• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia pada saat itu. Krisis yang lebih dikenal dengan nama krisis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia pada saat itu. Krisis yang lebih dikenal dengan nama krisis"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Krisis yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan pukulan keras bagi bangsa Indonesia pada saat itu. Krisis yang lebih dikenal dengan nama krisis moneter tersebut berawal di Thailand pada bulan Juli yang dipicu dari serangan spekulasi terhadap mata uang Baht Thailand yang kemudian menjalar (contagion

effect) ke mata uang Rupiah Indonesia. Melemahnya Rupiah telah mendorong

investor luar negeri untuk menarik dananya pada waktu bersamaan dari Indonesia yang diinvestasikan dalam bentuk portfolio surat-surat berharga seperti

commercial papers, promissory notes, medium-term notes ataupun saham dan

obligasi1.

Kepanikan kemudian terjadi di pasar valuta asing terutama karena perusahaan dan bank-bank di dalam negeri ingin memborong devisa untuk membayar atau melindungi kewajiban luar negerinya dari risiko nilai tukar2. Indonesia tetap mengalami dampak yang ditimbulkan dari krisis yang menjalar dari luar Indonesia tersebut. Nilai tukar Rupiah pada saat itu anjlok yang mengakibatkan terganggunya arus kas perbankan nasional dan berdampak pada kesulitan likuiditas yang dialami bank. Kepercayaan masyarakat terhadap bank menurun drastis pada saat itu dimana ditandai dengan nasabah yang menarik seluruh

1Surat-surat berharga yang dimaksud merupakan surat utang yang diterbitkan oleh

perusahaan-perusahaan Indonesia yang diperjualbelikan kepada investor khususnya dari luar negeri yang ingin mendapatkan keuntungan dari tingginya perbedaan suku bunga di dalam negeri dengan suku bunga internasional. Perbedaannya terletak pada jangka waktu surat berharga tersebut. Umumnya,

commercial papers berjangka waktu kurang dari satu tahun, promissory notes berjangka waktu

antara satu sampai tiga tahun, dan medium-term notes berjangka waktu antara tiga sampai lima tahun.

2 Pusat Riset dan Edukasi Bank Sentral Bank Indonesia (PRES), 2014, Pengantar Kebanksentralan: Teori dan Praktik di Indonesia, Raja Grafindo, hlm. 145

(2)

simpanannya di bank atau rush sehingga terjadi bank run yang menyebabkan penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997 dan kemudian penutupan 38 bank pada tahun 1999. Pada dasarnya hal tersebut terjadi sebagai akibat dari adanya kebijakan pemerintah untuk menutup sejumlah bank yang dinilai tidak sehat sesuai dengan Letter of Intent (LoI)3, sebuah program pemulihan yang ditetapkan IMF. Saat terjadi penutupan 16 bank pada tahun 1997, asuransi simpanan terbatas (AST) diterapkan sebagai bagian dari persetujuan pertama dengan IMF dengan batas Rp 20 juta per rekening perbank namun hal tersebut tidak dapat mencegah terjadinya bank runs4. Untuk memulihkan kepercayaan domestik dan internasional terhadap perekonomian dan sistem keuangan, pemerintah menandatangani persetujuan kedua dengan IMF pada 15 Januari 1998. Namun, persepsi dan reaksi pasar terhadap komitmen dan kemampuan pemerintah dalam menangani krisis masih tetap negatif. Akibatnya, terjadi

capital flight yang besar mencapai sekitar US$600 juta to $700 juta per hari.

Pada tanggal 22 Januari 1998, rupiah terjatuh ke titik terendah Rp16.500.

Untuk mencegah penurunan lebih jauh dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan, pada 27 Januari 1998, pemerintah menetapkan program penjaminan pemerintah (blanket guarantee). Asuransi simpanan penuh (ASP) tersebut mencakup seluruh kewajiban bank komersial baik rupiah maupun valuta asing, termasuk nasabah penyimpan dan kreditur. Kebijakan ASP tersebut bersifat temporer menunggu terbentuknya Lembaga Penjamin Simpanan.

3 Letter of Intent adalah sebuah pernyataan tertulis yang menyatakan keinginan dari pembuatanya

untuk masuk kedalam perjanjian bisnis formal dengan entitas atau orang lain.

4 Reformulasi Manajemen Krisis Indonesia : Deposit Insurance and the Lender of Last Resort, S.

(3)

Usaha yang dilakukan pemerintah pada saat itu adalah dengan mengeluarkan kebijakan untuk penalangan pembayaran atas penarikan dana masyarakat di perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan jumlah yang besar. Saat itu Bank Indonesia menjalankan peran bank sentral Lender of Last Resort yang berbentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapinya dalam keadaan darurat5.

Setelah terjadi krisis, pemerintah dan Bank Indonesia mengalami kekhawatiran apabila fungsi Lender of Last Resort tersebut digunakan untuk menanggulangi kesulitan keuangan yang sistemik. Oleh karena itu, perumusan

Lender of Last Resort dalam pembaharuan undang-undang Bank Indonesia yaitu

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 dalam pasal 11 menjadi amat terbatas6.

Berkaca terhadap pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang banyak dipermasalahkan karena belum terdapat kejelasan landasan hukum yang menegaskan bahwa kesulitan keuangan yang bersifat sistemik dapat diberikan pembiayaan darurat oleh Bank Indonesia yang pendanaannya menjadi beban pemerintah, maka dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Bank Indonesia. Dalam amandemen Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 3 Tahun

5 Kusumaningtuti SS, 2009, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia,

PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 70

(4)

2004, ketentuan Pasal 11 tersebut dilengkapi dengan ayat (4) dan ayat (5) sebagai berikut7:

Ayat (4): Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah.

Ayat (5): Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri yang ditetapkan selambat-lambatnya akhir tahun 2004.

Dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 13 Oktober 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, dilakukan perubahan pada Pasal 11 ayat (2) yang menghilangkan kata-kata “….dan mudah dicairkan”, dan pada Pasal 11 ayat (5) yang menghilangkan kata-kata “….yang ditetapkan selambat-lambatnya akhir tahun 2004”8. Perpu tersebut kemudian ditasbihkan menjadi sebuah undang-undang melalui Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi undang-undang.

Mekanisme pencegahan dan penanganan krisis di Indonesia pada dasarnya telah menjadi bahan pembicaraan sejak tahun 1990an. Bank Indonesia sebagai

7 Ibid. Sebelumnya, Pasal 11 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 tahun

2004 berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1): Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan.

Ayat (2): Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.

Ayat (3): Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.

(5)

bank sentral di Indonesia memberikan bantuan likuiditas dan permodalan kepada bank-bank bermasalah secara kasus per kasus (ad-hoc) dan tidak transparan. Bantuan tersebut juga tidak didasarkan pada suatu mekanisme asuransi formal tetapi lebih pada keyakinan bahwa bank-bank yang dibantu tersebut merupakan sistemik (too big to fail) atau kegagalan suatu bank dapat mewabah (contagion)9. Terhadap terjadinya krisis, pada dasarnya setiap negara memiliki sebuah jarring pengaman yang menjadi fondasi sistem keuangan. Jaring pengaman tersebut pada umumnya terdiri dari bank sentral, sebuah departemen dari pemerintahan seperti kementerian keuangan atau perbendaharaan dan satuan yang bertanggungjawab untuk menentukan regulasi dan supervisi, dan, di beberapa kasus, terdapat juga penjamin simpanan atau agen penjamin simpanan10. Di Indonesia pembahasan mengenai keberadaan jaring pengaman sistem keuangan tersebut juga terdapat dalam Penjelasan Umum amandemen Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 3 tahun 2004 dimana disebutkan:

“Sehubungan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia, selama ini pelaksanaan fungsi sebagai Lender of Last Resort dilakukan oleh Bank Indonesia melalui pemberian fasilitas kredit kepada bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek dan dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Hal ini dirasakan sangatlah terbatas dan belum mencakup fungsi Lender of Last Resort yang dapat digunakan dalam kondisi darurat atau krisis. Untuk itu, dengan Undang-undang ini

9 S. Batunanggar, 2002, Reformulasi Manajemen Krisis Indonesia : Deposit Insurance and the Lender of Last Resort, hlm.2. Revisi dan versi ringkas dari paper berjudul ‘Indonesia’s Banking

Crisis Resolution: Lessons and the Way Forward’; proyek riset di Centre for Central Banking Studies (CCBS), Bank of England dan dipresentasikan pada Banking Crisis Resolution Conference, CCBS, Bank of England, London, 9 December 2002.

10 Working Group and Research Committee of Federal Deposit Insurance Corporation,

“Interrelationship Among Safety-Net Participants” https://www.fdic.gov/deposit/deposits/ international/guidance/guidance/7interrelationships.doc ditelusuri pada 39 Maret 2016 Pukul 23.35 WIB

(6)

dimungkinkan Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdapak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan. Mekanisme ini merupaan bagian dari konsep jaring pengaman sektor keuangan (Financial

Safety Net) yang akan diatur dalam undang-undang tersendiri.”

Sebagai implementasi dari amandemen Undang-Undang Bank Indonesia, pada 15 Oktober 2008 Pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK) yang menjadi dasar regulasi mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Penyusunan Jaring Pengaman Sistem Keuangan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan Krisis11. Dalam rangka pelaksanaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Perpu JPSK mengamanatkan dibentukanya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSKK) yang beranggotakan Menteri keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. KSKK tersebut memiliki fungsi untuk menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis di sistem keuangan. Pelaksanaan fungsi bank sentral sebagai lender of last resort yang melekat pada Bank Indonesia merupakan pengejawantahan Bank Indonesia sebagai bagian dari Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

Perpu menurut pasal 22 UUD NRI 1945 adalah jenis peraturan yang memiliki setingkat undang-undang. Perpu ditetapkan oleh presiden dalam hal ikhwal kegentingan memaksa yang harus segara diatasi karena pada saat itu presiden tidak dapat mengaturnya dengan undang-undang, yang untuk membentuknya

11 Pasal 2 Perpu Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Lembaran

(7)

memerlukan waktu yang relatif lebih lama dan melalui prosedur yang bermacam-macam12.

Pada akhir tahun 2008, terjadi polemik mengenai penolakan Perpu JPSK oleh DPR. Menurut DPR, Perpu JPSK sudah ditolak pada Rapat Paripurna DPR pada 18 Desember 2008 namun pemerintah menganggap penolakan terjadi pada 30 September 2009, yaitu pada saat DPR tidak menyetujui RUU JPSK. Isi surat Ketua DPR kepada Presiden tertanggal 24 Desember 2008 tidak secara tegas menolak Perpu JPSK. Dalam surat dijelaskan bahwa Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 menyepakati untuk meminta kepada Pemerintah agar segera mengajukan RUU JPSK sebelum 19 Januari 200913. Namun seiring dengan berjalannya waktu, RUU JPSK yang diusulkan oleh Presiden tidak mendapatkan persetujuan dari DPR yang secara otomatis membatalkan klausula pencabutan Perpu JPSK sehingga mengakibatkan ketidakjelasan terhadap status pemberlakuan Perpu JPSK. Ketidakjelasan pemberlakuan Perpu JPSK tersebut juga mengakibatkan ketidakjelasan garis koordinasi antara Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan sebagai wakil Pemerintah maupun otoritas keuangan lainnya dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penulis bermaksud untuk mengajukan sebuah penulisan hukum yang berjudul “PERAN BANK INDONESIA DALAM PENCEGAHAN KRISIS MELALUI JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN”

12 Maria Farida Indrati Soeprapto, dalam Ernawati M. Pelaksanaan Undang-Undang dan Penegakan Hukum, Makalah, hlm. 96

13 Yuli Harsono, “Polemik Penolakan Perpu JPSK”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/

lt4b557621e5e83/polemik-penolakan-perpu-jpsk-br-oleh-yuli-harsono ditelusuri pada 7 Maret 2016 Pukul 16.18 WIB

(8)

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis telah merumskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah langkah yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam

perannya untuk mencegah krisis melalui mekanisme Jaring Pengaman Sistem Keuangan?

2. Apakah hambatan yang dialami oleh Bank Indonesia dalam pencegahan krisis serta bagaimana solusi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam menghadapi hambatan tersebut?

C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui peran Bank Indonesia dalam pelaksanaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebagai pencegahan krisis di Indonesia; b. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia

dalam pencegahan krisis di Indonesia. 2. Tujuan Subyektif

Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat di Bidang Akademik

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperluan pengetahuan di bidang Ilmu Hukum Dagang khususnya di bidang Hukum Perbankan mengenai stabilitas sistem keuangan.

(9)

2. Manfaat Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian sejenis berikutnya yang obyek bahannya tentang penanganan krisis melalui Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang penelusuran penulis pada berbagai referensi baik penelusuran kepustakaan maupun pada media, baik cetak maupun elektronik, terdapat beberapa pihak lain yang sudah mengangkat topik mengenai penanganan krisis maupun yang berkenaan dengan hal tersebut. Saudara Verry Iskandar dalam skripsinya pada tahun 2002 melakukan penelitian dengan judul Peranan Bank Indonesia Sebagai Lender of The Last Resort dalam Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selain itu saudara Reza Kerisnadi dalam tesisnya pada tahun 2011 melakukan penelitian dengan judul Tinjauan Yuridis Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan Sesuai Dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia.

Penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian yang dilakukan penulis mengangkat pokok permasalahan peran Bank Indonesia dalam pencegahan Krisis melalui Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Dengan demikian penelitian yang berkaitan dengan “PERAN BANK

INDONESIA DALAM PENCEGAHAN KRISIS MELALUI JARING

PENGAMAN SISTEM KEUANGAN” belum pernah dilakukan dan dalam kesempatan ini penulis akan melakukan penelitian mengenai masalah tersebut, dengan demikian penelitian ini adalah asli.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, apabila kompensasi dinaikkan dan lingkungan kerja dinyamankan, maka motivasi karyawan menjadi tinggi serta dampaknya pada kepuasan kerja Karyawan

Pada Metode Pelaksanaan, tidak menyampaikan keterangan bahwa daftar nama tenaga ahli/ terampil yang tertulis (ditawarkan) sama dengan tenaga ahli/terampil yang

Telah disetujui dan disahkan pada tanggal .... Pembimbing Industri, Dosen

: “Sebuah robot adalah sesuat u yang dapat di program dan diprogram ulang, dengan memiliki manipulator mekanik / pengerak yang didisain unt uk memindahkan barang-barang,

Konsep pemecahan masalah dari kegiatan ini adalah melaksanakan kegiatan Pelatihan penyusunan program latihan penurunan berat badan. Sehingga diharapkan program

Risiko- risiko yang dihadapi bagi mahasiswa yang tidak mengerti fiqih muamalah adalah: (1) ilmu akuntansi syariah hanya dapat digunakan nanti setelah lulus, itupun

Penelitian ini bertujuan agar diketahuinya pengetahuan perawat tentang pelaksanaan resusitasi jantung paru, diketahuinya tingkat pendidikan perawat terkait kemampuan

Pendapat Jabariah di atas menurut Mu‟tazilah bertentangan dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah tidak menghalangi umat untuk beriman jika datang kepada