• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyakit infeksi paru yang berperan dalam morbiditas dan mortalitas pada anak-anak dan orang dewasa diseluruh dunia. Antibiotik merupakan obat yang digunakan pada penyakit infeksi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak di dasarkan pada indikasi (Had i, 2009). Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya resistensi bakteri. Selain itu tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat-obat yang lain dapat meningkatkan peluang terjadinya Drug Related Problems (DRP). Sehubungan dengan adanya DRP, setiap farmasis harus dapat mendeteksi, mengatasi dan mencegah masalah- masalah yang terjadi atau akan terjadi dalam pengelolaan dan penggunaan antibiotika (Worokarti, et al, 2005).

Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20-35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empirik (PDPI, 2003).

Sekitar 12 dari 1000 orang dewasa terkena pneumonia yang didapat di masyarakat (community acquired) setiap tahunnya. Satu dari 1000 orang tersebut perlu perawatan rumah sakit dan tingkat mortalitas pasien pneumonia ini sekitar

(2)

10% (Rubenstein et al., 2003). Begitu pula di Provinsi Jawa Tengah, sebesar 80%-90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan oleh pneumonia. Prevalensi penderita pneumonia di Jawa Tengah pada tahun 2010 mencapai 26,76% (Dinkes Sukoharjo, 2010). Sedangkan angka kejadian pneumonia pada anak di Sukoharjo, Jawa Tengah tahun 2011 mencapai 2,2% (Dinkes Jateng, 2011).

Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena pneumonia (1 balita/15 detik) dari 9 juta total kematian balita. Oleh karena itu, UNICEF menyebutkan bahwa pneumonia disebut sebagai pembunuh balita yang terlupakan atau The Forgotten Killer of Children. World Health Organization (WHO) juga menyatakan bahwa insiden pneumonia pada balita di negara dengan Angka Kematian Bayi (AKB) di atas 40 per kelahiran hidup adalah 15-20% per tahun (Nastiti, 2008).

Evaluasi penggunaan antibiotik d ilakukan untuk mengetahui rasionalitas terapi antibiotik. Gyssens mengembangkan evaluasi penggunaan antibiotik untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik yang meliputi ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga da n spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian (Gyssens & Meer, 2001). Metode Gyssens merupakan suatu alat untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik yang telah digunakan secara luas di berbagai negara ( The Amrin Study, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, mendorong peneliti untuk melakukan evaluasi lebih lanjut penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dengan judul penelitian “Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pneumonia Dengan Metode Gyssens di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi Surakarta Tahun 2013”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013?

(3)

2. Apakah penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013 sudah tepat berdasarkan standar Pedoman dan Diagnosis Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui gambaran penggunaan antibiotik Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013.

2. Untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia dengan metode Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Dokter Moewardi Surakarta tahun 2013 yang dibandingkan dengan standar penggunaan antibiotik menurut Pedoman dan Diagnosis Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003.

D. Tinjauan Pustaka 1. Antibiotik

a. Definisi

Antibiotik berasal dari kata anti = lawan, bios = hidup, adalah zat- zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay & Rahardja, 2007).

b. Klasifikasi

Pada umumnya terapi empiris untuk pneumonia yang digunakan adalah agen antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007). Golongan antibiotik yang di rekomendasikan olehPedoman dan Diagnosis Penatalaksanaan Pneumonia tahun 2003 antara lain:

1) Golongan Betalaktam

Antibiotika ini dibagi menjadi dua jenis golongan yaitu penisilin dan sefalosporin.

a) Penisilin

Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja. Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis

(4)

dinding sel (Sukandar, 2008). Golongan penisilin yang umumnya digunakan dalam terapi pneumonia komunitas adalah ampisilin, amoksisilin, piperacillin-tazobactam dan ampicillin- sulbaktam.

b) Sefalosporin

Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang berasal dari sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup Enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (Sukandar, 2008). Generasi pertama sefalosporin meliputi cefaleksin, cefradin, cefradoksil dan cefazolin. Generasi kedua seperti cefaklor, cefamandol dan cefuroksim. Generasi ketiga yaitu cefiksim, cefotaxim, ceftazidim dan ceftriaxone, dan generasi keempat seperti cefipime dan cefpirome.

2) Golongan Kuinolon

Golongan jenis ini terdiri dari asam nalidiksat dan fluorokuinolon yang bekerja dengan menghambat DNA-gyrase. Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae. Fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin, ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain- lain.(Kemenkes RI, 2011). Golongan kuinolon yang umumnya digunakan untuk terapi pneumonia adalah levofloksasin, gatifloksasin dan moksifloksasin.

3) Golongan Makrolida

Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram- negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela. Azitromisin dan klaritomisin dapat menghambat

Haemophylus influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar.

(5)

Golongan makrolid ditambahkan jika pneumonia disertai infeksi bakteri atipik.

c. Resistensi

Resistensi bakteri adalah suatu keadaaan dimana kehidupan bakteri itu sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran antibiotika. Sifat ini merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh dari suatu makhluk hidup. Resistensi bakteri merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus karena menyebabkan terjadinya banyak kegagalan pada terapi dengan antibiotika. Penggunaan antibiotika secara berlebihan dan tidak selektif akan meningkatkan kemampuan bakteri untuk bertahan (Stitzel & Craig, 2005).

Resistensi bakteri terhadap agen antimikroba disebabkan oleh tiga mekanisme umum, yaitu :

1) Kegagalan obat untuk mencapai target. Membran luar bakteri gram negatif adalah penghalang yang dapat menghalangi molekul polar besar untuk masuk ke dalam sel bakteri. Molekul polar kecil, termasuk seperti kebanyakan antimikroba, masuk ke dalam sel melalui saluran protein yang disebut porin. Ketiadaan, mutasi, atau kehilangan porin dapat memperlambat masuknya obat ke dalam sel atau sama sekali mencegah obat untuk masuk ke dalam sel, yang secara efektif mengurangi konsentrasi obat di situs aktif obat.

2) Inaktivasi obat. Resistensi bakteri terhadap amino glikosida dan antibiotik beta laktam biasanya hasil dari produksi enzim yang memodifikasi atau merusak antibiotik.

3) Perubahan target kerja antibiotik. Hal ini mencakup mutasi dari target alami (misalnya, resistensi fluorokuinolon), modifikasi dari target kerja (misalnya, perlindungan ribosom dari makrolida dan tetrasiklin), atau akuisisi bentuk resisten dari target yang rentan (misalnya, resistensi stafilokokus terhadap metisilin yang disebabkan oleh produksi varian Penicillin Binding Protein yang berafinitas lemah) (Katzung, 2004).

(6)

2. Pneumonia a. Definisi

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolis respiratorus dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Sudoyo et al., 2007). Mikroorganisme cenderung menyerang traktus respiratorius bawah melalui aspirasi sekret orofaringeal dan berhubungan dengan flora bakteri, inhalasi dari aerosol yang terinfeksi dan penyebaran hematogenik. Kecepatan perkembangan (penyemaian) mikroorganisme dalam traktus resp iratorius bawah tergantung pada ukuran inokulum, virulensi mikroorganisme dan kerentangan hospes (Tierney et

al., 2002).

Gambar 1. Pne umonia (Harvard Health Publications)

b. Penyebab Pneumonia

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan imunitas (inang), mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris serta prognosis dari pasien (Sudoyo et al., 2007).

(7)

Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling sering pneumonia

kendati banyak bakteri lainnya (termasuk Staphylococcus aureus, Hemophilus

influenzae, Chlarrydia pneumoniae, Moraxella catarrhalis, Lagionella pneumophila, Klebsiella pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Coxiella burnetti) dan virus (termasuk RSV, parainfluenza dan influenza) dapat pula

menyebabkan pneumonia. Pneumonia fungal (misalnya Pneumocystis caxini,

Cryptococcus neoformans, Aspergillus fumigatus) dapat terjadi pada

pasien-pasien yang sistem imunnya terganggu (misalnya pada pasien-pasien infeksi HIV, pasien-pasien yang menjalani kemoterapi) (Berkowitz, 2013).

c. Etiologi

Murwani (2011) menyebutkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pneumonia, diantaranya: bakteri, virus, jamur, dan pendukung lain seperti malnutrisi, selesma (commond cold), dan penyakit berat (syok, koma, kelumpuhan).

Berikut tabel yang menunjukkan perbedaan penyebab pada pneumonia komuniti dan nosokomial.

Tabel 1. Eti ologi yang umum pada pneumoni a komuniti dan nosokomial

Lokasi sumber Penye bab

Ko muniti Streptococcus pneumonia Mycobacterium tubercolosis Legionella pneumonia Haemophillus influenzae Nosokomial Influenza tipe A, B, C Aderovina Staphylococcus aureus

Basil usus gram negatif (Escherichia coli)

Klebsiella pneumonia Pseudomonas aeroginosa

(Syamsudin & Keban, 2003)

d. Klasifikasi

Pneumonia secara khas dikelompokkan menjadi dapatan komunitas (Community Acquired Pneumonia) dan dapatan rumah sakit (Hospital Acquired

(8)

Pneumonia). Pneumonia anaerob dan abses paru dapat terjadi bersamaan dengan

kedua tipe pneumonia dan memerlukan perhatian tersendiri (Tierney et al., 2002). 1) Pneumonia dapatan komunitas (Community Acquired Pneumonia)

Pneumonia yang didapat di komunitas didefinisikan sebagai suatu penyakit yang dimulai di luar rumah sakit atau didiagnosa dalam 48 jam setelah masuk rumah sakit pada pasien yang tak tinggal dalam fasilitas perawatan jangka panjang selama 14 hari atau lebih sebelum onset gejala (Tierney et al., 2002).

Pneumonia yang didapat dari komunitas terjadi ketika terdapat suatu defek pada satu atau lebih mekanisme pertahanan normal hospes, atau ketika terdapat suatu inokulum infeksius yang sangat besar, atau membanjir nya kuman patogen bervirulensi tinggi (Tierney et al., 2002).

Diketahui berbagai patogen yang cenderung dijumpai pada faktor resiko tertentu misalnya Haemophillus influenzae pada pasien perokok, patogen atipikal pada pasien lansia, gram negatif pada pasie n dari rumah jompo. Patogen pneumonia komunitas rawat inap diluar ICU 20-70% tidak diketahui penyebabnya. S. pneumoniae dijumpai pada 20-60%, Haemophillus influenzae dijumpai sekitar 3-10%. Patogen pada pneumonia komunitas ICU sebanyak 10%, 50-60% tidak diketahui penyebabnya, sekitar 33% disebabkan S.

Pneumoniae (Sudoyo et al., 2007).

2) Pneumonia dapatan rumah sakit (Hospital Acquired Pneumonia)

Pneumonia yang didapat di rumah sakit atau nosokomial (Hospital

Acquired Pneumonia) adalah suatu penyakit yang dimulai 48 jam setelah pasien

dirawat di rumah sakit, yang tak sedang mengalami inkubasi suatu infeksi saat masuk rumah sakit. Pneumonia yang berhubungan dengan ventilator berkembang pada pasien-pasien dengan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam setelah inkubasi (Tierney et al., 2002).

Kolonisasi bakteri pada faring dan mungkin pada perut merupakan langkah paling penting dalam patogenesis pneumonia nosokomal. Kolonisasi pada faring ditingkatkan oleh faktor eksogen (instrumental saluran nafas atas dengan pipa nasogastrik dan endotrakea, kontaminasi oleh tangan dan peralatan

(9)

yang kotor dan pengobatan dengan antibiotik spektrum luas dimana meningkatkan timbulnya organisme yang resisten obat dan faktor pasien (malnutrisi, usia lanjut, perubahan kesadaran, gangguan menelan, dan penyakit paru dan sistemik yang mendasari) (Tierney et al., 2002).

Pemeriksaan minimal pada kecurigaan Hospital Acquired Pneumonia meliputi kultur darah dari dua tempat yang berbeda. Kultur darah dapat mengidentifikasi kuman patogen hingga 20% pada semua pasien dengan

Hospital Acquired Pneumonia. Nilai positif berhubungan dengan peningkatan

resiko komplikasi dan tempat infeksi lain (Tierney et al., 2002).

e. Diagnosis

Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi (Sudoyo et al., 2007). Pemeriksaan penunjang pada penyakit paru : (Djojodibroto, 2009)

1) Pemeriksaan darah rutin, karena menurut Dahlan dan Soemantri (2001 ) pada kebanyakan penyakit paru sering terjadi leukositosis.

2) Pemeriksaan jumlah hemoglobin, untuk menilai apakah pasien mengalami anemia atau tidak. Pemeriksaan Packed cell volume (PVC) untuk menilai apakah terdapat polisitema.

3) Pemeriksaan mikrobiologik darah.

4) Pemeriksaan sputum, dengan maksud untuk mendaptkan informasi tentang: organisme patogen, sitologi sel ganas, perhitungan sel, dan diferensial sel, pH, protein, glukosa, LDH (Lactate dehydrogenase) dan berat jenis. Soetrisno (2002) menyatakan bahwasputum berwarna kuning sampai kehijau-hijauan adalah salah satu tanda pada penyakit pneumonia.

5) Pemeriksaan rontgen dada (X-ray). Menurut Dahlan dan Soemantri (2001) penyebaran infeksi (misal, lobus dan bronkial), multipel asbes atau infiltrat, empiema (Staphylococcus), dan penyebaran atau lokasi infiltrasidapatterlihat dengan dilakukannya pemeriksaan rontgen.

(10)

Diagnosis pasti pneumonia komuniti adalah jika ditemukan adanya infiltrat progesif pada foto toraks dengan ditemukan adanya dua atau lebih gejala berikut: (PDPI, 2003)

1) Batuk terus-menerus

2) Dahak mengalami perubahan karakteristik 3) Suhu tubuh ≥ 38o

C

4) Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya konsolidasi, suara napas bronchial dan ronki

5) Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500

Penilaian tingkat keparahan pneumonia komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome

Research Team (PORT) seperti yang tercantum pada tabel 2 berikut: Tabel 2a. Sistem skor pada pneumonia komunitas ber dasarkan PORT

Kara kteristik penderita Poin Faktor de mografi

Usia : la ki-laki Umur (tahun) Pe re mpuan Umur (tahun)-10 Perawatan diru mah

Penyakit penyerta +10 Keganasan +30 Penyakit hati +20 Gaga l jantung kongestif +10 Penyakit serebrovaskuler +10 Penyakit ginja l +10 Pe meriksaan fisis

Perubahan status mental +20 Pernafasan > 30 kali/ menit +20 Tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg +20 Suhu tubuh < 35o C atau > 40 oC +15 Nad i ≥ 125 kali/ menit +10 Hasil laboratoriu m atau radiologi

Analisis gas darah arteri : p H 7,35 +30 BUN > 30 mg/dL +20 Natriu m < 130 mEq/liter +20 Glukosa > 250 mg/dL +10 He matokrit < 30% +10 PO2 ≤ 60 mmHg +10 Efusi p leura +10 (PDPI, 2003) Selanjutnya dilakukan penjumlahan poin-poin pada hasil PORT. Berdasarkan penjumlahan tersebut kemudian dikategorikan menurut kelas risikonya, sehingga

(11)

dapat ditentukan penanganan yang harus dilakukan, seperti yang tercantum pada tabel 3.

Tabel 3. Derajat skor risiko menurut PORT

Risiko Kelas Jumlah poin Penanganan Rendah I 0 Rawat ja lan II <70 Rawat ja lan III 71-90 Rwat ja lan/rawat inap Sedang IV 91-130 Rawat inap

Berat V >130 Rawat inap

(PDPI, 2003) Tahap kedua, melakukan skoring berdasarkan indeks tingkat keparahan pneumonia pada tabel 2a. Sistem skor pada pneumonia ditunjukkan pada tabel 2b berikut:

Tabel 2 b. Sistem skor pada pneumoni a komunitas ber dasarkan PORT

Kara kteristik penderita Poin Faktor de mografi

Usia : la ki-laki Umur (tahun) Pe re mpuan Umur (tahun)-10 Pera watan diru mah

Penyakit penyerta +10

Keganasan +30

Penyakit hati +20 Gaga l jantung kongestif +10 Penyakit serebrovaskuler +10 Penyakit ginja l +10 Pe meriksaan fisis

Perubahan status mental +20 Pernafasan > 30 kali/ menit +20 Tekanan darah sistolik ≥ 90 mmHg +20 Suhu tubuh < 35o C atau > 40 oC +15 Nad i ≥ 125 kali/ menit +10 Hasil laboratoriu m atau radiologi

Analisis gas darah arteri : p H 7,35 +30 BUN > 30 mg/dL +20 Natriu m < 130 mEq/liter +20 Glukosa > 250 mg/dL +10 He matokrit < 30% +10 PO2 ≤ 60 mmHg +10 Efusi p leura +10 (PDPI, 2003) Tahap ketiga, dilakukan penjumlahan poin-poin pada tahap kedua. Berdasarkan penjumlahan tersebut kemudian dikategorikan berdasarkan kelasnya, sehingga dapat diperkirakan probabilitas mortalitasnya. Seperti pada tabel 2c berikut :

(12)

Tabel 2c. Indeks tingkat ke parahan pneumoni a

Menentukan kelas dan mortalitas dengan menggunakan PSI

Kelas Jumlah Po in Probabilitas Mortalitas (%)

I 0 0,1 II <70 0,6 III 71-90 2,8 IV 91-130 8,2 V >130 19,2 (Ringel, 2012) f. Penatalaksanaan Terapi

Pengobatan pneumonia terdiri atas terapi antibiotik dan pengobatan suportif. Terapi antibiotik sebaiknya berdasarkan jenis mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, tetapi karena beberapa alasan tertentu, yaitu :

1) Penyakit berat yang mengancam jiwa.

2) Bakteri patogen yang di isolasi belum pasti sebagai penyebab pneumonia. 3) Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.

Maka, terapi empiris adalah pilihan pertama untuk penderita pneumonia. (PDPI, 2003)

Secara umum pemilihan antibiotik untuk terapi empiris berdasarkan jenis bakteri penyebab pneumonia adalah sebagai berikut: (PDPI, 2003)

1) Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP): golongan penisilin, TMP-SMZ dan makrolid.

2) Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP): betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan), sefotaksim, seftriakson dosis tinggi, makrolid baru dosis tinggi dan fluorokuinolon respirasi.

3) Pseudomonas aeruginosa: aminoglikosida, seftazidim, tikarsilin, karbapenem dan siprofloksasin.

4) Metisilin resisten Staphylococcus aureus (MRSA): vankomisin, teikoplanin dan linezolid.

5) Hemophilus influenzae: TMP-SMZ, azitromisin, sefalosporin generasi 2 atau 3 dan fluorokuinolon respirasi.

6) Legionella: makrolid, fluorokuinolon dan rifampisin.

7) Mycoplasma pneumoniae: doksisiklin, makrolid dan fluorokuinolon. 8) Chlamydia pneumoniae: doksisikin, makrolid dan fluorokuinolon.

(13)

Penderita pneumonia berat diobservasi tingkat keparahannya, bila masih stabil pasien dirawat diruang biasa, bila terjadi respiratory distress maka pasien dirawat di ruang rawat intensif (PDPI, 2003).

Perlu juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi terhadap mikroorganisme patogen tertentu. Faktor modifikasi terdiri dari:

1) Pneumokokus resisten terhadap penisilin a. Usia di atas 65 tahun

b. Selama tiga bulan terakhir menggunakan obat-obat golongan betalaktam c. Pecandu alkohol

d. Gangguan kekebalan

e. Adanya penyakit penyerta yang multipel 2) Bakteri enterik gram negatif

a. Tinggal di rumah jompo

b. Adanya penyakit kelainan jantung c. Adanya kelainan penyakit yang multipel d. Riwayat penggunaan antibiotik

3) Pseudomonas aeruginosa a. Bronkiektasis

b. Menggunakan kortikosteroid lebih dari 10 mg/hari

c. Pada bulan terakhir menggunakan antibiotik spektrum luas lebih dari 7 hari

Berikut tabel penentuan terapi pneumonia komuniti berdasarkan tingkat keparahannya.

(14)

Tabel 4. Anti biotik empiris pada pneumoni a k omuniti

Rawat ja lan 1. Tanpa faktor modifikasi: golongan betalaktam atau betalaktam + anti betala kta mase.

2. Dengan faktor modifikasi : golongan betalaktam + antibetalakta mase atau flourokuinolon respirasi (levofloksasin, mo ksifloksasin, gatifloksasin).

3. Bila dicurigai pneu monia atip ik : ma kro lid baru (ro ksitro misin, kla rito misin, a zitro misin).

Rawat inap biasa 1. Tanpa faktor modifikasi : golongan betalaktam + antibetalakta mse iv atau sefalosporin generasi 2, generasi 3 iv atau flourokuinolon respirasi iv.

2. Dengan faktor mod ifikasi : sefalosporin generasi 2, generasi 3 iv atau flouro kuinolon respirasi iv.

3. Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik dita mbah ma kro lid baru.

Ruang rawat intensif 1. Tidak ada fa ktor resiko infe ksi Pseudomonas: sefalosporin

generasi 3 iv non Pseudomonas + makrolid baru atau flouroku inolon respirasi iv.

2. Ada faktor resiko in feksi Pseudomonas: sefalosporin anti

Pseudomonas iv atau karbapenem iv + flourokuinolon anti Pseudomonas (siprofloksasin) iv atau a minoglikosida iv.

(PDPI, 2003)

3. Metode Gyssens

Kualitas penggunaan antibiotik untuk terapi empiris dan profilaksis umumnya dinilai dari data yang tersedia pada penelitian lokal dan resistensi mikroba serta dari informasi yang didapatkan pada epidemiologi infeksi dan organisme penyebab secara lokal (Gyssens, 2005). Banyak parameter yang telah dibuat untuk mengoptimalkan penilaian kualitas penggunaan antibiotik. Peningkatan penggunaan antibiotik secara b ijak menjadi solusi dalam mengatasi resistensi (Gyssens & Meer, 2001).

Metode Gyssens berbentuk diagram alir yang diadaptasi dari kriteria Kunin et

al. Metode ini mengevaluasi seluruh aspek peresepan antibiotika seperti penilaian

peresepan, alternatif yang lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah dan spektrum lebih sempit. Selain itu juga dievaluasi lama pengobatan dan dosis, interval dan rute pemberian serta waktu pemberian (Gyssens, 2005).

Gambar

Gambar  1. Pne umonia (Harvard Health Publications)

Referensi

Dokumen terkait

Jika Pejabat Eselon IV memiliki bawahan di bawah ketentuan minimal (hanya 1 orang), maka atasan langsungnya menunjuk 1 orang tambahan Bawahan dari unit eselon

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa prilaku petani dalam arti ingin menggunakan teknologi mesin rice transplanter tergolong rendah, hanya 12,36% responden

Makalah ini bertujuan untuk mendokumentasikan toponimi yang dimunculkan pada sejumlah lagu populer sehingga dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah terkait,

mempunyai niai signifikan 0,159 &gt; 0,05 dan hasil thitung &gt; ttabel yang dimana 1.425 &gt; 1,66600, maka Ha diterima H0 ditolak yang berarti bahwa

Oleh sebab itu, ekstrak etanol buah mahkota dewa diformulasikan dalam bentuk krim dan dilakukan perbandingan proporsi cetaceum dan cera alba untuk mengetahui pengaruh perbandingan

44. Untuk perbaikan distribusi lahan perlu didukung berbagai kebijakan seperti kebijakan reforma agraria, baik di wilayah berbasis palawija maupun sayuran. Kebijakan memanfaatkan

Hasil: pemberian ekstrak kunyit dosis 55,2 mg/kgbb pada endometrium tikus yang diinduksi dengan LH berpengaruh nyata menurunkan jumlah sel epitel luminal endometrium, tetapi

Adapun saran dari penelitian ini khususnya untuk pihak The Body Shop Indonesia yaitu untuk meningkatkan kinerja LYBC Mobile Application dengan lebih memfokuskan pada sebelas item