate

Research Unit (CRU). Periode data yang

digunakan adalah Januari 2002 – Desember 2007.

Dilakukan beberapa analisis dalam penelitian ini diantaranya yaitu analisis keberadaan reversal wind dengan menganalisis time height section kontur kecepatan angin; analisis spektral yaitu metode Fast Fourier Transform (FFT) dengan menggunakan Power Spectral

Density (PSD) dan transformasi Wavelet;

setelah itu digunakan analisis rataan varians untuk mengetahui kapan osilasi tertinggi saat terjadi reversal wind; dari analisis rataan varians didapatkan data selama satu tahun ketika osilasi saat terjadi reversal wind tinggi terjadi yang kemudian dianalisis secara statistik menggunakan metode korelasi silang dan regresi linier sederhana untuk mendapatkan hasil secara kuantitatif; terakhir analisis spasial digunakan untuk mengetahui pola curah hujan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(4)

iv (b)

Gambar 1. Time Height Section kontur plot kecepatan (a) angin zonal dan (b) angin meridional fungsi ketinggian data EAR di Kototabang periode Januari 2002 – Desember

2007

Time height section kontur plot

kecepatan angin pada Gambar 1.a dan 1.b digunakan untuk menganalisis pada ketinggian berapa km reversal wind terjadi. Kontur plot kecepatan angin zonal (Gambar 1.a) jika dilihat bentuk osilasinya nampak sulit untuk dianalisis karena tidak sinusoidal sempurna, yakni tidak menunjukan adanya selang osilasi 12

bulanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hermawan (2007) bahwa reversal wind terjadi dalam selang osilasi tahunan (12 bulan), dicirikan dengan bertiupnya angin darat yang bersifat kering pada setengah tahun pertama dan angin laut yang bersifat basah di setengah tahun kedua. Namun dapat terlihat bahwa reversal wind zonal terjadi pada ketinggian 4,853 km dpl.

Kontur plot kecepatan angin meridional (Gambar 1.b) menunjukan bahwa pola osilasi dari angin meridional terlihat jelas dan hampir sempurna, yakni memiliki osilasi 12 bulanan. Reversal wind meridional terjadi pada ketinggian 6,774 km dpl dan 9,581 km dpl.

Keberadaan reversal wind dapat dianalisis lebih dalam lagi dengan menganalisis profil vertikal data angin zonal dan meridional yang dirata-ratakan ke bulanan, seperti yang dipaparkan oleh (Gambar 2).

(a)

(b)

Gambar 2. Profil vertikal plot kecepatan (a) angin zonal dan (b) angin meridional fungsi ketinggian dari data EAR di Kototabang rataan bulan periode tahun 2002-2007

(5)

v Sirkulasi angin zonal (barat-timur)

dominan terjadi pada lapisan atmosfer 850 mb (batas lapisan bawah atau setara dengan ± 2,3 km dpl) (Hermawan, 2012) dikarenakan adanya sirkulasi Walker yang dipengaruhi oleh efek gaya coriolis, sehingga menimbulkan tekanan yang mendekati permukaan Bumi. Selain pada lapisan 850 mb yang dipengaruhi oleh banyaknya faktor lokal seperti adanya bukit, lembah, gunung, aktivitas manusia yang menyebabkan pencemaran udara dan faktor lokal lainnya, dalam penelitian ini banyak didapati data angin zonal dari EAR yang bernilai kosong (9999 atau NaN). Hal tersebut dapat dilihat dari kontur plot kecepatan angin zonal (Gambar 1.a) yang osilasinya tampak tidak jelas. Selain itu dapat dilihat dari profil vertikal kecepata angin zonal (Gambar 2.a) yang dimana tidak terlihatnya perubahan musim yang berosilasi tegas 12 bulan, sehingga data angin zonal tidak dipergunakan dalam penelitian ini namun dilakukan pengolahan data yang sama dengan angin meridional (terdapat pada lampiran).

Sirkulasi atmosfer meridional (utara-selatan) dominan terjadi pada lapisan atmosfer 200 mb (batas lapisan atas atau setara dengan ± 12,6 km dpl) (Hermawan, 2012) dikarenakan adanya sirkulasi

Hadley. Sirkulasi ini yang menyebabkan hujan lebat di daerah tropis. Profil vertikal kecepatan angin meridional periode Januari – Desember pada lapisan 200 mb (Gambar 2.b) memperlihatkan adanya perbedaan yang tegas antara kapan bulan basah terjadi dan kapan bulan kering terjadi. Hal ini yang nantinya akan menjadi acuan bagaimana perilaku curah hujan, serta kapan musim kemarau dan hujan terjadi. Selain itu profil vertikal kecepatan angin meridional memperlihatkan adanya pola osilasi yang tegas yakni 12 bulan.

Selain menggunakan time height section kontur plot angin dapat juga diketahui dengan analisis spektral yaitu FFT dengan PSD sebagai alat filter untuk mengubah data deret waktu yang panjang (data angin). Data yang bersifat acak (random) dapat diubah menjadi pola yang teratur sehingga dapat memunculkan osilasi yang dominan. Hanya saja PSD tidak dapat menunjukan waktu osilasi-osilasi dominan muncul, sehingga metode transformasi wavelet digunakan untuk menunjukkan waktu osilasi-osilasi dominan muncul. Kombinasi kedua analisis spektral sangat penting dengan tujuan untuk menunjukan osilasi 12 bulan dengan jelas.

Gambar 3. Power Spectral Density (PSD) Reversal Wind Zonal dan Meridional Equatorial Atmosphere Radar (EAR) di Kototabang Sumatera Barat dan Anomali Curah Hujan di Tiga Stasiun Kajian

(6)

vi Hasil yang ditunjukan oleh PSD pada

Gambar 3 cukup jelas, dimana osilasi yang domininan adalah osilasi 12 bulanan atau lebih dikenal dengan Annual Oscillation (AO). Angin yang memiliki jenis osilasi AO secara baik dan mendekati osilasi curah hujan yaitu angin pada saat terjadi

reversal wind meridional di ketinggian

9,581 km dpl. Menurut Hermawan (2007) Matahari bergerak ke arah utara ke selatan yaitu ketika menuju ke arah garis balik selatan (23.5º LS) dan mencapai titik maksimum ketika Matahari berada di ekuator. Maka jelas bahwa reversal wind meridional di ketinggian 9,581 km dpl

memiliki osilasi yang dominan dengan nilai energi kinetik spektral yang tidak jauh dengan nilai energi kinetik spektral curah hujan di ketiga obyek wilayah kajian karena pergerakan angin meridional berasal dari utara ke selatan. Sedangkan untuk reversal wind meridional di ketinggian reversal wind di ketinggian 6.774 km dpl tidak berosilasi 12 bulanan karena posisinya yang tidak mendekati lapisan batas atas 200 mb.

Untuk memperkuat analisis mengenai osilasi dominan pada reversal wind dan curah hujan di tiga obyek wilayah kajian, digunakanlah metode transformasi wavelet.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4. Wavelet (a) reversal wind meridional 9,581 km dpl dan anomali curah hujan di Tiga Stasiun wilayah kajian (b) Sicincin (c) Teluk Bayur (d) Tabing Periode Januari 2002 – Desember 2007

Dari keempat hasil keluaran transformasi wavelet (Gambar 4) yakni

time series, wavelet power spectrum, global wavelet spectrum dan time series

rata-rata varians dapat dianalisis bahwa warna merah kecoklatan pada wavelet

power spectrum terdapat pada periode 12

bulan. Kurva power melewati garis signifikansi (garis putus-putus), artinya data tersebut memiliki osilasi yang dominan 12 bulanan ditandai dengan lingkaran berwarna merah. Dapat

(7)

vii dikatakan bahwa semuanya berpola rosilasi

AO. Dibutuhkan analisis lebih mendalam

mengenai kapan waktu reversal wind berpengaruh kuat terhadap curah hujan.

Gambar 5. Rataan varians dari curah hujan Sicincin, Teluk Bayur dan Tabing serta reversal wind meridional di 9,581 km dpl

Hasil analisis rataan varians (Gambar 5) menunjukan bahwa kawasan yang memiliki pola yang sama pada satu waktu dengan reversal wind meridional adalah kawasan Teluk Bayur yaitu pada bulan Januari 2005. Maksud dari pola yang sama pada satu waktu adalah ada kemungkinan bahwa ketiga daerah tersebut dipengaruhi oleh reversal wind, namun peran reversal

wind yang paling besar terdapat pada

kawasan Teluk Bayur.

Hasil analisis rataan varians dapat dikatakan belum dapat merepresentasikan pengaruh reversal wind jika hanya memperlihatkan nilai secara kualitatif berupa gambar. Maka dari itu, dilakukan analisis yang dapat memberikan nilai

secara kuantitatif dengan menganalisis secara statistik dengan data periode Juli 2004 - Juni 2005.

Metode korelasi silang digunakan untuk menunjukkan kekuatan hubungan antara dua variabel. Data reversal wind meridional di 9,581 km dpl yang sebelumnya telah menunjukan sebagai data yang memiliki osilasi paling baik dalam penelitian ini dikorelasikan dengan data curah hujan obervasi di ketiga daerah kajian yakni curah hujan di Sicincin, curah hujan di Teluk Bayur serta curah hujan di Tabing periode Juli 2004 – Juni 2005. Hasil analisis korelasi silang reversal wind dengan curah hujan dapat dilihat pada Gambar 6 dan Tabel 1.

Gambar 6. Korelasi Silang antara Reversal wind dengan Anomali Curah Hujan (a) Sicincin, (b) Teluk Bayur, (c) Tabing

(8)

viii

Tabel 1. Nilai korelasi silang antara reversal wind dengan anomali curah hujan Sicincin,

Teluk Bayur dan Tabing

Hasil analisis menggunakan korelasi silang (Gambar 6) diperoleh bahwa pada lag nol nilai korelasinya melewati batas selang dan bernilai positif. Untuk daerah Sicincin, koefisien korelasi bernilai 0,611; daerah Teluk Bayur memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,916; dan untuk daerah Tabing nilai koefisien korelasinya sebesar 0,824. Selain itu, dapat dilihat dari hasil plot time series antara reversal wind dengan masing masing kawasan (Gambar 7) diperoleh bahwa kedua data pada masing-masing kawasan tersebut sebagian besar memiliki nilai fase yang sama (saling menguatkan).

(a) (b) (c)

Gambar 7. Time series reversal wind meridional di 9,581 km dpl dengan anomali curah hujan (a) Sicincin, (b) Teluk Bayur, (c) Tabing periode Juli 2004 – Juni 2005

Lag Sicincin Teluk Bayur Tabing

Cross Corre lation Std. Error Cross Corre lation Std. Error Cross Corre lation Std. Error -7 -.230 .447 -.030 .447 -.124 .447 -6 -.282 .408 -.395 .408 -.384 .408 -5 -.282 .378 -.268 .378 -.248 .378 -4 .232 .354 -.237 .354 -.033 .354 -3 .053 .333 .030 .333 -.050 .333 -2 .481 .316 .435 .316 .566 .316 -1 .090 .302 .091 .302 .181 .302 0 .611 .289 .916 .289 .824 .289 1 .144 .302 .036 .302 -.039 .302 2 -.116 .316 .282 .316 .097 .316 3 .060 .333 -.226 .333 -.112 .333 4 -.391 .354 -.159 .354 -.456 .354 5 -.206 .378 -.155 .378 -.143 .378 6 -.319 .408 -.440 .408 -.353 .408 7 .127 .447 .124 .447 .179 .447

(9)

ix

Gambar 8 Scatterplot reversal wind meridional di 9,581 km dpl dengan anomali curah hujan (a) Sicincin, (b) Teluk Bayur, (c) Tabing

Dari scatterplot antara reversal

wind dengan anomali curah hujan (Gambar

8) dan menggunakan persamaan ΔCH = a + b [reversal wind] +ε serta dengan batuan

software SPSS Statistics versi 21 maka

didapatkan persamaan regresi linier sederhana berikut: Obyek Kajian Persamaan R 2 (%) error value Sicincin ΔCH = -0,110 + 0,522[reversal wind

meridional di 9,581 km dpl] 37,3 % 0,035 Teluk Bayur ΔCH = - 0,189 + 0,773[reversal wind

meridional di 9,581 km dpl] 83,9 % 0,0009 Tabing ΔCH = 0.051 + 0.671 [reversal wind

meridional di 9,581 km dpl] 67,8 % 0,001

Tabel 2. Persamaan regresi linier sederhana untuk ketiga obyek wilayah kajian

Dari beberapa cara untuk menganalisis besarnya pengaruh reversal wind dengan menggunakan cara ststistik ini, diindikasikan bahwa ketiga kawasan kajian tersebut berkorelasi positif dengan reversal

wind angin meridional atau dapat dikaytakan bahwa reversal wind angin meridional memainkan peran dalam pengaruh curah hujan di tiga kawasan kajian. Dari scatterplot (Gambar 8) dapat

dinyatakan bahwa reversal wind angin

meridional di 9.581 km dpl sangat memberikan peran yang besar kepada kawasan Teluk Bayur (Tabel 2) dengan nilai determinasi yang besar yaitu 83,9% dan persamaan linier sederhananya adalah

ΔCH = - 0,189 + 0,773[reversal wind meridional di 9,581 km dpl] dengan nilai error sebesar 0,0009 untuk periode Juli 2004- Juni 2005 (dimana osilasi kuat reversal wind terjadi).

Data curah hujan observasi menghasilkan nilai yang mendekati akurat. Namun akan lebih baik jika ditunjang dengan data curah hujan satelit untuk mengetahui klimatologis daerah kajian agar analisia yang dilakukan lebih detail. Seperti pada Gambar 9 yang merupakan data klimatologis distribusi curah hujan tiap bulan sepanjang Januari 2002 hingga Desember 2007.

(10)

x

Gambar 9. Distribusi curah hujan secara spasial dari data CRU Sumatera Barat musim (a) DJA, (b) MAM, (c) JJA dan (d) SON tahun 2002-2007

Gambar 9 menjelaskan distribusi curah hujan di Sumatera Barat yang diperoleh dari data CRU. Terlihat jelas bahwa isu dari IPCC AR-4 benar adanya, dimana terdapat bulan basah pada pergantian musim kemarau ke musim penghujan yakni pada bulan September-Oktober-November (SON). Curah hujan tinggi yang harusnya terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF), namun dari data distribusi curah hujan spasial tersebut diperlihatkan bahwa pada bulan SON curah hujan sudah mulai tinggi. Untuk bulan kering dimana musim kemarau terjadi ada

pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Analisis spasial yang ditunjukan oleh data CRU tersebut memperlihatkan bahwa pola curah hujan Sumatera Barat berosilasi 12 bulanan dengan musim kemarau terjadi pada bulan JJA dan musim penghujan terjadi pada bulan DJF

Diperkuat dengan hasil analisis spektral dengan menggunakan PSD dan wavelet yang memperlihatkan osilasi 12 bulanan.

Reversal wind yang memiliki osilasi

dominan sama dengan curah hujan dapat diartikan bahwa reversal wind berperan

(11)

xi serta memberikan pengaruh terhadap

perilaku curah hujan di kawasan barat Indonesia. Peran reversal wind yang merupakan cikal bakal terjadinya fenomena Monsun mempengaruhi perilaku curah hujan dalam penentuan datangnya musim hujan dan musim kemarau di kawasan barat Indonesia menjadi berpola curah hujan monsunal.

KESIMPULAN

1. Angin meridional merupakan angin yang memiliki pola osilasi dominan dengan pola distribusi curah hujan di tiga obyek wilayah kajian.

2. Reversal wind memainkan peran dalam mempengaruhi pola curah hujan di tiga obyek wilayah kajian. Nilai hubungan dan pengaruh reversal wind paling besar terdapat pada wilayah kajian Teluk Bayur dengan nilai determinasi yang besar yaitu 83,9% dan persamaan linier sederhananya adalah ΔCH = - 0,189 + 0,773[reversal wind meridional di 9,581 km dpl] dengan nilai error sebesar 0,0009.

3. Karena pada umumnya reversal wind terjadi pada angin Monsun, yang dimana Indonesia dipengaruhi oleh dua jenis Monsun yaitu Monsun Asia dan Monsun Australia, maka ketiga wilayah obyek ini dapat mewakili kawasan barat Indonesia. Pola curah hujan di kawasan barat Indonesia berpola monsunal dengan osilasi dominan 12 bulanan atau disebut dengan Annual Oscillation (AO). Dari semua analisis yang dilakukan, diperlihatkan bahwa reversal wind memainkan peran dalam penentuan perilaku curah hujan di kawasan barat Indonesia.

REFERENSI

Berliana, Sinta. (1995). The Spectrum

Analysis of Mteorological Elements in Indonesia. Institute for Hydrospheric -

Atmospheric Science. Nagoya University, Japan. (Tesis)

Hermawan, E. (2002). Perbandingan

Antara Radar Atmosfer Khatulistiwa dengan Middle and Upper Atmosphere Radar dalam Pemantauan Angin Zonal dan Meridional. Warta LAPAN 4, No

1, hlm. 8-16.

Hermawan, E. (2007). Penggunaan FFT

dalam Analisis Kenormalan Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan Khususnya Saat Kejadian Dipole Mode. Jurnal Meteorologi dan

Geofisika. BMKG, Vol 8 No.2 hlm. 79 – 86.

Hermawan, E. (2012). Penerapan Teknik

Spektral dalam Terkait dengan Antisipasi Terjadinya Musim Basah Dan Kering Panjang di Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. ISBN: 978-97999314-6-7.

Gambar

Gambar 2. Profil vertikal plot kecepatan (a) angin zonal dan (b) angin meridional fungsi ketinggian  dari data EAR di Kototabang rataan bulan periode tahun 2002-2007
Gambar 3. Power Spectral Density (PSD) Reversal Wind Zonal dan Meridional Equatorial Atmosphere  Radar (EAR) di Kototabang Sumatera Barat dan Anomali Curah Hujan di Tiga Stasiun Kajian
Gambar 3 cukup jelas, dimana osilasi yang  domininan adalah osilasi 12 bulanan atau  lebih dikenal dengan Annual Oscillation  (AO)
Gambar 5. Rataan varians dari curah hujan Sicincin, Teluk Bayur dan Tabing serta reversal wind  meridional di 9,581 km dpl
+4

Referensi

Dokumen terkait

Maka perkara-perkara yang baik adalah yang halal, dan perkara-perkara yang buruk adalah yang di haramkan. Menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah hak preogatif

Dari hasil ini menunjukkan bahwa kadar Kalsium dalam daun kelapa sawit memiliki unsur hara yang cukup sesuai dengan standar yang telah ditentukan yaitu antara 0,5 – 0,75 %. Kata

pendapatan daerah melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi, penyusunan rencana pendapatan asli daerah, bagi hasil dan lain-lain pendapatan daerah yang sah,

KMKO Sipil

Beberapa faktor yang menyebabkan inkonsistensi ini, antara lain: (a) pengembangan petani tidak sesuai dengan rencana induk perkebunan Aceh yang telah diterbitkan sejak

Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang- undangan dan

ml Mili liter Nm Nano meter mA Mili Ampere b.v -1 Berat per volume mmol Mili mol. ppm Part

a) Periode pengumpulan; pada tahapan ini dikumpulkan data sebanyak mungkin dengan berbagai instrument yang memungkinkan dilakukan seperti, wawancara dengan menggunakan