• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Kristen. Konflik terjadi karena adanya provokasi dari pihak-pihak tertentu. Konflik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Kristen. Konflik terjadi karena adanya provokasi dari pihak-pihak tertentu. Konflik"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Konflik Maluku merupakan pertikaian antar kelompok agama Muslim dan Kristen. Konflik terjadi karena adanya provokasi dari pihak-pihak tertentu. Konflik di Maluku merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dan terburuk di Indonesia. Jumlah korban jiwa mencapai 13.426 dalam kurun waktu 3 tahun, Oktober 1998 sampai Mei 2001. Sejak berlakunya Keadaan Darurat Sipil di Maluku (26 Juni 2000 – Januari 2002), jumlah pengungsi konflik Maluku mencapai 330.758 jiwa (Manoppo, 2005).

Konflik horizontal pecah kembali di Maluku pada tahun 2011-2012. Konflik terpusat di kota Ambon. Frekuensi konflik pada periode ini terjadi dalam empat momen (tabel 1), tetapi puncaknya pada 11 September 2011 (Nainggolan, 2012). Pada waktu itu, sekelompok warga menyerang kawasan kampung Waringin. Kemudian pada hari yang sama, konflik merembes ke kawasan Mardika - Batu Merah, yakni kawasan lain di sekitar kota Ambon. Rentetan konflik tersebut berakibat korban meninggal dunia 3 orang, luka berat 24 orang, dan luka ringan 65 orang (Firdaus, 2011). Jumlah rumah yang terbakar 226 unit, rusak berat 26 unit, dan ringan 16. Pemerintah kota Ambon secara resmi menetapkan jumlah pengungsi korban konflik 11 September 2011 sebanyak 485 kepala keluarga atau 1.899 jiwa (Wadrianto, 2011).Dibandingkan dengan konflik terparah kedua 14 Mei 2012, korban dan kerugian pada konflik 11 September 2014 secara kuantitas dan kualitas relatif lebih besar. Tidak ada korban jiwa pada konflik 14 Mei 2012, selain hanya korban luka-luka sebanyak 49 orang, ditambah 3 unit rumah dan 10 unit sepeda motor yang dibakar massa (Toumahuw, 2012).

(2)

Tabel 1

Frekuensi konflik di kota Ambon, tahun 2011-2012

Waktu Kasus Tempat

23 Januari 2011 Kasus angkutan kota Batu Merah

11 Sepetember 2011 Kasus Ojek Mardika

17 September 2011 Kasus kecerlakaan lalu-lintas Kudamati 14 Mey 2012 Kasus perayaan hari

pahlawan

Batu Merah dan Mardika

Penyebab konflik Maluku menurut Manoppo (2005) bukan karena perbedaan agama semata. Pihak-pihak kepentingan menciptakan kondisi psiko-sosial masyarakat untuk mempersepsi dan mengatribusi konflik bermotif agama. Hal ini menghasilkan prasangka agama, sehingga memotivasi perilaku agresif dan kekerasan para pihak, yang menyebabkan konflik antar pemeluk agama. Selanjutnya Manoppo (2005) memperlihatkan dampak konflik secara psikologis, yakni muncul ekspresi-ekspresi emosi sosial yang negatif seperti, trauma, prasangka, hilang kepercayaan, apatis, ketakutan kolektif, mudah disugesti dan hilangnya harapan untuk pulih membangun integrasi hubungan antar kelompok.

Berdasarkan tinjauan demografi, konflik dapat kembali terjadi di Ambon disebabkan oleh tiga hal. Pertama, kepadatan penduduk di kota Ambon. Luas daratan pulau Ambon 337 km persegi, tetapi hanya 17 persen yang dapat dihuni. Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah pulau Ambon adalah tebing dan pegunungan. Jumlah penduduk kota Ambon tahun 2010 mencapai 330 ribu jiwa, atau sekitar seperlima dari keseluruhan provinsi Maluku. Tingkat pertumbuhan penduduk cukup tinggi, sebesar 5,97 persen. Angka kepadatan penduduk kota Ambon mencapai 721-755 jiwa/km pada tahun 2007-2009. Kepadatan penduduk yang tinggi tersebut menciptakan kondisi yang mempermudah terjadinya konflik. Penyebab kedua adalah malfungsi pembangunan. Di banyak tempat bahkan di negara maju, kerusuhan mudah muncul di kantong-kantong pemukiman golongan miskin atau mereka yang

(3)

kesulitan memperoleh akses ke sumber daya dan hasil pembangunan. Angka persentasi kemiskinan kota Ambon menurun dari 14,49 sampai 11,30 pada tahun 2007-2009. Walaupun menurun, tetapi persentasi kemiskinan dua digit tetap merupakan persentasi yang cukup tinggi. Malfungsi atau kegagalan program pembangunan di Kota Ambon menyebabkan kemiskinan semakin tersebar. Ketiga, faktor segregasi wilayah pemukiman. Segregasi diwariskan sejak zaman penjajahan Belanda. Segregasi semakin diperjelas ketika konflik dan terus bertahan sampai pasca konflik. Segregasi dan persaingan juga terjadi di tubuh birokrasi pemerintahan antara PNS yang Kristen dan Muslim. Hal ini turut berkontribusi pada munculnya eskalasi ketegangan di masyarakat dan dalam politik lokal, berujung pada terjadinya konflik (Nainggolan, 2012).

Upaya merespon konflik Maluku telah cukup banyak dilakukan. Awalnya, pada masa kepresidenan Habibie (1999). Presiden Habibie merespon konflik Maluku dengan pendekatan keamanan. Pendekatan ini termanifestasi dalam kebijakan pengiriman pasukan militer. Upaya tersebut menuai kegagalankarena adanya bias dalam menangani perusuh. Kondisi semakin diperparah, pemusnahan dan kebencian antar kedua kelompok semakin mengintensifkan konflik. Provinsi Maluku benar-benar terbelah ke sisi Muslim dan Kristen. Waktu itu, perdamaian identik dengan menyerah(Muluk & Malik, 2009).

Upaya pemerintah yang lain dari Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2000). Awalnya dia hanya memberi pernyataan bahwa konflik Maluku hanya dapat diselesaikan oleh orang-orang Maluku sendiri. Pernyataannya menuai banyak kritikan bahkan kecaman. Akhirnya, ia membuat beberapa intervensi, terutama menggunakan pendekatan keamanan. Dengan menerjunkan personil Yongab (Yonif gabungan) dari berbagai unsur TNI (Kopasus, Kopaskas dan

(4)

Marinir). Operasi utamanya berupa sistem patroli intensif yang ditujukan untuk menghentikan pasokan senjata ilegal (Muluk & Malik, 2009).

Pada era pemerintahan presiden Megawati (2000-2004), inisiatif lain diperkenalkan oleh Yusuf Kalla sebagai Menteri Koordinator Bidang Sosial dan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Inisiatif ini dikenal sebagai Perjanjian Perdamaian Malino II. Pertemuan itu menghasilkan 11 poin deklarasi, yang didukung dengan program pemerintah pusat dengan menerapkan penegakan hukum bagi pelanggar HAM. Namun, setelah melewati waktu dua minggu, terjadi konflik lagi dengan tingkat keparahan lebih tinggi. Kemudian terungkap bahwa banyak wakil yang diundang terutama dipilih karena afiliasi politik mereka dengan pemerintah daerah waktu itu (Muluk & Malik, 2009).

Intervensi lain dari pemerintah provinsi Maluku, dengan membentuk komunitas pusat rekonsiliasi. Namun tim ini menghadapi penolakan dari masyarakat. Kegagalan tim ini karena tidak representatif. Pemerintah provinsi juga mempertemukan 13 Latupati (raja/kepala desa) muslim dan kristen sekitar wilayah Leihitu. Namun, forum ini gagal menghentikan eskalasi kekerasan (Muluk & Malik, 2009). Dengan demikian, intervensi dari pemerintah pusat maupun daerah tidak relevan dan belum berhasil mendamaikan kedua kelompok yang berkonflik (Muluk & Malik, 2009).

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal juga memainkan peran intervensi. Gagasan tim Wayame pada Februari 1999, bertujuan melindungi masyarakat Wayame Hamlet yang lokasinya terdapat instalasi vital (instalasi minyak milik negara dan bandara). Meskipun mencakup lokasi terbatas, tim berhasil melindungi daerah ini. Intervensi kecil lain dari LSM yang berfokus untuk

(5)

misi kemanusian yakni Baileo Foundation. Tujuannya untuk memberdayakan masyarakat pengungsi di tingkat akar rumput. Intervensi dari LSM lokal cukup berhasil, tetapi jangkauan intervensinya sangat terbatas (Muluk & Malik, 2009).

Muncul gerakan baku baemerespon dengan rentang intervensi yang lebih luas. Gerakan ini melakukan beberapa pertemuan baik informal maupun formal. Pertemuan dilakukan secara berkelanjutan. Beberapa pertemuan diselenggarakan, yakni pertemuan pertama dikelola dalam lokakarya pemecahan masalah interaktif (IPSW). Lokakarya berlangsung di Jakarta, bulan Agustus 2000. Hasil lokakarya ini diumumkan ke publik sebagai suara hati masyarakat korban di Maluku. Pertemuan keduanya berlangsung di Bali. Sasaran lokakarya ditujukan kepada pemimpin perang gerilya dari kedua kelompok. Peserta yang hadir mencakup 20 orang dari pihak Muslim dan 20 orang dari pihak Kristen. Lokakarya ini merekomendasikan beberapa kegiatan menyangkut pemberdayaan ekonomi dan pendidikan untuk masyarakat Maluku.

Rangkaian IPSW dilanjutkan di Yogyakarta pada bulan Desember 2000. Lokakarya tersebut mendapat dukungan moral dari Sultan Yoyakarta. Jumlah peserta dalam lokakarya ini, semakin bertambah menjadi 80 orang. Partisipan lokakarya terdiri dari berbagai unsur masyarakat, seperti pengungsi, perempuan, korban cacat fisik, pemimpin agama, kepala desa, pemuda, mahasiswa, akademisi, pengacara, wartawan, budayawan, migran lokal etnis Tionghoa, dan etnis Buton di Maluku. Intervensi yang dilakukan Gerakan Baku Bae memiliki dampak positif yang lebih luas dibandingkan dengan intervensi-intervensi sebelumnya. Walaupun disadari bahwa semakin banyak yang memahami kesia-siaan perang, tetapi masih banyak orang di Maluku pada saat itu yang tidak menyukai perdamaian (Muluk & Malik, 2009).

(6)

Ketika konflik kembali pecah pada tahun 2011, tumbuh gerakan lokal yang dinamai “gerakan provokator perdamaian”. Gerakan ini berawal dari tulisan-tulisan mengenai pengalaman pertemanan yang disebarkan ke khalayak umum melalui berbagai media. Cerita-cerita itu dikenal dengan sebutan story telling (tuturan cerita). Inti cerita-cerita tersebut hendak mempromosikan adanya harapan damai antar pertemanan, bukan benci maupun dendam. Istilah “provokator perdamaian” merujuk pada kebalikan dari provokator kerusuhan. Provokator kerusuhan adalah orang yang bertindak melakukan provokasi rusuh, sedangkan provokator perdamaian adalah orang yang bertindak melakukan provokasi damai. Provokasi rusuh berarti masyarakat disodorkan dengan informasi berupa isu-isu yang mendorong mereka terlibat di dalam mendukung terjadinya konflik. Sebaliknya, provokasi damai berarti masyarakat didorong terlibat dalam proses perdamaian. Demikian filosofi di balik nama provokator perdamaian. Sejak itu, gerakan provokator perdamaian terbentuk dari jaringan pertemanan, yang kemudian terus diperluas (Yohanes, 2011).

Awal pergerakannya pada 11 September 2011, ketika Ambon bergejolak kembali. Jaringan pertemanan itu berupaya mereduksi beberapa isu konflik. Mekanismenya melalui saling menginformasikan kebenaran (fakta) ketika isu konflik sedang mengalir di masyarakat. Tujuannya untuk memverifikasi isu konflik. Terbukti, banyak isu konflik yang tidak sesuai kenyataan atau tidak benar (Yohanes, 2011).

Aksi gerakan provokator perdamaian berlanjut dengan mengunjungi tempat-tempat pengungsian. Terutama pengungsi yang rumahnya baru saja terbakar ketika konflik 11 September 2011. Gerakan provokator perdamaian mendaftarkan kebutuhan-kebutuhan pengungsi. Daftar-daftar tersebut digunakan

(7)

sebagai acuan untuk berkoordinasi dengan lembaga-lembaga pemerintah dan agama, guna mendapatkan bantuan.

Aksi lain dari gerakan provokator perdamaian yang diwakili oleh komunitas Badati ialah mengunjungi pos-pos jaga di daerah perbatasan. Mereka menghimpun kedua kelompok dan menyelenggarakan acara “tradisi kopi badati”. “Tradisi kopi badati” merupakan acara minum kopi bersama antar kedua kelompok yang berjaga di daerah perbatasan. Biasanya terjadi pada malam hari. Di sanalah terjadi pertemuan antar korban (dari dua kelompok berbeda agama) untuk berdialog (Manuputty, 2012).

Penelitian awal menunjukkan bahwa nama gerakan provokator perdamaian merupakan pelabelan terhadap suatu pergerakan sejak peristiwa 11 September 2011 di Ambon. Modal pergerakan itu adalah pertemanan lintas kelompok yang sudah terjalin sebelumnya. Sebagian besar pertemanan lintas kelompok telah terbangun dalam kelompok-kelompok komunitas hobi, selain pertemanan di luar komunitas-komunitas.

.. Sebenarnya gerakan provokator perdamaian.. nama untuk sebuah movement yang dipilih sehingga bisa merangsang dinamika, terutama anak-anak muda (J1J1).

Pelabelan provokator perdamaian ditempelkan pada pergerakan 11 September 2011 dan setelahnya dalam kelompok komunitas Kopi Badati. Pergerakan 11 September terkenal dengan counter issue, narasi damai, dan pergerakan Kopi Badati yang memediasi para pihak di pos-pos jaga perbatasan Salam-Sarane.

Pelabelan tersebut belum diterima oleh pihak-pihak tertentu. Mereka merasa belum menjadi seorang provokator perdamaian.

(8)

Penolakan pelabelan tersebut menunjukkan bahwa nama provokator perdamaian tidak mewakili para pihak yang terjun dalam pergerakan 11 September 2011 dan Kopi Badati. Padahal pihak-pihak tersebut merupakan bagian dari pergerakan. Mereka sudah terjalin dalam pertemanan lintas kelompok sejak awal. Apapun nama yang diberikan terhadap eksistensi pergerakan tersebut, fakta menunjukkan bahwa mereka pro-perdamaian. Untuk sementara, pergerakan tersebut disebut gerakan pro-perdamaian.

Oleh karena modal utama dalam pergerakan tersebut adalah pertemanan lintas kelompok, maka penelitian ini akan menelusuri dinamika sosio-psikologis pertemanan lintas kelompok. Penelusuran psikologi mengenai dialog dan pertemanan dibahas dalam teori kontak dan perkembangannya pertemanan lintas kelompok (cross group friendship). Kontak terbagi atas dua jenis, yakni kontak langsung (direct contact) dan kontak tidak langsung (indirect contact). Kontak langsung adalah interaksi tatap muka antaranggota kelompok yang terkait (Miles & Crisp, 2014). “Kontak tidak langsung” terbagi atas tiga jenis, (1) extended contact adalah belajar tentang anggota ingroup yang merupakan teman dengan anggota outgroup; (2) vicarious contact adalah mengamati anggota ingroup berinteraksi dengan anggota outgroup; dan (3) imagined contact adalah mengimjinasi diri sendiri berinteraksi dengan anggota outgroup. Pertemanan tidak langsung (indirect friendship) merupakan kelanjutan dari kontak tidak langsung (Feddes, Noack, & Rutland, 2009).

Pertemanan lintas kelompok secara langsung (direct friendship) merupakan bagian dari kontak langsung. Penemuan Pettigrew (1998) menunjukkan bahwa untuk memungkinkan adanya situasi kontak mesti ada

(9)

“potensi pertemanan”. Bahwa interaksi lintas kelompok, terutama pertemanan, dapat berdampak pada sikap antar kelompok yang lebih positif.

Pada umumnya, penelitian tentang kontak dan perkembangannya sangat berkaitan erat dengan prasangka. Dominan penelitian tentang “kontak langsung” maupun “kontak tidak langsung” cenderung berhubungan dengan pereduksian prasangka. Hal ini karena, teori kontak pada awal sebenarnya adalah suatu teori prasangka (prejudice theory), bukan tentang teori relasi antar kelompok (Allport, 1954).

Penelitian tentang pertemanan langsung lintas kelompok juga cenderung berkaitan dengan penurunan prasangka. Pettigrew berpendapat, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa pengurangan prasangka outgroup dapat dicapai terutama dengan mempromosikan pertemanan langsung antar anggota kelompok-kelompok yang bersaing (Pettigrew, 1997).

Bukti meta analisis Pettigrew dan Tropp (2006) menegaskan bahwa pertemanan langsung lintas kelompok memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan dengan bentuk-bentuk kontak yang lain dalam mengurangi prasangka outgroup secara signifikan. Pertemanan langsung sangat efektif karena interaksi yang erat (close interaction) dengan anggota outgroup, ditambah dengan self disclosure, kontak berulang dan diperluas dalam berbagai konteks, serta mekanisme keintiman lain.

Berdasarkan paparan di atas, dampak konflik telah menghasilkan sikap negatif masing-masing kelompok terhadap yang lain. Kondisi ini mempermudah terulangnya konflik. Kelompok pro-perdamaian mempromosikan damai melalui upaya mempertemukan kedua kelompok untuk berdialog. Selain itu, diupayakan juga membangun jaringan pertemanan diantara keduanya. Dialog (kontak) dan

(10)

pertemanan (cross-group friendship) dalam literatur penelitian merupakan strategi mengurangi sikap negatif atau sebaliknya mempromosikan sikap positif. Terutama mengurangi prasangka antar kelompok.

Rumusan Permasalahan

Bagaimana dinamika sosio-psikologis pertemanan lintas kelompok pro-perdamaian pasca konflik Maluku?

C.Tujuan dan Manfaat

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah memahami dinamika relasi dalam pertemanan lintas kelompok pada gerakan pro-perdamaian.

Penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada pengembangan keilmuan psikologi sosial, khususnya psikologi perdamaian maupun ilmu-ilmu lain yang terkait.

2. Manfaat praktis

Pola dinamika sosio-psikologis pertemanan lintas kelompok dapat menjadi model peacemaking di daerah lain yang mengalami konflik serupa.

D. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya

Manoppo (2005) meneliti tentang manfaat pendekatan resolusi konflik interaktif sebagai pendekatan baru resolusi konflik komunal berbasis korban yang berdimensi psikososial di Maluku. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian campuran (mix methods). Subjek penelitian berjumlah 20 orang untuk penelitian eksperimen. Subjek adalah partisipan lokakarya LBH Maluku. Penelitian berlangsung di tempat lokakarya di Jakarta. Kesamaan

(11)

penelitiannya adalah subjek penelitian mengalami konflik Maluku. Perbedaan penelitiannya pada topik dan metode penelitian. Penelitian Manoppo (2005) tentang resolusi konflik interaktif berbasis komunitas korban, sedangkan penelitian ini tentang dinamika sosio-psikologis pertemanan lintas kelompok pada gerakan pro-perdamaian.

Kundu (2012) meneliti tentang bagaimana dialog antariman dapat digunakan untuk mempromosikan penyembuhan dan rekonsiliasi. Terutama dialog antariman dengan pendekatan tradisional sebagai alat mekanisme transisi keadilan untuk meningkatkan kemaafan (forgiveness). Metode peneltiannya adalah metode penelitian campuran. Subjek penelitian kuantitatif berjumlah 60 orang dan kualitatif berjumlah rata-rata 45 orang untuk focus group discussion sebanyak 10 kali. Penelitian Kundu (2012) menilai keterlibatan populasi lokal baik perempuan, pemuda dan stakeholder lainnya sebagai subjek penelitian. Penelitian berlangsung di kota Ambon dan sekitarnya. Kesamaan penelitiannya pada subjek penelitian yakni, partisipan yang terlibat dan berkontribusi terhadap perdamaian di kota Ambon. Perbedaan penelitiannya pada topik dan metode. Topik penelitian Kundu (2012) tentang lokalisasi dialog antariman, sedangkan penelitian ini tentang dinamika pertemanan lintas kelompok pada gerakan pro-perdamaian. Walaupun keduanya memperhatikan dialog antarkelompok, tetapi gerakan perdamaian tidak hanya sebatas itu. Lebih dari itu, gerakan pro-perdamaian mempromosikan pertemanan antarkelompok. Metode penelitian Kundu (2012) adalah mix methods, tetapi penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, strategi penelitian fenomenologi.

Referensi

Dokumen terkait

5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih

 berkerabat dekat dekat dengan dengan *nnelida, *nnelida, -ontohnya -ontohnya adalah adalah eripetus eripetus di di *!rika *!rika Selatan. )ilum *rthropoda

Kelurahan Sambong Jaya Kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya Jabatan dalam kegiatan dimaksud: Ketua. Menyatakan bersedia bertanggung jawab dalam pengelolaan dana

Dengan temuan – temuan dari hasil penelitian, observasi, serta wawancara yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa variabel budaya organisasi memiliki pengaruh

Menyedari akan kepentingan hutan hujan tropika sebagai habitat yang penting untuk fauna amfibia di dunia, kajian ini dijalankan dengan tujuan untuk mengetahui variasi pemilihan

Saran dari hasil penelitian adalah: (1) Guru hendaknya memilih model pembelajaran yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran, misalnya pada materi

Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan wajib pajak. Dalam penelitian ini, berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu

Dari gambar 1 dapat dijelaskan bahwa variabel nilai fungsional, nilai sosial, nilai emosional, nilai kondisional, dan nilai epistemik dapat mempengaruhi niat pembelian kembali