• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Hukum atas Kedaulatan Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konstruksi Hukum atas Kedaulatan Negara"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Konstruksi H Analisis Undang tentang Informas

Dipertahankan di

Tesis ini telah dit

HALAMAN PENGESAHAN

i Hukum atas Kedaulatan Negara di Ruang ng-Undang Republik Indonesia Nomor 11 T asi dan Transaksi Elektronik dalam Perspe

Internasional

Disusun oleh

Ahmad Porwo Edi Atmaja, S.H.

NIM 11010112420131

di hadapan Dewan Penguji pada tanggal 30 2013.

diterima sebagai persyaratan untuk mempe Magister Ilmu Hukum

ng-maya 1 Tahun 2008

pektif Hukum

30 September

(3)

Pada melati dalam pot itu, ia seperti merasakan semacam riwayat yang panjang, dari tempat yang jauh, seperti sebuah pengertian yang menjelma.

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Tesis ini merupakan kelanjutan dari skripsi penulis yang berjudul “Kebebasan Mengakses Internet sebagai Hak Asasi Manusia: Telaah Hukum Internasional atas Pembatasan Akses Internet di Indonesia”. Sebagaimana skripsi, dalam tesis ini penulis juga berutang kasih kepada:

1. Prof. Sudharto P. Hadi, M.E.S, Ph.D., selaku Rektor Universitas Diponegoro.

2. Ibu Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Pascasarjana

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

3. Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. dan Prof. Dr. Lazarus Tri Setyawanta,

S.H., M.Hum., selaku dosen penguji.

4. Bapak Dr. Agus Pramono, S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing.

5. Bapak dan ibu penulis, Jami’an, B.Sc. dan Echwatun Hidayati.

6. Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum. dan Ibu Elfia Farida, S.H., M.Hum., selaku

dosen pembimbing skripsi.

7. Pengajar dan karyawan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

8. Pengelola Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

9. Pengelola portal-web http://library.nu (almarhum), http://oapen.org,

http://library-genesis.com, http://en.bookfi.org, dan http://libgen.org.

10. Kaum Tjipian: James Marihot Panggabean, Diandra Preludio R., Benny

Prasetyo, Unu Herlambang, Benny Karya Limantara, Syandi Rama Sabekti,

Alfajrin A. Titaheluw, Rian Adhivira Prabowo, Nindi Achid Arifki, Rahmad

Syahroni Rambe, Lilik Haryadi, Rahmat Z. Hakim, Awaludin Marwan,

Syukron Salam, Muhtar Said, dan Eko Mukminto.

11. Teman-teman Beasiswa Unggulan Program Fast Track Generasi Pertama:

Sigit Pandu Wicaksono, Rr. Hapsari Tunjung Sekartaji, Rosalia Agustin

(6)

Wulandari, Nurmansyah Dwi Surya, Oly Viana Agustine, Azza Azka N.,

Fanny Agustya N., Fika Mafda M., Nindya Dhisa, Wayan Dinar Purba, Aditria

Langlang Buana, Alcadini Wijayanti, Oci Senjaya, Taufiq Kurniawan, Realino

Deo S., Rizqi Budi Sutrisno, Rizki Trianggara, Friendy Hadi I., Nenklia Senja

C.R.M., dan Fetty Herawati.

12. Teman-teman LPM Gema Keadilan: Lilik Haryadi, Unu Putra Herlambang,

Ratna Kusuma Dewi, Satria W. Respati, Rahmawati, Fani Singgih Suprobo,

Febry Arisandi, Umri Wulandari, Tantri Diantari, Devid Adi Surya, Rambu

A.A. Kapita, Nurmansyah Dwi Surya, Chikita K. Putri, dan Maulana

Hariyudha (2008); Arief Fardimal (2005); Ibnu Dwi Cahyo, Juniyus Alif F.,

Prasetyo Nuryanto, dan Joko Supriyanto (2006); M. Nirwan Farbianto, Mitra

Tarigan, Muhammad Arifin Ngade, Romi Setiawan, Rr. Widiastuti, Riya Ully

Sirait, Putri Artika R., Imam Maulana, Nasrun Slamet Supriyadi, dan Sabrina

Pusparini (2007); Agustin Tri Setyani, Fuad Fahmi, Galang Taufani, Dwi

Anisya, Khairunnisa, Dian Aulia, Dian Putri Pratama, Didiek P.U., Surya Z.

Ibrahim, Dimas Prasojo, Andrew Thel Aviv A., Rr. Putri Arsiwi N., Arif Setia

S., Dicky Wicaksono, Rezadaya A.P., Abdul Hakim N., Soni T.J., M. Fahmi

Setiadin, Fajar Pambudi, Novita Andriani, dan Setya Indra Arifin (2009);

Mertha Hapsari, Jehan Nurul A., Dimas Adi N., Fitri Rahmawati, Irfan

Khaizan, dan Farrach Erningrum (2010).

13. Teman-teman “nemu ing dalan”: Junaidi Abdul Munif, Fajar Kurnianto, M.

Nafiul Haris, Musyafak, M. Al Mustafad, M. Nasrudin, Slamat P. Sinambela,

dan Surahmat.

14. Mahaguru teknologi: Bayu Dwi Nugroho alias Masnung.

15. Teman-teman Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Sebagai perwakilan: Binshar Mulyono dan Sarwono Nugroho Putra.

Mohon maaf dan terimakasih.

Semarang, 2 September 2013 Tabik,

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Dengan ini saya, Ahmad Porwo Edi Atmaja, S.H., menyatakan bahwa karya ilmiah/tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan karya ilmiah/tesis ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) maupun Magister (S2) dari Universitas Diponegoro maupun perguruan tinggi lain.

Semua informasi yang dimuat dalam karya ilmiah/tesis ini yang berasal dari penulis lain, baik yang dipublikasikan maupun tidak, telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis secara benar dan semua isi dari karya ilmiah/tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.

Semarang, 10 September 2013

Penulis,

Ahmad Porwo Edi Atmaja

(8)

ABSTRAK

Dalam nomenklatur hukum internasional, kedaulatan negara adalah gagasan yang penting. Sejak ditemukannya internet sebagai produk teknologi informasi yang berkembang di era globalisasi, dimensi kedaulatan negara meluas dengan dikenalnya rezim hukum baru bernama ruang-maya. Negara dengan konstruksi hukumnya pun berupaya menegakkan kedaulatan di ruang-maya. Di Indonesia, hal itu tampak dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penelitian ini ingin mengkaji dua masalah, yaitu (1) reinterpretasi atas gagasan kedaulatan negara dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet, dan (2) konstruksi hukum atas kedaulatan negara di ruang-maya menurut UU ITE.

Kedua masalah tersebut dikaji dengan bertolak pada pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum dan pemikiran Martin Heidegger tentang teknologi. Dengan menggunakan pendekatan hukum doktrinal yang interdisipliner dan berspesifikasi pada penelitian eksplanatoris, penelitian ini dioperasionalkan melalui studi kepustakaan atas data sekunder dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa globalisasi kontemporer adalah dasar bagi perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat yang kemudian melahirkan internet. Kejatuhan Uni Soviet di pengujung abad keduapuluh memosisikan liberalisme sebagai ideologi dominan dan Amerika Serikat sebagai negara adidaya satu-satunya di dunia. Amerika Serikat beserta sekutunya berupaya mendiseminasi liberalisme melalui sejumlah kerjasama internasional dalam rangka mewujudkan pasar bebas di seluruh dunia.

Internet memiliki arsitektur yang khas yang pada dasarnya tidak memungkinkan adanya regulasi negara. Namun, di Indonesia hukum dikonstruksikan untuk mengkriminalisasi pengguna internet. Dalam UU ITE, termaktub sejumlah pasal yang memungkinkan orang dijatuhi pidana melalui proses peradilan. Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan relasi yang harmonis antara negara dan masyarakat seyogianya diutamakan dalam rangka menegakkan kedaulatan negara di ruang-maya. Pandangan yang instrumental dan antropologis akan teknologi semestinya dihindari supaya esensi dari teknologi dapat lebih terpahami.

(9)

ABSTRACT

In the international law concepts, the state sovereignty is an important idea. Since invention of the internet as a product of information technology which was developed in globalization era, the state sovereignty expanded by recognition of the new law regime named cyberspace. State with its law construction also attempted to enforce its sovereignty in the cyberspace. In Indonesia, we can see it on prevailing of the Law of the Republic of Indonesia Number 11 of 2008 on Electronic Information and Electronic Transaction (UU ITE). This study want to research two problems, i.e. (1) reinterpretation of the state sovereignty idea in the context of globalization and information technology development, especially internet, and (2) law construction of the state sovereignty in the cyberspace according to UU ITE.

That problems would be researched based on Satjipto Rahardjo thoughts in law and Martin Heidegger thoughts in technology. By using doctrinal-interdisciplinary legal approach and explanatory research in spesification, this study focus on library research of secondary data that analysed by using qualitative data analysis.

Output of this study shown that contemporary globalization was a basis of information technology development which created the internet. The Soviet Union fall in the end of twentieth century made liberalism into a dominant ideology and the United States into an only superpower country in the world. The United States and its allies have tried to disseminate the liberalism through several international partnerships in order to create the free trade in the entire world.

The internet has an unique architecture that has no possibility for state regulation. However, in Indonesia law was constructed to give a punishment for internet users. UU ITE contains of some articles that can punish someone through a judicial process. Out of court settlement with a harmonic relation between state and society should be prioritized in order to enforce state sovereignty in the cyberspace. Instrumental and anthropological views about technology must be avoided in order to the essence of technology could be perceivable.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

GLOSARIUM DAN SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

1. Tujuan Penelitian ... 13

2. Manfaat Penelitian ... 13

D. Kerangka Pemikiran ... 14

E. Metode Penelitian ... 21

1. Metode Pendekatan ... 23

2. Spesifikasi Penelitian ... 25

3. Jenis dan Sumber Data ... 26

(11)

5. Teknik Analisis Data ... 26

F. Sistematika Penulisan ... 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 29

A. Kedaulatan Negara: Sebuah Paradoks ... 29

B. Globalisasi dan Penguasaan Teknologi ... 36

C. Ruang-maya: Terminologi dan Selayang Pandang ... 47

D. Hukum Internet ... 60

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 66

A. Kedaulatan Negara di Ruang-maya ... 66

1. Peran Negara dalam Konteks Global: Reinterpretasi Gagasan Kedaulatan Negara ... 66

2. Arsitektur Internet dan Fungsi Regulasi Negara ... 79

3. Kerjasama Internasional dalam Rezim Hukum Baru ... 85

B. Konstruksi Hukum dalam UU ITE ... 92

1. Sejarah Ringkas Internet di Indonesia ... 92

2. Riwayat Perumusan UU ITE ... 97

3. Asas Yurisdiksi Ekstrateritorial tanpa Asas Keadilan ... 101

4. Relasi Negara dan Masyarakat ... 108

5. Pasal-pasal yang Kontroversial ... 112

C. Pengalaman Negara-negara ... 124

1. Malaysia ... 124

2. Singapura ... 132

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1Negara-negara dengan Jumlah Pengguna Internet Terbanyak .... 9

Tabel 2.2 Kronologi Perkembangan Internet ... 55

Tabel 3.3 Indikator Pengembangan “Ipteknet” ... 93

Tabel 3.4 Klasifikasi Tindak Pidana di Ruang-maya ... 116

Tabel 3.5 Relevansi Muatan UU ITE dengan KUHP ... 122

Tabel 3.6 Kebebasan Internet di Malaysia ... 125

(14)

GLOSARIUM DAN SINGKATAN

ASEAN: Association of Southeast Asia Nations.

APEC: Asia-Pasific Economic Cooperation.

APNIC: Asia Pacific Network Information Centre. Organisasi berbasis keanggotaan dan pusat pendaftaran internet untuk kawasan Asia Pasifik. APNIC menyediakan alokasi sumber daya dan layanan registrasi yang mendukung operasi internet global. Anggotanya termasuk penyelenggara jasa internet dan organisasi serupa.

ARIN: American Registry for Internet Numbers. Organisasi berbasis keanggotaan dan pusat pendaftaran internet (Regional Internet Registry, RIR) untuk Kanada, Kepulauan Karibia dan Atlantik Utara, dan Amerika Serikat. ARIN menyediakan alokasi sumber daya dan layanan registrasi yang mendukung operasi internet global. Anggotanya termasuk penyelenggara jasa internet dan organisasi serupa.

ARPA: Advanced Research Projects Agency.

Bandwidth: ukuran sumber komunikasi data yang terpakai, yang dinyatakan dalam bits/second, kilobits/s, megabits/s, dan sebagainya.

(15)

Blog (weblog): situs-web pribadi yang memuat beragam konten, seperti tulisan, gambar, suara, dan video.

CERN: Organization Europenne pour la Recherche Nuclaire. Laboratorium Eropa untuk Penelitian Fisika Partikel.

DARPA: Defense Advanced Research Projects Agency. Lembaga riset di bawah naungan Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang mula-mula mengembangkan teknologi internet.

Daring: dalam jaringan. Terjemahan dari online (on the line).

GATT: General Agreement on Tariffs and Trade.

Hosting (web-hosting): layanan penyewaan ruang simpan data (space) yang digunakan untuk menyimpan data situs-web agar laman tersebut bisa diakses dari mana saja. Data web tersebut meliputi file-file HTML, PHP script, CGI script, CSS, image, database, dan file lain yang dibutuhkan untuk menampilkan laman. Selain menyimpan file-file tersebut, biasanya web-hosting juga memberikan fasilitas surat elektronik.

HTTP: hypertext transfer protocol. Protokol yang didesain untuk mentransmisikan informasi yang ditemukan dalam laman.

IANA: Internet Assigned Numbers Authority.

(16)

IMF: International Monetary Fund.

IMP: interface message processors.

INWG: International Network Working Group.

ITO: International Trade Organization.

ITU: International Telecommunications Union.

Jaring: Joint Advanced Integrated Networking.

Laman (webpage, disebut juga dengan halaman): berkas yang ditulis sebagai berkas teks biasa (plain text) yang diatur dan dikombinasikan sedemikian rupa dengan instruksi-instruksi berbasis HTML, atau XHTML, kadang-kadang pula disisipi dengan sekelumit bahasa skrip. Berkas tersebut kemudian diterjemahkan oleh peramban dan ditampilkan seperti laiknya sebuah halaman pada monitor komputer.

MCMC: Malaysian Communications and Multimedia Commission.

MDA: Media Development Authority.

Mimos: Malaysian Institute of Microelectronic Systems. Sekarang Mimos Berhad.

MYNIC: Malaysian Network Information Centre.

(17)

server di jaringan komputer ataupun internet. Nama domain berfungsi untuk mempermudah pengguna internet pada saat melakukan akses ke server, selain juga dipakai untuk mengingat nama server yang dikunjungi tanpa harus mengenal deretan angka yang rumit yang dikenal sebagai alamat IP. Nama domain ini juga dikenal sebagai sebuah kesatuan dari sebuah situs-web, misalnya http://sastrakelabu.wordpress.com. Nama domain kadang-kadang disebut pula dengan istilah URL (uniform resource locator).

Narablog (blogger): pengguna blog.

NASA: National Aeronautics and Space Administration.

NATO: North Atlantic Treaty Organization.

Node: Titik-jaringan.

OECD: Organisation for Economic Cooperation and Development.

PBB: Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebutan lain untuk The United Nations.

(18)

Peramban (web-browser): perangkat-lunak (software) yang digunakan untuk mengakses internet dan meramban situs-web di ruang-maya.

Perangkat-lunak (software): program aplikasi komputer.

POP (post office protocol): protokol yang digunakan untuk mengambil surat elektronik (e-mail) dari server surat elektronik.

RAND: Project Research and Development.

Rangkom: Rangkaian Komputer Malaysia.

Situs-web (website): kumpulan dari laman. Disebut juga portal-web.

Spam: surat elektronik yang mengganggu, tidak penting, biasanya berupa iklan atau tawaran komersial yang tak diharapkan.

SRI (Stanford Research Institute): organisasi nirlaba independen yang bergerak di bidang teknologi. Bukan bagian dari Universitas Stanford, tetapi letaknya berdekatan.

STAID: Science and Technology for Industrial Development.

Tautan (link, hyperlink): URL yang apabila diklik akan menyambung ke laman tertentu.

(19)

Teknologi nirkabel (wireless technology): teknologi yang mampu menghubungkan dua peranti untuk bertukar data atau suara tanpa menggunakan media kabel. Data dipertukarkan melalui media gelombang cahaya tertentu (seperti teknologi inframerah pada remote televisi) atau gelombang radio (seperti bluetooth pada komputer dan ponsel) dengan frekuensi tertentu.

UCLA: Universitas California, Los Angeles.

Uncitral: United Nations Commissions on International Trade Law.

Warnet (warung internet, cybercafé): tempat khusus yang menyediakan jasa komersial untuk mengakses internet secara individual.

WTO: World Trade Organization.

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam nomenklatur hukum internasional, kedaulatan negara menjadi diktum primer yang demikian penting. Tiap-tiap negara di dunia diakui eksistensinya berkat kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Jika dikatakan bahwa suatu negara berdaulat, maka yang dimaksud adalah bahwa negara tersebut mempunyai suatu kekuasaan tertinggi terhadap wilayah1 tertentu. Kekuasaan tertinggi terhadap wilayah tertentu sebangun dengan kewenangan negara untuk menerapkan hukum di wilayah tertentu yang dikuasainya, yang disebut sebagai yurisdiksi.

Sejak kelahiran negara modern (modern state) pada abad keenambelas dan ketujuhbelas di Eropa, kedaulatan negara terus-menerus diperteguh. Perang bermotif politik dan keagamaan kerap mewarnai wilayah yang menjadi pusat peradaban Barat tersebut. Susunan organisasi “negara” dan wilayahnya di masa itu belumlah jelas karena negara-negara sejatinya adalah negara semu yang tidak memiliki

1

Wilayah dimaknai sebagai daerah yang memiliki batas-batas tertentu. Pengertian tersebut hampir serupa dengan pengertian “ruang”, yakni rongga yang berbatas atau terlingkung oleh bidang. Namun, “ruang” juga memiliki pengertian lain yang kontradiktif dengan pengertian itu, yakni rongga yang tidak berbatas, tempat segala yang ada. Lih. Ebta Setiawan, KBBI Offline Versi 1.3 (2011). Data dalam perangkat-lunak ini diambil dari

(21)

kedaulatan penuh, melainkan bernaung pada kedaulatan Imperium Romawi.2 Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 menandai otonomi negara atas “negara induk” Imperium Romawi. Saat itulah negara-negara modern yang berdaulat mulai terbentuk. Puncak dari narasi historis kedaulatan negara tersebut adalah pada penyelenggaraan Konferensi Internasional Ketujuh Negara-negara Amerika di Montevideo, Uruguay.

Dalam konferensi internasional yang digelar pada tanggal 26 Desember 1933 itu, negara-negara peserta merumuskan dokumen hukum yang masyhur sebagai Konvensi Montevideo (Convention on Rights and Duties of States, 1933). Konvensi tersebut mengatur sejumlah unsur yang mesti dimiliki oleh negara berdaulat, yakni (1) rakyat yang tetap, (2) wilayah yang berbatas, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain.

Wilayah atau ruang yang berbatas adalah unsur penting yang mesti dimiliki oleh suatu negara. Tanpa mempunyai wilayah tertentu, sekalipun sempit dan terbatas, sebuah negara hanya ilusi belaka. Sebab, terhadap dan melalui wilayahlah negara menegakkan kekuasaan tertingginya:

2 Imperium Romawi, menurut Robert Jackson, memiliki status yang sama belaka dengan

(22)

menjalankan yurisdiksi dan menerapkan hukum nasionalnya. Wilayah selama ini dipahami dalam tiga dimensi, yaitu wilayah daratan, lautan, dan ruang-udara.3 Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa kedaulatan negara dibatasi oleh tiga dimensi tersebut.

Perkembangan sains dan teknologi4 telah menyebabkan pelbagai perubahan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satu perkembangan sains dan teknologi yang tengah melaju dengan sangat pesat adalah perkembangan di bidang teknologi informasi. Hal itu antara lain ditandai dengan kelahiran internet, yang secara keilmuan disebut sebagai ruang-maya (cyberspace). Dimensi kedaulatan negara pun lantas meluas: tidak lagi terdiri dari wilayah daratan, lautan, dan ruang-udara, melainkan juga ruang-maya.

Ruang-maya yang tercitra dari internet telah menciptakan suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum internet (the law of the internet), hukum ruang-maya (cyberspace law), atau hukum telematika. Hukum

3 Ruang-udara (airspace) sebagai dimensi kedaulatan negara kurang banyak dieksplorasi

dibandingkan dengan dua dimensi yang lain. Di masa awal peradaban manusia, ruang-udara kurang mendapat perhatian sebab penguasaan sains dan teknologi manusia memang belum mendukung untuk itu. Namun, semenjak Orville Wright (1871-1948) dan Wilbur Wright (1867-1912) melakukan penerbangan pertama yang berhasil pada tahun 1903, ruang-udara mulai diperhitungkan sebagai suatu dimensi kedaulatan negara yang penting. Agus Pramono, Zona Udara Terlarang dalam Hukum Internasional (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011), h. 9.

4

Term “teknologi” (technology) berakar dari bahasa Yunani, “technē”, yang tidak lepas dari dua macam makna. Technē tidak hanya dapat diartikan sebagai kegiatan atau keahlian dari para tukang (tektón, craftmanship), melainkan juga seni tentang pikiran dan seni yang indah: technē adalah juga puisi yang puitis. Martin Heidegger, The Question

(23)

internet secara internasional digunakan untuk menyebut istilah hukum yang berkenaan dengan pemanfaatan teknologi informasi. Hukum telematika merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir karena kegiatan yang dilakukan melalui jaringan komputer, baik dalam lingkup lokal maupun global, memanfaatkan teknologi informasi yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual.5

Internet pada awalnya digunakan secara terbatas oleh militer Amerika Serikat. Pemakaiannya pada mulanya diniatkan untuk tujuan yang jauh dari anasir kepentingan damai. Internet pada saat itu tidak lain merupakan buah dari kompetisi di antara dua negara adikuasa untuk mendapatkan pengaruh dunia, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun, dalam perkembangannya, internet malah semakin digdaya dikembangkan oleh masyarakat biasa dan menjadi sebuah teknologi yang sangat terbuka. Kemajuan internet sesungguhnya dilandasi oleh semangat yang disebut Lawrence Lessig sebagai “budaya bebas”.6

5 Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

6 Budaya bebas (

(24)

Berkat internet, pertukaran informasi berlangsung dengan lebih cepat dan semakin pesat. Internet beserta perangkat teknologi pendukungnya seolah-olah hendak dan telah menjadikan dunia nyaris tanpa tapal-batas (borderless). Situasi terkini negara-negara di ujung Barat dalam hitungan detik bisa diketahui oleh negara-negara di ujung Timur.

Namun demikian, dewasa ini internet agaknya hanyalah momok bagi negara-negara otoriter. Sejumlah negara seperti Bahrain, China, Iran, Suriah, Vietnam, dan beberapa negara di Afrika membatasi akses internet warga negaranya dengan paranoia tingkat akut.

China, negara dengan jumlah pengguna internet terbesar sedunia,7 menurut laporan tahunan Reporters Without Borders, adalah juga negara yang paling tidak ramah terhadap pengguna internet. Bukti ketidakramahan itu antara lain ditunjukkan dengan pendirian Great Firewall of China, teknologi yang memungkinkan Pemerintah China melakukan pengawasan terhadap setiap aktivitas warganya di internet. Tercatat, 30 orang pewarta and 69 orang pengguna internet dipenjara.8

Bagaimana Media Besar Memakai Teknologi dan Hukum untuk Membatasi Budaya dan Mengontrol Kreativitas, diterjemahkan oleh Brigitta Isabella, Kartika Wijayanti, dan Lusiana Sari (Yogyakarta: KUNCI Cultural Studies Center, 2011), h. xiv.

7

Berpenduduk 1.343.239.923 orang, China memiliki pengguna internet sebanyak 538.000.000 orang dengan penetrasi populasi sebesar 40,1 persen—berselisih sangat jauh dengan jumlah pengguna internet pada tahun 2000 yang sebesar 22.500.000. Internet World Stats, “Top 20 Countries with Highest Number of Internet Users; June 30, 2012” dalam http://www.internetworldstats.com/top20.htm (diakses pada tanggal 9 Juni 2013).

8

(25)

Selain itu, pada bulan Februari 2013, aplikasi perpesanan (messaging, chatting) telepon seluler seperti Wechat pun, karena desakan pemerintah, mengharuskan penggunanya untuk menyebutkan identitas lengkap dengan melampirkan salinan kartu identitas.9

Reporters Without Borders juga melaporkan bahwa kendati kualitas koneksi internet Bahrain terbaik di Kawasan Teluk, tingkat penyaringan dan pengawasan internetnya tertinggi di dunia. Di Bahrain, keluarga kerajaan mengontrol semua entitas yang menyebarkan, memonitor, dan meregulasi informasi daring.10 Keluarga kerajaan menempati semua area pengelolaan internet negara dan memiliki akses untuk memata-matai setiap warga negara.

Beberapa negara di kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi, Suriah, Iran, dan Tunisia juga memberlakukan restriksi ketat di internet. Di Tunisia, banyak blog yang sesungguhnya tak sedikit pun berisikan soal politik diblokir oleh pemerintah. Di Suriah, seorang narablog ditangkap ketika hendak menghadiri konferensi di Yordania. Pemerintah Iran juga kerap kali memblokir situs-situs-web berbahasa Inggris seperti BBC dan Voice of America: mengalihkan perambanan ke situs-situs-web yang memuat nilai-nilai revolusi Iran.11

9

Ibid., h. 21.

10

Ibid., h. 14.

11

(26)

Di negara dengan kekuasaan media terpusat, internet menawarkan ruang diskusi nan unik di tengah sumpeknya pelbagai pembatasan yang dilakukan oleh otoritas penguasa. Internet menyajikan ruang berbagi informasi dan melalui internetlah kritik dan protes kepada penguasa dapat tersalurkan. Di banyak negara otoriter, internet telah menjadi sarana efektif bagi para pegiat demokrasi dan hak asasi manusia untuk memobilisasi kegiatannya.

Media baru semacam internet, khususnya dalam rupa jejaring sosial, menyajikan keterbukaan alternatif yang mampu mengolaborasi masyarakat pelbagai usia untuk mewujudkan tatanan sosial baru. Jalanan kini tak menarik lagi: para aktivis dan demonstran lebih suka melancarkan wacana revolusi mereka di Facebook, Twitter, dan media lain. Sebuah video di Youtube, sebagai contoh, dapat membuat penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat suatu negara diketahui seluruh dunia.

Internet memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat di Indonesia. Meski dari segi persentase sebaran dan penetrasi populasi internet masih rendah, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di Asia Tenggara.12 Warnet mulai tersedia dan menjamur pada tahun 1998 di pelbagai kota besar di Indonesia kendati

12

Indonesia Media Defense Litigation Network dan Institute for Criminal Justice Reform,

(27)

akses internet pada kurun waktu 1998-2000 masih merupakan sebuah kemewahan untuk sebagian besar masyarakat.

Internet sesungguhnya sudah lama digunakan sebagai sarana terakhir tetapi efektif oleh para pegiat demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia di tengah represi rezim Orde Baru. Sebelum gerakan reformasi pada tahun 1998 bergulir, tercatat tiga pihak telah memanfaatkan internet sebagai peranti untuk menyalurkan hak atas kebebasan berekspresi dan berpolitik mereka.

Pertama, majalah Tempo, setelah pemberedelannya oleh pemerintah Orde Baru pada tanggal 21 Juni 1994, melirik internet guna melancarkan kritiknya kepada penguasa, yang kemudian melahirkan Tempo Interaktif pada tahun 1995. Kedua, Partai Rakyat Demokratik (almarhum), partai politik pertama di Indonesia yang melirik internet sebagai medium kampanye perjuangannya setelah dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh rezim Soeharto selepas peristiwa 27 Juli 1996. Ketiga, Detikcom, surat kabar daring pertama di Indonesia yang terbit pada tanggal 9 Juli 1998 sesaat setelah kejatuhan Soeharto dan tetap eksis hingga saat ini.

(28)

sehingga rezim Orde Baru tidak perlu secara khusus mengeluarkan regulasi yang membatasi akses internet.

Kini setelah Orde Baru tumbang, seiring dengan bergulirnya globalisasi, arus informasi menjadi tak terbendung lagi. Beragam media, baik cetak maupun elektronik, bermunculan. Internet pun menjadi wahana baru dalam agenda penyebaran informasi itu. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah pengguna internet di Indonesia cukup besar. Menurut Internet World Stats, per tanggal 30 Juni 2012 Indonesia menempati peringkat ke-8 dunia dan peringkat ke-4 Asia dengan jumlah pengguna internet sebanyak 55.000.000 dengan penetrasi populasi sebesar 22,1 persen.13

Tabel 1.1 Negara-negara dengan Jumlah Pengguna Internet Terbanyak

(29)

4 Jepang 127.368.088 47.080.000 101.228,736 79,5 % 4,2 %

5 Brazil 193.946.886 5.000.000 88.494.756 45,6 % 3,7 %

6 Rusia 142.517.670 3.100.000 67.982.547 47,7 % 2,8 %

7 Jerman 81.305.856 24.000.000 67.483.860 83,0 % 2,8 %

8 Indonesia 248.645.008 2.000.000 55.000.000 22,1 % 2,3 %

9 Inggris 63.047.162 15.400.000 52.731.209 83,6 % 2,2 %

10 Prancis 65.630.692 8.500.000 52.228.905 79,6 % 2,2 %

11 Nigeria 170.123.740 200.000 48.366.179 28,4 % 2,0 %

12 Meksiko 114.975.406 2.712.400 42.000.000 36,5 % 1,7 %

13 Iran 78.868.711 250.000 42.000.000 53,3 % 1,7 %

14 Korea Selatan

48.860.500 19.040.000 40.329.660 82,5 % 1,7 %

15 Turki 79.749.461 2.000.000 36.455.000 45,7 % 1,5 %

16 Italia 61.261.254 13.200.000 35.800.000 58,4 % 1,5 %

17 Filipina 103.775.002 2.000.000 33.600.000 32,4 % 1,4 %

18 Spanyol 47.042.984 5.387.800 31.606.233 67,2 % 1,3 %

19 Vietnam 91.519.289 200.000 31.034.900 33,9 % 1,3 %

20 Mesir 83.688.164 450.000 29.809.724 35,6 % 1.2 %

20 Besar Negara 4.664.486.873 273.374.200 1.776.355.028 38,1 % 73,8 % Negara lain 2.353.360.049 87.611.292 629.163.348 26,7 % 26,2 %

Total Pengguna Internet Dunia

7.017.846.922 360.985.492 2.405.518.376 34,3 % 100,0 %

(30)

Waspada terhadap kian menggeliatnya teknologi internet beserta jumlah penggunanya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika menyiapkan sejumlah peraturan untuk mengatur beragam jenis dan model informasi. Salah satunya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-undang ini, selain menjadi pertanda berubahnya orientasi, model, dan sistem informasi di Indonesia, juga menandai kembalinya pembatasan negara atas informasi, termasuk informasi yang diterima melalui internet. Pemerintah Indonesia saat ini juga tengah berupaya untuk melakukan pengawasan terhadap pelbagai aktivitas di internet dengan dimulainya penyusunan peraturan perundang-undangan dan mekanisme kriminalisasi terhadap para pengguna internet.

(31)

Bertolak dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menulis tesis dengan judul “Konstruksi Hukum atas Kedaulatan Negara di Ruang-maya: Analisis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Hukum Internasional”.

B. Rumusan Masalah

Suatu penelitian yang bersifat ilmiah harus dimulai dengan mengajukan satu atau dua pertanyaan ilmiah. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seyogianya tidak lagi “apa” atau “mengapa”, yang sangat falsafi dan bertujuan mencari jawaban final. Terhadap pertanyaan semacam itu, seorang peneliti hanya dapat menawarkan spekulasi, pilihan, atau keyakinan. Oleh sebab itu, menurut Satjipto Rahardjo, pertanyaan yang diajukan sebaiknya bertipe “bagaimana”. Pertanyaan-pertanyaan ilmiah tidak mencari jawaban final, melainkan hanya jawaban yang paling dekat (immediate answer). Jawaban semacam itu terbuka untuk dikaji lebih jauh dan memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan tatkala diajukan pertanyaan lain.14

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, penulis bermaksud merumuskan permasalahan penelitian ini yang pada pokoknya terdiri dari dua pertanyaan sebagai berikut.

14

(32)

1. Bagaimana reinterpretasi atas gagasan kedaulatan negara dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet?

2. Bagaimana konstruksi hukum atas kedaulatan negara di ruang-maya menurut UU ITE?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Mengacu pada uraian latar belakang dan rumusan masalah di muka, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Untuk mereinterpretasi gagasan kedaulatan negara dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet.

b. Untuk menelaah secara kritis konstruksi hukum atas kedaulatan negara di ruang-maya menurut UU ITE.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoretis

(33)

dengan kedaulatan negara, teknologi informasi (internet), serta lapangan keilmuan lain, yakni sosiologi hukum dan filsafat.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi hasil penelitian sebelumnya mengenai hukum internet.

b. Manfaat praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) berkenaan dengan penyusunan regulasi di bidang teknologi informasi, khususnya internet.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk memperbarui muatan UU ITE di masa mendatang.

3. Penelitian ini diharapkan dapat diketahui dan dipahami oleh seluruh pengguna internet sehingga tidak timbul hambatan-hambatan, terutama dalam segi yuridis, ketika memanfaatkan internet.

D. Kerangka Pemikiran

(34)

Satjipto Rahardjo, lahir di Banyumas pada tanggal 15 Februari 1930 dan wafat pada tanggal 8 Januari 2010, adalah mahaguru sosiologi hukum di Universitas Diponegoro, Indonesia. Ia dikenal sebagai pencetus teori hukum progresif yang masyhur dengan adagium “hukum itu untuk manusia dan bukan sebaliknya”. Ajaran tersebut didasarkan atas refleksi yang panjang dalam perjalanan karir Satjipto Rahardjo sebagai seorang intelektual-akademisi.15

Hukum, menurut Satjipto Rahardjo, selalu berjalin kelindan dengan kehidupan masyarakat. Hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural. Hegemoni hukum (negara) tidak pernah sepenuhnya berhasil memastikan apa yang mesti berlaku dalam masyarakat. Masyarakat sendirilah yang pada akhirnya akan menentukan seberapa jauh dan bagaimana hukum akan secara nyata berjalan. Mengatur masyarakat tidak berarti harus dengan melakukan intervensi dan penetrasi penuh ke dalam kehidupan masyarakat. Hukum semestinya “mengatur tanpa mengganggu kehidupan yang sudah berjalan”.16

Berkenaan dengan tema penelitian ini, adalah menarik jika menelusuri pertautan antara hukum dan teknologi. Sebagaimana disinggung di muka, internet adalah sebuah produk teknologi. Sehingga apabila mau dilakukan penelitian tentang hukum internet, persoalan-persoalan,

15

Awaludin Marwan, “Satjipto Rahardjo” disampaikan dalam Jagongan Rutin Kaum Tjipian, April 2013, di Kafe Kopi Jempol, Semarang (makalah tidak terbit).

16 Satjipto Rahardjo,

(35)

pemikiran, dan konsepsi-konsepsi dalam dan mengenai teknologi mesti turut pula disinggung.

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa ilmu hukum adalah suatu teknologi, sekalipun merupakan teknologi sosial. Sebagai teknologi sosial, hukum mengupayakan agar setiap orang tunduk kepadanya dan berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki olehnya.17 Dalam identitasnya sebagai teknologi, ilmu hukum menjelaskan bagaimana hukum digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.18

Dalam teks yang lain, Kemanusiaan, Hukum, dan Teknokrasi, Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa hukum modern sejatinya memang produk baru teknologi yang lahir dari rahim institusi teknologi.19 Institusi teknologi yang berbasis pada sains klasik ala zaman Pencerahan (Aufklarung, enlightenment) dengan Rene Descartes (1596-1650) dan Isaac Newton (1642-1727) sebagai motornya telah meminggirkan hukum pramodern yang berciri sosial dan otentik. Hegemoni hukum tipe baru, yaitu hukum berbasis negara, telah mengesampingkan keberadaan tipe hukum lain yang sebenarnya sangat plural.

17

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op. cit., h. 329.

18

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1981), h. 28.

19 Satjipto Rahardjo,

(36)

Sains klasik memiliki karakteristik berburu keumuman atau generalisasi.20 Subyeknya dikotak-kotakkan, dipilah-pilah, dan digolong-golongkan untuk kemudian dibanding-bandingkan dan dicari ciri-ciri yang umum. Sains bekerja dengan mereduksi obyeknya dan terjadilah fragmentasi. Model metodologi ilmu alam yang menghasilkan banyak penemuan berharga bagi manusia tersebut lalu diikuti oleh disiplin ilmu lain, termasuk sosiologi, ekonomi, dan hukum.21

Namun tak dapat dimungkiri, penemuan-penemuan di bidang teknologi jugalah yang membuat abad kesembilan belas kaya akan pelbagai pemikiran yang menjungkirbalikkan pandangan-pandangan— termasuk hukum—yang sudah mapan. Satjipto Rahardjo menulis:

[R]eaksi-reaksi dan ‘pemberontakan-pemberontakan’ [di bidang hukum—pen.] tidak dapat dilepaskan dari suburnya pemikiran yang timbul pada abad kesembilanbelas. Abad tersebut merupakan masa yang kaya dengan ide dan gerakan hukum baru. [...] Ilmu yang diusahakan oleh manusia telah mencapai suatu momentum yang memungkinkan dibukanya cakrawala baru, seperti kemungkinan-kemungkinan yang dibawakan oleh penemuan-penemuan di bidang teknologi, yang seolah-olah menjungkirbalikkan pandangan-pandangan, konsep-konsep, serta irama kehidupan-kehidupan yang lampau.22

Di antara para pemikir yang secara khusus menelaah teknologi dari perspektif filsafat, Martin Heidegger (lahir di Messkirch pada tanggal 26

20

Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum di Indonesia dalam Lintasan Perkembangan Sains” dalam Esmi Warassih, dkk (ed.), Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia

(Semarang: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, dan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2012), h. 614.

21

Ibid.

22

(37)

September 1889 dan wafat pada tanggal 26 Mei 1976) dapat disebut sebagai perintis pemikiran filosofis tentang teknologi. Tokoh yang hidup sezaman dengan pemimpin Nazi, Adolf Hitler, itu adalah filsuf terbesar Jerman. Namanya kerap disejajarkan dengan filsuf-filsuf besar dunia, baik dari Jerman maupun luar Jerman, seperti Plato (428-347 SM), G.W.F. Hegel (1770-1831), dan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Pemikiran Martin Heidegger juga memengaruhi pemikiran filsuf-filsuf setelahnya, semisal Hannah Arendt (1906-1975) dan Jacques Derrida (1930-2004). Sein und Zeit (Ada dan Waktu), buku masterpiece Heidegger, merupakan buku kunci filsafat setelah Politeia (Negara) Plato dan Phaenomenologie des Geistes (Fenomenologi Roh) Hegel.23

Heidegger mengurai esensi teknologi dengan bertolak dari dua konsepsi umum mengenai teknologi. Pertama, konsepsi instrumentalis yang menganggap teknologi adalah sarana (instrumentum) bagi pencapaian tujuan tertentu. Kedua, konsepsi antropologis yang melihat teknologi tak lain dari aktivitas manusia.24

Heidegger menolak kedua pandangan tersebut. Bagi Heidegger, apa yang penting dari teknologi bukanlah teknologi atau bentuk-bentuk teknologi, melainkan orientasi manusia terhadap teknologi.25 Teknologi

23

F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2005), h. 4.

24 Martin Heidegger,

op. cit., h. 4.

25

Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat

(38)

sebagai sarana pencapaian tujuan merupakan penafsiran yang instrumental, sementara teknologi sebagai aktivitas manusia merupakan penafsiran yang antropologis. Kedua bentuk penafsiran itu sesungguhnya masih dangkal dan memosisikan teknologi sebagai alat belaka dari sains. Padahal teknologi, secara historis,26 mendahului sains. Bahkan, teknologi membentuk arah gerak sains.

Heidegger menulis:

Chronologically speaking, modern physical science begins in the seventeenth century. In contrast, machine-power technology develops only in the second half of the eighteenth century. But modern technology, which for chronological reckoning is the later, is, from the point of view of the essence holding sway within it, the historically earlier.27

Pemahaman akan teknologi, menurut Heidegger, mesti dibebaskan dari penafsiran yang subyektivistik yang memandang teknologi hanya secara instrumental dan antropologis.28 Hal itu dimaksudkan supaya manusia bisa menjalin hubungan yang bebas dengan teknologi sehingga manusia dapat mengalami, bukan memanfaatkan ataupun mengeksploitasi, teknologi dalam batas-batasnya sendiri dan sebisa mungkin melampaui batas-batas itu.

26

Pengertian “historis” menurut Heidegger berbeda dari pengertian “historiologi” ataupun “kronologi”. Lih. Francis Lim, op. cit., catatan kaki nomor 60.

27

Martin Heidegger, op. cit., h. 22.

28 Francis Lim,

(39)

Bagi Heidegger, teknologi tak ubahnya seni, yaitu seni pikiran (the arts of the mind) dan seni halus (the fine arts). Teknologi bukan hanya persoalan teknik atau keahlian pertukangan, melainkan perkara penyingkapan Ada (Sein, Being).29 Teknologi sejatinya adalah poiēsis, mengemukakan-ke-hadapan (Her-vor-bringen, bringingforth), yaitu perbuatan yang dilakukan demi hasil yang nilainya melampaui perbuatan itu sendiri, misalnya membuat puisi.30

Namun, sebagaimana diakui Heidegger sendiri, teknologi dalam pengertian semacam itu hanya dapat dijumpai dalam teknologi kuno. Model penyingkapan teknologi modern bukanlah dalam bentuk mengemukakan-ke-hadapan, tetapi cenderung menantang (Herausfordern, challengingforth). Penyingkapan model teknologi modern menjadikan alam sebagai bahan persediaan (Bestand, standing reserve) yang dapat diambil, disimpan, dan digunakan manusia.

Heidegger mengilustrasikan perbedaan antara teknologi kuno dan teknologi modern tersebut dengan analogi kincir angin dan pertambangan. Kincir angin adalah manifestasi dari teknologi kuno. Sebab, kincir angin tidak menantang angin dan tidak membuka energi dari embusan angin. Kincir angin hanya berputar tatkala angin berembus dan putarannya

29 Ada ialah realitas sebagai suatu keseluruhan dalam filsafat. F. Budi Hardiman,

op. cit., h. 4. Bandingkan dengan pengertian Ada menurut Martin Suryajaya: segala yang hadir, baik terhitung maupun tak terhitung, dalam situasi. Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme (Yogyakarta: Resist Book, 2011), h. xi.

30 Francis Lim,

(40)

sangat bergantung pada kencang-lemahnya embusan angin. Ini berbeda dengan teknologi modern yang direpresentasikan dalam pertambangan. Pertambangan menantang alam demi mendulang bijih logam. Alam disingkap dan dieksploitasi untuk kepentingan manusia belaka.31

Sikap manusia (modern) yang memperlakukan teknologi sebagai persediaan itulah yang pada akhirnya membuat esensi teknologi melenceng dari fitrahnya. Sejak sains mencoba menata alam dalam hitungan yang pasti dengan tujuan untuk menggarapnya semaksimal mungkin, arah teknologi pun berubah menjadi laksana hukum alam yang bisa diprediksi, dikalkulasi, dan dimanfaatkan. Manusia kemudian menganggap dirinya sebagai tuan atas segala-galanya.32

E. Metode Penelitian

Penelitian pada hakikatnya adalah kegiatan mencari kebenaran. Penelitian diawali dengan keraguan dan keingintahuan peneliti terhadap suatu permasalahan. Permasalahan muncul karena terjadi disparitas antara yang-seharusnya (das Sollen) dan yang-senyatanya (das Sein).

Dalam kajian ilmu hukum, hal semacam itu juga berlaku. Hukum adalah bagian dari serangkaian keluarga besar ilmu. Kebenaran yang ada pada hukum perlu senantiasa diteliti. Penelitian yang dilakukan (a) berangkat dari ketidaktahuan dan berakhir pada keraguan, kemudian (b)

31

Martin Heidegger, op. cit., h. 14-15.

32 Francis Lim,

(41)

berangkat dari keraguan dan berakhir pada suatu hipotesis.33 Maka penelitian hukum secara superfisial dikatakan sebagai upaya untuk menjembatani cita-cita hukum (Rechtsidee) dan pelaksanaannya. Jembatan itu muncul dari sejumlah masalah yang timbul ketika cita-cita hukum coba diimplementasikan ke ranah praktis.

Penelitian harus dilakukan dengan mengikuti prosedur tertentu. Prosedur yang dimaksud berupa jalan, cara, atau aturan yang dipakai untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran ilmu. Prosedur itu dinamakan prosedur ilmiah karena dalam melakukan penelitian digunakan cara berpikir yang skeptis, kritis, dan analitis. Cara berpikir demikian disebut sebagai cara berpikir ilmiah.

Cara berpikir ilmiah pada hakikatnya dipandu oleh garis-garis pemikiran yang orisinal dan disajikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Kendati tidak ada perbedaan mendasar antara satu metode dan metode lain, pemilihan metode penelitian yang tepat akan sangat memudahkan dalam memperoleh jawaban atas pertanyaan yang dirumuskan. Dalam perspektif demikian, ilmu hukum dapat dibedakan dari ilmu pengetahuan lainnya.

33

(42)

Bagian ini bertugas untuk menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian ini, yang terdiri dari metode pendekatan, spesifikasi penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal, mengacu kepada Soetandyo Wignjosoebroto, dikerjakan untuk menemukan jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang ditelusuri dari preskripsi-preskripsi hukum yang tertuang dalam kitab perundang-undangan berikut ajaran atau doktrin-doktrin yang mendasarinya.34 Di Indonesia, penelitian hukum doktrinal telanjur lazim disebut sebagai penelitian yang normatif.35

Sebagai suatu penelitian hukum doktrinal, dalam penelitian ini permasalahan tidak akan dijawab dengan hanya bertolak dari asas-asas, teori-teori, pemikiran, dan ajaran-ajaran hukum, melainkan juga mesti dengan pemahaman bahwa hukum tak dapat dilepaskan dari konteks politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mengelilinginya. Oleh karena itu permasalahan hukum mesti didekati secara interdisipliner,36

34 Soetandyo Wignjosoebroto, “Ragam-ragam Penelitian Hukum” dalam Sulistyowati

Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011 [cet. kedua]), h. 121.

35

Ibid., h. 122.

36 Satjipto Rahardjo,

(43)

namun dengan tetap menitikberatkan pada kajian terhadap hukum dan studi hukum.

Mengkaji hukum juga tak dapat dilakukan tanpa menyinggung sejarah. Pengkajian hukum yang bersifat kesejarahan, demikian Roscoe Pound, tidak hanya menyoal pada bagaimana asas-asas, teori-teori, pemikiran, dan ajaran-ajaran hukum dipahami semata-mata sebagai bahan hukum, tetapi juga membahas efek-efek sosial apa yang timbul karena asas-asas, teori-teori, pemikiran, dan ajaran-ajaran hukum tersebut di masa lampau.37 Hal demikian ini bersesuaian dengan apa yang dikatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto bahwa penelitian hukum doktrinal dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengonsepnya, misalnya saja doktrin aliran hukum alam, doktrin positivisme kaum yuridis-legis, atau doktrin historisme dan realisme-fungsionalisme ahli hukum realis.38

Oleh karena amat beragamnya ragam penelitian hukum doktrinal, maka penelitian ini dioperasionalkan tidak hanya dengan menggunakan perspektif hukum internasional, melainkan juga dengan dukungan

37

Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Suatu Pendekatan Lintas Disiplin, op. cit., h. 64.

38 Soetandyo Wignjosoebroto,

(44)

kajian sosiologi hukum,39 filsafat, dan sejarah, yang berhubungan dengan aspek kedaulatan negara, ruang-maya, dan hukum internet.

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksplanatoris (explanatory research).40 Penelitian eksplanatoris dilakukan untuk menelusuri lebih mendalam teori, konsep, atau gagasan-gagasan yang perlu diuji lagi kesahihannya. Penelitian eksplanatoris dapat menyempurnakan atau bahkan menolak teori, konsep, atau gagasan-gagasan yang sudah ada.

Dalam penelitian ini, gagasan kedaulatan negara coba direinterpretasi dengan cara mengaitkannya dengan perkembangan teknologi informasi yang mewujud dalam internet. Dengan cara demikian akan diperoleh relasi antara hukum, kedaulatan negara, dan ruang-maya. Hasil yang didapat lalu digunakan untuk menganalisis UU ITE.

39

Sehubungan dengan hal ini, Satjipto Rahardjo pernah menulis bahwa hukum internasional sangat menarik untuk dikaji secara sosiologis. Sebab, hukum internasional sejatinya didasarkan pada hubungan-hubungan kekuatan (power relations) dan kesepakatan antarnegara. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, op. cit., h. 76.

40

Meray Hendrik Mezak, “Jenis, Metode dan Pendekatan dalam Penelitian Hukum” dalam Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V, Nomor 3

(45)

3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan yang bersumber dari data sekunder.41 Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi (1) bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan; (2) bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang diperoleh dari buku, jurnal, dan seminar yang dilakukan oleh para pakar terkait; dan (3) bahan hukum tersier, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang akan menjadi bahan penelitian ini dioperasionalkan melalui studi kepustakaan. Semua teks terkait tema penelitian ini, yakni kedaulatan negara, ruang-maya, dan hukum internet, dikumpulkan dalam folder tersendiri dan disusun (indexing) berdasarkan kategori data.42 Teks tersebut berupa buku, artikel di jurnal, artikel di media massa, artikel dan laporan jurnalistik di laman, makalah seminar, paper komunitas diskusi informal, dan sejenisnya.

5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif. Teknik analisis data kualitatif dilakukan secara sistematis dan teliti (rigorous)

41

Sharon Hanson, Legal Method (London: Cavendish Publishing, 1999), h. 141.

42

(46)

dengan merefleksikan segala sudut-pandang, tidak sebatas agenda peneliti atau mengikuti pandangan yang banyak diikuti.43 Teknik analisis data kualitatif terdiri dari tiga tahap. Pertama, menyusun data berdasarkan kategorinya (indexing). Kedua, mengumpulkan data (methods of data storage). Ketiga, menginterpretasi data (interpretation).44

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dengan sistematika penulisan yang terbagi dalam empat bab. Masing-masing bab terdiri dari sejumlah subbab. Adapun urutan masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan berisi uraian latar belakang masalah yang memuat selayang pandang narasi historis-teoretis kedaulatan negara yang dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet, di tingkat global dan nasional sehingga akan dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan. Bab ini juga berisi kerangka pemikiran yang fokus pada pemikiran Satjipto Rahardjo (1930-2010) tentang hukum dan pemikiran Martin Heidegger (1889-1976) tentang teknologi. Bab ini juga bertugas menjabarkan tujuan dan manfaat penelitian serta metode yang akan digunakan untuk meneliti permasalahan.

43

Ibid., h. 62.

44

(47)

Bab II Tinjauan Pustaka berisi teori dan konsep-konsep yang akan digunakan untuk membedah permasalahan. Teori dan konsep-konsep tersebut berkaitan dengan kedaulatan negara, ruang-maya, dan hukum internet.

Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan berisi dua hal. Pertama, bagaimana rumusan masalah dielaborasi dengan menggunakan metode penelitian. Kedua, bagaimana rumusan masalah coba dijawab dengan mengacu pada kerangka pemikiran, konsep, dan teori tertentu yang berkaitan dengan kedaulatan negara, ruang-maya, dan hukum internet.

(48)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kedaulatan Negara: Sebuah Paradoks

Gagasan tentang kedaulatan negara sudah sejak lama menjadi isu sentral dalam perbincangan tentang (ilmu) negara. Kedaulatan negara adalah elemen utama bagi legitimasi pendirian negara modern. Secara yuridis-formalistik, kedaulatan negara mengemuka sejak Konferensi Internasional Ketujuh Negara-negara Amerika di Montevideo, Uruguay, pada tanggal 26 Desember 1933. Dalam dokumen hukum yang dihasilkan konferensi itu, Konvensi Montevideo (Convention on Rights and Duties of States, 1933), negara-negara peserta konferensi merumuskan apa saja unsur yang mesti dipenuhi suatu negara untuk memperoleh kedaulatannya.

Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo, suatu negara dianggap sebagai subyek hukum internasional (sehingga, dengan demikian, berdaulat) ketika ia memiliki (1) rakyat yang tetap, (2) wilayah yang berbatas, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Sejumlah sarjana, misalnya Oppenheim, Lauterpacht, Chen, Guggenheim, Anzilloti, dan Hans Kelsen, menambah satu lagi unsur negara berdaulat, yaitu pengakuan.45 Konvensi

45 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional (Bandung: Keni Media,

(49)

Montevideo sendiri menganggap pengakuan bukan sebagai keharusan yang bersifat konstitutif. Suatu negara, demikian Konvensi Montevideo, dapat dikatakan berdaulat dan menjadi subyek hukum internasional ditentukan oleh usaha-usaha, keadaan-keadaan yang nyata, dan kompetensinya menurut hukum nasional, serta tidak perlu menunggu diakui oleh negara lain. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 3 Konvensi Montevideo:

The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), term “kedaulatan” berarti “kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya”. Dalam KBBI disebutkan beberapa macam kedaulatan, antara lain kedaulatan hukum (kekuasaan tertinggi terletak atau ada pada hukum); kedaulatan raja (kekuasaan tertinggi ada pada raja); kedaulatan rakyat (kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, demokrasi); kedaulatan Tuhan (kekuasaan tertinggi ada pada Tuhan, teokrasi); dan kedaulatan negara (kekuasaan tertinggi ada pada negara).46

Sementara menurut Kamus Hukum Oxford, “sovereignty” (terjemahan harfiah atas kedaulatan) diartikan sebagai “wewenang tertinggi dalam suatu negara” (supreme authority in a state). Di banyak negara,

46 Ebta Setiawan,

(50)

wewenang itu diseparasikan dalam pelbagai bentuk, misalnya saja lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial.47

Dalam literatur hukum internasional, kedaulatan negara sering disebut sebagai prasyarat kemunculan yurisdiksi negara. Yurisdiksi negara adalah konsekuensi logis dari suatu negara yang berdaulat. Yurisdiksi negara, menurut Antonio Cassese, didefinisikan sebagai “kewenangan pemerintah pusat dari suatu negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi publik terhadap individu-individu yang berada dalam wilayahnya”.48 Hans Kelsen dalam bukunya, Principles of International Law, mengatakan bahwa yurisdiksi negara merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, prinsip persamaan kedudukan antarnegara, dan prinsip non-intervensi terhadap urusan domestik negara lain.49

Dalam perjalanan historisnya, kedaulatan negara sebagai sebuah gagasan kerap diwarnai kontroversi, perang, nuansa keagamaan, dan politik. Susunan politik dan praktik-praktik formal kedaulatan negara datang lebih dahulu ketimbang teori-teori akademik tentangnya,50 apalagi

47

In any state sovereignty is vested in the institution, person, or body having the ultimate authority to impose law on everyone else in the state and the power to alter any pre-existing law. How and by whom the authority is exercised varies according to the political nature of the state. In many countries the executive, legislative, and judicial powers of sovereignty are exercised by different bodies. One of these bodies may in fact retain sovereignty by having ultimate control over the others.” Elizabeth A. Martin, A Dictionary of Law: Fifth Edition (Oxford: Oxford University Press, 2003), h. 469.

48

Antonio Cassese, International Law, dikutip dalam Huala Adolf, op. cit., h. 163.

49

Hans Kelsen, Principles ofInternational Law, dikutip dalam ibid.

50 Robert Jackson,

(51)

landasan yurisdisnya. Gagasan tentang kedaulatan negara terus eksis hingga permulaan abad keduapuluh satu, di mana terdapat paling tidak duaratus organisasi internasional yang bernama “negara” dan “bangsa”, dan tetap seperti itu hingga sekarang.51

Kedaulatan negara mulai dikenal sejak abad keenambelas dan ketujuhbelas dalam sejarah Eropa modern. Eropa di sekitar abad pertengahan (300-1000) mewujud dalam suasana ketidakjelasan susunan organisasi masyarakat beserta pengorganisasian wilayahnya. Perang kerap mewarnai wilayah yang dulunya merupakan salah satu bagian dari Imperium Romawi itu, yang runtuh dan berganti menjadi kerajaan baru bernama Merovingian. Pada gilirannya, Kerajaan Merovingian berganti menjadi Kerajaan Carolingian dengan rajanya yang masyhur, Charlemagne atau Karl yang Agung.

Kerajaan Carolingian, yang kemudian berganti lagi menjadi Kekaisaran Agung Roma, terbagi-bagi dalam beberapa kerajaan yang lebih kecil dengan duke atau duchess sebagai penguasanya. Wilayah tersebut terpilah lagi dalam ratusan tuan tanah atau keluarga bangsawan—disebut count atau countess—yang saling mendaku wilayah yang disebut regna.52 Regna-regna inilah cikal-bakal regnum Anglicana (Inggris), Gallicum (Prancis), Hispania (Spanyol), dan seterusnya. Para

51

Ibid., h. ix.

52

(52)

tuan tanah dan keluarga bangsawan mengadakan perjanjian dengan para kesatria guna mengamankan wilayah mereka. Hasil olahan tanah regna tersebut kemudian dipersembahkan kepada raja sebagai upeti.53 Inilah sistem “kenegaraan” waktu itu, yang belum dapat dikatakan sebagai suatu kedaulatan negara.

Menjelang abad keenambelas dan ketujuhbelas, dilatarbelakangi oleh konflik keagamaan yang kuat dan hasrat kerajaan untuk mengekspansi wilayah kerajaan lain, perang pun berkecamuk di mana-mana. Wibawa Kekaisaran Agung Roma waktu itu mulai surut karena intervensi yang berlebihan oleh gereja atas kekaisaran, sehingga kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekaisaran enggan patuh. Lalu dimulailah apa yang dinamakan Perang Tigapuluh Tahun (Thirty Years War, 1618-1648).

Akibat kerugian perang yang besar dan kekuatan yang selalu imbang, kerajaan-kerajaan terpaksa menerima pilihan bahwa perang harus diselesaikan lewat meja perundingan. Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 berhasil meredam perang dan mengawali babak baru terbentuknya negara modern yang berdaulat. Perjanjian Westphalia telah mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Agung Roma, juga menjadi simbol Eropa pasca-reformasi yang berdasar pada pengakuan internasional yang menguntungkan di antara negara-negara Protestan dan Katolik. Sejak

53

(53)

tahun 1648 banyak entitas politik bekas Kekaisaran Agung Roma menjadi merdeka dan menerapkan peraturannya sendiri. Kekaisaran Agung Roma masih ada, tetapi lebih berupa bayang-bayang dari dirinya sendiri.54

Perjanjian Westphalia terdiri dari dua subtraktat, yakni (1) traktat Osnabrück yang mengakhiri perselisihan antara Ratu Protestan Swedia melawan Kaisar Habsburg dari Kekaisaran Agung Roma dan (2) traktat Münster yang mengakhiri pertikaian antara Raja Katolik Prancis yang bertikai dengan Kekaisaran Agung Roma.55

Perjanjian Westphalia juga memuat dua macam prinsip yang di kemudian hari menjadi landasan konsep kedaulatan negara modern. Pertama, yurisdiksi penuh, yaitu hak raja untuk bebas mengatur wilayah kekuasaannya. Kedua, pengakuan bersama, yaitu pengakuan kedaulatan negara dari negara berdaulat lain yang kemudian melahirkan prinsip non-intervensi.56 Dengan demikian, terang bahwa gagasan tentang kedaulatan negara sejatinya tak bisa dilepaskan dari narasi historis, situasi politik, ekonomi, dan budaya suatu bangsa.

Menurut Hizkia Yosias Simon Polimpung, gagasan kedaulatan negara mengandung paradoks. Kedaulatan negara sesungguhnya merupakan kendaraan bagi suatu fantasi kedirian ideal bagi raja yang notabene

54

Robert Jackson, op. cit., h. 52.

55

Hizkia Yosias Simon Polimpung, op. cit., h. 144.

56

(54)

mustahil. Pembentukan negara berdaulat pada dasarnya dilandasi oleh hasrat raja sebagai individu yang coba mengamankan eksistensi ontologisnya. Kedaulatan negara diumpamakan layaknya manusia yang merasa terancam karena oleh perang dan pemberontakan sipil sehingga harus mencari “tubuh baru” dalam bentuk negara berdaulat. Bagi raja, kerajaan dan kemudian negara modern merupakan suatu tubuh-super (superbody) yang lebih berkuasa ketimbang dirinya dan fantasi kedirian ideal.57 Negara modern adalah kelanjutan dari fantasi kedirian ideal raja pasca-Perjanjian Westphalia. Sebagaimana dikatakan oleh Raja Prancis Louis XIV, “L’etat, c’est moi,” negara adalah aku.

Hasrat negara akan fantasi kedirian ideal pada akhirnya akan diarahkan untuk semakin memperkuat eksistensi kediriannya yang terepresentasi dalam gagasan kedaulatan negara. Paradoks kedaulatan negara pun bermula: sebagaimana laiknya hasrat, ia mesti diperjuangkan sejauh-jauhnya, bahkan dengan cara menyakiti pihak lain dari dirinya sendiri.Hizkia Yosias Simon Polimpung mengatakan:

[A]pabila kesinambungan kedaulatan itu didasarkan pada suatu identitas primordial, maka identitas ini akan dipertahankan mati-matian demi menjaga keberadaan kedaulatan tersebut. Apabila kedaulatan tersebut didasarkan pada suatu agama, maka agama tersebut akan dipertahankan mati-matian. Upaya mempertahankan ini tidak jarang dengan kekerasan semenjak fasisme selalu mengiringi perjuangan hasrat subyek. Fasisme akan rela memperjuangkan apa saja yang berguna bagi kesinambungan eksistensinya, ia akan rela menyakiti

57

(55)

siapa saja termasuk dirinya demi menjaga kedaulatannya yang ilusif itu.58

B. Globalisasi dan Penguasaan Teknologi

Globalisasi adalah tema sentral pasca-berakhirnya Perang Dingin. Berakar dari kata “globe” (dunia, bola), globalisasi (globalization) secara harfiah dapat dimaknai sebagai proses menduniakan segala hal, membuat segala hal terhubung selayaknya bola. Dalam banyak literatur, sebagaimana akan dikerahkan dalam bagian ini, konsep tentang globalisasi kerap kali dibicarakan seturut konsep kapitalisme atau liberalisme dalam bidang ekonomi.

Pada tahun 1989 hingga 1990, dunia menyaksikan keruntuhan rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet. Keruntuhan Uni Soviet sebagai negara dan kebangkrutan komunisme sebagai ideologi menjadikan liberalisme sebagai paham dunia yang paling dominan. Kepentingan Amerika Serikat beserta negara-negara sekutunya untuk membuat dunia menjadi ladang subur bagi pasar bebas (kapitalisme) tak lagi menemukan tantangan berarti semenjak keruntuhan Uni Soviet dan sekutunya.

Tahun-tahun di pengujung abad keduapuluh itu merupakan masa dengan banyak kejadian penting. Tembok Berlin yang selama 28 tahun menjadi penghalang koneksi antara kedua Jerman akhirnya diruntuhkan pada tanggal 9 November 1989. Setelah kekalahan Uni Soviet dari “perang urat saraf”—dan menjadikan negara itu terpecah hingga beberapa

58

Gambar

Tabel 1.1 Negara-negara dengan Jumlah Pengguna Internet Terbanyak
Tabel 2.2 Kronologi Perkembangan Internet
Tabel 3.3 Indikator Pengembangan “Ipteknet”
Tabel 3.4 Klasifikasi Tindak Pidana di Ruang-maya
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pelaksanaan tindakan kelas, dengan menggunakan media pembelajaran Audio Visual telah nampak adanya peningkatan minat belajar siswa terhadap materi

1) Kop surat nama instansi adalah kepala surat yang menunjukkan nama instansi yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan alamat Badan Nasional Penanggulangan

Konsep dasar dari strategi DCA adalah bila beban trafik tidak merata dalam tiap sel maka pemberian kanal frekuensi pada tiap sel akan sering tidak terpakai dalam sel yang

PERANCANGAN SISTEM KOMPETISI VIDEO KLIP GRUP BAND INDIE DENGAN MENGGUNAKAN SMS GATEWAY UNTUK POLLING PEMILIHAN DI MANAJ EMEN

Penelitian yang akan peneliti lakukan fokus pada strategi Snowball Throwing dalam kegiatan pembelajaran, sehingga para siswa tidak merasa jenuh dengan apa yang disampaikan

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa didapatkan koefisien regresi untuk variabel pengalaman berusahatani adalah 0,033 Nilai t hitung dari variabel pengalaman

Implementasi Pasal 3 Peraturan Walikota Kediri Nomor 26 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Restoran terkait penerapan self assessment system

Untuk judul tabel : Karakter yang dipakai Arial/Times New Roman dengan ukuran 10, jarak antar baris 1 (satu) spasi, justifikasi di tengah atas tabel.2. Untuk judul gambar :