• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

18

BAB II

PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA

KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan Alat Bukti Berupa Informasi

Elektronik

1. Alat Bukti

Pemeriksaan perkara pidana di muka pengadilan, maka hakim secara aktif memeriksa guna menemukan kebenaran materil sebagaimana apa yang menjadi tujuan hukum acara pidana itu sendiri di lain pihak sebagaimana diketahui bahwa di dalam proses pemeriksaan perkara perdata hakim secara pasif dalam pemeriksaan acara perdata tersebut yaitu hanya menilai apa yang dikemukakan oleh para pihak yakni antara penggugat dan tergugat.

Wirjono Projodikoro, menulis:

(2)

19

mengalami keadaan itu. Ingatan orang-orang ini harus diberitahukan kepada hakim”.65

Sistem HIR maupun dalam sistem KUHAP tidak diatur secara jelas tentang soal pembuktian, jika dibandingkan dengan ketentuan Hukum Acara Perdata, seperti yang terlihat dalam pasal 163 HIR sebagai berikut :

“Barang siapa yang mendalilkan mempunyai sesuatu hak atau mengajukan sesuatu peristiwa (feit) untuk memperoleh haknya atau untuk membatalkan adanya hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.66

Seperti yang telah dikemukakan bahwa yang menjadi persoalan penting dalam proses perkara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materil atau kebenaran yang sesungguhnya. Sumber utama di dalam menemukan kebenaran materil tersebut ialah adanya pembuktian yang menghendaki agar semua alat bukti yang diperlukan guna mendapatkan suatu kebenaran yang sesungguhnya dapat ditampilkan sedemikian rupa di muka pengadilan agar supaya hakim dapat memperoleh gambaran secara jelas tentang adanya suatu tindak pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang No.8 tahun 1981 pada pasal 84 ayat 1 menyebutkan tentang alat-alat bukti yakni:

a. Keterangan saksi; Bandung, Cetakan Keduabelas, hal. 108

66

(3)

20

Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang telah disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah sebagai berikut: 1. Keterangan saksi

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu mengacu kepada pemeriksaan saksi. Setidaknya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.67

Untuk menilai keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, keterangan tersebut harus saling berhubungan antara satu dengan yang lain, sehingga dapat membentuk keterangan yang menerangkan dan membenarkan atas adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dalam menilai dan mengkonstruksi kebenaran keterangan dari saksi hakim harus dituntut kewaspadaanya. Dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP disebutkan bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan :

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

67

(4)

21

Kekuatan pembuktian dari keterangan saksi dapat dijelaskan sebagai berikut:68

a. Bahwa keterangan saksi tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya.

b. Bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dibantah oleh terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi yang meringankan maupun dengan keterangan ahli atau alibi.

2. Keterangan ahli

Dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Menempatkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaruan hukum. Mungkin pembuat undang-undang menyadari dan sudah tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa pada saat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin berkembang pesat saat ini, keterangan ahli memiliki dan memegang peranan dalam penyelesaian kasus pidana. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap metode kejahatan, yang memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian.69

68

Subekti. 1995. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 79.

69

(5)

22

Mengenai nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli, pada prinsipnya adalah tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Jadi nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah sama dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Sehingga nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli adalah:70

a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian ”bebas” atau ”vrij bewijskracht”. Tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Halim mempunyai kebebasan untuk menilainya.

b. Bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Jadi apabila keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa, maka harus disertai lagi dengan alat bukti yang lain.

Keterangan ahli sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut pokok perkara pidana yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang masih kurang jelas tentang hal atau suatu keadaan.

3. Surat

Dalam Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah :

a. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan. b. Surat yang dikuatkan dengan sumpah.

70

(6)

23

Dalam Pasal tersebut telah diperinci secara luas mengenai surat-surat yang dapat dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti71

a. ”Berita acara” dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, dengan syarat, isi berita acara dan surat resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang itu harus berisi:

:

1) Memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialami pejabat itu sendiri.

2) Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Jadi, surat yang termasuk alat bukti surat yang disebutkan di sini adalah ”surat resmi” yang dibuat ”pejabat umum” yang berwenang untuk membuatnya, tetapi agar surat resmi yang bersangkutan dapat bernilai sebagai alat bukti dalam perkara pidana, surat resmi itu harus memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh si pejabat, serta menjelaskan dengan tegas alasan keterangan yang dibuatnya. b. Surat yang berbentuk ”menurut ketentuan perundang-undangan” atau surat

yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya, dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu kejadian.

c. Surat ”keterangan dari seorang ahli” yang memuat pendapat berdasar keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

71

(7)

24

d. ”Surat lain” yang dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Mengenai hal ini lebih tepat apabila disebut sebagai alat bukti petunjuk.

Mengenai nilai kekuatan pembuktian pada alat bukti surat. Dalam Pasal 187 huruf a dan b KUHAP, surat dinilai sebagai alat bukti yang ”sempurna”, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang ”mengikat” bagi hakim. Sepanjang hal itu tidak dilumpuhkan dengan ”bukti lawan”.

Oleh karena alat bukti surat resmi atau otentik merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat (volledig en beslissende bewijskracht), hakim tidak bebas lagi untuk menilainya, dan terikat kepada pembuktian surat tersebut dalam mengambil putusan perkara perdata yang bersangkutan. Demikian secara ringkas gambaran dari kekuatan pembuktian surat resmi atau otentik yang diatur dalam hukum acara perdata.

Untuk menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat dalam hukum acara pidana seperti yang telah diatur dalam KUHAP. Maka dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkannya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP.72

a) Ditinjau dari segi formal

Alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti ”sempurna”. Karena, bentuk surat-surat yang disebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya, serta

72Ibid

(8)

25

dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan, maka ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti yang bernilai ”sempurna”. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai nilai ”pembuktian formal yang sempurna”. b) Ditinjau dari segi materiil

Dari sudut materiil, semua alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187, ”bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”. Pada alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan ala bukti keterangan ahli, yaitu sama-sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat ”bebas”. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 huruf a, b dan c, sifat kesempurnaan formal tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat.

Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya. Hakim dapat mempergunakan atau menyingkirkannya. Dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat tersebut berdasarkan pada beberapa asas, antara lain : (1) Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran

(9)

26

”dapat” disingkirkan demi untuk mencari kebenaran materiil. Kebenaran dan kesempurnaan formal harus mengalah berhadapan dengan kebenaran sejati.

(2) Asas keyakinan hakim, asas ini terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yang menganut ajaran sistem pembuktian ”menurut undang-undang secara negatif”. Berdasarkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahannya telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim ”yakin”, terdakwalah yang bersalah melakukannya.

(3) Asas batas minimum pembuktian. Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat resmi (otentik) berbentuk surat yang dikeluarkan berdasar ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaan yang melekat pada alat bukti surat tidak mendukung untuk berdiri sendiri. Alat bukti surat masih tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lainnya.

(10)

27

bukti yang lain untuk memenuhi apa yang telah ditentukan oleh asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

4. Petunjuk73

Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.

Rumusan Pasal tersebut, agak sulit ditangkap dengan mantap. Barangkali rumusan tersebut dapat dituangkan dengan cara menambah beberapa kata ke dalamnya. Dengan penambahan kata-kata itu dapat disusun dalam kalimat berikut: Petunjuk ialah suatu "isyarat" yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan di mana isyarat itu mempunyai "persesuaian" antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut "melahirkan" atau "mewujudkan" suatu petunjuk yang "membentuk kenyataan" terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.

Dalam Pasal 188 ayat (2) "membatasi" kewenangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk. Hakim tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk dari segala sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara "limitatif" ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2). Menurut Pasal 188 ayat (2), petunjuk hanya dapat diperoleh dari:

73

(11)

28 a. Keterangan saksi,

b. Surat,

c. Keterangan terdakwa.

Petunjuk sebagai alat bukti, baru mungkin dicari dan ditemukan jika telah ada alat bukti yang lain. Persidangan pengadilan tidak mungkin terus melompat mencari dan memeriksa alat bukti petunjuk, sebelum sidang pengadilan memeriksa alat bukti yang lain, sebab petunjuk sebagai alat bukti, bukan alat bukti yang memiliki bentuk "substansi tersendiri". Dia tidak mempunyai "wadah" sendiri jika dibandingkan dengan alat bukti yang lain. Alat bukti keterangan saksi misalnya, jelas mempunyai bentuk objektif atau wadah sendiri, yaitu orang yang memberikan keterangan itu. Demikian juga alat bukti surat. Mempunyai bentuk wadah sendiri yakni surat yang bersangkutan. Tidak demikian halnya dengan alat bukti petunjuk. Dia tidak mempunyai bentuk wadah sendiri. Bentuknya sebagai alat bukti adalah "asessor" (tergantung) pada alat bukti keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagai sumber yang dapat melahirkannya, dan hanya boleh diambil dan diperoleh dari ketiga alat bukti yang lain tersebut. Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada diperiksa dalam persidangan pengadilan, dengan sendirinya tidak akan pernah ada alat bukti petunjuk.

(12)

29

a) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian.

b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.

5. Keterangan terdakwa74

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1). Penempatannya pada urutan terakhir ini merupakan salah satu alasan yang digunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.

Dalam Pasal 189 ayat (1) menjelaskan tentang pengertian dari alat bukti keterangan terdakwa. Pasal ini menjelaskan bahwa keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.

2. Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik Dalam Undang-Undang RI No.11 tahun 2008

Menurut Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic

74

(13)

30

mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.75

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diatur mengenai apa saja kriteria tentang alat bukti elektronik. Di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut telah jelas menyebutkan dan mendefinisikan mengenai alat-alat bukti elektronik. Walaupun masih belum semuanya diatur mengenai perumusan-perumusan tentang alat bukti elektronik, akan tetapi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut merupakan payung hukum bagi penegakan Cyber Law di Indonesia.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut dijelaskan mengenai penggunaan alat bukti elektronik yang dapat digunakan sebagai bukti dalam persidangan. Dalam pasal tersebut dinyatakan sebagai berikut :

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

75

(14)

31

3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a) surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Perumusan pasal tersebut merupakan sebuah regulasi yang setidaknya Indonesia. Di Indonesia sendiri tindak pidana cyber crime itu banyak sekali dapat menjadi payung hukum terhadap tindak pidana cyber crime yang ada, antara lain:76

1. Unauthorized Access to Computer System and Service (akses yang tidak berkepentingan/tidak sah ke sistem komputer dan sistem pelayanan). Kejahatan ini dilakukan dengan memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa ijin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik jaringan komputer yang dimasukinya. Motifnya bisa bermacam-macam, antara lain adalah sabotase, pencurian data dan sebagainya. Sebagai contoh adalah pada tahun 2004, website milik Komisi Pemilihan Umum dirusak oleh seorang hacker.

76

(15)

32

2. Illegal Contents (muatan tidak sah). Kejahatan ini dilakukan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Contohnya adalah pornografi, pemuatan berita bohong, agitasi termasuk juga delik politik dapat dimasukkan dalam kategori ini bila menggunakan media ruang maya (cyber).

3. Data Forgery (pemalsuan data). Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet.

4. Cyber Espionage (mata-mata). Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen atau datanya tersimpan dalam suatu sistem yang computeraized. 5. Cyber Sabotage and Extortion (sabotase dan pemerasan). Kejahatan ini

dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung ke internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu virus, trojan, atau backdoor, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.

(16)

33

7. Infringements of Piracy (pelanggaran pembajakan). Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan secara computeraized. Yang apabila diketahui orang lain maka dapat merugikan korban secara materiil maupun immaterial, seperti nomor PIN (personal identity number) ATM, nomor kartu kredit dan sebagainya.

Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menyatakan bahwa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”. Apa yang dimaksud dengan informasi elektronik tersebut adalah sebagai berikut :

Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

(17)

34

Pengertian dokumen elektronik itu telah dijelaskan dengan jelas pada Pasal 1 angka 4, yang menjelaskan bahwa dokumen elektronik adalah sebagai berikut :

Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Akan tetapi, tidak sembarang informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:77

1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;

2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

77

(18)

35

3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan 5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

B. Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber crime)

Kejahatan mayantara (Cyber crime) merupakan bentuk kejahatan yang relatif baru apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kejahatan lain yang sifatnya konvensional (street crime). Cyber crime muncul bersamaan dengan lahirnya revolusi teknologi informasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Ronni R. Nitibaskara bahwa : Interaksi sosial yang meminimalisir kehadiran secara fisik, merupakan ciri lain revolusi teknologi informasi. Dengan interaksi semacam ini, penyimpangan hubungan sosial yang berupa kejahatan (cyber), akan menyesuaikan bentuknya dengan karakter baru tersebut”.78

Beberapa literatur sering mengidentikkan cyber crime sebagai computer crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian Computer Crime

sebagai: "… any illegal act requiring knowledge of Computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution".79

78

Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, 2001. Ketika Kejahatan Berdaulat: Sebuah

Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban, Jakarta, hal. 38.

Pengertian lainnya diberikan oleh

79

(19)

36

Organization of European Community Development, yaitu: "any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the

transmission of data". Kejahatan komputer dapat diartikan juga sebagai tindak pidana apa saja yang dilakukan dengan memakai komputer (hardware dan

software) sebagai sarana/alat atau komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain, atau tindakan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih.80 Andi Hamzah dalam bukunya Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer (1989) mengartikan cyber crime sebagai: “kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal.” Sedangkan menurut Eoghan Casey “Cyber crime is used throughout this text to refer to any crime that involves computer and networks, including crimes

that do not rely heavily on computer“.81

Kejahatan mayantara (cyber crime) dapat diartikan sebagai kegiatan ilegal dengan perantara komputer yang dapat dilakukan melalui jaringan elektronik global. Perbedaannya dengan kejahatan konvensional dapat dilihat dari kemampuan serbaguna yang ditampilkan akibat perkembangan informasi dan teknologi komunikasi yang semakin canggih. Sebagai contoh, komunikasi yang melalui internet membuat pelaku kejahatan lebih mudah beraksi melewati batas wilayah Negara untuk melakukan kejahatannya tersebut. Internet juga membuat kejahatan semakin terorganisir dengan tersedianya teknik yang semakin canggih

80

Eddy Djunaedi Kartasudirdja, ibid.

81

(20)

37

guna mendukung dan mengembangkan jaringan untuk perdagangan obat, pencucian uang, perdagangan senjata ilegal, penyelundupan dan lain-lain. Bagi para hacker keadaan ini memberikan ruang yang cukup luas untuk mengaplikasikan keahlian komputer yang dimilikinya.82

Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-10 mengenai Pencegahan kejahatan dan penanganan Pelaku Tindak Pidana, yang membahas isu mengenai kejahatan yang berhubungan dengan jaringan komputer, membagi cyber crime

dalam arti luas. Cyber crime menjadi dua kategori yaitu cyber crime dalam arti sempit dan cyber crime dalam arti luas. Cyber crime dalam arti sempit (kejahatan komputer: computer crime) adalah setiap perilaku ilegal yang ditunjukkan dengan sengaja pada operasi elektronik yang menargetkan sistem keamanan komputer dan data yang diproses oleh sistem komputer tersebut. Cyber crime dalam arti luas (kejahatan yang berkaitan dengan komputer: adalah setiap perilaku ilegal yang dilakukan dengan maksud atau berhubungan dengan sistem komputer atau jaringan, termasuk kejahatan pemilikan, penawaran atau distribusi dari komputer sistem atau jaringan. Tentu saja definisi ini sangat kompleks. Perbuatan yang dianggap ilegal di suatu negara belum tentu dianggap ilegal di negara lain.83

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya istilah cyber crime berbeda-beda, ada yang menggunakan istilah kejahatan komputer, kejahatan mayantara dan lain-lain. Sedikitnya terdapat dua kelompok para ahli yang memberikan pendapat mengenai istilah ataupun definisi mengenai kejahatan komputer, kejahatan yang

82

Steven Furnell, 2002. Cyber crime Vandalizing The Information Society. United States of America: Pearson Education Limited, hal. 3.

83

(21)

38

berkaitan erat dengan komputer, atau penyalahgunaan komputer. Ada yang memandang kejahatan komputer dalam arti sempit, yakni kejahatan yang perlu menggunakan keahlian khusus pada komputer atau jaringan. Ada pula yang mengartikan dalam arti luas yaitu semua kejahatan yang berhubungan dengan komputer.

a. Pengertian Cyber crime dalam Arti Luas

Ada beberapa pengertian kejahatan komputer oleh berbagai ahli sebagaimana dikutip dalam (Kartasudirja, 1999). Menurut Comer, cyber crime

adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan itikad buruk untuk tujuan keuangan yang melibatkan komputer. Menurut Mandel mendefinisikan pengertian cyber crime meliputi : penggunaan komputer untuk tujuan melaksanakan perbuatan penipuan, pencurian atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan atau pelayanan; ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat keras atau lunak, sabotase dan pemerasan. Kemudian menurut Kespersen, cyber crime adalah setiap perbuatan melawan hukum yang secara langsung mengganggu proses program komputer yang telah dirancang. Sedangkan Ulrich Sieber mendefinisikan kejahatan komputer menjadi; penipuan dengan memanipulasi komputer; mata-mata dengan komputer dan pembajakan perangkat lunak; sabotase komputer, pencurian data, memasuki Dual Processor System (DP system) tanpa otoritas dan hacking dan komputer sebagai alat untuk melakukan kejahatan.84

84

(22)

39 Menurut Kartasudirja (1999)85

2. Pengertian Cyber crime dalam Arti Sempit

, dalam pengertian luas, cyber crime adalah tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan dengan memakai komputer (hardware

dan software) sebagai sarana atau alat, komputer sebagai objek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan pihak lain.

Para ahli yang menganut pandangan yang sempit memberikan pengertian atau definisi kejahatan komputer sebagai tindak pidana yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi canggih, tanpa penguasaan ilmu mana tindak pidana tidak mungkin dapat dilaksanakan. (…any illegal act for which knowledge of computer technology is essential for its perpetration).86

Pakar hukum komputer, Don Parker dan Nycum, memberikan pengertian kejahatan komputer dalam arti sempit yaitu setiap perbuatan hukum yang menjadikan pengetahuan khusus mengenai teknologi komputer sangat penting untuk pelaksanaan, penyidikan dan penuntutan. Menurut Kartasudirja, dalam pengertian sempit, cyber crime adalah tindak pidana yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer yang canggih.87

3. Karakteristik Cyber crime

Ada beberapa karakteristik yang membedakan cyber crime dengan tindak pidana konvensional. Karakteristik cyber crime dibandingkan tindak pidana lain menurut Nitibaskara88

(23)

40 1. Penggunaan TI dalam modus operandi;

2. Korban cyber crime dapat menimpa siapa saja mulai dari perseorangan sampai negara;

3. Cyber crime bersifat non violence (tanpa kekerasan);

4. Karena tidak kasat mata maka fear of crime (ketakutan atas kejahatan) tidak mudah timbul.

Cyber crime berbeda dengan kejahatan komputer lainnya. Hal ini mempengaruhi dengan adanya kecepatan cyberspace sehingga terjadi perubahan mendasar mengenai kejahatan ini. Pertama, karena kecanggihan cyberspace, kejahatan dapat dilakukan dengan cepat bahkan dalam hitungan detik. Kedua,

karena cyberspace yang tidak terlihat secara fisik maka interaksi baik individu maupun kelompok terjadi sehingga pemikiran yang dianggap ilegal di luar dunia

cyber dapat disebarkan ke masyarakat melalui dunia cyber. Ketiga, karena dunia

cyber yang universal memberikan kebebasan bagi seseorang mempublikasikan idenya termasuk yang ilegal seperti muncul bentuk kejahatan baru seperti

cyberterrorism. Keempat, karena cyberspace tidak dalam bentuk fisik maka konsep hukum yang digunakan menjadi kabur. Misalnya konsep batas wilayah Negara dalam sistem penegakan hukum suatu negara menjadi berkurang karena keberadaan dunia cyber dimana setiap orang dapat berinteraksi dari berbagi tempat di dunia.89

Keberadaan dunia cyber, sekarang ini menjadi urusan dunia internasional bukan domestik suatu negara lagi. Karena pengaruh yang ditimbulkan dapat

89

(24)

41

menimpa siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Sebagai contoh yang dikemukakan Schmidt adalah penyebaran virus “I love you” pada tahun 2000 yang meluas di luar perkiraan sebelumnya. Virus ini adalah salah satu virus pertama yang menjangkiti kurang lebih 45 sistem jaringan di dunia dan membuat kerugian sekitar 10 milyar dollar US. Setelah diselidiki, pelakunya adalah seorang mahasiswa suatu universitas komputer di Filipina yaitu Onel de Guzman yang beralasan itu semua dilakukan dalam rangka proyek penelitian kampus. Karena pada tahun tersebut Filipina belum ada aturan yang mengatur hacking maka aparat penegak hukum membatalkan semua tuduhan terhadapnya. 90

Hal ini menandakan bahwa cyber crime bersifat global dalam artian akibat yang ditimbulkan tidak terbatas dalam satu wilayah suatu negara saja. Dengan menggunakan teknologi komputer dan komunikasi, dalam hal ini jaringan komputer melalui media internet, cyber crime dapat dilakukan dalam berbagai tempat yang terpisah dengan korbannya. Bahkan, korban dan pelaku cyber crime

dapat berasal dari negara yang berbeda. Sehingga cyber crime sering kali bersifat

borderless (tanpa batas wilayah) bahkan transnasional (lintas batas negara). Di samping itu, cyber crime tidak meninggalkan jejak berupa catatan atau dokumen fisik dalam bentuk kertas (paperless), akan tetapi semua jejak hanya tersimpan dalam komputer jaringannya tersebut dalam bentuk data atau informasi digital (log files).91

90

R. Schmidt. 2006, Scence of the Cybercrime, United States of America: Syngress Publishing, hal. 123-124.

91Ibid

(25)

42

Dalam dunia maya, masalah keamanan merupakan suatu hal yang sangat penting. Tingginya tingkat kriminal dalam dunia internet/cyber dan lemahnya hukum dalam hal pengamanan dan penanganan kasus cyber crime ini, menyebabkan semakin maraknya kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam dunia

cyber tersebut. Ditambah lagi kecilnya kemungkinan ditangkapnya pelaku dan kemajuan teknologi yang mempermudah aksi mereka. Seseorang yang melakukan kejahatan jenis ini, terkadang tidak memiliki motif untuk meraup keuntungan ekonomis, tetapi juga karena unsur lain seperti tantangan, hobby dan bahkan membuktikan tingkat intelijen yang dimilikinya dan kebolehan teknis yang terlibat di dalamnya. Yang pada intinya, pelaku menggunakan kekreativitasnya untuk melakukan aksinya tersebut.92

Dibalik dari semua itu, tidak semua cyber crime dapat disebutkan sebagai tindak kejahatan dalam arti yang sesungguhnya. Dimana, cyber crime sebagai kejahatan yang murni kriminal seperti pencurian data, penipuan, penyebaran virus dan material bajakan dan lain sebagainya. Sedangkan cyber crime sebagai kejahatan abu-abu yaitu dalam hal pengintaian guna untuk mengumpulkan data dan informasi sebanyak-banyaknya demi kepentingan pengintaian, termasuk sistem pengintaian baik secara terbuka maupun tertutup. Kejahatan seperti ini disebut sebagai probing atau portscaning. Seperti layaknya dalam komunitas dunia internasional pada umumnya, kebebasan dalam penggunaan internet memerlukan suatu aturan yang jelas dan melindungi setiap penggunaannya dan menghindari kekacauan yang sangat mudah terjadi di dalam dunia cyber ini

92

(26)

43

dimana batasan territorial suatu negara beserta juridiksi hukumnya menjadi tidak jelas dan rancu. Dalam jaringan komputer seperti internet, masalah kriminalitas menjadi semakin kompleks karena ruang lingkupnya yang sangat luas. Cyber crime kini telah menjadi isu internasional, dimana tindak kejahatan ini sangat sulit untuk ditanggulangi hingga saat ini.

Aktivitas cyber crime dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, tidak hanya di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Yang patut diperhatikan dan dikhawatirkan adalah bahwa aktivitas cyber crime justru banyak terjadi dan berasal dari negara-negara berkembang seperti Ukraina, Pakistan dan Indonesia sendiri, yang tidak lain disebabkan karena hukum yang lemah dan kurangnya perhatian terhadap masalah ini di negara tersebut dalam mengatur penggunaan akses informasi global tersebut. Dalam hal ini cyber law dan cyber policy.93

C. Pengaturan Hukum Pidana Dalam Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Negara Indonesia telah membuat kebijakan yang berhubungan dengan hukum teknologi informasi (law of information technology) setelah diundangkannya Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tanggal 21 April 2008 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Produk hukum yang berkaitan dengan ruang siber (cyber space) atau mayantara ini dianggap oleh pemerintah perlu untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Kritik masyarakat baik

93

(27)

44

dari akademisi, aparat penegak hukum, para bloggers terutama hackers pada saat disahkannya UU ITE adalah hal yang wajar di era demokratisasi seperti saat ini. Karena dalam merumuskan peraturan hukum dewasa ini harus mempertimbangkan secara komprehensif beragam dimensi persoalan. Di sini orang akan mempersoalkan hak-hak warga seperti kebebasan berekspresi, kebebasan media, dan masalah-masalah HAM seperti : persoalan privasi, hak untuk memperoleh informasi, dan sebagainya yang saat ini sangat diperhatikan dalam legislasi positif nasional. Di sinilah relevansi persoalan hak dan kewajiban menjadi penting.

Penanggulangan kejahatan mayantara tidak terlepas dari kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah ”politik kriminal” menurut Sudarto politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.94

Oleh karena itu tujuan pembuatan UU ITE tidak terlepas dari tujuan politik kriminal yaitu sebagai upaya untuk kesejahteraan sosial dan untuk perlindungan masyarakat. Evaluasi terhadap kebijakan di dunia mayantara tetap diperlukan sekiranya ada kelemahan kebijakan hukum pidana dalam perundang-undangan tersebut.

Menurut Barda Nawawi Arief, evaluasi atau kajian ulang ini perlu dilakukan, karena ada keterkaitan erat antara kebijakan hukum pidana perundang-undangan dengan kebijakan penegakan hukum dan kebijakan pemberantasan/ penanggulangan kejahatan. Kelemahan kebijakan hukum pidana, akan

94

(28)

45

berpengaruh pada kebijakan penegakan hukum pidana dan kebijakan penanggulangan kejahatan.95

Perumusan tindak pidana dalam UU ITE selalu diawali dengan kata-kata ”setiap orang” yang menunjukkan kepada pengertian orang. Namun dalam Pasal 1 sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan ”orang” adalah orang, perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Penegasan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum juga terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia merupakan subjek tindak pidana UU ITE. Demikian pula dalam Bab XI tentang Dilihat dari perspektif hukum pidana maka kebijakan hukum pidana harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat dikatakan terjadi harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan hukum pidana berada di luar sistem hukum pidana yang berlaku saat ini.

C.1. Subjek Tindak Pidana dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Perumusan tindak pidana dalam UU ITE selalu diawali dengan kata-kata ”setiap orang” yang menunjukkan kepada pengertian orang. Namun dalam Pasal 1 sub 21 UU ITE ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan ”orang” adalah orang, perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Penegasan dalam pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum juga

95

Barda Nawawi Arief, 2007 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

(29)

46

terdapat dalam penjelasan Pasal 2 UU ITE yang menyatakan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia merupakan subjek tindak pidana UU ITE. Demikian pula dalam Bab XI tentang ketentuan pidana, dalam Pasal 52 ayat (4) yang mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian subjek tindak pidana (yang dapat dipidana) menurut UU ITE dapat berupa orang perorangan maupun korporasi.

Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi mengenai ketentuan terhadap kapan korporasi dikatakan telah melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan tidak diatur secara jelas dan khusus dalam UU ITE, tetapi Penjelasan Pasal 52 ayat (4) memberikan persyaratan terhadap subjek pertanggungjawaban korporasi untuk dikenakan sanksi pidana adalah yang dilakukan oleh korporasi dan/ atau oleh pengurus dan/ atau staf korporasi.

C.2. Perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Dalam UUITE ini disebutkan dalam BAB VII tentang perbuatan yang dilarang yang terdapat dalam pasal 27 sampai dengan pasal 37. Tetapi di dalam prakteknya, pasal demi pasal ini dianggap rancu oleh masyarakat. Karena pasal-pasal ini tidak menerangkan dengan pasti maksud dari penjelasan pasal tersebut.

Pasal 27

(30)

47

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian.

3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.

4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Pada ayat 1, dilarang untuk mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya suatu data (dalam hal ini data tersebut berbentuk informasi elektronik dan dokumen elektronik) yang memuat unsur-unsur asusila, definisinya pada pasal 1 UU ITE, yaitu :

1. Informasi Elektronik : merupakan satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),

(31)

48

2. Dokumen Elektronik : setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan, dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, dan sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi, yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.96

Sebenarnya pada ayat 1 ini terlihat jelas upaya negara untuk melindungi warga negaranya. Warga negara dapat terlindung dari suatu perbuatan yang menjadikan mereka sebagai korban yang misalnya mengedit suatu foto warga negara yang tidak tahu apa-apa menjadi foto seorang yang sedang melakukan tindakan asusila maupun melindungi warga negara dari suatu informasi elektronik yang mengandung tindakan asusila. Pada ayat 2, di sini juga terlihat upaya negara untuk melindungi warga negaranya dari bahaya tindakan penjudian online yang makin marak pada masa sekarang ini (karena teknologi semakin berkembang) serta untuk menekan laju perjudian online yang telah berkembang. Pada ayat 3, di sinilah mulai terjadi permasalahan. Pada ayat ini disebutkan tidak boleh mendistribusikan atau mentransmisikan data suatu informasi elektronik dan dokumen elektronik yang mengandung unsur pencemaran nama baik. Bagaimana kita tahu jika kita telah melakukan pencemaran nama baik, karena pencemaran

96

(32)

49

nama baik adalah salah satu hal yang diambil berdasar sudut pandang tertentu, Pada pasal 23 ayat 3 ini, sebenarnya sangat berhubungan dengan blogger dan orang yang seringkali mengikuti mailing list karena mereka biasanya memberitahukan suatu informasi dengan tujuan agar user/reader yang lain dapat mengambil suatu keputusan berdasarkan informasi yang diberikan oleh orang/blogger yang memposting informasi tersebut. Namun, ada kalanya informasi yang diberikan blogger (yang sebenarnya berharga untuk reader) dianggap sebagai salah satu cara untuk mencemarkan nama baik seseorang/organisasi tertentu. Mereka kadangkala menganggap hal ini sebagai pencemaran nama agar nama baik yang telah mereka bangun tidak cepat jatuh (meskipun kita tidak tahu, apakah ternyata informasi yang diberikan blogger

kepada reader sebenarnya adalah hal yang sebenarnya terjadi (sesuai fakta) atau tidak). Ayat ini juga dapat dipakai oleh seseorang/organisasi nakal karena tidak suka terhadap suatu orang/organisasi tertentu yang terus bersuara terhadap mereka dapat mereka kenakan ayat ini dengan alasan pencemaran nama baik. Pasal 27 ayat 3 ini terus menuai kontroversi, sehingga banyak orang yang menginginkan agar pasal ini mendapat judicial review.

Pasal 28

1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

(33)

50

dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal ini didasari oleh adanya First Additional Protocol to the Convention on Cyber crime concerning the criminalization of acts of racist and xenophobic

nature committed through computer system (2006), yang pada esensinya menghendaki jangan sampai ada penyebaran informasi yang bersifat menyebarkan rasa kebencian (hatred) ataupun permusuhan berdasarkan SARA melalui sistem komputer dan/atau internet.97

Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi

Pasal 30

1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun. 2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses

Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

97

(34)

51

Pasal 31

1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam surat Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah intersepsi secara tidak sah terhadap komputer, sistem, dan jaringan operasional komputer, hukuman: Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 31 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling Rp 800 juta (Pasal 47 UU ITE).98

98

(35)

52

Pasal 32

1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak. 3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya

Pasal ini merupakan kejahatan penyalahgunaan data (Data inference)

adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dimana orang atau kelompok tersebut mengubah atau menyalahgunakan data yang sudah ada menjadi berbeda.99

Pasal 33

Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 32 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 hingga 10 tahun dan/atau denda antara Rp miliar hingga Rp 5 miliar (Pasal 48 UU ITE).

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik

99

(36)

53

dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 33 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda Rp10 miliar rupiah. (Pasal 49 UU ITE).

Pasal 34

1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:

a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;

b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.

2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum.

(37)

54

Pasal 35

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pasal ini merupakan kejahatan perbuatan memanipulasi data sehingga menjadi data otentik. Hukuman setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 35 UU ITE, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda hingga Rp 12 miliar (Pasal 51 UU ITE)

Pasal 36

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

Pasal 37

Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

C.3. Perumusan Sanksi Pidana dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(38)

55

tertulis dalam Bab XI Pasal 45 sampai dengan Pasal 52, dengan rumusan sebagai berikut:

Pasal 45:

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29

dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 46 :

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).

(39)

56

Pasal 47:

- Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 48:

(1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(3) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 49:

- Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 50:

(40)

57

Pasal 51:

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 52:

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.

(41)

58

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.

Perumusan tindak pidana kedua subjek hukum yang diatur dalam satu pasal yang sama dengan satu ancaman pidana yang sama dalam UU ITE hendaknya dipisahkan karena pada hakikatnya subjek hukum ”orang” dan ”korporasi” berbeda baik dalam hal pertanggungjawaban pidana maupun terhadap ancaman pidana yang dikenakan.

Perumusan secara kumulatif dapat menimbulkan masalah karena dengan perumusan kumulatif kaku. Sanksi pidana dalam UU ITE adalah antara pidana penjara dan denda yang cukup besar, tetapi tidak ada dalam redaksi pasal-pasal dalam UU ITE yang mengatur apabila denda tidak dibayar. Ini berarti, berlaku ketentuan umum dalam KUHP (Pasal 30), bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 (enam) bulan atau dapat menjadi maksimum 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan.

(42)

59

C.4. Aturan Pemidanaan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Aturan pemidanaan terhadap penyertaan, percobaan, permufakatan jahat, perbarengan, pengulangan dan alasan peringanan tidak diatur dalam UU ITE, Karena tidak diaturnya penyertaan, percobaan dan peringanan tindak pidana berarti dalam hal ini berlaku ketentuan umum yakni Bab I sampai dengan Bab VIII dalam KUHP.

Sebagaimana dimaklumi, aturan pemidanaan dalam KUHP tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk “percobaan”, “permufakatan jahat”, “penyertaan”, “perbarengan” , dan “pengulangan” . Hanya saja di dalam KUHP, “permufakatan jahat” tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam Aturan Khusus (Buku II atau Buku III). Pasal 52 UU ITE membuat aturan dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri, yaitu:

Pasal 52:

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.

(43)

60

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing Pasal ditambah dua pertiga.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga.

Perumusan Pasal 52 UU ITE hanya mengatur pemberatan pidana yang khusus terhadap delik-delik tertentu dalam UU ITE tersebut, tetapi tidak mengatur pemberatan apabila terjadi pengulangan (residive). Mengacu kepada KUHP Bab.II Pasal 12 ayat (3) dalam aturan umum menyatakan: Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.

C.5. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(44)

61

Menurut Barda Nawawi Arief apabila korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam suatu undang-undang ini berarti, harus ada ketentuan khusus mengenai:100 a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana;

b. Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan; d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

Redaksi pasal-pasal dalam UU ITE (Pasal 1 sampai dengan Pasal 54) tidak mengatur kapan, siapa dan bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana, tetapi dalam penjelasan Pasal 52 (4) memberikan persyaratan/ kapasitas terhadap korporasi dan/atau oleh pengurus dan/atau staf melakukan tindak pidana, yaitu:

a. mewakili korporasi;

b. mengambil keputusan dalam korporasi;

c. melakukan pengawasan dan pengendalian dalam korporasi d. melakukan kegiatan demi keuntungan korporasi.

Penjelasan Pasal 52 ayat (4) di atas merupakan norma kapan, siapa dan bagaimana korporasi dapat dipertanggungjawabkan melakukan tindak pidana, seharusnya norma-norma tersebut tidak berada dalam ”penjelasan”, tetapi dirumuskan dalam perumusan pasal tersendiri, yaitu dalam aturan umum mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi.

Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan untuk korporasi menurut UU ITE adalah pidana pokok berupa penjara dan denda yang dirumuskan secara kumulatif

100

(45)

62

serta ada pemberatan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (4) yang isinya “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok

ditambah dua pertiga”.

Pemberatan pidana terhadap korporasi dalam UU ITE yakni penjatuhan denda ditambah dua pertiga tidak memiliki aturan yang khusus, terutama mengenai pidana pengganti untuk denda yang tidak dibayar. Ini berarti dikenakan ketentuan umum KUHP (Pasal 30), yaitu denda kurungan pengganti denda (maksimal 6 bulan, yang dapat menjadi 8 bulan apabila ada pemberatan pidana). Hal ini menjadi masalah, apabila diterapkan terhadap korporasi, karena tidak mungkin korporasi menjalani pidana penjara/kurungan pengganti.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang akan peneliti lakukan fokus pada strategi Snowball Throwing dalam kegiatan pembelajaran, sehingga para siswa tidak merasa jenuh dengan apa yang disampaikan

Dimana melalui kajian kitab kuning, pondok pesantren berperan dalam. membina

Dari hasil pelaksanaan tindakan kelas, dengan menggunakan media pembelajaran Audio Visual telah nampak adanya peningkatan minat belajar siswa terhadap materi

1) Kop surat nama instansi adalah kepala surat yang menunjukkan nama instansi yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan alamat Badan Nasional Penanggulangan

Skematik rangkaian elektronika pembangun sistem alat ukur suhu dan kelembaban relatif digital berbasis digital dengan data tersimpan ini dapat dilihat pada Lampiran

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa didapatkan koefisien regresi untuk variabel pengalaman berusahatani adalah 0,033 Nilai t hitung dari variabel pengalaman

Tingkat kontrol RMKL dan RMKP pada pengembalian dana bantuan pinjaman kredit mikro, seperti pada tingkat kontrol RMKL dan RMKP pada dana BLM untuk bantuan fisik dan bantuan

Implementasi Pasal 3 Peraturan Walikota Kediri Nomor 26 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Restoran terkait penerapan self assessment system