• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TIMBULNYA KONFLIK ANTARA BURUH DENGAN PENGUSAHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TIMBULNYA KONFLIK ANTARA BURUH DENGAN PENGUSAHA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

49

TIMBULNYA KONFLIK ANTARA BURUH DENGAN

PENGUSAHA

A. Latar Belakang Terjadinya Pemogokan Massal Di Pabrik Karung Goni Delanggu.

1. Dukungan dari Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Dalam rangka membina solidaritas buruh memerlukan organisasi yang mengikat perusahaan tersebut. Dalam wujudnya yang sederhana organisasi buruh tidak memerlukan ikatan organisatoris yang ketat dan sistematis, karena kesempatan untuk bertemu secara langsung baik diantara sesama pekerja maupun dengan pihak pengusaha tidak dapat dilakukan dengan mudah. Pada perusahaan yang besar dengan beratus-ratus atau beribu-ribu karyawan maka kontak langsung khususnya dengan majikan menjadi masalah yang sulit karena birokrasi yang rumit. Untuk membantu kelancaran komunikasi itu mereka memerlukan kekuatan untuk memberikan tekanan atau memaksa pengusahanya baik secara formal maupun secara informal.

Selain karena faktor ekonomi, berdirinya perserikatan-perserikatan buruh juga dipengaruhi oleh perkembangan politik yang sedang melanda masyarakat Indonesia. Organisasi sebagai lembaga modern merupakan alat perjuangan politik dan sosial-ekonomi. Partai politik melihat adanya potensi sosial pada serikat buruh, sebaliknya serikat buruh mengharapkan peranan partai politik untuk memperjuangkan perbaikan nasibnya. Dari pihak serikat pekerja fungsinya

(2)

sebagai perserikatan ekonomik mulai juga pada orientasi politik. Pendekatan para kaum politisi kepada buruh dilakukan lewat penerangan dan juga menjabat pimpinan dalam serikat buruh.

Jika serikat buruh mau bergerak dalam politik, mereka akan dapat membawa perjuangan kebangsaan ke pemerintah sendiri. Aksi-aksi ekonomi buruh diperlukan sebagai tekanan terhadap pemerintah kolonial. Untuk itu serikat buruh perlu dipersatukan dan dihimpun oleh sentra organisasi buruh.1

Organisasi-organisai pergerakan buruh muncul bagaikan cendawan di musim hujan. Organisasi-organsasi yang ada di dalam lapisan masyarakat tersebut muncul sebagai wujud cita-cita kemerdekaan. Lahirnya pergerakan buruh di Indonesia sejatinya merupakan suatu aksi yang muncul dari harga diri kebangsaan yang dikobarkan oleh partai politik, dan tidak mengherankan jika dalam perkembangannya, pasang surut perkembangan buruh sebagian dtentukan oleh gelombang politik kebangsaan dalam perjuangan pembebasan diri dari penindasan kolonialisme.

Seiring dengan perkembangan politik diawal kemerdekaan membuat partai politik saling bersaing pengaruh di pemerintahan. Berawal dari perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 kedua belah pihak bertemu di atas kapal Renville untuk menandatangani persetujuan gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang telah disetujui bersama. Pada saat perundingan berlangsung diadakan pula reshuffle kabinet Amir Sjarifuddin. Dalam pengumumannya tanggal 12 November 1947, dinyatakan bahwa Partai

1

Suri Suroto. Gerakan Buruh dan Permasalahannya. Prisma No. 14: 25, 1985. Hlm 27.

(3)

Sosialis 7 kursi, Masyumi 5 kursi, PNI 7 kursi, PSII 5 kursi, PBI, PKI, Partai Katolik, Parkindo, Badan Konggres Pemuda masing-masing 1 kursi, golongan tak berpartai 5 kursi jadi jumlah 37 kursi.

Tujuan Pemerintah adalah untuk memperkuat kabinetnya dalam rangka menghadapi perundingan dengan Belanda. Sekalipun kabinet Amir Sjarifuddin merupakan kabinet koalisi yang kuat, namun setelah kabiner Amir menerima persetujuan Renville, partai-partai politik kembali menentangnya. Masyumi yang merupakan pendukung kabinet, menarik menteri-menterinya. Tindakan Masyumi didukung oleh PNI. Sebagai hasil sidang Dewan Partai tanggal 8 Januari 1948 PNI menuntut supaya kabinet Amir Sjarifuddin menyerahkan mandatnya kepada Presiden. PNI menolak persetujuan Renville karena persetujuan itu tidak menjamin dengan tegas akan kelanjutan dan kedudukan Republik. Kabinet Amir Sjarifuddin hanya didukung oleh Sayap kiri tidak berhasil dipertahankan.2

SOBSI lahir pada tanggal 29 November 1946 di Yogyakarta saat pasangnya revolusi, dimana seluruh rakyat Indonesia berperang melawan musuh revolusi kaum militeris Jepang dan tentara kolonial Belanda yang dibantu oleh tentara imperialis Inggris, sehingga SOBSI terbentuk sebagai hasil persatuan kaum buruh Indonesia yang anti fasis dan anti kolonialisme yang taraf hidupnya masih rendah, upah dan jaminan sosial tidak mencukupi. SOBSI sebagai organisasi buruh merupakan organisasi yang berdiri sendiri, bebas dan bersifat non-partai, namun tidak berarti anti-partai. Keanggotaan SOBSI berasal dari kaum buruh yang terorganisasi dalam serikat-serikat buruh.

2

Sartono Kartodirjo. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975. Hlm: 53-54.

(4)

Tugas SOBSI secara kongkrit adalah menggerakkan massa untuk melaksanakan aksi-aksi dalam berbagai kepentingan, seperti aksi sosial, aksi ekonomi, kebudayaan dan aksi politik yang dipadukan dengan pekerjaan untuk menarik massa kaum buruh ke dalam keanggotaan serikat buruh SOBSI. SOBSI merupakan organisasi buruh yang bersifat sentral, artinya menghimpun organisasi buruh yang ada dengan maksud menjadi wadah dari semua organisasi buruh di seluruh Indonesia. Diantaranya organisasi Sarbupri yang merupakan organisasi buruh terbesar dalam wadah SOBSI. Maka dari itu Sarbupri merupakan landasan utama bagi SOBSI.

Jadi dengan lahirnya serikat-serikat buruh, kaum buruh memiliki suatu wadah yang dapat memperjuangkan aspirasi dan menjadikan mereka berani menuntut keadilan dari para pemilik modal. Berdirinya serikat-serikat buruh inilah sebagai awal lahirnya gerakan-gerakan buruh untuk memperjuangkan nasibnya seperti gerakan buruh yang terjadi di Pabrik Karung Goni Delanggu.

Persoalan-persoalan perselisihan buruh dan tuntutannya di pabrik karung Delanggu telah dimulai sejak bulan Februari 1948. Pihak buruh di Delanggu dipimpin oleh Lembaga Buruh Tani (LBT) yang bernaung dibawah SOBSI. Mereka menuntut agar buruh tetap dan buruh lepas diberikan gaji in natura (selain uang) yatu berupa kain berukuran 3 meter untuk tahun 1948 dan 20 kg (maksimum 35 kg) beras untuk satu keluarga per bulan.3 Peran SOBSI sangatlah besar dalam pemogokan, dalam perkembangan pemogokan buruh di Pabrik Karung Goni Delanggu sebagai penggerak Sarbupri.

3

Soe Hok Gie. Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan Kisah

(5)

2. Pengelolaan Tenaga Buruh Pabrik Karung Goni Delanggu.

Buruh sebagai tenaga kerja bebas dengan mendapatkan upah, timbul untuk menggantikan tenaga budak yang dilarang dan penghapusan kerja wajib. Dengan masuknya modal asing yang membuka perkebunan terutama sesudah pertengahan abad XIX, rakyat pedesaan khususnya yang tidak memiliki tanah dapat memperoleh pekerjaan yang lebih tetap di perkebunan-perkebunan tersebut. Tidak hanya mereka yang memiliki garapan, tetapi juga para pemilik tanah sawah yang disewa oleh pabrik ditampung sebagai pekerja buruh upahan.

Sistem kerja upahan mulai diperkenalkan di kota-kota VOC, terutama di Batavia. Ketika berkuasa, VOC menggunakan perangkat feodal tradisional yang berlaku untuk memperoleh tenaga kerja yang diperlukan. Sejak VOC diganti oleh pemerintah Hindia-Belanda, terutama atas rintisan Raffles lembaga kerja wajib berangsur-angsur ditinggalkan dan diganti dengan sistem kerja upah sehingga banyak muncul tenaga kerja bebas.4 Dalam hubungan kerja bebas tersebut nampak ada dua pihak, yaitu buruh disatu pihak dan majikan pada pihak lain. Kedua pihak ini, tidak selalu sepakat dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Tidak jarang ketidaksepakatan ini menimbulkan pergesekan yang dapat berkembang menjadi konflik. Seperti halnya konflik yang terjadi di Pabrik Karung Goni Delanggu. Masyarakat desa diawal kemerdekaan sebenarnya belum mengerti tentang suatu gerakan untuk menentang pengusaha karena di dalam pikirannya yang penting bekerja dan mendapatkan upah untuk keperluan hidupnya sehari-hari . Hal ini dapat dimengerti karena dimasa awal kemerdekaan kondisi sosial-ekonomi di masyarakat desa di seluruh Indonesia masih mengalami

4

(6)

kesulitan ekonomi. Tidak terkecuali penduduk desa Delanggu dan sekitarnya yang mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh pabrik dan juga buruh tani. Pada dasarnya kaum buruh di Delanggu terbagi menjadi dua golongan yaitu pertama pegawai administrasi yang bekerja dikantor dan disebut juga pegawai bulanan yaitu pegawai menengah-rendah terdiri dari mandor (pengawas pekerja) dan para sinder (kepala pengawas tanaman). Kedua jenis pegawai administratif sesekali waktu mengecek ke lapangan. Golongan kedua buruh yang bekerja dilapangan. Buruh yang bekerja di lapangan terdiri dari pekerja harian tetap, pekerja borongan tetap, pekerja harian dan borongan lepas dan buruh maro.5

Pabrik Karung Goni Delanggu memperoleh tenaga kerja dari daerah Kabupaten Klaten sendiri dan dari beberapa daerah yang lain. Konsentrasi kegiatan usaha di Delanggu menyebabkan sebagian besar tenaga kerja tersebut diambilkan dari wilayah Delanggu pula. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan perusahaan tersebut, yaitu pertanian perkebunan. Kegiatan usaha ini dengan menyewa tanah dari penduduk setempat. Penyewaan tanah oleh perusahaan tidak berarti hilangnya kesempatan kerja dari pemilik tanah yang disewa, mereka mendapatkan kesempatan untuk ikut serta mengerjakan tanahnya dengan memperoleh imbalan jasa sebagai buruh pabrik.

Apabila seseorang menggantungkan hidupnya pada upah yang diterimanya melalui usaha atau kerja, ini berarti bahwa disamping apa yang dikerjakan itu mencerminkan status, maka upah yang diterimanya menentukan tingkat hidupnya sendiri bserta para anggota keluarganya yang menjadi tanggungannya. Upah yang

5

Arsip Kementrian Penerangan No 46 dan No. 242. Koleksi Badan Arsip Nasional Republik Indonesia.

(7)

diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang telah dikerahkan, maka upah yang diharapkan oleh seorang pekerja adalah upah yang wajar. Upah wajar maksudnya adalah upah yang secara relatif dinilai cukup oleh para pengusaha dan para buruhnya sebagai uang imbalan atau balas jasa yang diberikan buruh kepada pengusaha/perusahaan sesuai dengan perjanjian kerja diantara mereka.6

Jika ketentuan-ketentuan tentang pemberian upah yang telah ditetapkan oleh pengusaha telah dilakukan dengan baik maka tidak akan timbul perselisihan antara buruh dan pengusaha, karena salah satu faktor timbulnya perselisihan antara buruh dan pengusaha adalah ketidakpuasan dalam hal pemberian upah kepada pekerja. Seperti halnya permasalahan pemogokan kaum buruh pabrik karung Delanggu yang disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat kesejahteraan diantara para pekerjanya sehingga menimbulkan suatu kecemburuan yang berakibat pada terjadinya konflik.

Sistem pengupahan yang digunakan dalam Pabrik Karung Goni Delanggu ini jelas menimbulkan perselisihan di kalangan buruhnya, hal ini dikarenakan :

Pertama, perbedaan fasilitas yang dinikmati oleh para pegawai administratif dengan buruh lapangan yang bekerja pada pabrik karung Delanggu menunjukkan perbedaan yang sangat besar dan mencolok. Golongan yang pertama (pegawai administratif) menikmati fasilitas jauh lebih baik bila dibanding dengan golongan kedua (golongan buruh lapangan). Para pegewai golongan pertama dapat naik mobil, berpakaian bagus, bersepeda Raleigh yang mengkilap,

6

Kartosapoetra. Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1988. Hlm 14-16.

(8)

sedangkan golongan kedua hanya mampu berpakaian karung goni. Secara sosial ekonomi, kehidupan golongan jenis kedua ini sangat rendah upahnya karena upah harian yang diterima hanya Rp. 2,00 per hari sedangkan harga beras dari pemerintah sebesar Rp. 1,50 dan harga pasaran bebas pasti akan lebih tinggi dari pada harga yang ditetapkan oleh pemerintah.7

Kedua, penggunaan sistem mandor dalam merekrut tenaga kerja menimbukan sistem pencalonan yang mengakibatkan keterlambatan pembayaran dan manipulasi upah kerja. Posisi mador sebenarnya tidaklah begtu memprihatinkan karena mereka mendapatkan upah lebih tinggi dari pada upah buruh harian biasa, selain itu juga masih mendapatkan insentif dari perusahaannya. Jadi seorang mandor dapat memperoleh pendapatan dari dua sumber, pertama, berupa komisi yang diterima dari perusahaan itu sendiri, dan kedua berupa pungutan yang diperoleh dari upah kerja yang berasal dari pabrik dan upah kerja yang benar-benar diberikan kepada para pekerja.8

Pegawai administratif dan pegawai lapangan memperoleh fasilitas yang berbeda, perbedaan itu sangat mencolok. Pegawai golongan pertama dapat menikmati fasilitas jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan dengan golongan kedua. Perbedaan yang sangat besar tersebut menimbulkan rasa tidak puas terhadap para buruh lapangan sehingga timbul tuduhan korupsi kepada para pegawai golongan administrasi.

7

Surat Kabar Kedaulatan Rakjat No.199 tanggal 12 Juli 1948. Koleksi Monumen Pers Nasional.

8

Wawancara dengan Bapak Atmo Wilopo, mantan pegawai administrasi pabrik di Bakungan, Juwiring, tanggal 18 Juli 2015.

(9)

Keadaan ekonomi buruh lapangan sangat memprihatinkan, perbedaan upah antara pegawai admnistrasi dan buruh lapangan sangat besar. Pekerja lapangan rata-rata hanya menerima upah Rp. 1,5-Rp.2 per hari dengan coupon (kupon) beras 200 gram yang harus dibelinya, pada waktu itu harga beras Rp. 1,5 per kg, sedangkan upah buruh di luar perkebunan (administrasi) sebesar Rp. 10- Rp. 15 per harinya Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan upah yang diterima hampir 100 persen. Jaminan beras saban hari 400 gram buat buruh yang masuk kerja dan 200 gram buat keluarganya akan hilang apabila buruh tersebut tidak masuk kerja. Sedangkan harga beras pada waktu Rp. 1,5 per kg.

Keadaan tersebut sangat membebani kehidupan ekonomi buruh lapangan. Yang dimaksud dengan keluarga buruh ialah istri, anak sendiri, anak tiri, ibu dan bapak sendiri atau mertua yang umurnya lewat 55 tahun yang tidak mempunyai penghasilan sendiri dan tidak ditanggung sendiri oleh orang lain.9 Sebuah sentimen-sentimen pribadi yang berubah menjadi sentimen kelompok dari kaum buruh yang merasa dirugikan dengan penggunaan sistem mandor. Mandor-mandor ini juga sebenarnya yang telah melakukan propaganda kepada kaum buruh, yaitu menjanjikan bahwa para buruh akan diberikan kenaikan upah dan masing-masing kepada buruh maro akan diberikan kain sebanyak 3 meter per orang. Padahal menurut keterangan dari pemerintah tidak pernah memberikan janji-janji seperti yang dijanjikan para mandor.

Sistem pengelolaan dan pengupahan kerja seperti yang diuraikan diatas maka tidaklah mengherankan jika pemogokan buruh di pabrik karung Delanggu

9

Arsip Kementrian Penerangan No.242. Koleksi Badan Arsip Nasional Republik Indonesia.

(10)

terjadi. Sistem kepegawaian yang ada telah memungkinkan suatu tingkat perbedaan pendapatan dan penguasaan faslilitas penunjang, mereka yang bekerja di bidang administratif hidup dalam situasi ekonomi yang baik, sementara buruh yang bekerja dilapangan hidup dengan penghasilan yang tidak dapat memungkinkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Perkiraan upah buruh bulanan yang hanya Rp.30, sampai Rp.45, selama satu bulan, sedangkan untuk para sinder upah berkisar antara Rp.300, sampai Rp.450, per bulan. Maka tidaklah heran jika banyak buruh yang bekerja sambil membawa dagangan untuk dijual pada saat pergantian waktu kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Para kader Sarbupri dengan hasutan-hasutannya agar pihak pengusaha menaikan upah mereka disambut baik oleh para buruh. Dengan wadah organisasi massa, para buruh dapat menekan majikan dengan cara pemogokan dan berdemontrasi. Hal ini sangat merugikan majikan sehingga perundingan untuk mencapai kesepakatan menjadi jalan tengah yang terbaik. Adanya wadah organisasi massa buruh perkebunan yang terhimpun dalam Sarbupri menjadikan buruh di Delanggu pemikirannya menjadi maju. Buruh sudah bisa mengadakan gerakan pemogokan. Buruh sudah berani menentang dalam hubungan organisasi terhadap Pemerintah untuk mendapatkan perbaikan nasib. Jika ini dilakukan dalam suatu masa dan dalam suatu satu susunan negara di mana ada pertentangan kelas (tingkat) dan di mana modal berkuasa maka akan kita hormati buruh yang berani mogok itu sebagai pahlawan. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan buruh yang mogok di Delanggu (di antara Klaten-Surakarta). Dikatakan bahwa sekitar 15.000 buruh dari pabrik karung dan penanam kapas di daerah Delanggu

(11)

diperintahkan oleh SOBSI karena permintaan-permintaan buruh tidak tidak dipenuhi oleh Pemerintah. Tuntutan buruh Delanggu sebenarnya biasa saja hanya yaitu mengenai jaminan makanan (beras), bahan pakaian dan penghasilan (gaji). Lembaga Buruh dan Tani sebagai perwakilan dari buruh supaya jaminan tersebut diberikan kepada pegawai dan pekerja bulanan, pekerja harian tetap, pekerja borongan tetap, pekerja lepas termasuk pekerja harian dan borongan lepas dalam perkebunan pekerja maro.10

B. Jalannya Pemogokan Buruh Pabrik Karung Goni Delanggu

Gerakan buruh dengan cara mogok kerja yang sifatnya baru sama sekali dalam sejarah pemogokan di Indonesia setelah negara ini merdeka, ialah pemogokan buruh-tani, buruh maro yang terjadi di perkebunan milik pemerintah.11 Sebelum terjadinya aksi demonstrasi pada tanggal 19 Mei 1948 di Solo. Tanggal 17 Februari 1948 bertempat di lapangan merdeka Delanggu diadakan rapat umum setelah acara Konferensi Besar Delanggu yang disaksikan oleh Alimin (seorang pemimpin kelas Buruh Indonesia), Harjono (Ketua umum Sentra Biro SOBSI), Njono (Sekertaris umum Sentral Biro SOBSI) dan lain-lain, pemimpin Sarekat Buruh dan Sarekat Tani. Konferensi Besar yang bersejarah itu yang berlangsung selama 2 hari dipimpin oleh Drs. Maruto Darusman. Sebelum Konferensi Besar dimulai diucapkan “Sumpah Delanggu” secara serentak dengan berdiri oleh seluruh pengunjung Konferensi Besar. Berikut ini adalah petikan dari Sumpah Delanggu:

10

Majalah“Merdeka” No.26, Tahun I, 10 Djuli 1948. Koleksi Perpustakaan Nasional.

11

Majalah “Merdeka” No.744. Tahun III, 6 Djuli 1948. Hlm 2. Koleksi Perpustakaan Nasional.

(12)

SUMPAH DELANGGU

Kita mung NGENAL sarikat buruh perkebunan sidji ing saindening Indonesia jaiku SARBUPRI.

Kita mung NGAKONI sarikat buruh perkebunan sidji ing saindening Indonesia jaiku SARBUPRI

Kita mung NGGABUNGAKE marang sarikat buruh perkebunan sidji ing saindening Indonesia, jaiku SARBUPRI

Sarikat buruh perkebunan LIJANE Sarbupri : PALSU

Sarbupri mung NGENAL pusat sarekat buruh sidji ing saindening Indonesia, jaiku SOBSI

Sarbupri mung NGAKONI pusat sarikat buruh sidji ing saindening Indonesia, jaiku SOBSI

Sarbupri mung NGGABUNGKE marang pusat sarikat buruh sidji ing saindening Indonesia, jaiku SOBSI

Pusat sarikat buruh LIJANE Sobsi : PALSU.12

Sumpah Delanggu ini mempunyai arti bahwa kaum buruh perkebunan tidak mau dipecah belah. Setelah Konferensi Besar di Delanggu pada tanggal 26 Februari 1948 di Solo diadakan rapat umum golongan kiri yang tergabung dalam Front Sayap Kiri memperkuat oposisinya terhadap Pemerintah dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang merupakan fusi dari kekuatan golongan kiri, termasuk di dalamnya PKI, Partai Sosialis, Partai Buruh, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Dalam rapat umum tersebut terpilihlah Amir Sjarifuddin sebagai ketua.13 Rapat-rapat umum seperti inilah yang bisa membangkitkan massa terutama buruh dapat mudah terpengaruh oleh partai-partai golongan kiri yang ingin memperjuangkan nasib mereka. Tuntutan buruh dan tani yang dipimpin oleh

12

Surat Kabar Warta Sarbupri No.4-5 Tahun II, Februari 1951. Hlm: 11. Koleksi Perpustakaan Nasional.

13

Pramoedya Ananta Toer. Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV. Jakarta: Gramedia. 2003. Hlm: 31.

(13)

SOBSI melalui organisasinya “Lembaga Buruh dan Tani” (LBT) menuntut kepada Badan Tektil Negara (BTN) dari Kementrian Kemakmuran. LBT menuntut perbaikan gaji, pemberian beras dan pakaian, yang oleh BTN dirasakan berat. Jadi persengketaan ini sudah mulai sejak bulan Februari 1948.

Selain buruh pabrik dan buruh lapangan aksi demonstrasi dan mogok kerja juga melibatkan para petani di Delanggu yaitu petani kenceng, petani setengah kenceng, petani gundulan, petani pengindung dan juga buruh tani. Rapat umum yang diadakan oleh golongan kiri dengan orang-orang yang pandai dalam orator dan memotivasi para buruh digunakan oleh partai politik (PKI), FDR, SOBSI dan Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) untuk mengumpulkan massa agar dapat mendukung perjuangan mereka. Hal inilah yang menjadikan latar belakang gerakan buruh yang awalnya buruh tidak mengetahui aksi pemogokan dan demontrasi terhadap pengusaha dan pemerintah menjadikan buruh menjadi berani karena disokong oleh partai golongan kiri tersebut.14

Pemogokan buruh Pabrik Karung Goni Delanggu berlangsung dalam periode yang panjang dan bertahap. Dalam pemogokan tersebut melibatkan hampir semua buruh non staf yang bekerja pada perusahaan karung Delanggu. Pemogokan Delanggu berjalan dengan sangat teratur dan disiplin. Tiap pagi para buruh yang mogok datang ke pabrik setelah absen kemudian pulang. Barang siapa tidak presensi dengan alasan yang cukup, maka ia tidak akan mendapat upah

14

Nasution, A.H. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VIII. Bandung: Angkasa. 1979. Hlm: 33.

(14)

untuk hari itu jika kelak pemogokannya menang dan tuntutan-tuntutannya dipenuhi.15

1. Tahap I (19 Mei 1948 - 25 Mei 1948).

Solo adalah bastion atau benteng dari FDR. Dari sinilah gelombang pertama gerakan buruh terjadi di Solo dengan cara berdemonstrasi yang dilakukan oleh SOBSI Solo. Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) ranting Purwosari di stasiun Purwosari baru saja melakukan pemogokan sit down selama 2 jam. Setelah aksi

sit down mereka melakukan penyambutan buruh di peron kemudian sebagian dari

mereka melakukan demontrasi.

Buruh pabrik karung Purwosari yang masuk Perbutsi (Perserikatan Buruh Tektil Seluruh Indonesia) turut pula demonstrasi. Seperti diketahui tempat pabrik karung tersebut digunakan sebagai stasiun pertama dari kaum demonstran dimana sudah menunggu kawan-kawan Sarbupri dari Boyolali dan Temulus, Klaten.16 Demontrasi yang dimulai dari stasiun Purwosari menunjukkan teratur dan terpimpin. Perjalanan lalu lintas tidak terganggu dan berbaris berempat. Di depan bendera Merah Putih dan bendera buruh (Merah) yang besar dan gagah mempelopori demontran tersebut. Di belakangnya berjalan delegasi yaitu Suryamin dan Samidjo, masing-masing mewakili Sarbupri dan Barisan Tani Indonesia (B.T.I) bersama-sama dengan Suhaimi Rachman selaku wakil dari P.P. Sarbupri. Beberapa anggota staf dari Komite Kesatuan Aksi turut serta.

15

Djoko Sudjono. Tuntuan Membangun Sarekat Buruh. Jakarta: Penyiar Penerbit Nasional, 1950. Hlm: 38.

16

Majalah“Tenaga” Suara Buruh Perkebunan No.3 Tahun III Djuni 1948. Koleksi Perpustakaan Nasional.

(15)

Di belakang delegasi berjalan sebuah barisan tambur yang sengaja dibawa oleh Sarbupri Delanggu yang tidak hentinya membunyikan lagu mars untuk menambah semangat kaum demonstran. Kemudian di belakang tambur kaum buruh berbaris empat-empat yaitu kaum buruh B.T.N, dari pabrik karung Delanggu, dan tujuh perusahaan perkebunan yang masing-masing membawa bendera dan nama Ranting Sarbupri serta slogan-slogan yang menarik, dibelakang sekali berbaris kaum demonstran solidair dari seperti cabang Boyolali, Temulus dan lain-lain. Mereka membawa bendera nasional dan bendera buruh serta meneriakkan semboyan yang spesial untuk keperluan demonstrasi.

Tiap-tiap gerombolan ada yang memimpinnya sehingga barisan sangat teratur. Teriakan (yell-yell) keluar dari mulut buruh yang militan itu membelah angkasa. Apabila kepala pasukan bersorak maka bersoraklah semua, apabila diteriakan suatu slogan, berteriaklah semua barisan seakan-akan keluar dari satu mulut.17 Sepanjang jalan dari pabrik karung Purwosari melalui jalan Purwosari, demonstran sungguh menggemparkan masyarakat. Buruh yang tempat pekerjaanya di pinggir jalan yang dilalui demonstrasi keluar berbaris di depan kantor perusahaan menyampaikan salam perjuangan dan menyerukan kata-kata yang menebalkan semangat demonstran.

Masyarakat kota Solo terpengaruh benar-benar demonstrasi Sarbupri-BTI lebih kurang 3.000 buruh dan 2500 buruh dari luar. Pernyataan simpati datang dari Sarbupri cabang Boyolali dan cabang Temulus. Dari Boyolali mengirimkan 500 anggotanya ke Solo dengan naik kereta api dan dari Temulus mengirimkan

17

(16)

200 anggotanya. Kawan-kawan yang datang disambut dan disiapkan segala sesuatu untuk pengangkutan setibanya di Solo. Mereka menganggap bahwa perbuatannya adalah simpati-solidair. Mereka ikut demontrasi agar demontrasi Delanggu lebih kuat dan diketahui oleh BTN.18

Berbarengan dengan demontrasi di Solo tanggal 19 Mei 1948 patutlah dicatat bahwa di pabrik karung dan tiap-tiap perusahaan dilakukan pula demontrasi serentak. Seperti juga demontrasi di Solo, tiap-tiap Ranting Sarbupridisampaikan oleh suatu delegasi Ranting sepucuk Nota kepada pimpinan perusahaan seperti yang diserahkan kepada BTN. Kalau di kota Solo Nota itu diserahkan ke Residen sebagai kepala daerah, di Ranting Nota itu diserahkan ke Wedono dan Asisten Wedono. Semua Wedono dan Asisten Wedono menyatakan kesanggupannya akan membantu tuntutan demontran. Juga di tiap-tiap Ranting diadakan arak-arakan yang tidak kalah besarnya dan semangatnya daripada di kota.19

2. Tahap II (26 Mei 1948 - 3 Juni 1948).

Berbarengan dengan demontrasi di Solo tanggal 19 Mei 1948 patutlah dicatat bahwa di pabrik karung dan tiap-tiap perusahaan dilakukan pula demontrasi serentak.

18

Majalah “Tenaga” Suara Buruh Perkebunan. No.3 Tahun III Djuni 1948. Koleksi Perpustakaan Nasional

19

Majalah“Merdeka” No.774, tanggal 6 Djuni 1948. Koleksi Perpustakaan Nasional.

(17)

Pada tanggal 26 Mei 1948 buruh melakukan pemogokan “sit down” yang pertama dan Sarbupri pabrik karung Delanggu yang mempeloporinya. Keputusan ini ditetapkan oleh seuatu rapat antara Sarpupri-BTI secara bersama pada tanggal 23 Mei 1948 yang dihadiri oleh segenap ranting-ranting Sarbupri dan wakil-wakil anak cabang BTI dan disaksikan oleh P.P. Sarbupri dan pimpinan Sarbupri daerah Surakarta.20

Pemogokan “sit down” selama 2 jam dilakukan oleh para buruh pabrik karung Delanggu (yang terlingkung dalam organisasi Sarbupri) pada tanggal 26 Mei 1948. Rupanya aksi mogok duduk tidak memperoleh hasil yang memuaskan sehingga aksi pemogokan dilanjutkan pada tanggal 27 Mei 1948 mogok kerja selama setengah hari. Selama pemogokan itu mereka tidak meninggalkan tempat kerja tetapi hanya duduk-duduk dalam komplek pabrik tersebut dengan mengisi daftar hadir.21

Pemogokan di Delanggu berjalan dengan teratur dan berdisiplin, selama pemogokan ini kaum pemogok di pabrik Delanggu tiap pagi datang, sesudah di

“apél” lalu pulang. Barang siapa yang tidak “Persan” (yang dimaksud present

yang artinya hadir) dengan tidak ada alasan yang cukup, ia tidak akan diberikan bagian buat tahun itu jika kelak pemogokannya menang dan tuntutannya dipenuhi.22 Aksi tersebut menurut Sentral Biro Sobsi berjalan setelah pihak BTN ternyata tidak melayani ajakan berunding dari P.P Sarbupri mengenai tuntutan-tuntutan buruh yang telah dipetimbangkan dengan alasan-alasan yang sehat

20

Ibid. Hlm: 16.

21

Pramoedya Ananta Toer. Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV. Jakarta: Gramedia, 2003. Hlm 213.

22

Majalah“Merdeka” No.774, tanggal 6 Djuli 1948. Koleksi Perpustakaan Nasional.

(18)

(konstruktif). P.P Sarbupri mendesak kepada Menteri Perburuhan dan Sosial kepada BTN yang tidak ada goodwill dan menyebabkan adanya aksi buruh itu agar membiayai pemogokan dan membayar upah buruh yang mogok.23 Tentang pemogokan buruh pabrik karung di Delanggu tanggal 26 Mei 1948 dengan cara

“sit down protest” selama 2 jam. Lebih jauh lagi dikabarkan, bahwa aksi itu

dilanjutkan pada tanggal 27 Mei 1948 yang dilakukan dengan mogok kerja setengah hari. Pada tanggal 28 Mei 1948 mereka mogok lagi selama 24 jam per hari sampai tanggal 3 Juni 1948. Pada tanggal 28 Mei 1948 pemogokan meluas kepada kaum buruh perkebunan yang bekerja di perusahaan-perusahaan di seluruh wilayah Klaten yaitu Polanharjo, Juwiring dan Manjung yang dimulai jam 08.00-11.00. Pemogokan di daerah tersebut hanya 3 jam.24

Sarbupri dan B.T.N yaitu bahwa Kesatuan Aksi Buruh dan Tani di Delanggu (Solo) pada tanggal 19 Mei 1948 menyampaikan tuntutan-tuntutan kepada Dewan Pimpinan B.T.N dan P.P. Sarbupri, kami mendapat keterangan sebagai berikut:

a. Perselisian antara Sarbupri dan Dewan Pimpinan B.T.N. sudah berjalan lama ialah 7 bulan selama waktu itu majikan tak menunjukkan goodwillnya. Surat-surat dari perserikatan, resolusi-resolusi dari rapat-rapat dan konferensi-konferensi yang berisi tuntutan buruh terlalu banyak diajukan tetapi selalu diabaikan saja.

b. Pihak Sarbupri tidak tahu berapa untungnya B.T.N. karena sejak dahulu tak ada wakil Sarbupri di dalam Dewan Pimpinan BTN. Diusulkan supaya

23

Pramoedya Ananta Toer. op.cit. Hlm: 214.

24

(19)

menerima perwakilan buruh dalam Direksi B.T.N. tak didengarnya. Kalau Sarbupri mempunyai wakil disitu, tuntutannya mungkin akan lain sifatnya.

Kenyataannya adalah:

1) Buruh pabrik karung yang meminta gratis afval rosella untuk dibikin celana atau baju songketan ditolak, bahkan harus dibelinya sedangkan afval itu biasanya dipakai alat pembakar atau dibuang saja.

2) Penanam kapas yang sesungguhnya tidak diberi pakaian, kecuali golongan pegawai dan pekerja yang jumlahnya kecil.

3) Harga kapas di luar Rp. 33.000 per 100 kg, sedangkan kostprijts (ongkos pembuatan) tahun yang lalu adalah Rp.1000 per 100 kg. Entah berapa untungnya.

4) Pekerja-pekerja kelihatan tidak ulet bekerjanya disebabkan upahnya sedikit. Upah pekerja yang diijinkan oleh B.T.N ialah Rp. 2 sehari dengan kupon beras 200 gram yang harus dibelinya Rp. 1,5 se-kg. Untung beberapa pengurus perusahaan masih ada yang berani memberi tambahan upah sedikit.

a. Bagaimana mereka dapat bekerja keras sedangkan perutnya lapar. Sehari terus bekerja di tempat panas yang terik dengan beras 200 gram untuk sekeluarga. Dibandingkan dengan upah buruh tani di luar kebun dari Rp. 10.- sampai Rp.15.-, maka upah BTN sangat tak menarik rakyat. Mereka lebih senang bekerja pada tetangganya kaum tani lagi.

b. Juga golongan pegawai rendah-menengah yang menjadi mandor besar, sinder dan seterusnya mengalami penderitaan. Tuntutan mereka supaya upahnya

(20)

dibayarkan dengan mata uang Jepang dahulu jangan “dikurs”. Tuntutan ini sudah lama sekali beberapa bulan sesudah uang Oeang Republik Indonesia (ORI) keluar, tetapi BTN tetap bandel. Peraturan pembagian beras bagi pegawai negeri tak berlaku bagi pegawai BTN karena mereka bukan pegawai negeri.

c. Aksi ini bukan saja dilakukan oleh Sarbupri saja tetapi oleh B.T.I sebab banyak kaum tani kecil turut berburuh pada perusahaan-perusahaan BTN. Nasib mereka dan anggota-anggota Sarbupri sama. Kali ini buruh dan tani menghadapi satu majikan.

d. Sarbupri terang sudah cukup sabar cukup sabar dan telah lama mencoba menyelesaikan perselisihan ini dengan damai, tetapi tidak ada hasilnya.

e. Jikalau terjadi pemogokan dikalangan Sarbupri Delanggu maka akibatnya akan terasa oleh seluruh masyarakat:

1) Tanaman kapas yang sudah mulai tumbuh mungkin rusak. 2) Penggarapan tanah berhenti.

3) Kebun-kebun kapas dan sawah rakyat tak akan dapat air cukup karena kunci sumber air di daerah Klaten dipegang oleh anggota Sarbupri.

4) Pabrik karung Delanggu, di mana sesungguhnya B.T.N

sekarang ini berdiri mandek dan ini akan terasa bagi P.N.N, B.P.P.G.N, dan lain-lain.25

25

Surat Kabar Soeara Ibukota, Jum’at 21 Mei 1948. Koleksi Arsip Kementrian Penerangan Bagian Pers. No.242.

(21)

3. Tahap III (19 Juni 1948 – 17 Juli 1948) Timbulnya Pergesekan Antar Buruh SOBSI Dengan Buruh STII.

Pada tanggal 19 Juni 1948 pemogokan kembali dipimpin oleh LBT diserahkan kepada SB SOBSI atas persetujuan dari Sarbupri. Pengambilalihan pimpinan oleh SB SOBSI diharapkan pemogokan diikuti oleh 100.000 buruh perkebunan di seluruh Indonesia. Pada pemogokan ketiga ini keadaan semakin gawat, tidak hanya aksi demonstrasi saja yang dilakukan oleh kaum pemogok, akan tetapi telah terjadi bentrokan fisik.

Buruh yang dipimpin oleh Lembaga Buruh Tani (LBT) yang bernaung dibawah SOBSI mulai melakukan bentrokan dengan buruh yang tergabung dalam Sarekat Tani Islam Indonesia (STII). Tanggal 10 Juli 1948 buruh yang tergabung dalam Sarekat Tani Islam Indonesia (STII) tetap bekerja dengan alasan untuk menyelamatkan tanaman-tanaman kapas yang masih muda. Menurut sumber STII, sekitar 500 orang buruh yang mogok mengeroyok buruh (petani) STII yang sedang bekerja. Insiden-insiden timbul karena pihak Hizbullah yang bersenjata melawan pemogok-pemogok ini. Sembilan orang luka (dua dari pihak pemogok) dan seruan-seruan untuk melokalisasi pemogokan dan menyelesaikannya datang dari pihak-pihak netral.26

Ketika tanggal 10 Juli, 25 orang petani STII yang sedang bekerja di ladang, dikeroyok oleh 500 orang pemogok. Petani-petani STII dipaksa oleh kaum pemogok untuk menghentikan pekerjaannya. Kaum pemogok yang melakukan demonstrasi itu dipimpin oleh tuan Maruto Darusman dan diantara mereka banyak

26

Surat Kabar Nasional, tanggal 15 Juli 1948. Koleksi Monumen Pers Nasional.

(22)

juga yang membawa senjata api. Dalam keributan selanjutnya antara petani-petani STII dan anggota Hizbullah di satu pihak dengan kaum pemogok di pihak lain terdengar suara tembakan yang hingga kini belum diketahui dari pihak mana asalnya. Pada saat itu pemimpin petani STII Abing Sjarbini yang melepaskan tembakan ke udara untuk membela diri dikeroyok oleh kaum pemogok sehingga mendapat luka-luka berat dan akhirnya dirawat di rumah sakit bersama kawannya yang bernama Haji Busairi yang tidak lain adalah bapak Saobari. Haji Busairi merupakan ketua STII cabang Klaten.27

4. Bantuan Tentara ke Delanggu.

Pada tanggal 14 Juli 1948 menurut berita “Antara”, Wakil Presiden Republik Indonesia Drs. Moh Hatta, telah mengirimkan beberapa satuan tentara ke Delanggu untuk mempertahankan keamanan di sana. Seperti telah dikabarkan dahulu di tempat itu pernah terjadi beberapa insiden berhubung dengan pemogokan. Pasukan batayon dari pasukan Hizbullah yang tersangkut dengan insiden ini.

Wakil Presiden memerintahkan beberapa kesatuan untuk menjaga keamanan di Delanggu dan sekitarnya.28 Pernyataan Wakil Presiden Moh. Hatta disambut pernyataan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, pada tanggal 16 Juli 1948 dalam sebuah konferensi pers mengatakan bahwa kekacuan-kekacauan di Delanggu tidak begitu menghawatirkan sehingga tidak usah gelisah yang bukan pada tempatnya. Beliau membenarkan sejak tanggal 13 Juli 1948 atas perintah

27

Wawancara dengan Bapak Sobari Marzuki anggota GPII Klaten di Jiwan, Kalikotes, tanggal 29 Februari 2015.

28

Majalah“Merdeka” No.783, Tahun III, 16 Juli 1948. Koleksi Perpustakaan Nasional.

(23)

Wakil Presiden Moh. Hatta, telah menempatkan pasukan-pasukan di daerah itu untuk menjamin keamanan. Lebih lanjut diterangkannya bahwa selanjutnya tanggal 19 Juli 1948 semua pasukan bersenjata kecuali tentara akan ditarik kembali dari daerah Delanggu.29

C. Pihak-pihak Yang Terlibat Pemogokan

1. Sarbupri.

Pemogokan biasanya merupakan aksi yang dilakukan oleh Sarekat Buruh karena menyangkut masalah ekonomi. Tugas Serikat Buruh pada intinya adalah memperjuangkan nasib buruh yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan buruh. Sebenarnya tujuan Sarekat Buruh tidak hanya untuk melakukan aksi-aksi pemogokan, melainkan dengan cara-cara yang teratur dapat mencapai perjanjian kerja yang saling menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pihak buruh dan pihak pemilik perusahaan. Karena kedua belah pihak tersebut adalah pasangan dalam perjanjian kerja, maka masing-masing harus berperan dalam menetapkan syarat-syarat perjanjian kerja itu. Suatu sarekat buruh yang baik memang tidak berarti mengabaikan aksi pemogokan. Sarekat buruh itu menganggap pemogokan sebagai satu-satunya cara yang terakhir yang akan dgunakan hanya dengan cara yang hati-hati dan bijaksana.

Jadi tidak benar bilamana dikatakan bahwa sarekat buruh adalah organisasi perjuangan untuk pertentangan. Justru sarekat buruh ini bermaksud untuk memelihara keserasian antara modal dan tenaga kerja. Untuk tujuan ini,

29

(24)

perjuangan itu bukanlah dianggap olehnya sebagai sarana tunggal. Perundingan yang tenang dan penuh suasana damai dengan pengusaha, penyusunan perjanjian kerja bersama dan pendidikan kejuruan merupakan sarana terpenting bagi serikat buruh. Aksi pemogokan lebih dapat dicegah dengan adanya serikat buruh : pemogokan yang dilakukan oleh kelompok buruh tanpa legalitas dari serikat buruh dapat dikatakan sebagai pemogokan liar dan tidak dapat dilindungi oleh hukum.30

Suatu hal yang menonjol dari peristiwa pemogokan buruh pabrik karung Delanggu ialah peranan Sarbupri (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) dan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Sarbupri merupakan sebuah organisasi buruh terbesar di dalam wadah SOBSI, oleh karena itu Sarbupri merupakan landasan utama bagi SOBSI. SOBSI sebagai organisasi yang bersifat sentral artinya menghimpun semua organisasi buruh yang ada dengan maksud untuk menjadi wadah dari semua organisasi buruh di seluruh Indonesia.

Sarbupri pada dasarnya adalah organisasi buruh, khususnya bagi mereka yang memiliki bidang pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Mula-mula organisasi ini tidak memiliki keterkaitan dan keyakinan politik, kemudian dalam perkembangannya terjadi pergeseran posisi dari organisasi yang memperjuangkan tuntutan-tuntutan sosial-ekonomi secara murni ke arah organisasi yang menjadi sarana untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan politik.31

30

Soeratno F. Pemogokan. Jakarta: T.P, 1979. Hlm: 8.

31

Djoko Sudjono. Tuntutan Membangun Sarekat Buruh. Jakarta: Penyiar Penerbit Nasional, 1950. Hlm: 42.

(25)

Sarbupri sebagai organisasi resmi dari buruh perkebunan sangat potensial sebagai penggerak massa. Dengan tampilnya kader-kader FDR seperti Werdoyo, Maruto Darusman, dan Suryahman, tidak diragukan lagi bahwa keterlibatan Sarbupri dalam pemogokan buruh di Delanggu pada saat itu semakin terlihat. Sarbupri memerintahkan kepada anggotanya di pabrik karung Delanggu untuk melakukan pemogokan. Inilah pemogokan pertama yang dilakukan secara teratur dan besar-besaran di daerah Republik Indonesia. Sebanyak 15.567 buruh di Pabrik Karung Goni Delanggu dan tujuh perkebunan kapas ikut ambil bagian dalam pemogokan.32

Sarbupri yang merupakan organisasi terbesar dalam wadah SOBSI merupakan sebuah organisasi buruh yang memiliki wibawa dan pengaruh yang amat luas diantara buruh yang terlibat dalam proses produksi kapas Delanggu. Hal ini telah menjadikan Sarbupri sebagai mata rantai penghubung FDR dengan rakyat yang sangat potensial untuk memperoleh dukungan dari bawah, oleh karena itu kedudukannya sebagai organisasi buruh harus diperkuat dan diberi dukungan sepenuhnya dan sesuai dengan arah perjuangan politik FDR.

Persyaratan untuk menjadi anggota Front Nasional ialah : sifatnya perorangan tidak memandang aliran politik, kebangsaan, dan agama, tidak memandang laki-laki dan perempuan, umur 15 tahun keatas dan asal setuju dengan program nasional. Sebenarnya banyak diantara buruh tidak mengerti kedudukannya sebagai anggota Sarbupri, kaum buruh tersebut sekedar membayat iuran yang diminta oleh kader-kader dari FDR dengan dalih pengembangan

32

Pramoedya Ananta Toer. Kronik Revolusi Jilid IV. Jakarta: Gramedia, 2003. Hlm: 352.

(26)

Sarbupri. Kaum buruh tidak sadar bahwa dirinya telah terlibat dalam pertikaian politik yang berbahaya meskipun mereka telah berpartisipasi secara aktif di dalam bentrokan fisik yang timbul antara sesama golongan masyarakat di daerahnya.33

Dengan masuknya kader-kader FDR ke dalam tubuh anggota SOBSI sebagai bukti bahwa Sarbupri merupakan organisasi naungan PKI. Menurut SK Trimurti menyebutkan bahwa organisasi buruh harus memperjuangkan nasib buruh, tetapi mana kala ia menjadi anggota partai politik maka ia pun juga harus memperjuangkan tuntutan partai politik yang ia tunggangi.34 Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa organisasi buruh itu pada prisipnya bukanlah merupakan organisasi politik, tetapi tidak menutup kemungkinan ikut serta dalam perjuangan politik. Hal ini sesuai dengan manifes SOBSI pada tanggal 29 November 1946 yang menyatakan bahwa organisasi buruh bukanlah partai politik, tetapi bekerja sama dengan partai politik yang berhaluan.35

Pemogokan Delanggu kemudian bukanlah semata-mata merupakan gejala pemogokan yang menuntut perbaikan nasib kaum buruh, melainkan telah diorganisasikan secara rapi untuk memperjuangkan tuntutan-tuntutan politik, khususnya politik yang dianut oleh FDR. Dengan demikian posisi organisasi buruh dalam pemogokkan Delanggu itu bukan semata-mata merupakan sarana

33

Ibid. Hlm: 201.

34

SK. Trimurti. Hubungan Pergerakan Buruh Indonesia dengan

Pergerakan Kemerdekaan Nasional. Jakarta: Indayu, 1975. Hlm: 16.

35

Sandra. Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Rakyat, 1961. Hlm: 70.

(27)

untuk menghadapi pengusaha, melainkan juga sebagai sarana politik untuk menghadapi pemerintah.36

Dukungan Partai Politik (Masyumi dan PKI)

Secara politis para karyawan Pabrik Karung Delanggu terbagi menjadi tiga golongan utama yaitu satu bagian yang berafiliasi dengan PKI, satu bagian berafiliasi dengan Masyumi dan bagian lain berafiliasi dengan PNI. Mereka yang berafiliasi dengan PKI adalah buruh yang berhaluan “kiri” yaitu buruh lapangan. Buruh yang berafiliasi dengan Masyumi adalah buruh yang berbasis keislaman, kebanyakan dari mereka adalah petani yang kaya yang tanahnya disewa oleh perusahaan. Buruh yang berafiliasi dengan PNI adalah buruh yang bersifat nasionalis, cenderung netral, mereka kebanyakan adalah para pegawai administratif. Mereka yang berafiliasi pada PKI jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan yang berafiliasi pada partai lainnya. Mereka yang berafiliasi dengan PKI 60 persen.

Pemogokan buruh Pabrik Karung Goni Delanggu memang ada kertekaitan dengan politik yang berkembang pada saat itu. Pemogokkan Delanggu pada dasarnya merupakan perebutan kekuasaan politik antara golongan FDR/PKI dan Masyumi. Sebagian besar tenaga kerja pabrik karung Delanggu berasal dari wilayah Delanggu dan sekitarnya. Di daerah-daerah tersebut terdapat sejumlah buruh perkebunan yang berhaluan kiri.

36

A.H. Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VII. Bandung: Angkasa, 1992. Hlm: 44.

(28)

Di pihak lain di daerah itu juga baerdomisili para pemilik tanah yang tanahnya disewa oleh perusahaan perkebunan dan mereka ini pada umumnya adalah simpatisan partai Islam, yakni Masyumi. Ketidaksejajaran ini antara lain mengenai pandangan antara pemilik tanah dengan buruh perkebunan di daerah tersebut yang telah menimbulkan masalah yang rumit untuk dapat dipecahkan. Di satu pihak apabila pemogokan ini dilaksanakan, justru pemilik tanah akan dirugikan sedangkan apabila pemogokan ini gagal dilaksanakan akan mengkhawatirkan kaum buruh yang mogok.37

Partai kiri menggunakan istilah “tenaga revolusi” dan “kontra revolusi”. Pengertian tenaga revolusi identik dengan partainya, yakni PKI. Sedangkan kontra revolusi diidentikkan dengan lawan politiknya, yakni Masyumi. Tampak jelas adanya dua front yang saling bertentangan, yakni kelompok PKI/Sarbupri yang menjadi oposan bagi pemerintah, sedangkan Masyumi menjadi pendukung pemerintah. Posisi Masyumi sebagai partai terbesar berhasil memobilisasikan pendukungnya di daerah Delanggu untuk menentang seruan-seruan untuk melakukan pemogokan.

Kelompok lain yang menentang peomogokan adalah Murba. Akan tetapi pertentangan terhadap pemogokan itu hanya sekedar adu argumentasi dalam pamflet dan surat kabar, hal ini karena kedudukan Murba hanya sebagai partai kecil bila dibandingkan dengan PKI maupun Masyumi. Oleh karena itu peranannya dalam pemogokkan Delanggu tidak terlalu menonjol dan hanya memberi dukungan moril saja kepada kaum penentang pemogokan.

37

Wawancara dengan Bapak Atmo Wilopo, mantan pegawai administrasi pabrik di kediamannya, tanggal 18 Juli 2015.

(29)

Masing-masing partai politik memiliki cara dalam merekrut massa, yaitu :

a. Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan memberikan motivasi untuk menyadarkan kaum buruh akan hak-haknya.

b. Masing-masing tingkat buruh yang bekerja di Pabrik Karung Delanggu menikmati fasilitas yang berbeda baik dari segi gaji maupun prestise. Jumlah gaji buruh sangat kecil bila dibandingkan dengan pegawai administratif, maka kepada buruh harus diberikan motivasi yang dilakukan oleh golongan kiri. Pemberian motivasi ini dijalankan dengan mengadakan kempanye untuk memberi kesadaran akan hak-hak buruh. Usaha untuk membangkitkan kesadaran itu bukan semata-mata untuk meningkatkan taraf hidup buruh, melainkan juga untuk menaikkan hasil produksi. Berpangkal dari tujuan inilah, mereka (golongan kiri) memiliki landasan pokok untuk membangkitkan kesadaran kaum buruh di dalam berpolitik dan kesetiaan mereka terhadap partai yang dianutnya harus dibina dan dijelaskan dengan memberi contoh-contoh yang mudah dimengerti oleh mereka. Masalah tanah dan perbedaan golongan yang sangat tajam dianggap paling potensial untuk mencapai tujuan. PKI mengetahui bahwa pesoalan tanah sangat potensial untuk menyatukan para buruh, oleh karena itu mereka membangkitkan kesadaran kaum butuh akan hak-haknya, seperti hak untuk mendapatkan makan, memperoleh tempat tinggal, dan hak untuk menyekolahkan anak, serta pemenuhan kebutuhan yang lain setelah anak tidak mampu sekolah.38

2. Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi)

38

Merriam Budihardjo. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Hlm: 38.

(30)

Dari pihak Masyumi, masalah tanah juga dijadikan sebagai titik tolak untuk kampanye dalam rangka mencari massa, namun dalam mendekati massa ini antara PKI dan Masyumi menggunakan cara yang berbeda. PKI berbasis pada buruh perusahaan dengan modal tenaga kerja dapat merekrut dukungan dari kelompok yang menikmati fasilitas yang paling bawah, lain halnya dengan Masyumi yang memiliki basis petani kaya atau pada dasarnya dapat memperoleh dukungan dari petani pemilik tanah.

Dilihat dari cara merekrut massa, PKI mendasarkan persoalannya pada perkembangan sosial, ekonomi, dan politik. Sedangkan Masyumi berusaha mencari landasan dari segi keagamaan dengan memasukkan unsur-unsur agama dalam kampanyenya. Masyumi menghubungkan peristiwa-peristiwa itu dengan ajaran Islam dengan maksud untuk meyakinkan dukungan dari rakyat, jadi bukan semata-mata karena pertimbangan masalah duniawi atau material, melainkan karena pertimbangan spiritual. Diharapkan dengan adanya dukungan spiritual itu akan membangkitkan semangat untuk berkobar.39

3. Keterlibatan Militer

Pemogokan kaum buruh di Pabrik Karung Goni Delanggu bukan hanya digerakkan oleh faktor politik meskipun tidak secara terang-terangan berkaitan dengan militer. Program rasionalisasi dan rekonstruksi yang dilakukan pada masa pemerintahan Hatta telah menunjukkan posisi FDR meningkat, baik dikalangan politisi, buruh maupun militer. Hal ini disebabkan oleh dua faktor : pertama, rasionalisasi militer dari 160.000 tinggal 57.000 orang, tidak saja menimbulkan

39

(31)

kegelisahan dikalangan mereka yang tersingkirkan, namun juga menimbulkan pengangguran. Kedua, dengan adanya rasionalisasi berarti penawaran jumlah tenaga kerja lebih besar dari permintaan atau posisi yang tersedia. Akibatnya pendapatan yang mereka peroleh lebih kecil bila dibandingkan ketika sebelum terkena rasionalisasi. Sebagian dari personel militer yang terkena rasionalisasi adalah para anggota TNI masyarakat yang diciptakan oleh Amir Syarifudin semasa menjadi Perdana Menteri.

Selain menjabat sebagai Perdana Menteri, Amir Syarifudin juga pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Jabatan Menteri Pertahanan yang dipegangnya telah memberi kesempatan baginya untuk membentuk TNI masyarakat yang pada dasarnya diambilkan dari golongan masyarakat yang mempunyai kesetiaan terhadap dirinya. Alokasi dana pertahanan diarahkan untuk memperkuat posisinya, baik dalam keadaan damai maupun pada saat menghadapi agresi Belanda.40 Pada prinsipnya pendapatan buruh pada saat itu relatif kecil, baik oleh karena kesempatan kerja yang sangat sempit maupun karena blokade Belanda. Kesempatan kerja yang sempit ini sebagai akibat kondisi sosial-politik lokal yang sejajar dengan menyempitnya wilayah Republik Indonesia, sehingga memperkecil kemungkinan bagi kaum buruh untuk hidup layak seperti yang diidam-idamkan oleh pendukungnya. Maka tidaklah mengherankan kalau dalam pemogokkan Delanggu banyak buruh yang dilengkapi senjata layaknya seorang militer. Keadaan semakin runcing karena berita yang dibesar-besarkan dengan adanya penempatan militer di daerah Delanggu, artinya tentara telah ikut campur

40

Kahin, Audrey R. Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990. Hlm: 146.

(32)

dalam pemogokan sehingga penyelesaian pemogokan menjadi sulit tercapai. Untuk meluruskan masalah tersebut, Letnan Jenderal Sudirman mengadakan konferensi pers untuk memberi penjelasan sekitar pemogokan di Delanggu. Letnan Jenderal Sudirman juga menerangkan bahwa untuk menjamin keamanan di daerah Delanggu, maka pada tanggal 13 Juli 1948 oleh Wakil Presiden telah dipertahankan kepada Panglima Besar untuk menempatkan tentara secukupnya di sana dan beliau diberi kekuasaan sepenuhnya.41

Jadi, penempatan tentara semata-mata hanya untuk menjaga keamanan daerah Delanggu dalam rangka perundingan penyelesaian masalah Delanggu. Dalam lapangan perburuhan rasionalisasi menimbulkan kegelisahan tersendiri yang berupa merosotnya pendapatan dan prestise dari bekas tentara yang kemudian bekerja menjadi buruh. Karena dijalankannya rasionalisasi telah menyebabkan menerima prestise yang lebih rendah dibanding kedudukannya sebagai tentara. Maka dari itu mereka mendukung adanya buruh.

41

Pramoedya Ananta Noer. Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV. Jakarta: Gramedia, 2003. Hlm: 425.

Referensi

Dokumen terkait

Pernyataan ini disampaikan oleh Bening Sekretaris Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Tengah dalam acara Managing Our Nation Strategi dan Rencana Aksi untuk

Penelian Seltzer pada tahun 2007 bahkan melaporkan bahwa remaja memiliki kontak yang kurang dengan saudara kandung dengan spektrum autisme (Canha, 2010),

Rasulan adalah ritual bersih desa yang bertujuan untuk menyelamatkan bumi yang dikelola masyarakat yang ditanami berbagai macam tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

Data responden sebanyak 210 mahasiswa dan Structural Equation Modelling dan juga WrapPLS digunakan untuk menguji hipotesis – hipotesis dari karateristik layanan wesbite

 Sirkulasi lalu lintas : sirkulasi pada luar bangunan pusat rehabilitasi pasca stroke (dampak terjadap sirkulasi lalu lintas di jalan sekitar pusat rehabilitasi

    Dalam melihat perkaitan antara salah laku pelajar dengan gaya keibubapaan yang diamalkan hasil kajian menunjukkan bahawa faktor gaya keibubapaan yang diamalkan oleh para ibu

berkata:"Manakah yang lebih baik ilah-ilah kami atau dia (Isa)" Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya

melakukan penelitian yang berjudul “ Pelaksanaan Pelayanan Nifas oleh Bidan di Klinik.. Haryantari Kota Medan