• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL PENELITIAN PERAN SUBDIT II DIRESKRIMSUS POLDA LAMPUNG DALAM MENGUNGKAP PERKARA PENIPUAN DI DUNIA MAYA YANG MELIBATKAN PERANTARA WARGA LOKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROPOSAL PENELITIAN PERAN SUBDIT II DIRESKRIMSUS POLDA LAMPUNG DALAM MENGUNGKAP PERKARA PENIPUAN DI DUNIA MAYA YANG MELIBATKAN PERANTARA WARGA LOKAL"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PROPOSAL PENELITIAN

PERAN SUBDIT II DIRESKRIMSUS POLDA LAMPUNG DALAM MENGUNGKAP PERKARA PENIPUAN DI DUNIA MAYA YANG

MELIBATKAN PERANTARA WARGA LOKAL

Oleh:

Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. NIP 19801118 200801 1 008

Dibiayai oleh Dana DIPA BLU Dosen Junior Unila TahunAnggaran 2015 Dengan Nomor Kontrak:

BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

2015  

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul       :  PERAN  SUBDIT  II  DIRESKRIMSUS  POLDA  LAMPUNG    

DALAM   MENGUNGKAP   PERKARA   PENIPUAN   DI   DUNIA   MAYA   YANG   MELIBATKAN   PERANTARA   WARGA  LOKAL  

2. Bidang  Pengabdian   :    Hukum  

3. Ketua  Tim  Pengusul  

a. Nama Lengkap : Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. b. Jenis Kelamin : Laki-Laki

c. NIP : 19801118 200801 1 008

d. Disiplin Ilmu : Ilmu Hukum e. Pangkat/Gol : Asisten Ahli / III b

f. Jabatan : Dosen Pengajar

g. Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Pidana

h. Alamat : Jl. Soemantri Brojonegoro No 1Bandarlampung

i. Telp/Faks/E-mail : 0721-701609/0721-709911

j. Alamat Rumah :Perum Korpri Blok D6 no. 5 Sukarame, Bandarlampung.

k.  Telp/Faks/E-­‐mail   :  0811722237  

4. Jumlah Anggota : -

5. Lokasi Kegiatan :Provinsi Lampung

6. Usulan  Dana     :  Rp  10.000.000,-­‐  (sepuluh    juta  rupiah)  

   

Bandar Lampung, 23 Maret 2015

Ketua Bagian Hukum Pidana, Ketua TimPengusul,

Diah Gustiniati M, S.H., M.H. Rinaldy Amrullah, S.H., M.H.

NIP 196208171987032003 NIP 198011182008011008

Mengetahui,

Dekan FH Unila, Ketua LPPM Unila,

Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. Dr. Eng. Admi Syarif

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi sangat pesat, inovasi yang terus berkembang dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi ini menunjukan betapa pesat perkembangan tersebut. Terhubungnya komputer di seluruh dunia dengan adanya internet telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi pertukaran segala macam informasi yang ada di belahan bumi tanpa mengenal adanya batas ruang dan waktu (the world without

borders). Selain itu internet juga telah memunculkan sebuah dunia baru yang

disebut dengan cyberspace.

Cyberspace yaitu dunia elektronik (ruang virtual) dimana orang dapat hadir atau berinteraksi tanpa perlu eksistensi fisik. Adanya cyberspace membawa dampak positif dan juga dampak negatif. Dampak positifnya misalkan dimungkinkannya jual beli di ruang virtual yang sering dikenal dengan e-commerce (perdagangan elektronik). disamping itu dampak negatif dari adanya cyberspace cukup serius yaitu terjadinya tindak pidana cybercrime yang sekarang ini semakin berkembang juga, diantaranya hacking, cracking, carding, pornografi, penipuan, narkotika, pencemaran nama baik, perjudian, hingga prostitusi.

(4)

Tindak pidana cybercrime di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk memaksimalkan penegakan peraturan hukum yang berlaku di cyberspace tersebut (cyberlaw) juga telah dibentuk Ditreskrimsus di masing-masing kepolisian daerah berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 22 tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi dan tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah. Ditreskrimsus berdasarkan peraturan kepala kepolisian tersebut merupakan salah satu unsur pelaksana tugas pokok kepolisian yang mempunyai tugas dalam menegakan hukum terhadap tindak pidana khusus dan tertentu di wilayah hukum kepolisian daerah, termasuk didalamnya adalah tindak pidana cybercrime.

Ditreskrimsus Polda Lampung terdiri dari 4 (empat) subdit yang mempunyai kewenangan untuk menangani tindak pidana khusus atau tertentu sesuai yang telah ditentukan pada masing-masing subdit. Adapun keempat subdit tersebut adalah:1

1. Subdit I, yaitu mengenai tindak pidana industri, perdagangan, pangan, perfilman, asuransi dan investasi;

2. Subdit II, yaitu mengenai tindak pidana perbankan, uang palsu, pencucian uang, dan kejahatan dunia maya (tindak pidana cybercrime);

3. Subdit III, yaitu mengenai tindak pidana korupsi;                                                                                                                          

(5)

4. Subdit IV, yaitu mengenai tindak pidana ilegal loging, illegal fishing, konservasi sumber daya alam, listrik dan migas, illegal mining, lingkungan hidup, perternakan, kesehatan, penempatan TKI, dan cagar budaya.

Tindak pidana cybercrime di Lampung telah banyak terjadi, baik itu jenis kejahatan tradisional yang dilakukan dengan komputer dan internet sebagai sarana untuk mempermudah dalam melaksanakan tindak pidana tersebut dan juga tindak pidana yang mengacu pada komputer sebagai unsur utamanya. Seperti dalam beberapa kasus berikut ini:

1. Penangkapan Rahmat Haris warga Kelurahan Pelita, Kecamatan Tanjungkarang Pusat di rumahnya. Dari keterangan Kasat Reskrim Polresta Bandarlampung, Kompol Dery Agung Wijaya tersangka ditangkap karena diduga melakukan togel secara online melalui situs www.828bet.com. Tersangka yang merupakan petugas parkir saat dilakukan penyelidikan didapati sedang menerima pasangan nomor togel dari para pemasang. Dari penangkapan itu berhasil disita barang bukti berupa sebuah laptop dan sebuah telepon genggam.2

2. Penangkapan seorang pengedar dan dua orang bandar kasus perjudian toto gelap (togel) secara online. Penangkapan tersebut dilakukan oleh Tim Ranger Polres Lampung Utara, dari penangkapan itu penyelidik menyita sejumlah                                                                                                                          

2

(6)

barang bukti berupa uang tuniai sebesar Rp 2.000.000.,00 (dua juta rupiah) dan alat elektronik seperti sebuah note-book, sebuah modem internet, buku tabungan, sejumlah handphone, buku tabungan, dan dua buku berisikan dua nomor rekapan togel.3

3. Penangkapan peretas (hacker) situs Tegar TV Lampung (www.tegartv.com) oleh Polda Lampung. Situs Tegar TV tersebut diretas pada Maret 2012 yang mana pelakunya adalah seorang mahasiswa jurusan teknologi informasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandar Lampung. Dalam peretasan tersebut foto Bupati dan Wakil Bupati Lampung Selatan, digambar dengan tak pantas.4

Selain beberapa kasus di atas, di Lampung masih ada beberapa tindak pidana

cybercrime yang belum terungkap, diantaranya:

1. Setelah terungkapnya modus penipuan pulsa “telepon mama”, kini muncul modus baru yang semakin marak yaitu melalui BlackBerry Massengger (BBM) dan jejaring sosial facebook. Penipuan ini dilakukan dengan menggunakan foto profil cantik, seksi, dan bahkan bugil, mereka tidak malu meminta bantuan untuk diisikan pulsa dengan berbagai dalih, agar calon

                                                                                                                         

3http://lampost.co/berita/3-pelaku-judi-togel-online-di-lampura-ditangkap, diakses pada Pukul

10:17 WIB, Tanggal 7 Bulan Agustus Tahun 2014.

4https://www.facebook.com/DivHumasPolri/posts/610752645620262, diakses pada Pukul 13:13

(7)

korban merasa simpatik untuk mengirimkan pulsa dengan nominal bervariasi.5

2. Maraknya sms penipuan di Bandar Lampung, sms penipuan tersebut mengatasnamakan Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan menyampaikan pesan kepada calon korbannya terkait dengan undian yang diadakan oleh BRI. Akibat dari beredarnya sms penipuan tersebut , banyak masyarakat Bandar Lampung merasa resah. Apalagi, masyarakat yang mendapat sms penipuan tersebut umumnya merupakan nasabah BRI.6

Belum dapat diungkapnya tindak pidana cybercrime secara maksimal di Lampung seperti yang tergambar dalam beberapa kasus tersebut akan membawa dampak negatif yang semakin besar terhadap masyarakat, khususnya mereka yang sering berinteraksi dengan komputer ataupun jaringan komputer (internet), hal ini selain dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat juga memungkinkan para pelaku tindak pidana cybercrime untuk melakukan kejahatannya dengan leluasa sehingga dapat memancing pelaku kejahatan yang baru untuk mencoba melakukan tindak pidana cybercrime .

                                                                                                                         

5

http://lampung.tribunnews.com/2014/10/09/hati-hati-penipuan-wanita-bugil-marak-minta-pulsa-via-bbm, diakses pada Pukul 09:00 WIB, Tangal 24 Bulan Oktober Tahun 2014.

6

http://www.duajurai.com/bandar-lampung/bri-tanjungkarang-bungkam-bri-pusat-respons-maraknya-sms-penipuan-di-bandar-lampung/, diakses pada Pukul 09:05 WIB, Tanggal 24 Bulan Oktober Tahun 2014.

(8)

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “peran Subdit II Ditreskrimsus Polda Lampung dalam pengungkapan tindak pidana cybercrime (Studi di Wilayah Hukum Polda Lampung)”.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah peran Subdit II Ditreskrimsus Polda Lampung dalam pengungkapan tindak pidana cybercrime?

2. Apakah faktor penghambat dalam pengungkapan tindak pidana cybercrime

(9)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari peran Subdit II Ditreskrimsus Polda Lampung dalam pengungkapan tindak pidana cybercrime di wilayah hukum Polda Lampung.

Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mempunyai seperangkat aturan mengenai tugas dan wewenang yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai berikut:

1. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakan hukum; dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

(10)

2. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

d. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

e. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

f. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

(11)

g. menyelenggarakan identifikasi keplolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

h. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia

i. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

j. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta

k. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan-perundang-undangan.

(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaiman dimaksud dalam Ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(12)

Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;

c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti;

j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

(13)

m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu; (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan lainnya berwenang”

a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;

d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;

f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;

g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik

dan memberantas kejahatan internasional;

i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian

internasional;

k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(14)

3. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian negara Republik Indonesia berwenang untuk:

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

(15)

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf 1 adalah

tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia.

4. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

“Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia menjalankan tugas dan wewenangnya di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, khususnya di daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

5. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Rpeublik Indonesia

(16)

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tuigas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

6. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

(2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia mengutamakan tindakan pencegahan.

(17)

A. Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Cybercrime 1. Penyelidikan

Penyelidikan berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan penyelidik berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

2. Penyidikan

Penyidikan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Sedangkan penyidik diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar [Sic!] beralasan,

(18)

bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum7. Kemudian terhadap penyidikan tindak pidana cybercrime selain berlaku ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pembuktian sebenarnya telah dimulai pada tahap penyidikan; pembuktian bukan dimulai pada tahap penuntutan maupun persidangan. Dalam penyidikan, penyidik akan mencari pemenuhan unsur pidana berdasarkan alat-alat bukti yang diatur dalam perundang-undangan. Pada tahap penuntutan dan persidangan kesesuaian dan hubungan antara alat-alat bukti dan pemenuhan unsur pidana akan diuji.8

Penyidikan terhadap tindak pidana cybercrime selain dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur mengenai penyidikan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga dilaksanakan berdasarkan ketentuan khusus mengenai penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hal ini dilakukan agar penyidikan dan hasilnya dapat diterima secara hukum. Berikut adalah beberapa hal mengenai penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:

                                                                                                                         

7 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusu Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm, 19.

8 Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrime, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta:

(19)

1. Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bahwa yang diizinkan untuk melakukan penyidikan di dalam undang-undang ini adalah Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik.

2. Pasal 43 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana cybercrime harus memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

3. Pasal 43 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bahwa penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat. 4. Pasal 43 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bahwa Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.

(20)

B. Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Tindak Pidana Cybercrime

Pembuktian terhadap tindak pidana cybercrime dilakukan dengan melihat tata cara pembuktian baik itu yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidanan dan juga yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur bahwa: “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari pasal tersebut mengatakan bahwa putusan hakim haruslah didasarkan pada dua syarat, yaitu:

a. minimum dua alat bukti, dan

b. dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

Berdasarkan hal tersebut, proses penyidikan tindak pidana cybercrime harus memperoleh alat bukti yang cukup agar tindak pidanayang terjadi tersebut dapat dibuktikan di persidangan dan pelakunya dihukum berdasarkan dengan hukuman yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(21)

1. Alat Bukti dalam Tindak Pidana Cybercrime

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pembuktian tindak pidana

cybercrime dapat dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Macam-macam alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur sebagai berikut:

“alat bukti yang sah ialah: 1) keterangan saksi; 2) keterangan ahli; 3) surat;

4) petunjuk;

5) keterangan terdakwa.”

Ad. 1 Keterangan saksi

Saksi berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, yang ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan Keterangan saksi dalam Pasal 1 Angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

(22)

Mengingat pelaku dalam tindak pidana cybercrime ini bersifat virtual, otomatis keterangan yang diberikan oleh para saksi atas suatu tindakan diperoleh secara tidak langsung. Dalam hukum acara kita dikenal dengan testimonium de auditu atau hearsay evidence, dimana keterangan saksi tersebut diperoleh dari orang lain. Sesuai dengan penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kesaksian yang demikian tidak diperkenankan sebagai alat bukti, yakni selaras dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materil, selain itu untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, diamana keterangan seorang saksi tersebut merupakan hasil pembicaraan atau hanya mendengar dari orang lain. Namun, kesaksian yang demikian tidak begitu saja dibuang dan dikatakan tidak berguna.

Meskipun tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang sah, dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim untuk memperkuat keyakinannya sebelum menjatuhkan putusan. Kedudukan kesaksian de auditu dalam cybercrime kiranya perlu mendapat perhatian khusus dengan suatu pertimbangan bahwa kejahatan dengan menggunakan komputer ini memiliki suatu karakteristik tersendiri, dimana subjek, objek, tempat dilakukannya tindak pidana tersebut tidak berwujud sehingga dengan begitu aturan-aturan pidana dapat diberlakukan atas tindakan tersebut. Selain itu, dengan diterimanya kesaksian de auditu akan meminimalkan hilangnya alat bukti/barang bukti sehingga akan lebih memberikan keyakinan pada hakim dalam memutus suatu perkara.9

                                                                                                                          9 Edmon Makarim, Op.Cit., hlm. 464.

(23)

Kesaksian de auditu setelah adanya Putusan MK Nomor 65/PUU-VII/2010 telah diakui secara sah, dimana dalam putusan itu menyatakan bahwa Pasal 1 Angka 26 dan angka 27, Pasal 65 dan Pasal 116 Ayat (3) dan Ayat (4) telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang pengertian saksi dalam pasal-pasal tersebut tidak dimaknai termasuk pada “orang yang dapat memberi keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak ia selalu dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Sehingga diharapkan dengan adanya putusan ini akan dapat mempermudah dalam hal mengumpulkan alat bukti untuk mengungkap suatu tindak pidana cybercrime yang ada.

Ad. 2 Keterangan ahli

Keterangan ahli dalam ketentuan Pasal 1 Angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan ahli dalam Pasal 186 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ialah apa yang seorang ahli nyatakan dalam persidangan.

Peranan seorang ahli dalam pengungkapan tindak pidana cybercrime merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, mengingat metode dan cara-cara yang dilakukan memiliki karakter yang berbeda dengan tindak pidana biasa. Kedudukan seorang ahli dalam menerangkan atau menjelaskan alat bukti, dalam

(24)

hal ini berupa bukti elektronik akan sangat penting dalam memberikan keyakinan pada hakim dalam memutus suatu perkara10.

Ad. 3 Alat bukti surat

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian suatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Alat bukti surat dalam sebuah sistem komputer yang telah disertifikasi akan ada dua kategori. Pertama, bila sebuah sistem telah disertifikasi oleh badan yang berwenang, hasil print out komputer dapat dipercaya keautentikannya. Sebagai contoh adalah recipt yang dikeluarkan oleh Bank BCA dalam transaksi ATM.                                                                                                                          

(25)

Sistem komputer ATM tersebut telah disertifikasi oleh badan yang berwenang dalam hal ini adalah Bank Indonesia (lingkup perbankan), sehingga jika terjadi suatu kasus, bukti elektronik (hasil print out) tersebut mempunyai kekuatan pembuktian meski nantinya dibutuhkan keterangan lebih lanjut dari seorang ahli. Kedua, bukti sertifikasi dari badan yang berwenang tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat karena dibuat oleh dan atau pejabat yang berwenang. Kendala dari penggunaan dua bukti surat tersebut adalah mengenai pengertian dari pejabat yang berwenang, dimana di dalam perundang-undangan kita pejabat yang berwenang adalah notaris.11

Ad. 4 Alat bukti petunjuk

Petunjuk berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 188 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Jika hakim ingin mendapatkan petunjuk dari sebuah tindak pidana cybercrime dapat mengumpulkan bukti-bukti lainnya (dalam hal ini alat bukti elektronik) ke depan persidangan kemudian yang bersangkutan (hakim) akan minta pendapat seorang ahli yang kemudian memasukkan pendapat seorang ahli tadi sebagai keterangan ahli (Pasal 1 butir 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Singkatnya perolehan petunjuk dari hakim, meskipun dalam ketentuan undang-undang (Pasal 188 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tidak menyebutkan secara eksplisit adanya usaha lain guna mencari petunjuk yang                                                                                                                          

(26)

menerangkan suatu tindak pidana sudah menjadi kewajiban seorang hakim untuk melakukan pencarian hukum (rechtvinding) jika suatu perbuatan atau tindakan tidak ada dasar hukumnya sehingga kembali pada asas legalitas itu sendiri bukanlah pagar yang membatasai seorang hakim menjatuhkan pidana yang tentunya dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan pertimbangan hukum yang logis dan keadaan di dalam masyarakat. 12

Ad. 5 Alat bukti keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa berdasarkan ketentuan Pasal 189 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Dalam tindak pidana cybercrime, pelaku tindak pidana sulit untuk diidentifikasi secara pasti. Berbeda dengan kejahatan biasa, sejak ditemukannya bukti-bukti awal maka terhadap tersangka dapat dilakukan suatu penangkapan dan jika diperlukan dilakukannya penahanan. Namun, bukan tidak mungkin pelaku tindak pidana ini dapat ditangkap. Kesulitannya adalah jika kita hanya menggantungkan keterangan terdakwa, akan sangat sedikit atau bahkan tidak ada keterangan yang menyudutkan terdakwa dalam kasus tersebut.13

Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat penambahan macam alat bukti, dan diakuinya dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) dan (2) jo. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menentukan bahwa dokumen elektronik

                                                                                                                          12Ibid., hlm. 475.

(27)

atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan dapat digunakan di muka persidangan, sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Selain itu dokumen elektronik kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas, sebagaimana ditentukan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.14

Informasi elektronik berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah suatu atau sekumpulan data elektonik, termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pengertian di atas, menunjukan syarat utama agar sesuatu digolongkan sebagai informasi elektronik adalah harus merupakan satu atau sekumpulan data elektronik yang telah diolah dan memiliki arti. Data elektronik adalah data digital yang bersumber dari perangkat elektronik yang berbasis komputasi. Data elektronik ini bersifat sangat luas, bisa berarti data-data dalam bahasa binary (berjumlah 8 bit yang terdiri atas 0 dan 1), heksadesimal (berjumlah 16 bit yang terdiri atas 0,1,2,3, …s.d 9, a,b,, …s.d. f); teks (misalnya dengan bahasa Unicode, yaitu suatu bahasa pengodean yang bersifat universal yang memetakan

karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  karakter-  

14 Johan Wahyudi, “Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Pembuktian di Pengadilan”, Perspektif, volume XVII No. 2 Tahun 2012 Edisi Mei, hlm. 126.

(28)

karakter yang umum dan khusus dalam bidang heksadesimal); dan/atau data aplikasi (misalnya office file, audio file, image file, dan lain-lain).15

Dokumen elektronik dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, atau sejenisnya yang dapat dilihat ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,simbol, atau perforasi yang memiliki makna/arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Pengertian tersebut menunjukan bahwa sesuatu digolongkan menjadi dokumen elektronik jika:16

1) Merupakan informasi elektronik;

2) Yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya.

3) Yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik;

4) Termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi;

5) Yang memiliki makna/arti.

                                                                                                                         

15 Muhammad Nuh Al-Azhar, Digital Forensik: Panduan Praktis Investigasi Komputer, Jakarta

Selatan: Salemba Infotek, 2012, hlm. 44.

(29)

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik informasi dan dokumen elektonik juga harus memenuhi syarat-syarat, berikut pengaturan yang terdapat dalam pasal tersebut:

“Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.”

2. Barang Bukti

Barang bukti atau corpus delicti adalah barang mengenai mana delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik, termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, barang yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana.17

Barang bukti dengan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan. Dalam persidangan setelah semua alat bukti diperiksa, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan barang bukti. Selain itu juga akan sangat berperan dalam memberikan keyakinan pada hakim dalam memutus suatu perkara.18

Barang bukti dalam tindak pidanba cybercrime dapat berupa barang bukti elektronik dan barang bukti digital. Barang bukti elektronik adalah barang bukti yang berbentuk fisik, sementara barang bukti digital memiliki isi yang bersifat                                                                                                                          

17 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia, 1986, hlm. 100. 18 Edmon Makarim, Op.Cit., hlm. 479.

(30)

digital, yang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikenal dengan informasi elektronik dan dokumen elektronik. Barang bukti elektronik dapat berupa: komputer PC, laptop/notebook,

netbook, tablet, handphone, smartphone, flashdisk/thumb drive, floppydisk, harddisk, CD/DVD, router, switch, hub, kamera video, CCTV, kamera digital,

digital recorder, music/video player, dan lain-lain. Kemudian barang bukti digital misalnya: logical file, deleted file, lost file, file slack, log file, encrypted file,

steganography file, office file, audio file, video file, image file, email, user ID dan password, short message service (SMS), multimedia message service (MMS), call logs.19

C. Tindak Pidana Cybecrime

Istilah cybercrime saat ini merujuk pada suatu tindakan kejahatan yang berhubungan dengan dunia maya (cyberspace) dan tindakan kejahatan yang menggunakan komputer. Ada ahli yang menyamakan antara tindak kejahatan

cyber (cybercrime) dengan tindak kejahatan komputer, dan ada ahli yang

membedakan diantara keduanya.20

Barda Nawawi Arief menunjuk pada kerangka (sistematik) Draft Convention on

Cyber Crime dari Dewan Eropa (Draft No. 25, Desember 2000). Beliau

menyamakan peristilahan antara keduanya dengan memberikan definisi

cybercrime sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”

                                                                                                                         

19 Muhammad Nuh Al-Azhar, Digital Forensic: Panduan Praktis Investigasi Komputer,Hal. 29. 20 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi,

(31)

atau secara sederhana berarti kejahatan yang berhubungan dengan teknologi, komputer dan internet.21

Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi dalam beberapa literatur dan praktiknya dikelompokan dalam beberapa bentuk, antara lain:22

1. Unauthorized access to computer system and service, yaitu kejahatan yang dilakukan kedalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa pengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase atau pun mencuri informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet.

2. Illegal contens, yaitu kejahatan dengan memasukan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya adalah:

a. Pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain.

b. Pemuatan yang berhubungan dengan pornografi.

                                                                                                                          21Ibid., hlm. 8.

22 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar, Jakarta: Kencana Prenada Media

(32)

c. Pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi, dan propaganda untuk melawan pemerintah yang sah dan sebagainya.

3. Data forgery, yaitu kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen

e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi “salah ketik” yang pada

akhirnya akan menguntungkan pelaku.

4. Cyber espionage, yaitu kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data-data pentingnya tersimpan dalam suatu sistem komputerisasi.

5. Cyber sabotage and extortion, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang tersambung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic

bomb23, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data,

program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku. Dalam beberapa kasus setelah hal tersebut terjadi, maka pelaku kejahatan tersebut menawarkan diri kepada korban untuk memperbaiki data, program komputer atau sitem jaringan komputer yang telah disabotase, tentunya dengan bayaran tertentu.

                                                                                                                         

23Logic bomb adalah suatu program yang dibuat dan dapat digunakan oleh pelakunya

sewaktu-waktu atau tergantung dari keinginan dari si pelaku, dari situ terlihat bahwa informasi yang ada di dalam komputer tersebut dapat terganggu, rusak, atau bahkan hilang.

(33)

6. Offence against intellectual property, yaitu kejahatan yang ditujukan terhadap hak kekayaan intelektual yang dimiliki seseorang di internet. Sebagai contoh adalah peniruan tampilan web page suatu situs milik orang lain secara illegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.

7. Infringements of privacy, yaitu kejahtan yang ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara komputerisasi, yang apabila diketahui oleh orang lain, maka dapat merugikan orang secara material maupun immaterial, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, keterangan tentang cacat atau penyakit tersembunyi, dan sebagainya.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur beberapa tindak pidana cybercrime diantaranya:24 1. Akses Tidak Sah (Illegal Access)

Perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana akses secara tidak sah terhadap komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun.

                                                                                                                          24 Widodo, Op.Cit., hlm. 107.

(34)

2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.

3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

2. Penyadapan atau Intersepsi Tidak Sah (Intercepting)

Tindak pidana intersepsi (pe-nguping-an) diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.

2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.

(35)

3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 telah membatalkan ketentuan Pasal 31 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berisi tata cara penyadapan yang hanya diatur oleh peraturan pemerintah. Karena itu, ketentuan pasal tersebut tidak berlaku. Pengaturan penyadapan di Indonesia hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, karena menyangkut pembatasan Hak Asasi Manusia (HAM) yang mendasar, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1995.

3. Gangguan Terhadap Data Komputer (Data Interference)

Tindak pidana perubahan dan gangguan terhadap data komputer diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu

(36)

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.

3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

4. Gangguan terhadap Sistem Komputer (Sistem Interference)

Tindak pidana berupa gangguan terhadap sistem komputer diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.”

5. Penyalahgunaan Perangkat Komputer (Misuse Of Device)

Tindak pidana berupa penyalahgunaan perangkat komputer diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

(37)

1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, medistribusikan, menyediakan, atau memiliki:

a. perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;

b. sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar sistem elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian sistem elektronik, untuk perlindungan sistem elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.

Dalam penjelasan Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diuraikan bahwa yang dimaksud dengan “kegiatan penelitian” adalah penelitian yang dilaksanakan oleh lembaga penelitian yang memiliki izin.

6. Pemalsuan Melalui Komputer (Computer-Related Forgery)

Pemalsuan melalui komputer diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengerusakan

(38)

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.”

7. Pornografi Melalui Komputer (Pornography)

Tindak Pidana Pornografi diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusialaan.”

8. Kejahatan “Tradisional” Yang Menggunakan Komputer

Perbuatan pidana tradisional juga diatur dalam Pasal 27 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

1. Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:

“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.”

(39)

2. Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:

“ Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuatdapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

3. Pasal 27 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”

9. Tindak pidana penyebaran berita bohong

Penyebaran berita bohong melalui internet diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu

(40)

dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

10. Tindak pidana pengancaman

Tindak pidana pengancaman melalui internet diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut:

“Setiap Orang dengan sengaja dans tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”

2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk memperoleh deskripsi lengkap, jelas dan rinci mengenai peran Subdit II Ditreskrimsus Polda Lampung dalam hal pengungkapan tindak pidana cybercrime.

2. Untuk memperoleh deskripsi lengkap, jelas dan rinci mengenai faktor penghambat dalam hal pengungkapan tindak pidana cybercrime yang dilakukan oleh Subdit II Ditreskrimsus Polda Lampung di wilayah hukum Polda Lampung.

(41)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan secara yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan menelaah dan mengkaji konsep-konsep, teori-teori serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengungkapan tindak pidana cybercrime yang dilakukan oleh kepolisian atau dalam hal ini oleh Subdit II Ditreskrimsus Polda Lampung di wilayah hukum Polda Lampung. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan, baik merupakan penilaian, perilaku, pemahaman, dan kejelasan serta sikap yang berkaitan dengan peran Subdit II Ditreskrimsus Polda Lampung dalam pengungkapan tindak pidana cybercrime di wilayah hukum Polda Lampung.

3.2 Sumber dan Jenis Data

Sumber data dari penulisan ini berasal dari data lapangan dan kepustakaan, sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut:

1. Jenis Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh penulis dari sumber utama melalui penelitian yang dilakukan di lapangan dan hasil wawancara, yang berupa

(42)

data-data informasi atau keterangan dari pihak terkait mengenai peran Subdit II Ditreskrimsus Polda Lampung dalam pengungkapan tindak pidana

cybercrime.

2. Jenis Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan menelusuri literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah yang disesuaikan dengan pokok permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Jenis data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer yang diperoleh dalam studi dokumen, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, yang diperoleh melalui studi literatur.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara umum atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan yang terdiri dari perundang-undangan dan peraturan lain yang berkaitan dengan permasalahan25, bahan hukum primer pada penelitian ini yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

                                                                                                                         

25 Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, Bandung: CV. Mandar Maju,

(43)

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.

5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Daerah;

6) Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer. Seperti, sumber yang diperoleh dari literatur-literatur yang mencakup dokumen resmi penelitian pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan peran Subdit II Ditreskrimsus Polda Lampung dalam pengungkapan tindak pidana cybercrime.

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari kamus, artikel atau berita serta keterangan media massa.

(44)

3.3 Penentuan Narasumber

3.4 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Narasumber yang akan diteliti sebagaimana tersebut diatas, maka narasumber penelitian ini adalah:

1. Kasubdit II Direskrimsus Polda Lampung : 1 orang

2. Penyidik : 1 orang

3. Ahli cybercrime : 1 orang

Jumlah : 3 orang

a. Prosedur Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan usaha mendapatkan data-data primer dan dalam hal penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara secara langsung, yaitu dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan secara lisan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk memperoleh tanggapan atau jawaban dari responden tentang permasalahan dalam penelitian ini.

(45)

Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh data sekunder. Dalam hal ini penulis melakukan serangkaian kegiatan studi dengan membaca, mencatat, mengutip buku atau referensi, dan menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen, dan informasi lain yang berhubungan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

2. Pengolahan dan Penyajian Data

Tahapan pengolahan data pada penelitian ini antara lain meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh peneliti diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapannya, kejelasannya, dan kebenarannya sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Sistematis data, yaitu menyusun data secara sistematis sehingga memudahkan menganalisis dan menginterprestasikan data.

c. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok bahasan dan mengutip data yang dari buku-buku literatur dan instansi yang berhubungan dengan pokok bahasan.

3.5 Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis kualitatif yang dipergunakan untuk mengkaji aspek-aspek normatif maupun empiris melalui metode yang bersifat deskriptif analisis. Deskriptif analisis yaitu: suatu analisis yang menguraikan

(46)

gambaran dari data yang diperoleh kemudian menghubungkan dan membandingkannya satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang bersifat umum (secara induktif).

Bab 4. Jadwal Pelaksanaan

NO. AKTIVITAS BULAN

1 2 3 4 5 6

1. Persiapan Penelitian

2. Pengumpulan Data

3. Pengolahan dan Analisis Data

4. Penyusunan Laporan

5. Seminar Hasil Penelitian 6. Penyerahan Laporan Penelitian

Bab.5 PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN

NO KOMPONEN SATUAN TOTAL

Komponen ATK dan Habis dipakai

1. 5 Rim Kertas A4 5 x @ Rp 50.000,- Rp 250.000,-

2. 2 Cardtridge Canon Hitam 2 x @ Rp 175.000,- Rp 350.000,-

3. 1 Pak Pena& 3 Spidol Rp 50.000,-

4. 2 Flash Disk 2 x @ Rp 150.000,- Rp 300.000,-

(47)

Komponen Perjalanan

6. Biaya Survey (rental mobil) 4 kgt x @ Rp 350.000,- Rp 1.400.000,-

Komponen Laporan

7. Biaya Foto copy 2500 lbr x @ Rp 100,- Rp 250.000,-

8. Biaya Penjilidan 25 eks x @ Rp 10.000,- Rp 250.000,-

Scanning 50 lbr x @ Rp5.000,- Rp 250.000,-

Penelusuran Pustaka 10 bk x @ Rp 70.000,- Rp 700.000,-

Komponen Seminar

9. Penggandaan Bahan Seminar dll 25 eks x @ Rp 45.000,- Rp 1.125.000,- 10. Perbaikan laporan 25 eks x @ Rp 45.000,- Rp 1.125.000,- 11. Snack dan Konsumsi Seminar Hasil 30 x @ Rp 35.000,- Rp 1.050.000,- 12. Sewa Komputer Laptop &

Sound System Rp 1.000.000,-

13. Sewa LCD+Proyektor Rp 900.000,-

Publikasi dan Dokumentasi

14. Sewa Kamera 1 x @ Rp 250.000,- Rp 250.000,-

15. Film + Cuci Cetak 1 x @ Rp 350.000,- Rp. 350.000

Total Biaya Rp 10.000.000,-

(48)

DAFTAR PUSTAKA  

Literatur

Andrisman, Tri. 2009. Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Hamzah, Andi. 1986. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Pusat Bahasa, ed.3-cet.3. 2005. Jakarta: Balai Pustaka

Makarim, Edmon. 2005. Pengantar Hukum Telematika ( Suatu Kompilasi

Kajian). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Maskun. 2013. Kejahatan Siber (Cyber Crime): Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nuh Al-Azhar, Muhammad. 2012. Digital Forensik: Panduan Praktis

Investigasi Komputer. Jakarta Selatan: Salemba Infotek.

Sitompul.Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrime, Cyberlaw: Tinjauan Aspek

Hukum Pidana. Jakarta: PT. Tatanusa.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum. Jakarta: Bumi Aksara._ _ _ _ _. 1980. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).

(49)

_ _ _ _ _. 1986. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Pers. _ _ _ _ _. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

_ _ _ _ _. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers. Penelusuran Website http://ditreskrimsuspoldalampung.blogspot.com. http://www.duajurai.com. https://www.facebook.com. http://lampung.antaranews.com. http://lampung.tribunnews.com. http://lampost.co. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-UndangNomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Daerah.

Peraturan Kepala Kepolisisan Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan.

Referensi

Dokumen terkait

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas Transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak