• Tidak ada hasil yang ditemukan

note AQUARIUS note Learn More in Less Time

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "note AQUARIUS note Learn More in Less Time"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Gagasan manusia mengenai Tuhan dan ketuhanan memiliki sebuah sejarah. Gagasan ini dibentuk oleh satu generasi yang terdiri dari rangkaian manusia, namun tidak berarti generasi-generasi berikutnya pun juga memiliki interpretasi yang sama. Bahkan, bisa jadi pada generasi lain, gagasan ini tidak memiliki makna apapun.

Ungkapan “saya beriman pada Tuhan”, seperti juga dengan ungkapan lainnya, tidaklah berarti apapun jika yang mengatakan adalah

komunitas tertentu. Sebenarnya, tidak ada perbedaan makna dalam pengucapan kata “Tuhan”; malahan, kata tersebut mengandung sebuah makna yang cukup luas, yang mana sebagian memiliki arti yang kontradiktif. Karena, jika ungkapan Tuhan tidak memiliki makna sefleksibel itu, maka ungkapan ini tidak akan menjadi sesuatu yang luar biasa bagi manusia.

Di luar dari hal spiritual, agama adalah hal yang sangat pragmatis. Pada kenyataannya, keberhasilan pelaksanaan beberapa gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan dianggap lebih penting daripada hanya sekadar masuk akal atau terdengar cerdas. Begitu gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan ini tidak lagi berjalan dengan efektif, maka maknanya akan berubah—terkadang menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan radikal. Namun, hal ini tidak mengganggu sebagian besar para monoteis pada zaman dahulu, karena gagasan mereka mengenai Tuhan dan ketuhanan telah jelas dan keyakinan mereka begitu suci dan sakral, namun tidak menutup kemungkinan bahwa semua keyakinan itu hanya bersifat sementara.

Sepanjang kisah sejarah yang pernah tercatat, pria dan wanita telah mengalami sebuah dimensi spiritual yang tampak telah jauh

melampaui dunia kemanusiaan. Namun, bagaimanapun bentuk dan kondisi pengalaman spiritualitas semacam itu, kita tetap saja memilih untuk menerjemahkan dan menerimanya. Tetapi, tidak semua orang menganggapnya sebagai sebuah bentuk keilahian: para penganut ajaran Buddha akan menolak anggapan bahwa visi dan wawasan mereka berasal dari sebuah sumber spiritual; melainkan, para

1

note

AQUARIUS

Copyright © 2014 AQUARIUS RESOURCES powered by : BACAKILAT. • All Rights Reserved • www.aquariusnote.com

penganut ajaran Buddha lebih menganggap bahwa ini adalah sebuah sisi alamiah dari kemanusiaan.

PADA AWALNYA

Pada awalnya, manusia diciptakan oleh Tuhan yang merupakan Awal dan Sumber dari segalanya dan Pengatur surga dan alam semesta. Dia tidak dapat terbayangkan dan tidak memiliki kuil atau

pendeta-pendeta yang membantuNya dalam melakukan

pekerjaanNya. Dia sangat agung dan seluruh puja-puji yang bisa diungkapkan atau dibayangkan oleh para manusia tidak mampu mendeskripsikan keagunganNya. Dia sering menghilang dari

kesadaran para manusia. Dia menjadi semakin jauh, sehingga manusia memutuskan bahwa mereka tidak menginginkanNya lagi. Pada akhirnya, kebanyakan manusia menganggap Dia telah menghilang. Terdapat begitu banyak teori yang mengutarakan mengenai asal muasal agama. Sampai saat ini pun, tampaknya menciptakan Tuhan-Tuhan menjadi hal yang gemar dilakukan oleh kebanyakan orang. Ketika sebuah gagasan relijius tidak mampu lagi menampung hasrat mereka, dengan mudah gagasan relijius itu tergantikan.

Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak lagi menjadi hal yang relevan dalam kehidupan manusia pada hari ini, adalah karena banyak dari kita yang tidak lagi memiliki rasa terselubungi atau dikelilingi oleh hal yang tak kasat mata. Kultur ilmu pengetahuan kita mendidik kita untuk memfokuskan perhatian kita pada dunia fisik dan materil yang ada di hadapan kita. Metode dalam memandang dunia seperti ini memang cukup memberikan hasil yang baik. Namun, salah satu konsekuensinya adalah menghapuskan rasa “spiritual” dan “suci”, yang mana kehidupan masyarakat yang berada dalam lingkungan yang lebih tradisional dan, yang mana merupakan sebuah komponen utama bagi pengalaman manusia di dunia.

Namun, secara alamiah, manusia memiliki hasrat untuk terjun pada realita spiritual dan membuat hal tersebut bermanfaat bagi mereka, dan secara lebih sederhana lagi, mereka hanya ingin mengagumi dunia spiritual itu.

Rudolf Otto, seorang sejarawan yang memfokuskan bidangnya pada ranah agama, mengatakan dalam bukunya yang berjudul The Idea of the Holy, bahwa beliau mempercayai aqidah atau rasa yakin pada keilahian merupakan dasar dalam tiap agama. Hal ini mendahului segala hasrat untuk menjelaskan asal muasal dunia atau menemukan dasar dari perilaku yang etis. Kekuatan spiritual dirasakan oleh tiap manusia dengan cara yang berbeda—terkadang hal ini

menginspirasikan sesuatu yang menarik dan liar; terkadang malah menenangkan; terkadang orang merasakan kengerian, rasa malu, dan rasa kagum terhadap kekuatan misterius yang terdapat di dalam

segala aspek kehidupan.

Ketika manusia mulai mengonsepkan Tuhan dan mitos-mitos mereka, mereka tidak sedang mencari penjelasan sisi alamiah fenomena tersebut. Kisah-kisah simbolik, lukisan-lukisan yang tertera di dalam goa, dan pahatan-pahatan merupakan sebuah usaha untuk

mengekspresikan hasrat ingin tahu mereka. Selain itu,

peninggalan-peninggalan ini pun dibuat untuk menghubungkan sisi misterius spiritualitas dengan kehidupan mereka.

Tampaknya, pada zaman dahulu kala, manusia menganggap jika tidak ikut serta dalam kehidupan penuh ilahi, mereka tidaklah termasuk golongan manusia. Kehidupan duniawi terlihat begitu rapuh dan dipenuhi dengan kefanaan, namun jika pria dan wanita mengikuti tindakan keilahian, mereka akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi, lebih berkuasa dan lebih efektif.

Dikatakan pula, bahwa para Tuhan menunjukkan pada manusia cara untuk membangun perkotaan dan perkuilan, yang mana dipercaya merupakan tiruan dari rumah-rumah mereka di ranah keilahian. Dunia sakral milik para Tuhan—yang mana banyak disebutkan dalam

mitos-mitos—tidak hanya sebuah hal ideal yang menginspirasi manusia, namun juga merupakan sebuah prototip keberadaan

manusia; ini adalah sebuah pola asli mengenai kehidupan kita. Segala yang ada di dunia ini dipercaya sebagai sebuah replika dari apa yang ada di dunia gaib sana.

Menurut Enuma Elish—puisi epik untuk merayakan kemenangan para Tuhan—Tuhan itu muncul atau terbentuk dari dua buah zat yang tak terbentuk, yang menyerupai limbah. Dalam mitos Babilonia—yang nanti pun juga akan muncul di dalam Injil—tidak ada sebuah ciptaan yang hadir tanpa penyebab atau asal mula, dan tidak ada sebuah gagasan pun yang tampak aneh. Sebelum para Tuhan maupun manusia lahir ke dunia ini, zat yang sakral ini telah hadir dari sebuah tempat yang abadi. Dalam Enuma Elish pun dikatakan, kekacauan bukanlah sekumpulan gerakan massa yang berapi-api dan bergelora, namun sebuah keteledoran akan kurangnya ikatan, definisi dan identitas di dalamnya.

Kemudian tiga Tuhan muncul dari antah berantah: Apsu (dikenali dengan sungan yang berisi ari manis), istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, rahim yang mengandung kekacauan. Singkatnya, ketiga Tuhan ini merupakan sebuah model ketuhanan yang kurang cerdas dan masih memerlukan banyak perbaikan. Nama-nama mereka, “Apsu” dan Tiamat” dapat diartikan sebagai: “neraka”, “kehampaan”, atau “teluk yang tak berdasar”. Mereka berbagi kelemahan dari bentuk asli mereka dan belum mendapat identitas yang jelas.

Oleh sebab itu, rangkaian para Tuhan lain yang bermunculan setelah dan terinspirasi dari mereka yang muncul dengan proses emanasi, yang mana merupakan hal yang cukup penting dalam sejarah Tuhan kita. Para Tuhan yang baru satu per satu bermunculan, sebagian demi sebagian. Tiap kemunculan baru tersebut mengandung definisi yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dan seperti itulah berjalannya evolusi ketuhanan.

Agama-agama yang sekarang ada di dunia, seperti Yahudi, Kristen dan Islam, merupakan agama yang di dalam Kitab injil dikaitkan pada Nabi Ibrahim, yang mana meninggalkan negerinya dan tinggal di Kanan pada abad 19 atau 20 SM. Sebenarnya tidak ada rekam jejak yang telah pasti di dapatkan oleh para peneliti, namun para ilmuwan berpendapat: Nabi Ibrahim merupakan seorang pemimpin dari kaum yang terdiri dari para pengembara, yang mana memimpin kaumnya berhijrah dari daratan Messopotamia menuju ke Mediterrania, pada sepertiga akhir milenium SM.

Sejarah asal muasal nabi Ibrahim dan keturunannya dapat mengindikasikan bahwa terdapat tiga gelombang awal pada

terciptanya pemukiman bangsa Ibrani di Kanan, atau yang sekarang adalah tanah Israel modern. Gelombang pertama adalah yang terkait dengan Nabi Ibrahim dan kota Ibran dan terjadi pada sekitar tahun 1850 SM. Gelombang kedua hijrah adalah yang terkait dengan cucu nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, yang dijuluki sebagai Israel (semoga Tuhan menunjukkan kekuatanNya); beliau tinggal di Shechem, yang mana sekarang merupakan kota Arab di Nablus West Bank.

Kitab Injil mengatakan bahwa anak nabi Ya’kub, yang merupakan pemuka dari dua belas suku di Israel, berhijrah ke Mesir karena terjadi paceklik yang parah di Kanan. Kemudian, gelombang ketiga dari pemukiman bangsa Ibrani hadir pada sekitar tahun 1200 SM, di mana para suku yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim, tiba di Kanan dari Mesir. Mereka mengatakan bahwa mereka telah diperbudak oleh bangsa Mesir, namun telah dibebaskan oleh Tuhan yang bernama Yahweh, yang merupakan Tuhan dari pemimpin mereka, yaitu Musa. Begitu mereka berhijrah ke Kanan, mereka membaur dengan bangsa Ibrani di sana dan menjadi bangsa yang dikenal dengan sebutan bani Israel.

Kitab Injil menjelaskan bahwa bangsa yang kita ketahui sebagai nenek moyang Israel merupakan gabungan dari berbagai kelompok suku, yang mana terikat secara prinsip berdasarkan Tuhan mereka yang disebut dengan Yahweh, yaitu Tuhannya nabi Musa. Sejarah perinjilan yang dicatat setelah beberapa abad kemudian, di sekitar abad ke delapan SM, juga mencatatkan hal yang sama.

Pada abad ke sembilan belas, beberapa ilmuwan bidang perinjilan berkebangsaan Jerman, mengembangkan sebuah metode kritis yang

melihat empat sumber berbeda dalam lima kitab pertama dari kitab Injil: Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers dan Deuteronomi. Hal ini kemudian disusun dalam teks final dari apa yang telah kita kenal sebagai Pentateuch pada abad kelima SM.

Bentuk kritik semacam ini datang sebagai obat bagi perilaku yang buruk, namun tidak ada seorang pun dapat memberikan teori yang lebih memuaskan, yang menjelaskan mengenai alasan kenapa

terdapat dua catatan yang berbeda tentang peristiwa kunci perinjilan, seperti Penciptaan dan Banjir; dan juga alasan mengapa terkadang isi kitab Injil bertentangan satu sama lain.

Walaupun mungkin kisah-kisah seperti ini menunjukkan pemimpin sebuah kaum yang bertemu dengan Tuhan dengan cara yang serupa dengan yang diyakini oleh para pemuja berhala kontemporer, namun kisah-kisah ini lebih memperkenalkan kategori baru dalam

pengalaman relijius.

Di dalam kitab Injil, Nabi Ibrahim dijuluki dengan seorang yang beriman. Hari ini kita cenderung untuk mendefinisikan keimanan dengan sebuah kepercayaan, namun, seperti yang telah kita saksikan, penulis perinjilan tidak memandang keimanan pada Tuhan sebagai sebuah abstraksi atau keyakinan metafisikal. Ketika mereka memuja keimanan dari nabi Ibrahim, mereka tidak turut serta memuji kekukuhan pendiriannya (penerimaan akan ketuhanan yang

sebenar-benarnya) namun hanya membahas masalah kepercayaannya saja, dalam cara yang serupa dengan kita mempercayai sesama manusia atau mempercayai sebuah idealisme.

PENCERAHAN

Tuhan yang mungkin menginspirasi kaum-kaum yang sukses berkembang di dalam revolusi ketuhanan. Pada ketiga keyakinan, Tuhan menginspirasikan sebuah idealisme dari keadilan sosial, walaupun harus dikatakan bahwa penganut agama Yahudi, Kristen, maupun Islam sering gagal dalam menghidupkan idealisme ini dan secara sadar maupun tidak sadar, telah mengubah Tuhan sebagai sebuah bentuk status quo.

Para Tuhan tidak lagi merupakan hal yang sangat penting di India. Malahan, mereka jauh lebih patuh pada guru relijius, yang mereka anggap lebih tinggi dari para Tuhan. Ini merupakan sebuah tuntutan nilai kemanusiaan dan hasrat untuk mengendalikan takdir: ini bisa menjadi wawasan relijius yang sangat baik bagi negara tetangganya. Agama baru dari para penganut ajaran Hindu dan ajaran Buddha tidak menolak keberadaan dari Tuhan, dan tidak pula mereka melarang pengikut atau kaumnya untuk menyembah para Tuhan. Dalam pandangan mereka, pengekangan dan penolakan terhadap

hal-hal seperti itu akan membuahkan kerusakan. Karena itu, para penganut ajaran Hindu dan Buddha melihat jalan baru untuk bisa melebihi para Tuhan, untuk berada di atas para Tuhan.

Kekuatan ilahiyah para Tuhan ini akan memberikan kesan asing, walaupun pada kenyataannya ini juga meliputi, menopang dan menginspirasi diri kita. Teknik Yoga telah membuat orang sadar akan dunia batiniah. Disiplin postur, pernafasan, diet dan konsentrasi mental ini juga telah dikembangkan secara mandiri pada kultur-kultur lain. Perkembangan ini menghasilkan pengalaman akan pencerahan dan penerangan, yang mana diterjemahkan secara berbeda, namun tampak alami bagi kaum adam.

Sang Buddha meyakini keberadaan para Tuhan secara tidak langsung, namun dia tidak percaya para Tuhan itu bisa berguna bagi manusia. Para Tuhan pun dianggapnya bergelimangan penderitaan dan terlalu rumit ajarannya; para Tuhan tidak membantu dirinya untuk

menemukan pencerahan; para Tuhan terlibat dalam rantai reinkarnasi seperti juga dengan makhluk lainnya, yang mana berarti pada

akhirnya para Tuhan pun juga akan menghilang.

Namun, pada saat-saat krusial dalam hidupnya, sang Buddha

membayangkan para Tuhan mempengaruhinya dan memainkan peran yang aktif dalam pikirannya. Sang Buddha tidak menolak untuk percaya dengan keberadaan para Tuhan, namun percaya juga dengan keberadaan surga dan menganggapnya lebih tinggi dari para Tuhan. Ketika penganut ajaran Buddha mengalami kebahagiaan atau perasaan luar biasa saat meditasi, mereka tidak meyakini bahwa hal tersebut merupakan hasil dari kontak mereka dengan kekuatan gaib. Kondisi seperti itu dianggap sebagai kondisi yang alami bagi para manusia; mereka dapat dicapai oleh siapa pun yang hidup dengan cara yang benar dan mempelajari teknik Yoga. Alih-alih bergantung pada Tuhan, sang Buddha menekankan pada para muridnya untuk menjaga dirinya sendiri.

Karma mengikat manusia pada rantai reinkarnasi yang kekal, pada rangkaian kehidupan yang penuh derita. Namun, jika mereka bisa membentuk kembali sikap egois mereka menjadi sikap yang lebih baik, maka mereka akan dapat mengubah takdir mereka. Sang

Buddha membandingkan proses reinkarnasi pada sebuah kobaran api yang menyalakan sebuah lampu, dari ketika lampu dinyalakan hingga api di dalamnya berkobar dan memancarkan cahaya yang menjadikan sebuah lampu terang. Jika seseorang mati dalam keadaan masih berupa kobaran api, maka dia akan hidup lagi di lampu yang lainnya. Namun jika dia mati setelah apinya membuat lampu menyala terang, maka penderitaannya akan terhenti dan dia akan bisa mencapai surga.

“Surga” memiliki arti “bersantai”, atau “bepergian”. Ini sama sekali bukan ungkapan negatif, namun memainkan peran dalam ajaran Buddha sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Edward Conze, seorang penulis buku berjudul “Buddhism: It’s Essence and Development”, ajaran Buddha biasanya menggunakan gambaran yang sama dengan para penganut ketuhanan dalam mendeskripsikan Surga, yaitu realita terakhir. Secara singkat, sebuah gagasan seperti Keindahan, memiliki

kemiripan makna dengan banyak para penganut ketuhanan memaknai Tuhan mereka. Di luar dari keluarbiasaannya, gagasan mengenai ketuhanan bisa ditemukan dalam pikiran seseorang. Kita, kaum modern, mengalami proses berpikir sebagai sebuah aktivitas, sebagai sebuah hal yang kita lakukan. Namun, Plato menegaskan bahwa ini adalah sesuatu yang terjadi di pikiran kita: objek dari pikiran akan realita yang aktif di dalam kecerdasan seorang manusia tempat manusia merenungkannya.

Manusia memiliki jiwa yang mengandung kecerdasan ilahiyah, yang mana membuat mereka berhubungan dengan Tuhan dan merupakan bagian dalam keilahian. Kemampuan serupa dengan Tuhan ini membuat manusia lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan tanaman atau hewan. Merupakan kewajiban bagi para manusia untuk mengekalkan keberadaannya, yaitu dengan cara memurnikan

kecerdasannya. Kebijaksanaan, merupakan keutamaan yang paling tinggi dalam hidup manusia; ini merupakan hasil dari perenungan akan kebenaran filosofis, yang membuat kita memiliki kualitas ilahiyah dengan meniru aktivitas Tuhan yang sesungguhnya. Perenungan tidak dapat dicapai hanya dengan logika, namun merupakan sebuah intuisi disiplin yang menghasilkan kesadaran diri. Hanya sedikit orang yang dapat mencapai kebijaksanaan, namun sebagian besar dapat juga menggapai kecerdasan dalam kehidupan sehari-hari.

SEMOGA ANDA MENIKMATI AQUARIUS NOTE INI. HAPPY READING! P P P PADA AWALNYA PENCERAHAN MINDMAP CONTENT

2

5

8

Learn More in Less Time

note

Terdapat perbedaan antara kepercayaan akan dalil

dengan keyakinan, yang dapat membuat kita percaya

sepenuhnya padanya.

THE 4.000 YEAR QUEST OF JUDAISM, CHRISTIANITY AND ISLAM

OLEH : KAREN ARMSTRONG

BALLANTINE BOOKS · 417 HALAMAN

ISBN-13: 978-0345384563

A HISTORY OF GOD

(2)

Gagasan manusia mengenai Tuhan dan ketuhanan memiliki sebuah sejarah. Gagasan ini dibentuk oleh satu generasi yang terdiri dari rangkaian manusia, namun tidak berarti generasi-generasi berikutnya pun juga memiliki interpretasi yang sama. Bahkan, bisa jadi pada generasi lain, gagasan ini tidak memiliki makna apapun.

Ungkapan “saya beriman pada Tuhan”, seperti juga dengan ungkapan lainnya, tidaklah berarti apapun jika yang mengatakan adalah

komunitas tertentu. Sebenarnya, tidak ada perbedaan makna dalam pengucapan kata “Tuhan”; malahan, kata tersebut mengandung sebuah makna yang cukup luas, yang mana sebagian memiliki arti yang kontradiktif. Karena, jika ungkapan Tuhan tidak memiliki makna sefleksibel itu, maka ungkapan ini tidak akan menjadi sesuatu yang luar biasa bagi manusia.

Di luar dari hal spiritual, agama adalah hal yang sangat pragmatis. Pada kenyataannya, keberhasilan pelaksanaan beberapa gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan dianggap lebih penting daripada hanya sekadar masuk akal atau terdengar cerdas. Begitu gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan ini tidak lagi berjalan dengan efektif, maka maknanya akan berubah—terkadang menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan radikal. Namun, hal ini tidak mengganggu sebagian besar para monoteis pada zaman dahulu, karena gagasan mereka mengenai Tuhan dan ketuhanan telah jelas dan keyakinan mereka begitu suci dan sakral, namun tidak menutup kemungkinan bahwa semua keyakinan itu hanya bersifat sementara.

Sepanjang kisah sejarah yang pernah tercatat, pria dan wanita telah mengalami sebuah dimensi spiritual yang tampak telah jauh

melampaui dunia kemanusiaan. Namun, bagaimanapun bentuk dan kondisi pengalaman spiritualitas semacam itu, kita tetap saja memilih untuk menerjemahkan dan menerimanya. Tetapi, tidak semua orang menganggapnya sebagai sebuah bentuk keilahian: para penganut ajaran Buddha akan menolak anggapan bahwa visi dan wawasan mereka berasal dari sebuah sumber spiritual; melainkan, para

PADA AWALNYA

Pada awalnya, manusia diciptakan oleh Tuhan yang merupakan Awal dan Sumber dari segalanya dan Pengatur surga dan alam semesta. Dia tidak dapat terbayangkan dan tidak memiliki kuil atau

pendeta-pendeta yang membantuNya dalam melakukan

pekerjaanNya. Dia sangat agung dan seluruh puja-puji yang bisa diungkapkan atau dibayangkan oleh para manusia tidak mampu mendeskripsikan keagunganNya. Dia sering menghilang dari

kesadaran para manusia. Dia menjadi semakin jauh, sehingga manusia memutuskan bahwa mereka tidak menginginkanNya lagi. Pada akhirnya, kebanyakan manusia menganggap Dia telah menghilang. Terdapat begitu banyak teori yang mengutarakan mengenai asal muasal agama. Sampai saat ini pun, tampaknya menciptakan Tuhan-Tuhan menjadi hal yang gemar dilakukan oleh kebanyakan orang. Ketika sebuah gagasan relijius tidak mampu lagi menampung hasrat mereka, dengan mudah gagasan relijius itu tergantikan.

Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak lagi menjadi hal yang relevan dalam kehidupan manusia pada hari ini, adalah karena banyak dari kita yang tidak lagi memiliki rasa terselubungi atau dikelilingi oleh hal yang tak kasat mata. Kultur ilmu pengetahuan kita mendidik kita untuk memfokuskan perhatian kita pada dunia fisik dan materil yang ada di hadapan kita. Metode dalam memandang dunia seperti ini memang cukup memberikan hasil yang baik. Namun, salah satu konsekuensinya adalah menghapuskan rasa “spiritual” dan “suci”, yang mana kehidupan masyarakat yang berada dalam lingkungan yang lebih tradisional dan, yang mana merupakan sebuah komponen utama bagi pengalaman manusia di dunia.

Namun, secara alamiah, manusia memiliki hasrat untuk terjun pada realita spiritual dan membuat hal tersebut bermanfaat bagi mereka, dan secara lebih sederhana lagi, mereka hanya ingin mengagumi dunia spiritual itu.

Rudolf Otto, seorang sejarawan yang memfokuskan bidangnya pada ranah agama, mengatakan dalam bukunya yang berjudul The Idea of the Holy, bahwa beliau mempercayai aqidah atau rasa yakin pada keilahian merupakan dasar dalam tiap agama. Hal ini mendahului segala hasrat untuk menjelaskan asal muasal dunia atau menemukan dasar dari perilaku yang etis. Kekuatan spiritual dirasakan oleh tiap manusia dengan cara yang berbeda—terkadang hal ini

menginspirasikan sesuatu yang menarik dan liar; terkadang malah menenangkan; terkadang orang merasakan kengerian, rasa malu, dan rasa kagum terhadap kekuatan misterius yang terdapat di dalam

Ketika manusia mulai mengonsepkan Tuhan dan mitos-mitos mereka, mereka tidak sedang mencari penjelasan sisi alamiah fenomena tersebut. Kisah-kisah simbolik, lukisan-lukisan yang tertera di dalam goa, dan pahatan-pahatan merupakan sebuah usaha untuk

mengekspresikan hasrat ingin tahu mereka. Selain itu,

peninggalan-peninggalan ini pun dibuat untuk menghubungkan sisi misterius spiritualitas dengan kehidupan mereka.

Tampaknya, pada zaman dahulu kala, manusia menganggap jika tidak ikut serta dalam kehidupan penuh ilahi, mereka tidaklah termasuk golongan manusia. Kehidupan duniawi terlihat begitu rapuh dan dipenuhi dengan kefanaan, namun jika pria dan wanita mengikuti tindakan keilahian, mereka akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi, lebih berkuasa dan lebih efektif.

Dikatakan pula, bahwa para Tuhan menunjukkan pada manusia cara untuk membangun perkotaan dan perkuilan, yang mana dipercaya merupakan tiruan dari rumah-rumah mereka di ranah keilahian. Dunia sakral milik para Tuhan—yang mana banyak disebutkan dalam

mitos-mitos—tidak hanya sebuah hal ideal yang menginspirasi manusia, namun juga merupakan sebuah prototip keberadaan

manusia; ini adalah sebuah pola asli mengenai kehidupan kita. Segala yang ada di dunia ini dipercaya sebagai sebuah replika dari apa yang ada di dunia gaib sana.

Menurut Enuma Elish—puisi epik untuk merayakan kemenangan para Tuhan—Tuhan itu muncul atau terbentuk dari dua buah zat yang tak terbentuk, yang menyerupai limbah. Dalam mitos Babilonia—yang nanti pun juga akan muncul di dalam Injil—tidak ada sebuah ciptaan yang hadir tanpa penyebab atau asal mula, dan tidak ada sebuah gagasan pun yang tampak aneh. Sebelum para Tuhan maupun manusia lahir ke dunia ini, zat yang sakral ini telah hadir dari sebuah tempat yang abadi. Dalam Enuma Elish pun dikatakan, kekacauan bukanlah sekumpulan gerakan massa yang berapi-api dan bergelora, namun sebuah keteledoran akan kurangnya ikatan, definisi dan identitas di dalamnya.

Kemudian tiga Tuhan muncul dari antah berantah: Apsu (dikenali dengan sungan yang berisi ari manis), istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, rahim yang mengandung kekacauan. Singkatnya, ketiga Tuhan ini merupakan sebuah model ketuhanan yang kurang cerdas dan masih memerlukan banyak perbaikan. Nama-nama mereka, “Apsu” dan Tiamat” dapat diartikan sebagai: “neraka”, “kehampaan”, atau “teluk yang tak berdasar”. Mereka berbagi kelemahan dari bentuk asli mereka dan belum mendapat identitas yang jelas.

yang mana merupakan hal yang cukup penting dalam sejarah Tuhan kita. Para Tuhan yang baru satu per satu bermunculan, sebagian demi sebagian. Tiap kemunculan baru tersebut mengandung definisi yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dan seperti itulah berjalannya evolusi ketuhanan.

Agama-agama yang sekarang ada di dunia, seperti Yahudi, Kristen dan Islam, merupakan agama yang di dalam Kitab injil dikaitkan pada Nabi Ibrahim, yang mana meninggalkan negerinya dan tinggal di Kanan pada abad 19 atau 20 SM. Sebenarnya tidak ada rekam jejak yang telah pasti di dapatkan oleh para peneliti, namun para ilmuwan berpendapat: Nabi Ibrahim merupakan seorang pemimpin dari kaum yang terdiri dari para pengembara, yang mana memimpin kaumnya berhijrah dari daratan Messopotamia menuju ke Mediterrania, pada sepertiga akhir milenium SM.

Sejarah asal muasal nabi Ibrahim dan keturunannya dapat mengindikasikan bahwa terdapat tiga gelombang awal pada

terciptanya pemukiman bangsa Ibrani di Kanan, atau yang sekarang adalah tanah Israel modern. Gelombang pertama adalah yang terkait dengan Nabi Ibrahim dan kota Ibran dan terjadi pada sekitar tahun 1850 SM. Gelombang kedua hijrah adalah yang terkait dengan cucu nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, yang dijuluki sebagai Israel (semoga Tuhan menunjukkan kekuatanNya); beliau tinggal di Shechem, yang mana sekarang merupakan kota Arab di Nablus West Bank.

Kitab Injil mengatakan bahwa anak nabi Ya’kub, yang merupakan pemuka dari dua belas suku di Israel, berhijrah ke Mesir karena terjadi paceklik yang parah di Kanan. Kemudian, gelombang ketiga dari pemukiman bangsa Ibrani hadir pada sekitar tahun 1200 SM, di mana para suku yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim, tiba di Kanan dari Mesir. Mereka mengatakan bahwa mereka telah diperbudak oleh bangsa Mesir, namun telah dibebaskan oleh Tuhan yang bernama Yahweh, yang merupakan Tuhan dari pemimpin mereka, yaitu Musa. Begitu mereka berhijrah ke Kanan, mereka membaur dengan bangsa Ibrani di sana dan menjadi bangsa yang dikenal dengan sebutan bani Israel.

Kitab Injil menjelaskan bahwa bangsa yang kita ketahui sebagai nenek moyang Israel merupakan gabungan dari berbagai kelompok suku, yang mana terikat secara prinsip berdasarkan Tuhan mereka yang disebut dengan Yahweh, yaitu Tuhannya nabi Musa. Sejarah perinjilan yang dicatat setelah beberapa abad kemudian, di sekitar abad ke delapan SM, juga mencatatkan hal yang sama.

Pada abad ke sembilan belas, beberapa ilmuwan bidang perinjilan berkebangsaan Jerman, mengembangkan sebuah metode kritis yang

kemudian disusun dalam teks final dari apa yang telah kita kenal sebagai Pentateuch pada abad kelima SM.

Bentuk kritik semacam ini datang sebagai obat bagi perilaku yang buruk, namun tidak ada seorang pun dapat memberikan teori yang lebih memuaskan, yang menjelaskan mengenai alasan kenapa

terdapat dua catatan yang berbeda tentang peristiwa kunci perinjilan, seperti Penciptaan dan Banjir; dan juga alasan mengapa terkadang isi kitab Injil bertentangan satu sama lain.

Walaupun mungkin kisah-kisah seperti ini menunjukkan pemimpin sebuah kaum yang bertemu dengan Tuhan dengan cara yang serupa dengan yang diyakini oleh para pemuja berhala kontemporer, namun kisah-kisah ini lebih memperkenalkan kategori baru dalam

pengalaman relijius.

Di dalam kitab Injil, Nabi Ibrahim dijuluki dengan seorang yang beriman. Hari ini kita cenderung untuk mendefinisikan keimanan dengan sebuah kepercayaan, namun, seperti yang telah kita saksikan, penulis perinjilan tidak memandang keimanan pada Tuhan sebagai sebuah abstraksi atau keyakinan metafisikal. Ketika mereka memuja keimanan dari nabi Ibrahim, mereka tidak turut serta memuji kekukuhan pendiriannya (penerimaan akan ketuhanan yang

sebenar-benarnya) namun hanya membahas masalah kepercayaannya saja, dalam cara yang serupa dengan kita mempercayai sesama manusia atau mempercayai sebuah idealisme.

PENCERAHAN

Tuhan yang mungkin menginspirasi kaum-kaum yang sukses berkembang di dalam revolusi ketuhanan. Pada ketiga keyakinan, Tuhan menginspirasikan sebuah idealisme dari keadilan sosial, walaupun harus dikatakan bahwa penganut agama Yahudi, Kristen, maupun Islam sering gagal dalam menghidupkan idealisme ini dan secara sadar maupun tidak sadar, telah mengubah Tuhan sebagai sebuah bentuk status quo.

Para Tuhan tidak lagi merupakan hal yang sangat penting di India. Malahan, mereka jauh lebih patuh pada guru relijius, yang mereka anggap lebih tinggi dari para Tuhan. Ini merupakan sebuah tuntutan nilai kemanusiaan dan hasrat untuk mengendalikan takdir: ini bisa menjadi wawasan relijius yang sangat baik bagi negara tetangganya. Agama baru dari para penganut ajaran Hindu dan ajaran Buddha tidak menolak keberadaan dari Tuhan, dan tidak pula mereka melarang pengikut atau kaumnya untuk menyembah para Tuhan. Dalam pandangan mereka, pengekangan dan penolakan terhadap

melebihi para Tuhan, untuk berada di atas para Tuhan.

Kekuatan ilahiyah para Tuhan ini akan memberikan kesan asing, walaupun pada kenyataannya ini juga meliputi, menopang dan menginspirasi diri kita. Teknik Yoga telah membuat orang sadar akan dunia batiniah. Disiplin postur, pernafasan, diet dan konsentrasi mental ini juga telah dikembangkan secara mandiri pada kultur-kultur lain. Perkembangan ini menghasilkan pengalaman akan pencerahan dan penerangan, yang mana diterjemahkan secara berbeda, namun tampak alami bagi kaum adam.

Sang Buddha meyakini keberadaan para Tuhan secara tidak langsung, namun dia tidak percaya para Tuhan itu bisa berguna bagi manusia. Para Tuhan pun dianggapnya bergelimangan penderitaan dan terlalu rumit ajarannya; para Tuhan tidak membantu dirinya untuk

menemukan pencerahan; para Tuhan terlibat dalam rantai reinkarnasi seperti juga dengan makhluk lainnya, yang mana berarti pada

akhirnya para Tuhan pun juga akan menghilang.

Namun, pada saat-saat krusial dalam hidupnya, sang Buddha

membayangkan para Tuhan mempengaruhinya dan memainkan peran yang aktif dalam pikirannya. Sang Buddha tidak menolak untuk percaya dengan keberadaan para Tuhan, namun percaya juga dengan keberadaan surga dan menganggapnya lebih tinggi dari para Tuhan. Ketika penganut ajaran Buddha mengalami kebahagiaan atau perasaan luar biasa saat meditasi, mereka tidak meyakini bahwa hal tersebut merupakan hasil dari kontak mereka dengan kekuatan gaib. Kondisi seperti itu dianggap sebagai kondisi yang alami bagi para manusia; mereka dapat dicapai oleh siapa pun yang hidup dengan cara yang benar dan mempelajari teknik Yoga. Alih-alih bergantung pada Tuhan, sang Buddha menekankan pada para muridnya untuk menjaga dirinya sendiri.

Karma mengikat manusia pada rantai reinkarnasi yang kekal, pada rangkaian kehidupan yang penuh derita. Namun, jika mereka bisa membentuk kembali sikap egois mereka menjadi sikap yang lebih baik, maka mereka akan dapat mengubah takdir mereka. Sang

Buddha membandingkan proses reinkarnasi pada sebuah kobaran api yang menyalakan sebuah lampu, dari ketika lampu dinyalakan hingga api di dalamnya berkobar dan memancarkan cahaya yang menjadikan sebuah lampu terang. Jika seseorang mati dalam keadaan masih berupa kobaran api, maka dia akan hidup lagi di lampu yang lainnya. Namun jika dia mati setelah apinya membuat lampu menyala terang, maka penderitaannya akan terhenti dan dia akan bisa mencapai surga.

Buddha sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Edward Conze, seorang penulis buku berjudul “Buddhism: It’s Essence and Development”, ajaran Buddha biasanya menggunakan gambaran yang sama dengan para penganut ketuhanan dalam mendeskripsikan Surga, yaitu realita terakhir. Secara singkat, sebuah gagasan seperti Keindahan, memiliki

kemiripan makna dengan banyak para penganut ketuhanan memaknai Tuhan mereka. Di luar dari keluarbiasaannya, gagasan mengenai ketuhanan bisa ditemukan dalam pikiran seseorang. Kita, kaum modern, mengalami proses berpikir sebagai sebuah aktivitas, sebagai sebuah hal yang kita lakukan. Namun, Plato menegaskan bahwa ini adalah sesuatu yang terjadi di pikiran kita: objek dari pikiran akan realita yang aktif di dalam kecerdasan seorang manusia tempat manusia merenungkannya.

Manusia memiliki jiwa yang mengandung kecerdasan ilahiyah, yang mana membuat mereka berhubungan dengan Tuhan dan merupakan bagian dalam keilahian. Kemampuan serupa dengan Tuhan ini membuat manusia lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan tanaman atau hewan. Merupakan kewajiban bagi para manusia untuk mengekalkan keberadaannya, yaitu dengan cara memurnikan

kecerdasannya. Kebijaksanaan, merupakan keutamaan yang paling tinggi dalam hidup manusia; ini merupakan hasil dari perenungan akan kebenaran filosofis, yang membuat kita memiliki kualitas ilahiyah dengan meniru aktivitas Tuhan yang sesungguhnya. Perenungan tidak dapat dicapai hanya dengan logika, namun merupakan sebuah intuisi disiplin yang menghasilkan kesadaran diri. Hanya sedikit orang yang dapat mencapai kebijaksanaan, namun sebagian besar dapat juga menggapai kecerdasan dalam kehidupan sehari-hari.

SEMOGA ANDA MENIKMATI AQUARIUS NOTE INI. HAPPY READING!

2

note

AQUARIUS

Copyright © 2014 AQUARIUS RESOURCES powered by : BACAKILAT. • All Rights Reserved • www.aquariusnote.com

(3)

Gagasan manusia mengenai Tuhan dan ketuhanan memiliki sebuah sejarah. Gagasan ini dibentuk oleh satu generasi yang terdiri dari rangkaian manusia, namun tidak berarti generasi-generasi berikutnya pun juga memiliki interpretasi yang sama. Bahkan, bisa jadi pada generasi lain, gagasan ini tidak memiliki makna apapun.

Ungkapan “saya beriman pada Tuhan”, seperti juga dengan ungkapan lainnya, tidaklah berarti apapun jika yang mengatakan adalah

komunitas tertentu. Sebenarnya, tidak ada perbedaan makna dalam pengucapan kata “Tuhan”; malahan, kata tersebut mengandung sebuah makna yang cukup luas, yang mana sebagian memiliki arti yang kontradiktif. Karena, jika ungkapan Tuhan tidak memiliki makna sefleksibel itu, maka ungkapan ini tidak akan menjadi sesuatu yang luar biasa bagi manusia.

Di luar dari hal spiritual, agama adalah hal yang sangat pragmatis. Pada kenyataannya, keberhasilan pelaksanaan beberapa gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan dianggap lebih penting daripada hanya sekadar masuk akal atau terdengar cerdas. Begitu gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan ini tidak lagi berjalan dengan efektif, maka maknanya akan berubah—terkadang menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan radikal. Namun, hal ini tidak mengganggu sebagian besar para monoteis pada zaman dahulu, karena gagasan mereka mengenai Tuhan dan ketuhanan telah jelas dan keyakinan mereka begitu suci dan sakral, namun tidak menutup kemungkinan bahwa semua keyakinan itu hanya bersifat sementara.

Sepanjang kisah sejarah yang pernah tercatat, pria dan wanita telah mengalami sebuah dimensi spiritual yang tampak telah jauh

melampaui dunia kemanusiaan. Namun, bagaimanapun bentuk dan kondisi pengalaman spiritualitas semacam itu, kita tetap saja memilih untuk menerjemahkan dan menerimanya. Tetapi, tidak semua orang menganggapnya sebagai sebuah bentuk keilahian: para penganut ajaran Buddha akan menolak anggapan bahwa visi dan wawasan mereka berasal dari sebuah sumber spiritual; melainkan, para

PADA AWALNYA

Pada awalnya, manusia diciptakan oleh Tuhan yang merupakan Awal dan Sumber dari segalanya dan Pengatur surga dan alam semesta. Dia tidak dapat terbayangkan dan tidak memiliki kuil atau

pendeta-pendeta yang membantuNya dalam melakukan

pekerjaanNya. Dia sangat agung dan seluruh puja-puji yang bisa diungkapkan atau dibayangkan oleh para manusia tidak mampu mendeskripsikan keagunganNya. Dia sering menghilang dari

kesadaran para manusia. Dia menjadi semakin jauh, sehingga manusia memutuskan bahwa mereka tidak menginginkanNya lagi. Pada akhirnya, kebanyakan manusia menganggap Dia telah menghilang. Terdapat begitu banyak teori yang mengutarakan mengenai asal muasal agama. Sampai saat ini pun, tampaknya menciptakan Tuhan-Tuhan menjadi hal yang gemar dilakukan oleh kebanyakan orang. Ketika sebuah gagasan relijius tidak mampu lagi menampung hasrat mereka, dengan mudah gagasan relijius itu tergantikan.

Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak lagi menjadi hal yang relevan dalam kehidupan manusia pada hari ini, adalah karena banyak dari kita yang tidak lagi memiliki rasa terselubungi atau dikelilingi oleh hal yang tak kasat mata. Kultur ilmu pengetahuan kita mendidik kita untuk memfokuskan perhatian kita pada dunia fisik dan materil yang ada di hadapan kita. Metode dalam memandang dunia seperti ini memang cukup memberikan hasil yang baik. Namun, salah satu konsekuensinya adalah menghapuskan rasa “spiritual” dan “suci”, yang mana kehidupan masyarakat yang berada dalam lingkungan yang lebih tradisional dan, yang mana merupakan sebuah komponen utama bagi pengalaman manusia di dunia.

Namun, secara alamiah, manusia memiliki hasrat untuk terjun pada realita spiritual dan membuat hal tersebut bermanfaat bagi mereka, dan secara lebih sederhana lagi, mereka hanya ingin mengagumi dunia spiritual itu.

Rudolf Otto, seorang sejarawan yang memfokuskan bidangnya pada ranah agama, mengatakan dalam bukunya yang berjudul The Idea of the Holy, bahwa beliau mempercayai aqidah atau rasa yakin pada keilahian merupakan dasar dalam tiap agama. Hal ini mendahului segala hasrat untuk menjelaskan asal muasal dunia atau menemukan dasar dari perilaku yang etis. Kekuatan spiritual dirasakan oleh tiap manusia dengan cara yang berbeda—terkadang hal ini

menginspirasikan sesuatu yang menarik dan liar; terkadang malah menenangkan; terkadang orang merasakan kengerian, rasa malu, dan rasa kagum terhadap kekuatan misterius yang terdapat di dalam

Ketika manusia mulai mengonsepkan Tuhan dan mitos-mitos mereka, mereka tidak sedang mencari penjelasan sisi alamiah fenomena tersebut. Kisah-kisah simbolik, lukisan-lukisan yang tertera di dalam goa, dan pahatan-pahatan merupakan sebuah usaha untuk

mengekspresikan hasrat ingin tahu mereka. Selain itu,

peninggalan-peninggalan ini pun dibuat untuk menghubungkan sisi misterius spiritualitas dengan kehidupan mereka.

Tampaknya, pada zaman dahulu kala, manusia menganggap jika tidak ikut serta dalam kehidupan penuh ilahi, mereka tidaklah termasuk golongan manusia. Kehidupan duniawi terlihat begitu rapuh dan dipenuhi dengan kefanaan, namun jika pria dan wanita mengikuti tindakan keilahian, mereka akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi, lebih berkuasa dan lebih efektif.

Dikatakan pula, bahwa para Tuhan menunjukkan pada manusia cara untuk membangun perkotaan dan perkuilan, yang mana dipercaya merupakan tiruan dari rumah-rumah mereka di ranah keilahian. Dunia sakral milik para Tuhan—yang mana banyak disebutkan dalam

mitos-mitos—tidak hanya sebuah hal ideal yang menginspirasi manusia, namun juga merupakan sebuah prototip keberadaan

manusia; ini adalah sebuah pola asli mengenai kehidupan kita. Segala yang ada di dunia ini dipercaya sebagai sebuah replika dari apa yang ada di dunia gaib sana.

Menurut Enuma Elish—puisi epik untuk merayakan kemenangan para Tuhan—Tuhan itu muncul atau terbentuk dari dua buah zat yang tak terbentuk, yang menyerupai limbah. Dalam mitos Babilonia—yang nanti pun juga akan muncul di dalam Injil—tidak ada sebuah ciptaan yang hadir tanpa penyebab atau asal mula, dan tidak ada sebuah gagasan pun yang tampak aneh. Sebelum para Tuhan maupun manusia lahir ke dunia ini, zat yang sakral ini telah hadir dari sebuah tempat yang abadi. Dalam Enuma Elish pun dikatakan, kekacauan bukanlah sekumpulan gerakan massa yang berapi-api dan bergelora, namun sebuah keteledoran akan kurangnya ikatan, definisi dan identitas di dalamnya.

Kemudian tiga Tuhan muncul dari antah berantah: Apsu (dikenali dengan sungan yang berisi ari manis), istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, rahim yang mengandung kekacauan. Singkatnya, ketiga Tuhan ini merupakan sebuah model ketuhanan yang kurang cerdas dan masih memerlukan banyak perbaikan. Nama-nama mereka, “Apsu” dan Tiamat” dapat diartikan sebagai: “neraka”, “kehampaan”, atau “teluk yang tak berdasar”. Mereka berbagi kelemahan dari bentuk asli mereka dan belum mendapat identitas yang jelas.

yang mana merupakan hal yang cukup penting dalam sejarah Tuhan kita. Para Tuhan yang baru satu per satu bermunculan, sebagian demi sebagian. Tiap kemunculan baru tersebut mengandung definisi yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dan seperti itulah berjalannya evolusi ketuhanan.

Agama-agama yang sekarang ada di dunia, seperti Yahudi, Kristen dan Islam, merupakan agama yang di dalam Kitab injil dikaitkan pada Nabi Ibrahim, yang mana meninggalkan negerinya dan tinggal di Kanan pada abad 19 atau 20 SM. Sebenarnya tidak ada rekam jejak yang telah pasti di dapatkan oleh para peneliti, namun para ilmuwan berpendapat: Nabi Ibrahim merupakan seorang pemimpin dari kaum yang terdiri dari para pengembara, yang mana memimpin kaumnya berhijrah dari daratan Messopotamia menuju ke Mediterrania, pada sepertiga akhir milenium SM.

Sejarah asal muasal nabi Ibrahim dan keturunannya dapat mengindikasikan bahwa terdapat tiga gelombang awal pada

terciptanya pemukiman bangsa Ibrani di Kanan, atau yang sekarang adalah tanah Israel modern. Gelombang pertama adalah yang terkait dengan Nabi Ibrahim dan kota Ibran dan terjadi pada sekitar tahun 1850 SM. Gelombang kedua hijrah adalah yang terkait dengan cucu nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, yang dijuluki sebagai Israel (semoga Tuhan menunjukkan kekuatanNya); beliau tinggal di Shechem, yang mana sekarang merupakan kota Arab di Nablus West Bank.

Kitab Injil mengatakan bahwa anak nabi Ya’kub, yang merupakan pemuka dari dua belas suku di Israel, berhijrah ke Mesir karena terjadi paceklik yang parah di Kanan. Kemudian, gelombang ketiga dari pemukiman bangsa Ibrani hadir pada sekitar tahun 1200 SM, di mana para suku yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim, tiba di Kanan dari Mesir. Mereka mengatakan bahwa mereka telah diperbudak oleh bangsa Mesir, namun telah dibebaskan oleh Tuhan yang bernama Yahweh, yang merupakan Tuhan dari pemimpin mereka, yaitu Musa. Begitu mereka berhijrah ke Kanan, mereka membaur dengan bangsa Ibrani di sana dan menjadi bangsa yang dikenal dengan sebutan bani Israel.

Kitab Injil menjelaskan bahwa bangsa yang kita ketahui sebagai nenek moyang Israel merupakan gabungan dari berbagai kelompok suku, yang mana terikat secara prinsip berdasarkan Tuhan mereka yang disebut dengan Yahweh, yaitu Tuhannya nabi Musa. Sejarah perinjilan yang dicatat setelah beberapa abad kemudian, di sekitar abad ke delapan SM, juga mencatatkan hal yang sama.

Pada abad ke sembilan belas, beberapa ilmuwan bidang perinjilan berkebangsaan Jerman, mengembangkan sebuah metode kritis yang

kemudian disusun dalam teks final dari apa yang telah kita kenal sebagai Pentateuch pada abad kelima SM.

Bentuk kritik semacam ini datang sebagai obat bagi perilaku yang buruk, namun tidak ada seorang pun dapat memberikan teori yang lebih memuaskan, yang menjelaskan mengenai alasan kenapa

terdapat dua catatan yang berbeda tentang peristiwa kunci perinjilan, seperti Penciptaan dan Banjir; dan juga alasan mengapa terkadang isi kitab Injil bertentangan satu sama lain.

Walaupun mungkin kisah-kisah seperti ini menunjukkan pemimpin sebuah kaum yang bertemu dengan Tuhan dengan cara yang serupa dengan yang diyakini oleh para pemuja berhala kontemporer, namun kisah-kisah ini lebih memperkenalkan kategori baru dalam

pengalaman relijius.

Di dalam kitab Injil, Nabi Ibrahim dijuluki dengan seorang yang beriman. Hari ini kita cenderung untuk mendefinisikan keimanan dengan sebuah kepercayaan, namun, seperti yang telah kita saksikan, penulis perinjilan tidak memandang keimanan pada Tuhan sebagai sebuah abstraksi atau keyakinan metafisikal. Ketika mereka memuja keimanan dari nabi Ibrahim, mereka tidak turut serta memuji kekukuhan pendiriannya (penerimaan akan ketuhanan yang

sebenar-benarnya) namun hanya membahas masalah kepercayaannya saja, dalam cara yang serupa dengan kita mempercayai sesama manusia atau mempercayai sebuah idealisme.

PENCERAHAN

Tuhan yang mungkin menginspirasi kaum-kaum yang sukses berkembang di dalam revolusi ketuhanan. Pada ketiga keyakinan, Tuhan menginspirasikan sebuah idealisme dari keadilan sosial, walaupun harus dikatakan bahwa penganut agama Yahudi, Kristen, maupun Islam sering gagal dalam menghidupkan idealisme ini dan secara sadar maupun tidak sadar, telah mengubah Tuhan sebagai sebuah bentuk status quo.

Para Tuhan tidak lagi merupakan hal yang sangat penting di India. Malahan, mereka jauh lebih patuh pada guru relijius, yang mereka anggap lebih tinggi dari para Tuhan. Ini merupakan sebuah tuntutan nilai kemanusiaan dan hasrat untuk mengendalikan takdir: ini bisa menjadi wawasan relijius yang sangat baik bagi negara tetangganya. Agama baru dari para penganut ajaran Hindu dan ajaran Buddha tidak menolak keberadaan dari Tuhan, dan tidak pula mereka melarang pengikut atau kaumnya untuk menyembah para Tuhan. Dalam pandangan mereka, pengekangan dan penolakan terhadap

melebihi para Tuhan, untuk berada di atas para Tuhan.

Kekuatan ilahiyah para Tuhan ini akan memberikan kesan asing, walaupun pada kenyataannya ini juga meliputi, menopang dan menginspirasi diri kita. Teknik Yoga telah membuat orang sadar akan dunia batiniah. Disiplin postur, pernafasan, diet dan konsentrasi mental ini juga telah dikembangkan secara mandiri pada kultur-kultur lain. Perkembangan ini menghasilkan pengalaman akan pencerahan dan penerangan, yang mana diterjemahkan secara berbeda, namun tampak alami bagi kaum adam.

Sang Buddha meyakini keberadaan para Tuhan secara tidak langsung, namun dia tidak percaya para Tuhan itu bisa berguna bagi manusia. Para Tuhan pun dianggapnya bergelimangan penderitaan dan terlalu rumit ajarannya; para Tuhan tidak membantu dirinya untuk

menemukan pencerahan; para Tuhan terlibat dalam rantai reinkarnasi seperti juga dengan makhluk lainnya, yang mana berarti pada

akhirnya para Tuhan pun juga akan menghilang.

Namun, pada saat-saat krusial dalam hidupnya, sang Buddha

membayangkan para Tuhan mempengaruhinya dan memainkan peran yang aktif dalam pikirannya. Sang Buddha tidak menolak untuk percaya dengan keberadaan para Tuhan, namun percaya juga dengan keberadaan surga dan menganggapnya lebih tinggi dari para Tuhan. Ketika penganut ajaran Buddha mengalami kebahagiaan atau perasaan luar biasa saat meditasi, mereka tidak meyakini bahwa hal tersebut merupakan hasil dari kontak mereka dengan kekuatan gaib. Kondisi seperti itu dianggap sebagai kondisi yang alami bagi para manusia; mereka dapat dicapai oleh siapa pun yang hidup dengan cara yang benar dan mempelajari teknik Yoga. Alih-alih bergantung pada Tuhan, sang Buddha menekankan pada para muridnya untuk menjaga dirinya sendiri.

Karma mengikat manusia pada rantai reinkarnasi yang kekal, pada rangkaian kehidupan yang penuh derita. Namun, jika mereka bisa membentuk kembali sikap egois mereka menjadi sikap yang lebih baik, maka mereka akan dapat mengubah takdir mereka. Sang

Buddha membandingkan proses reinkarnasi pada sebuah kobaran api yang menyalakan sebuah lampu, dari ketika lampu dinyalakan hingga api di dalamnya berkobar dan memancarkan cahaya yang menjadikan sebuah lampu terang. Jika seseorang mati dalam keadaan masih berupa kobaran api, maka dia akan hidup lagi di lampu yang lainnya. Namun jika dia mati setelah apinya membuat lampu menyala terang, maka penderitaannya akan terhenti dan dia akan bisa mencapai surga.

Buddha sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Edward Conze, seorang penulis buku berjudul “Buddhism: It’s Essence and Development”, ajaran Buddha biasanya menggunakan gambaran yang sama dengan para penganut ketuhanan dalam mendeskripsikan Surga, yaitu realita terakhir. Secara singkat, sebuah gagasan seperti Keindahan, memiliki

kemiripan makna dengan banyak para penganut ketuhanan memaknai Tuhan mereka. Di luar dari keluarbiasaannya, gagasan mengenai ketuhanan bisa ditemukan dalam pikiran seseorang. Kita, kaum modern, mengalami proses berpikir sebagai sebuah aktivitas, sebagai sebuah hal yang kita lakukan. Namun, Plato menegaskan bahwa ini adalah sesuatu yang terjadi di pikiran kita: objek dari pikiran akan realita yang aktif di dalam kecerdasan seorang manusia tempat manusia merenungkannya.

Manusia memiliki jiwa yang mengandung kecerdasan ilahiyah, yang mana membuat mereka berhubungan dengan Tuhan dan merupakan bagian dalam keilahian. Kemampuan serupa dengan Tuhan ini membuat manusia lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan tanaman atau hewan. Merupakan kewajiban bagi para manusia untuk mengekalkan keberadaannya, yaitu dengan cara memurnikan

kecerdasannya. Kebijaksanaan, merupakan keutamaan yang paling tinggi dalam hidup manusia; ini merupakan hasil dari perenungan akan kebenaran filosofis, yang membuat kita memiliki kualitas ilahiyah dengan meniru aktivitas Tuhan yang sesungguhnya. Perenungan tidak dapat dicapai hanya dengan logika, namun merupakan sebuah intuisi disiplin yang menghasilkan kesadaran diri. Hanya sedikit orang yang dapat mencapai kebijaksanaan, namun sebagian besar dapat juga menggapai kecerdasan dalam kehidupan sehari-hari.

SEMOGA ANDA MENIKMATI AQUARIUS NOTE INI. HAPPY READING!

3

note

AQUARIUS

Copyright © 2014 AQUARIUS RESOURCES powered by : BACAKILAT. • All Rights Reserved • www.aquariusnote.com

Imitasi dari ketuhanan masih merupakan hal relijius yang cukup penting.

(4)

Gagasan manusia mengenai Tuhan dan ketuhanan memiliki sebuah sejarah. Gagasan ini dibentuk oleh satu generasi yang terdiri dari rangkaian manusia, namun tidak berarti generasi-generasi berikutnya pun juga memiliki interpretasi yang sama. Bahkan, bisa jadi pada generasi lain, gagasan ini tidak memiliki makna apapun.

Ungkapan “saya beriman pada Tuhan”, seperti juga dengan ungkapan lainnya, tidaklah berarti apapun jika yang mengatakan adalah

komunitas tertentu. Sebenarnya, tidak ada perbedaan makna dalam pengucapan kata “Tuhan”; malahan, kata tersebut mengandung sebuah makna yang cukup luas, yang mana sebagian memiliki arti yang kontradiktif. Karena, jika ungkapan Tuhan tidak memiliki makna sefleksibel itu, maka ungkapan ini tidak akan menjadi sesuatu yang luar biasa bagi manusia.

Di luar dari hal spiritual, agama adalah hal yang sangat pragmatis. Pada kenyataannya, keberhasilan pelaksanaan beberapa gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan dianggap lebih penting daripada hanya sekadar masuk akal atau terdengar cerdas. Begitu gagasan mengenai Tuhan dan ketuhanan ini tidak lagi berjalan dengan efektif, maka maknanya akan berubah—terkadang menjadi sesuatu yang sangat berbeda dan radikal. Namun, hal ini tidak mengganggu sebagian besar para monoteis pada zaman dahulu, karena gagasan mereka mengenai Tuhan dan ketuhanan telah jelas dan keyakinan mereka begitu suci dan sakral, namun tidak menutup kemungkinan bahwa semua keyakinan itu hanya bersifat sementara.

Sepanjang kisah sejarah yang pernah tercatat, pria dan wanita telah mengalami sebuah dimensi spiritual yang tampak telah jauh

melampaui dunia kemanusiaan. Namun, bagaimanapun bentuk dan kondisi pengalaman spiritualitas semacam itu, kita tetap saja memilih untuk menerjemahkan dan menerimanya. Tetapi, tidak semua orang menganggapnya sebagai sebuah bentuk keilahian: para penganut ajaran Buddha akan menolak anggapan bahwa visi dan wawasan mereka berasal dari sebuah sumber spiritual; melainkan, para

PADA AWALNYA

Pada awalnya, manusia diciptakan oleh Tuhan yang merupakan Awal dan Sumber dari segalanya dan Pengatur surga dan alam semesta. Dia tidak dapat terbayangkan dan tidak memiliki kuil atau

pendeta-pendeta yang membantuNya dalam melakukan

pekerjaanNya. Dia sangat agung dan seluruh puja-puji yang bisa diungkapkan atau dibayangkan oleh para manusia tidak mampu mendeskripsikan keagunganNya. Dia sering menghilang dari

kesadaran para manusia. Dia menjadi semakin jauh, sehingga manusia memutuskan bahwa mereka tidak menginginkanNya lagi. Pada akhirnya, kebanyakan manusia menganggap Dia telah menghilang. Terdapat begitu banyak teori yang mengutarakan mengenai asal muasal agama. Sampai saat ini pun, tampaknya menciptakan Tuhan-Tuhan menjadi hal yang gemar dilakukan oleh kebanyakan orang. Ketika sebuah gagasan relijius tidak mampu lagi menampung hasrat mereka, dengan mudah gagasan relijius itu tergantikan.

Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak lagi menjadi hal yang relevan dalam kehidupan manusia pada hari ini, adalah karena banyak dari kita yang tidak lagi memiliki rasa terselubungi atau dikelilingi oleh hal yang tak kasat mata. Kultur ilmu pengetahuan kita mendidik kita untuk memfokuskan perhatian kita pada dunia fisik dan materil yang ada di hadapan kita. Metode dalam memandang dunia seperti ini memang cukup memberikan hasil yang baik. Namun, salah satu konsekuensinya adalah menghapuskan rasa “spiritual” dan “suci”, yang mana kehidupan masyarakat yang berada dalam lingkungan yang lebih tradisional dan, yang mana merupakan sebuah komponen utama bagi pengalaman manusia di dunia.

Namun, secara alamiah, manusia memiliki hasrat untuk terjun pada realita spiritual dan membuat hal tersebut bermanfaat bagi mereka, dan secara lebih sederhana lagi, mereka hanya ingin mengagumi dunia spiritual itu.

Rudolf Otto, seorang sejarawan yang memfokuskan bidangnya pada ranah agama, mengatakan dalam bukunya yang berjudul The Idea of the Holy, bahwa beliau mempercayai aqidah atau rasa yakin pada keilahian merupakan dasar dalam tiap agama. Hal ini mendahului segala hasrat untuk menjelaskan asal muasal dunia atau menemukan dasar dari perilaku yang etis. Kekuatan spiritual dirasakan oleh tiap manusia dengan cara yang berbeda—terkadang hal ini

menginspirasikan sesuatu yang menarik dan liar; terkadang malah menenangkan; terkadang orang merasakan kengerian, rasa malu, dan rasa kagum terhadap kekuatan misterius yang terdapat di dalam

Ketika manusia mulai mengonsepkan Tuhan dan mitos-mitos mereka, mereka tidak sedang mencari penjelasan sisi alamiah fenomena tersebut. Kisah-kisah simbolik, lukisan-lukisan yang tertera di dalam goa, dan pahatan-pahatan merupakan sebuah usaha untuk

mengekspresikan hasrat ingin tahu mereka. Selain itu,

peninggalan-peninggalan ini pun dibuat untuk menghubungkan sisi misterius spiritualitas dengan kehidupan mereka.

Tampaknya, pada zaman dahulu kala, manusia menganggap jika tidak ikut serta dalam kehidupan penuh ilahi, mereka tidaklah termasuk golongan manusia. Kehidupan duniawi terlihat begitu rapuh dan dipenuhi dengan kefanaan, namun jika pria dan wanita mengikuti tindakan keilahian, mereka akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi, lebih berkuasa dan lebih efektif.

Dikatakan pula, bahwa para Tuhan menunjukkan pada manusia cara untuk membangun perkotaan dan perkuilan, yang mana dipercaya merupakan tiruan dari rumah-rumah mereka di ranah keilahian. Dunia sakral milik para Tuhan—yang mana banyak disebutkan dalam

mitos-mitos—tidak hanya sebuah hal ideal yang menginspirasi manusia, namun juga merupakan sebuah prototip keberadaan

manusia; ini adalah sebuah pola asli mengenai kehidupan kita. Segala yang ada di dunia ini dipercaya sebagai sebuah replika dari apa yang ada di dunia gaib sana.

Menurut Enuma Elish—puisi epik untuk merayakan kemenangan para Tuhan—Tuhan itu muncul atau terbentuk dari dua buah zat yang tak terbentuk, yang menyerupai limbah. Dalam mitos Babilonia—yang nanti pun juga akan muncul di dalam Injil—tidak ada sebuah ciptaan yang hadir tanpa penyebab atau asal mula, dan tidak ada sebuah gagasan pun yang tampak aneh. Sebelum para Tuhan maupun manusia lahir ke dunia ini, zat yang sakral ini telah hadir dari sebuah tempat yang abadi. Dalam Enuma Elish pun dikatakan, kekacauan bukanlah sekumpulan gerakan massa yang berapi-api dan bergelora, namun sebuah keteledoran akan kurangnya ikatan, definisi dan identitas di dalamnya.

Kemudian tiga Tuhan muncul dari antah berantah: Apsu (dikenali dengan sungan yang berisi ari manis), istrinya, Tiamat (laut yang asin), dan Mummu, rahim yang mengandung kekacauan. Singkatnya, ketiga Tuhan ini merupakan sebuah model ketuhanan yang kurang cerdas dan masih memerlukan banyak perbaikan. Nama-nama mereka, “Apsu” dan Tiamat” dapat diartikan sebagai: “neraka”, “kehampaan”, atau “teluk yang tak berdasar”. Mereka berbagi kelemahan dari bentuk asli mereka dan belum mendapat identitas yang jelas.

yang mana merupakan hal yang cukup penting dalam sejarah Tuhan kita. Para Tuhan yang baru satu per satu bermunculan, sebagian demi sebagian. Tiap kemunculan baru tersebut mengandung definisi yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dan seperti itulah berjalannya evolusi ketuhanan.

Agama-agama yang sekarang ada di dunia, seperti Yahudi, Kristen dan Islam, merupakan agama yang di dalam Kitab injil dikaitkan pada Nabi Ibrahim, yang mana meninggalkan negerinya dan tinggal di Kanan pada abad 19 atau 20 SM. Sebenarnya tidak ada rekam jejak yang telah pasti di dapatkan oleh para peneliti, namun para ilmuwan berpendapat: Nabi Ibrahim merupakan seorang pemimpin dari kaum yang terdiri dari para pengembara, yang mana memimpin kaumnya berhijrah dari daratan Messopotamia menuju ke Mediterrania, pada sepertiga akhir milenium SM.

Sejarah asal muasal nabi Ibrahim dan keturunannya dapat mengindikasikan bahwa terdapat tiga gelombang awal pada

terciptanya pemukiman bangsa Ibrani di Kanan, atau yang sekarang adalah tanah Israel modern. Gelombang pertama adalah yang terkait dengan Nabi Ibrahim dan kota Ibran dan terjadi pada sekitar tahun 1850 SM. Gelombang kedua hijrah adalah yang terkait dengan cucu nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, yang dijuluki sebagai Israel (semoga Tuhan menunjukkan kekuatanNya); beliau tinggal di Shechem, yang mana sekarang merupakan kota Arab di Nablus West Bank.

Kitab Injil mengatakan bahwa anak nabi Ya’kub, yang merupakan pemuka dari dua belas suku di Israel, berhijrah ke Mesir karena terjadi paceklik yang parah di Kanan. Kemudian, gelombang ketiga dari pemukiman bangsa Ibrani hadir pada sekitar tahun 1200 SM, di mana para suku yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan Nabi Ibrahim, tiba di Kanan dari Mesir. Mereka mengatakan bahwa mereka telah diperbudak oleh bangsa Mesir, namun telah dibebaskan oleh Tuhan yang bernama Yahweh, yang merupakan Tuhan dari pemimpin mereka, yaitu Musa. Begitu mereka berhijrah ke Kanan, mereka membaur dengan bangsa Ibrani di sana dan menjadi bangsa yang dikenal dengan sebutan bani Israel.

Kitab Injil menjelaskan bahwa bangsa yang kita ketahui sebagai nenek moyang Israel merupakan gabungan dari berbagai kelompok suku, yang mana terikat secara prinsip berdasarkan Tuhan mereka yang disebut dengan Yahweh, yaitu Tuhannya nabi Musa. Sejarah perinjilan yang dicatat setelah beberapa abad kemudian, di sekitar abad ke delapan SM, juga mencatatkan hal yang sama.

Pada abad ke sembilan belas, beberapa ilmuwan bidang perinjilan berkebangsaan Jerman, mengembangkan sebuah metode kritis yang

kemudian disusun dalam teks final dari apa yang telah kita kenal sebagai Pentateuch pada abad kelima SM.

Bentuk kritik semacam ini datang sebagai obat bagi perilaku yang buruk, namun tidak ada seorang pun dapat memberikan teori yang lebih memuaskan, yang menjelaskan mengenai alasan kenapa

terdapat dua catatan yang berbeda tentang peristiwa kunci perinjilan, seperti Penciptaan dan Banjir; dan juga alasan mengapa terkadang isi kitab Injil bertentangan satu sama lain.

Walaupun mungkin kisah-kisah seperti ini menunjukkan pemimpin sebuah kaum yang bertemu dengan Tuhan dengan cara yang serupa dengan yang diyakini oleh para pemuja berhala kontemporer, namun kisah-kisah ini lebih memperkenalkan kategori baru dalam

pengalaman relijius.

Di dalam kitab Injil, Nabi Ibrahim dijuluki dengan seorang yang beriman. Hari ini kita cenderung untuk mendefinisikan keimanan dengan sebuah kepercayaan, namun, seperti yang telah kita saksikan, penulis perinjilan tidak memandang keimanan pada Tuhan sebagai sebuah abstraksi atau keyakinan metafisikal. Ketika mereka memuja keimanan dari nabi Ibrahim, mereka tidak turut serta memuji kekukuhan pendiriannya (penerimaan akan ketuhanan yang

sebenar-benarnya) namun hanya membahas masalah kepercayaannya saja, dalam cara yang serupa dengan kita mempercayai sesama manusia atau mempercayai sebuah idealisme.

PENCERAHAN

Tuhan yang mungkin menginspirasi kaum-kaum yang sukses berkembang di dalam revolusi ketuhanan. Pada ketiga keyakinan, Tuhan menginspirasikan sebuah idealisme dari keadilan sosial, walaupun harus dikatakan bahwa penganut agama Yahudi, Kristen, maupun Islam sering gagal dalam menghidupkan idealisme ini dan secara sadar maupun tidak sadar, telah mengubah Tuhan sebagai sebuah bentuk status quo.

Para Tuhan tidak lagi merupakan hal yang sangat penting di India. Malahan, mereka jauh lebih patuh pada guru relijius, yang mereka anggap lebih tinggi dari para Tuhan. Ini merupakan sebuah tuntutan nilai kemanusiaan dan hasrat untuk mengendalikan takdir: ini bisa menjadi wawasan relijius yang sangat baik bagi negara tetangganya. Agama baru dari para penganut ajaran Hindu dan ajaran Buddha tidak menolak keberadaan dari Tuhan, dan tidak pula mereka melarang pengikut atau kaumnya untuk menyembah para Tuhan. Dalam pandangan mereka, pengekangan dan penolakan terhadap

melebihi para Tuhan, untuk berada di atas para Tuhan.

Kekuatan ilahiyah para Tuhan ini akan memberikan kesan asing, walaupun pada kenyataannya ini juga meliputi, menopang dan menginspirasi diri kita. Teknik Yoga telah membuat orang sadar akan dunia batiniah. Disiplin postur, pernafasan, diet dan konsentrasi mental ini juga telah dikembangkan secara mandiri pada kultur-kultur lain. Perkembangan ini menghasilkan pengalaman akan pencerahan dan penerangan, yang mana diterjemahkan secara berbeda, namun tampak alami bagi kaum adam.

Sang Buddha meyakini keberadaan para Tuhan secara tidak langsung, namun dia tidak percaya para Tuhan itu bisa berguna bagi manusia. Para Tuhan pun dianggapnya bergelimangan penderitaan dan terlalu rumit ajarannya; para Tuhan tidak membantu dirinya untuk

menemukan pencerahan; para Tuhan terlibat dalam rantai reinkarnasi seperti juga dengan makhluk lainnya, yang mana berarti pada

akhirnya para Tuhan pun juga akan menghilang.

Namun, pada saat-saat krusial dalam hidupnya, sang Buddha

membayangkan para Tuhan mempengaruhinya dan memainkan peran yang aktif dalam pikirannya. Sang Buddha tidak menolak untuk percaya dengan keberadaan para Tuhan, namun percaya juga dengan keberadaan surga dan menganggapnya lebih tinggi dari para Tuhan. Ketika penganut ajaran Buddha mengalami kebahagiaan atau perasaan luar biasa saat meditasi, mereka tidak meyakini bahwa hal tersebut merupakan hasil dari kontak mereka dengan kekuatan gaib. Kondisi seperti itu dianggap sebagai kondisi yang alami bagi para manusia; mereka dapat dicapai oleh siapa pun yang hidup dengan cara yang benar dan mempelajari teknik Yoga. Alih-alih bergantung pada Tuhan, sang Buddha menekankan pada para muridnya untuk menjaga dirinya sendiri.

Karma mengikat manusia pada rantai reinkarnasi yang kekal, pada rangkaian kehidupan yang penuh derita. Namun, jika mereka bisa membentuk kembali sikap egois mereka menjadi sikap yang lebih baik, maka mereka akan dapat mengubah takdir mereka. Sang

Buddha membandingkan proses reinkarnasi pada sebuah kobaran api yang menyalakan sebuah lampu, dari ketika lampu dinyalakan hingga api di dalamnya berkobar dan memancarkan cahaya yang menjadikan sebuah lampu terang. Jika seseorang mati dalam keadaan masih berupa kobaran api, maka dia akan hidup lagi di lampu yang lainnya. Namun jika dia mati setelah apinya membuat lampu menyala terang, maka penderitaannya akan terhenti dan dia akan bisa mencapai surga.

Buddha sebagai sesuatu yang berhubungan erat dengan Tuhan. Seperti yang dikemukakan oleh Edward Conze, seorang penulis buku berjudul “Buddhism: It’s Essence and Development”, ajaran Buddha biasanya menggunakan gambaran yang sama dengan para penganut ketuhanan dalam mendeskripsikan Surga, yaitu realita terakhir. Secara singkat, sebuah gagasan seperti Keindahan, memiliki

kemiripan makna dengan banyak para penganut ketuhanan memaknai Tuhan mereka. Di luar dari keluarbiasaannya, gagasan mengenai ketuhanan bisa ditemukan dalam pikiran seseorang. Kita, kaum modern, mengalami proses berpikir sebagai sebuah aktivitas, sebagai sebuah hal yang kita lakukan. Namun, Plato menegaskan bahwa ini adalah sesuatu yang terjadi di pikiran kita: objek dari pikiran akan realita yang aktif di dalam kecerdasan seorang manusia tempat manusia merenungkannya.

Manusia memiliki jiwa yang mengandung kecerdasan ilahiyah, yang mana membuat mereka berhubungan dengan Tuhan dan merupakan bagian dalam keilahian. Kemampuan serupa dengan Tuhan ini membuat manusia lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan tanaman atau hewan. Merupakan kewajiban bagi para manusia untuk mengekalkan keberadaannya, yaitu dengan cara memurnikan

kecerdasannya. Kebijaksanaan, merupakan keutamaan yang paling tinggi dalam hidup manusia; ini merupakan hasil dari perenungan akan kebenaran filosofis, yang membuat kita memiliki kualitas ilahiyah dengan meniru aktivitas Tuhan yang sesungguhnya. Perenungan tidak dapat dicapai hanya dengan logika, namun merupakan sebuah intuisi disiplin yang menghasilkan kesadaran diri. Hanya sedikit orang yang dapat mencapai kebijaksanaan, namun sebagian besar dapat juga menggapai kecerdasan dalam kehidupan sehari-hari.

SEMOGA ANDA MENIKMATI AQUARIUS NOTE INI. HAPPY READING!

4

note

AQUARIUS

Copyright © 2014 AQUARIUS RESOURCES powered by : BACAKILAT. • All Rights Reserved • www.aquariusnote.com

Referensi

Dokumen terkait

Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur seseorang, kelelahan tingkat menengah orang dapat tidur dengan nyenyak, sedangkan pada kelelahan yang berlebihan akan

Adventure Games, Merupakan suatu permainan petualangan yang bukan kompetisi dan simulasi dimana permainan ini tidak menawarkan proses untuk dikelola atau

UML menyediakan standar pada notasi dan diagram yang bisa digunakan untuk memodelkan suatu sistem. UML menyediakan 10 macam diagram untuk memodelkan suatu sistem atau

Beberapa peneliti berpendapat bahwa jamu merupakan bagian dari ilmu penyembuhan alternatif homeopati. Berasal dari kata Homeopathy dari bahasa Yunani yang artinya

Berdasarkan hasil dari data rata – rata persentase dan perhitungan hipotesa dengan Kruskall Wallis diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap

(2014) mebuat sebuah penelitian yang berjudul “Rancang Bangun Game Edukasi Kosakata Bahasa Mandarin ‘Bermain Bersama Avdandi’ Berbasis Adobe Flash.” Software yang digunakan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi PbO (% mol) dalam kaca terhadap sifat thermal yang berkaitan dengan kinetika

Menyetujui untuk memberikan wewenang dan kuasa kepada Direksi Perseroan, dengan hak substitusi, untuk melakukan segala dan setiap tindakan yang diperlukan sehubungan dengan