• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Negara dalam Konteks Global: Reinterpretasi Gagasan

Dalam dokumen Konstruksi Hukum atas Kedaulatan Negara (Halaman 85-98)

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kedaulatan Negara di Ruang-maya

1. Peran Negara dalam Konteks Global: Reinterpretasi Gagasan

Globalisasi telah menjadi sebuah diskursus yang mewarnai segenap pemikiran dalam setiap bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, kebudayaan, maupun hukum. Meskipun secara teoretis-akademis gagasan globalisasi selalu berada dalam ranah perdebatan dan tidak sedikit pula yang menolak elemen primer gagasan itu yang, antara lain, dijiwai oleh semangat liberalisme, tak dapat dimungkiri bahwa secara praksis globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Persoalannya adalah bagaimana cara manusia menyiasati suatu era yang pada dasarnya telah mengglobal itu, di mana sekat-sekat primordial seperti suku, bangsa, wilayah, dan bahkan negara sejatinya telah menciut dan melebur dalam satu dunia yang saling terhubung.

Globalisasi kontemporer yang timbul berkat perkembangan teknologi informasi semenjak penemuan internet memiliki pengaruh yang melebihi globalisasi yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Globalisasi di masa lampau, yang dipicu oleh semangat penyebaran agama, pencarian bahan baku industri, dan perkembangan teknologi

transportasi,115 memiliki dampak yang masih kalah besar bila dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh internet. Internet benar-benar telah menyingkap batas-batas dunia. Internet bahkan telah bermanifestasi menjadi suatu rezim hukum baru dengan anasir yang sedikit-banyak berbeda dari rezim hukum konvensional. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa internet tak sekadar menciptakan suatu dunia tanpa-batas (borderless world), tetapi juga hukum tanpa-batas (borderless law).116

Globalisasi kontemporer mulai menampakkan wujudnya setelah “kemenangan” Amerika Serikat dan sekutunya atas Uni Soviet dan sekutunya dalam Perang Dingin. Inefisiensi sistem pengelolalan negara, yang berakibat pada terpuruknya ekonomi dan merosotnya kehidupan sosial warga, membuat Uni Soviet terpecah menjadi beberapa negara kecil pada tahun 1989-1991. Hal itu dimulai tatkala Mikhail Gorbachev memegang tampuk kekuasaan menggantikan Andrey Gromyko.

115

Menurut Erman Rajagukguk, globalisasi dapat dikatakan sudah terjadi sejak dimulainya perdagangan rempah-rempah dan tanam-paksa di Jawa hingga tumbuhnya perkebunan-perkebunan di Hindia Belanda pada abad ke-19. Erman Rajagukguk, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi: Implikasinya bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia”, Pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara ke-44 (Medan: 20 November 2001), h. 1-2.

116 Istilah “borderless law” penulis pinjam dari Sulistyowati Irianto ketika ia menjelaskan tentang pluralisme hukum dalam perspektif global yang kemudian menyebabkan timbulnya globalisasi hukum. Sulistyowati Irianto dkk (ed.), Kajian Sosio-legal (Denpasar dan Jakarta: Pustaka Larasan, Universitas Indonesia, Universitas Leiden, dan Universitas Groningen, 2012), h. 160.

Gorbachev, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet sejak bulan Maret 1985, adalah representasi golongan muda Uni Soviet yang jenuh pada sistem ekonomi-politik komunistis yang diwariskan Vladimir Ilych Lenin (1870-1924) setelah Revolusi Bolshevik pada tahun 1917. Gorbachev menjalankan banyak agenda untuk mereformasi negerinya, yang terkenal dengan ide primernya, perestroika (“restrukturisasi”). Pemaknaan perestroika meluas menjadi kebijakan yang berorientasi pada reformasi ekonomi, yang terdiri dari glasnost (keterbukaan), democratizatsia (demokratisasi), dan novoe myshlenia (pemikiran baru).117 Reformasi yang diprakarsai Gorbachev bersumber dari keinsafannya akan kelemahan-kelemahan sistem sentralistik yang tertutup ala Uni Soviet118 dan ketertarikannya akan ide demokrasi yang terbuka ala Barat.

Ide-ide reformasi yang diusung Gorbachev memang bagus pada awalnya, tetapi ide-ide tersebut mengandung banyak konsekuensi, baik positif maupun negatif. Katup kebebasan yang perlahan-lahan dibuka Gorbachev tidak diimbangi dengan kekuasaan negara untuk mengontrolnya. Tatkala pemerintah membuka kebebasan pers, dengan segera media massa menyingkap keburukan sistem

117

Michael Kort, A Brief History of Russia (New York: Facts On File, 2008), h. 223-224.

118 Sistem Uni Soviet, demikian George Soros, barangkali adalah bentuk masyarakat tertutup yang paling komprehensif dalam sejarah manusia. Dalam sistem semacam itu, hanya ada satu konsep yang berlaku, yakni otoritas yang dipaksakan dengan kekuasaan. Sistem politik ala Uni Soviet praktis mencampuri seluruh aspek kehidupan, seperti politik, militer, dan intelektual. George Soros, op. cit., h. 255.

pemerintahan dan menyiarkannya ke penjuru dunia. Ide perestroika terlambat disadari telah bekerja di luar kendali dan mengancam keseluruhan sistem Soviet. Kesadaran nasional dan kelompok etnis minoritas non-Rusia meletup dalam rupa kerusuhan sosial. Di wilayah Kaukasus, konflik terjadi antara umat Kristen Armenia dan kaum Muslim Azerbaijan. Begitupun di Asia tengah, sesama Muslim berbeda etnis terpantik isu sektarian.119

Di sisi lain, negara-negara Barat kurang memberi respons yang antusias pada perubahan yang mulai tampak di Uni Soviet. Menurut George Soros, negara-negara Barat tidak benar-benar mendukung transisi pemerintahan di Uni Soviet. Soros mengatakan:

[O]rang menaruh simpati, tetapi simpati yang tidak tulus. [...] Dunia Barat telah bersedia mendukung transisi demokrasi dengan kata-kata tetapi tidak dengan uang, dan bantuan serta nasihat yang diberikan telah diarahkan secara salah oleh bias fundamentalisme pasar. Orang Soviet dan kemudian orang Rusia bersedia menerima, bahkan ingin sekali mendapatkan nasihat dari luar. Mereka menyadari bahwa sistem mereka membusuk dan cenderung mengidolakan Barat. Sialnya, mereka membuat kesalahan [...]: mereka mengira bahwa dunia Barat bakal peduli dengan tulus ikhlas.120

[A]pa yang tidak dikatakan (Boris) Yeltsin [pemimpin Uni Soviet lalu Rusia setelah Gorbachev—pen.] adalah bahwa dia dan banyak orang lain telah menaruh kepercayaan pada Barat, tetapi dunia Barat tidak sanggup memenuhi harapan-harapan mereka yang diakui memang berlebihan. [...] Mula-mula saya mengira bahwa para negarawan Barat hanya tidak memahami apa yang sedang terjadi. Bahwa Gorbachev bersedia mengubah sistem Soviet terlalu bagus untuk dipercaya, sehingga mereka ingin

119

Michael Kort, op. cit., h. 226.

mengujinya. Mereka memasang rintangan lain dan ketika Gorbachev melompatinya mereka memasang rintangan-rintangan yang lebih tinggi lagi. Akhirnya mereka harus mengakui bahwa perubahan itu nyata, tetapi pada saat yang sama mereka telah kehilangan segala rasa hormat terhadap Rusia sebagai sebuah negara adikuasa. Mereka mulai memperlakukan Rusia sebagai pengemis.121

Kejatuhan Uni Soviet sebagai rival utama Amerika Serikat dan sekutunya, dengan demikian, juga turut meneguhkan kemenangan liberalisme atas komunisme. Komunisme, ideologi ciptaan Karl Marx (1818-1883), yang sempat mewarnai pergolakan politik dunia selama berabad-abad terbukti mengandung banyak cacat ketika dipraktikkan pada aras negara.122 Komunisme telah berubah: dari ideologi yang dipuja-puja menjadi momok yang dicaci dan dijauhi. Perang Dingin pun usai dengan diiringi peristiwa-peristiwa dramatis: runtuhnya Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dengan Jerman Timur, berakhirnya Pakta Warsawa (The Warsaw Pact) sebagai perjanjian militer yang pada awalnya dibentuk untuk menyaingi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO), disintegrasi sosial-politik negara-negara bekas Uni Soviet, dan seterusnya.

121

Ibid., h. 286.

122 Negara komunis yang masih tersisa hingga tulisan ini dibuat antara lain Republik Rakyat China, Kuba, Korea Utara, Laos, dan Vietnam. Khusus untuk Republik Rakyat China, perubahan besar banyak terjadi di negara ini. China ditengarai tak lagi menganut komunisme murni, melainkan komunisme yang telah dimodifikasi menjadi sebuah kapitalisme yang “dikontrol” oleh negara (state capitalism). The Economist, “The Rise of State Capitalism” dalam The Economist, 21-27 Januari 2012 (Rubrik Special Report).

Singkat kata, ekspansi liberalisme dalam bentuk politik (demokrasi liberal) ataupun ekonomi (kapitalisme) ke seluruh dunia tak menemukan rintangan berarti setelah keruntuhan komunisme.123 Perundingan dan pertemuan-pertemuan dalam skala bilateral, regional, dan multilateral pun digelar untuk mempromosikan gagasan demokrasi liberal dan perdagangan bebas. Dalam suatu masa di mana hampir setiap negara di dunia adalah negara demokratis dan— diakui ataupun tidak—juga kapitalis itu, lahirlah World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995.

WTO diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah perdagangan dunia dan menegakkan prinsip-prinsip yang disepakati bersama yang termaktub dalam GATT.124 WTO adalah penerus GATT dan pengganti cita-cita International Trade Organization (ITO)125 yang gagal terwujud karena Amerika Serikat menolak usulan pendiriannya

123 Namun, Manfred B. Steger mencatat bahwa kemenangan liberalisme tersebut tidak memperhitungkan dua penantang baru yang datang pascakeruntuhan komunisme, yaitu fundamentalisme agama dan nasionalisme etnis. Manfred B. Steger, op. cit., h. 4.

124 Lembaga dan perjanjian GATT mengandung pelbagai prinsip dasar yang merupakan landasan dari GATT sebagai suatu sistem dengan konsepsi dan pemikiran yang integral. Sebagai lembaga, GATT dibentuk pada tahun 1947 sebagai bagian dari serangkaian lembaga (seperti IMF dan World Bank) yang didirikan untuk menata kembali perekonomian dunia selepas Perang Dunia II. Tujuan GATT bukanlah untuk menerapkan perdagangan bebas yang tanpa rintangan, tetapi untuk menerapkan aturan permainan (rules) sehingga perdagangan internasional dapat berkembang secara transparan dan liberalisasi secara bertahap dapat terwujud melalui serangkaian perundingan lanjutan. Liberalisasi di bidang perdagangan dinilai dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara. H.S. Kartadjoemena, Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia/UI-Press, 2000), h. 21.

125

Perundingan untuk membentuk ITO diselenggarakan di Havana, Kuba, pada tahun 1948. ITO pada awalnya diharapkan mempunyai wewenang dan struktur yang serupa dengan IMF dan World Bank. Ibid., h. 20.

pada tahun 1950. Kini hampir seluruh negara di dunia menjadi anggota WTO. Bahkan, negara-negara yang dahulu berhaluan komunisme dan tidak percaya pada mekanisme sistem ekonomi pasar (kapitalisme) kini berbondong-bondong mengadopsi sistem tersebut dan turut mengikuti perundingan-perundingan di WTO.126 Padahal, instrumen hukum internasional dalam WTO adalah aturan hukum yang cacat karena dihasilkan dari menawar, termasuk tawar-menawar antara negara industri maju dan negara berkembang, di mana dalam setiap tawar-menawar negara industri maju dan berkuasalah yang biasanya selalu menang.127

Joseph E. Stiglitz memaparkan ilustrasi faktual yang ironis:

[P]emaksaan kehendak biasanya bersifat asimetris. Ancaman pembatasan perdagangan antara Amerika Serikat dan negara kecil seperti Antigua akan menimbulkan kecaman, tetapi Amerika Serikat tidak akan terlalu ambil pusing jika Antigua mengancam akan melakukan restriksi perdagangan. Jika tindakan itu memengaruhi sejumlah besar negara, maka ancaman pembalasan itu akan mengenai sasaran, seperti kasus subsidi yang diberikan Amerika Serikat kepada petani kapas. Meskipun demikian, peraturan yang cacat lebih baik daripada tidak ada hukum sama sekali.128

Persoalannya kemudian adalah bagaimana peran negara dalam dunia yang telah mengglobal dan bercirikan liberalisme dalam bidang

126 Meskipun demikian, pemerintah di negara-negara yang dahulu berhaluan komunisme itu tidak menyebut secara tegas sistem ekonominya sebagai kapitalisme, melainkan sistem ekonomi pasar sosialis (socialist market economy). Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006 [ed. ke-2]), h. 141.

127

Joseph E. Stiglitz, op. cit., h. 140.

128

politik dan ekonomi? Kita mengetahui bersama bahwa liberalisme dapat diasosiasikan dengan proses menghilangnya peran negara dalam seluruh bidang kehidupan. Sebagaimana telah penulis ungkapkan, liberalisme adalah buah pemikiran Adam Smith sebagi reaksi atas paham merkantilisme yang cenderung memosisikan negara sebagai pengendali utama. Kekuasaan negara yang terlampau dominan itulah yang menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam pengelolaan negara sehingga memunculkan korupsi, birokrasi yang lamban, dan segenap keburukan lain. Sistem terpusat ala Uni Soviet membuktikan bahwa kontrol pemerintah yang terlalu besar pada akhirnya akan mampu menggulingkan pemerintahan.

Namun, menurut Didik J. Rachbini, liberalisme yang dicirikan dengan sistem ekonomi pasar sejatinya bukan sebuah pemecah masalah yang baik untuk menyelesaikan semua masalah ekonomi. Pasar sering kali tidak bekerja efektif dalam pelbagai keadaan sehingga muncul apa yang disebut sebagai dampak eksternalitas ekonomi, seperti keresahan sosial, dekadensi moral, dan kerusakan lingkungan.129

Negara sesungguhnya memiliki peran yang penting dan potensial sebagai pusat segala bentuk organisasi ekonomi alternatif, seperti perusahaan negara dan koperasi. Kekuasaan negara merupakan

dasar untuk mengubah produksi dan konsumsi dari sentralitas pasar global ke lokal. Kekuasaan negara adalah dasar bagi inovasi teknologi yang berakar pada ikatan komunitas dan solidaritas sosial yang lebih besar. Kekuasaan negara mendefinisikan kembali isu pasar dan meletakkannya dalam konteks sosial-politik untuk membentuk konfigurasi baru kekuatan rakyat yang berupa pasar nasional dan lokal. 130 Pentingnya peran negara dalam sistem ekonomi pasar— sehingga, dengan demikian, dalam konteks global—dapat dijelaskan dengan argumen-argumen berikut.131

Pertama, adanya kegagalan pasar dalam sistem ekonomi membuka kemungkinan masuknya negara untuk membuat supaya sistem ekonomi kembali efektif. Tujuannya untuk menciptakan kesejahteraan yang baik bagi para pelaku ekonomi. Kehadiran negara penting untuk mencegah supaya keadaan yang buruk tidak bertambah semakin buruk. Oleh karena itu, negara perlu bertindak cepat dengan analisis ekonomi yang tepat menyusun regulasi-regulasi yang diperlukan untuk menjaga kestabilan sistem ekonomi.

Kedua, faktor lain yang menjadi alasan mengapa peran pemerintah atau negara sangat penting adalah kenyataan akan kegagalan distribusi pendapatan dan ketimpangan kesejahteraan di

130

James Petras dan Henry Veltmeyer, op. cit., h. 57.

masyarakat. Pasar yang tidak bekerja sempurna dengan infomasi yang tidak merata menyebabkan alokasi sumber-sumber ekonomi tidak terjadi secara adil dan proporsional. Pasar juga akan cenderung menafikan aspek moralitas sehingga individu-individu di dalamnya tidak bertindak atas dasar pertimbangan etis dan moral. Hukum sebagai instrumen penegak moral semestinya digunakan untuk mencegah supaya hal-hal negatif semacam itu tidak terjadi.132

Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi dan politik dunia yang berorientasi pada pasar, gagasan tentang kedaulatan negara perlu direinterpretasi kembali. Tujuannya, untuk meraba sejauh mana peran negara telah menyusut dalam konteks global dan faktor-faktor yang menyebabkannya.

Penulis, dalam bagian sebelum ini, telah menyinggung bahwa kedaulatan negara sejatinya tak bisa dilepaskan dari narasi historis, situasi politik, ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Dengan menelusuri asal muasal gagasan kedaulatan negara—yang pada praktiknya kerap kali diwarnai kontroversi, perang, nuansa keagamaan, dan politik—diperoleh kesimpulan bahwa kedaulatan

132

Namun, Didik J. Rachbini mengajukan catatan bahwa, pertama, pemerintah yang baik tidak akan mengganggu pasar jika tatanannya telah spontan dan telah menciptakan efisiensi yang wajar atau bahkan optimal. Intervensi negara tak lagi diperlukan tatkala persaingan yang sehat telah terjadi secara alamiah. Kedua, intervensi pemerintah biasanya datang karena kelompok kepentingan (interest group). Masalah ketidakseimbangan pasar mesti disikapi sebagai bagian dari mekanismenya, bersifat sementara, dan biasanya dapat diselesaikan oleh mekanisme pasar itu sendiri. Jika negara hadir, maka persoalan ekonomi akan bergeser menjadi politik yang konsekuensinya akan diterima secara tak seimbang oleh individu-individu di dalamnya.

negara merupakan manifestasi dari hasrat manusia akan diri yang ideal. Seperti halnya manusia, dalam rangka memenuhi hasratnya, negara memperjuangkan kedaulatannya hingga ke tingkat yang sejauh-jauhnya, bahkan dengan cara menyakiti pihak lain dan dirinya sendiri.

Hal itu dapat kita amati dari fenomena, gagasan, atau era globalisasi. Era globalisasi adalah manifestasi sahih bagaimana kedaulatan negara beroperasi laiknya hasrat manusia. Globalisasi yang bersumber dari semangat liberalisme kini telah menciptakan, menurut James Petras dan Henry Veltmeyer, suatu tata-imperialisme baru. Tata-imperialisme baru, melalui kebijakan neoliberal yang diusulkan oleh lembaga ekonomi internasional seperti IMF dan World Bank yang mana pejabatnya dipilih oleh Departemen Keuangan Amerika Serikat, membentuk keputusan ekonomi dan makro-sosial yang memengaruhi struktur dasar ekonomi dan standar hidup negara-negara di dunia.133

Jika di masa lalu otoriterisme didefinisikan sebagai rezim yang merangkul militer dan menolak kebebasan individu serta pemilihan umum, otoriterisme di masa kini justru berasaskan kebebasan individu, liberalisme, demokrasi, dan kapitalisme, namun dengan retorika-retorika palsu yang bertujuan untuk memenangkan

kepentingan negara industri maju. Negara adidaya seperti Amerika Serikat secara tidak langsung mengendalikan pemilihan umum di negara lain melalui mekanisme pemilihan tanpa konsultasi atau pertanggungjawaban publik terhadap pejabat di lembaga-lembaga ekonomi internasional. Pejabat-pejabat yang mengisi lembaga ekonomi internasional tersebut pada akhirnya akan menentukan kebijakan lembaganya yang sedikit-banyak pasti memengaruhi arah kebijakan ekonomi dan politik negara-negara yang membutuhkan bantuan, baik berupa nasihat maupun finansial, dari lembaga ekonomi internasional itu.134

Globalisasi terbukti lebih banyak menguntungkan negara industri maju daripada negara berkembang.135 Lembaga-lembaga internasional seperti IMF, World Bank, dan WTO yang telah dipercaya untuk membuat aturan dan mengelola perekonomian global ternyata hanya merefleksikan kepentingan negara-negara industri maju.136 Dalam beberapa hal, lembaga-lembaga internasional tersebut tidak dapat dipersalahkan karena mereka dijalankan oleh Amerika Serikat dan negara-negara industri maju lainnya. Namun, kegagalan lembaga-lembaga internasional yang tidak bisa mengelola

134

Ibid.

135 Joseph E. Stiglitz menulis, “Aturan main globalisasi tidak adil, dirancang secara khusus untuk menguntungkan negara industri maju. Kenyataannya, dewasa ini beberapa perubahan sangat tidak adil sehingga membuat negara-negara miskin menjadi makin terpuruk.” Joseph E. Stiglitz, op. cit., h. 56.

136

perekonomian global dengan baik dan bersikap tidak adil terhadap negara berkembang menunjukkan bahwa alasan utama kehadiran lembaga-lembaga internasional itu hanyalah untuk mengamankan kepentingan nasional (baca: kedaulatan negara) Amerika Serikat dan negara-negara industri maju lainnya.137

Globalisasi seharusnya tidak menyingkirkan nilai-nilai lokal tetapi kenyataannya melalui globalisasilah negara-negara industri maju (misalnya Amerika Serikat) memaksakan sistem ekonomi dan model budaya (misalnya model liberal Anglo-Amerika) mereka kepada negara-negara berkembang. Pemaksaan sistem ekonomi ini untuk beberapa kasus terlalu dipaksakan, kurang tepat, dan cenderung merusak.138 Inilah otoriterisme jenis baru yang berakar dari hasrat manusiawi akan kedaulatan negara, yang diusung globalisasi setelah kemenangan mutlak liberalisme atas rival-rivalnya pada pengujung abad keduapuluh.139

Kedaulatan negara di era globalisasi ini bahkan berhasrat lebih jauh lagi, yakni berusaha menjangkau dan menegakkan yurisdiksinya 137 Ibid., h. 389. 138 Ibid., h. 56. 139

Berakhirnya Perang Dingin dan hilangnya persaingan dengan ideologi komunisme memberikan dua kesempatan kepada Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adikuasa yang tersisa: (1) membentuk kembali perekonomian global berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan kepedulian kepada kaum miskin, atau (2) membentuk kembali perekonomian global berdasarkan kepentingannya sendiri dan korporasi internasionalnya. Pada akhirnya, Amerika Serikat terbukti memilih opsi kedua. Ibid., h. 389.

di ruang-maya yang, secara praktis, mustahil dijamah. Dengan dalih bahwa ruang-maya berpotensi menjadi sarana atau wahana untuk melakukan perbuatan melawan hukum yang berdampak secara langsung ataupun tidak langsung di dunia nyata, negara dengan beragam cara berusaha membatasi akses internet warganya.

Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa internet memang laksana pedang bermata dua. Di satu sisi internet dapat memberi kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia, namun di sisi lain internet juga menyediakan ruang yang potensial memantik beragam tindak pidana baru yang tidak dikenal di era sebelumnya.

Oleh karena itu setiap pengguna internet mesti memahami esensi teknologi menurut Martin Heidegger. Pemahaman akan teknologi, demikian Martin Heidegger, mesti dibebaskan dari penafsiran yang subyektivistik, yang memandang teknologi hanya secara instrumental dan antropologis. Sikap semacam ini hanya akan memosisikan manusia sebagai tuan atas segalanya dan kehilangan esensi dari kemajuan yang telah dicapai teknologi.

Dalam dokumen Konstruksi Hukum atas Kedaulatan Negara (Halaman 85-98)