• Tidak ada hasil yang ditemukan

BURUNG PANTAI PEMANGSA KRUSTASEA Oleh Ucu Yanu Arbi 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BURUNG PANTAI PEMANGSA KRUSTASEA Oleh Ucu Yanu Arbi 1)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BURUNG PANTAI PEMANGSA KRUSTASEA

Oleh

Ucu Yanu Arbi

1)

ABSTRACT

COASTAL BIRDS AS CRUSTACEAN PREDATORS. Ecologically, coastal birds depend on

intertidal area to obtain their lives. Coastal birds tend to concentrate in area, were preys are occured. The most important food of coastal birds are crustacean, fish and mollusc Coastal birds carch their preys (crustaceans) in the coastal area. Decapods, Stomatopods, Amphipods and Isopods are some crustaceans that are usually captured by coastal birds.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jumlah pulau lebih dari 17.000 buah. Jumlah panjang total pantai di Indonesia diperkirakan lebih dari 81.000 km, sebagian diantaranya ditumbuhi oleh hutan mangrove, serta hamparan lumpur dan pasir yang sangat potensial untuk mendukung sejumlah besar kehidupan biota. Termasuk di dalamnya adalah burung pantai (baik burung pantai yang bersifat sebagai penetap maupun yang bersifat migran) sebagai hewan pemangsa, serta berbagai jenis krustasea sebagai salah satu hewan mangsa utama bagi burung pantai tersebut. Sehingga dari kondisi tersebut, Indonesia menjadi negara yang penting dalam hal tersedianya habitat yang mendukung kehidupan burung pantai.

Setiap satwa (termasuk burung pantai) harus mencari pakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Proses mencari pakan dan proses makan yang dilakukan oleh satwa tersebut, merupakan produk yang bermanfaat bagi

lingkungan. Secara alami, pemangsaan akan menekan populasi yang berlebih dari suatu jenis di suatu wilayah ekologi tertentu (ADISOEMARTO, 1998).

Hubungan antara hewan pemangsa dengan mangsanya merupakan sebuah wujud dari sistem dan mekanisme dalam pengendalian keseimbangan kehidupan di alam liar. Pemangsa berperan sebagai pengendali jenis hewan tertentu di dalam suatu lingkungan. Secara alamiah, proses pemangsaan akan menekan populasi dari suatu jenis hewan yang berlebihan. Jika hewan mangsa berlebihan, maka populasi hewan pemangsa akan bertambah besar dan jumlah hewan mangsa akan dikurangi. Jika jumlah pemangsa berlebihan, populasi mangsa akan menurun, sebagai akibatnya pemangsa pun akan menurunkan populasinya. Kehidupan burung pantai merupakan suatu indikator penting dalam pengkajian mutu dan produktivitas suatu lingkungan pantai, apalagi setelah diikrarkannya Konvensi Ramsar pada tahun 1971 (HOLMES et al., 2003).

1) UPT Loka Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Bitung.

Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 1–8 ISSN 0216–1877 Normalisasi (tiap spesies dari seluruh sampel)

dilakukan dengan menggunakan rumus berikut:

i i ij ij

s

y

y

y

'

=

di mana i = 1, 2,..., jumlah spesies, j = 1, 2, ...., jumlah sampel/stasiun.

Contoh normalisasi (Spesies A pada stasiun 1) :

06

,

1

6

,

1

7

,

3

2

1 1 11 ' 11

=

=

=

s

y

y

y

Spesies A pada stasiun 2 :

44

,

0

6

,

1

7

,

3

3

1 1 12 ' 12

=

=

=

s

y

y

y

Selain transformasi data dan normalisasi data, hal lain yang penting diperhatikan sebelum AKU dilakukan adalah mereduksi spesies-spesies yang jumlahnya sangat sedikit (langka). Misalnya saja, dari 20 sampel yang diambil, Spesies A hanya muncul 1 individu dalam sedikit sampel. Reduksi spesies ini sebaiknya dilakukan sebelum transformasi dan normalisasi dilakukan. Menghilangkan spesies seperti ini akan banyak berpengaruh terhadap hasil ordinasi. Apalagi jika jumlah spesies yang tercatat sangat banyak tetapi kelimpahannya sedikit.

Hasil pembahasan di atas mungkin timbul pertanyaan “kapankah kita melakukan transformasi dan normalisasi atau keduanya?”. Transformasi dalam data biotik umumnya tetap perlu ditransformasikan untuk menghindari distribusi data yang miring ke kanan (yang umum dijumpai untuk data kelimpahan). Normalisasi tidak selamanya perlu dilakukan. Normalisasi dalam AKU dilakukan apabila variabel-variabel yang diamati memiliki unit pengukuran yang berbeda antara lain data lingkungan. Contohnya suhu, salinitas, kimia hara, adalah variabel-variabel lingkungan yang memiliki satuan pengukuran yang berbeda.

PENETAPAN KOMPONEN YANG HARUS TERSISA

Jika AKU berhasil mengurangi dimensionalitas dari data asli, maka langkah selanjutnya adalah menentukan berapa banyak komponen yang harus diperhatikan atau disisakan. MANLY (1986) menyatakan hal ini adalah masalah pertimbangan seorang peneliti semata. Namun secara teknis ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan, diantaranya adalah metode grafis, kaidah Kaiser dan prosedur Horn. Berdasarkan ketiga metode ini, kaidah Kaiser tampaknya yang lebih mudah dan sederhana, yaitu dengan melihat nilai eigenvalues dari masing-masing komponen (dengan catatan kita menggunakan data yang telah dinormalisasikan). Kaidah ini menyatakan bahwa kita hanya perlu mengambil komponen utama yang nilai eigenvalue-nya lebih besar dari 1. Untuk contoh yang telah diberikan di atas, ternyata kita cukup mengambil hanya dua komponen saja, yaitu komponen pertama dan kedua.

PENUTUP

Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan AKU dalam ordinasi sampel berdasarkan data kelimpahan atau biomassa sudah tidak begitu populer lagi. Hal ini dikarenakan kurangnya fleksibilitas dalam mendefinisikan ketidakmiripan (dissimilarity) komposisi komunitas antar sampel. Pada dasarnya, ordinasi merupakan suatu cara untuk mengkonversi ketidakmiripan ke dalam bentuk jarak (Euclidian) antar sampel tersebut yang dituangkan dalam grafik berdimensi dua atau lebih. Dalam AKU, ketidakmiripan didefinisikan sebagai jarak antara dua sampel, akan tetapi definisi ini kurang tepat dalam menjelaskan ketidakmiripan sampel seperti halnya yang diukur menggunakan indek ketidakmiripan Bray-Curtis (CLARKE & WARWICK, 2001), oleh karena itu untuk menghadapi masalah yang

(2)

Burung-burung pantai sangat ber-gantung pada ketersediaan hewan-hewan pantai yaitu ikan, krustasea, moluska, polikhaeta dan biota lainnya. Krustasea merupakan salah satu mangsa utama bagi burung pantai (GOSZTONYI & KUBA, 1998). Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana peran krustasea bagi kelangsungan hidup burung pantai demi keseimbangan ekosistem pantai.

Tulisan ini akan mencoba membahas tentang kehidupan burung pantai, khususnya mengenai cara makan dan krustasea sebagai makanan utama burung pantai.

BURUNG PANTAI

Burung pantai diartikan sebagai sekelompok burung air yang secara ekologis bergantung pada kawasan pantai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak burung pantai yang berkembang biak jauh di daerah daratan yang bukan merupakan daerah pantai, tetapi burung-burung tersebut sangat bergantung pada kawasan pantai. Burung pantai, dalam kehidupannya yaitu mencari makan, mencari pasangan, berkembang biak, membesarkan anak dan bersarang hampir semuanya dilakukan di daerah pantai (HOLMES

et al., 2003). Salah satu burung pantai yang

kehidupannya tergantung pada daerah pantai adalah burung Trinil Pantai (Actitis hypoleucos) dari famili Scolopacidae (Gambar 1).

Gambar 1. Burung Trinil Pantai (Actitis hypoleucos), salah satu jenis burung pantai yang sedang mencari makan di daerah pantai (CROBY, 2001).

terganggu, distribusi kelimpahan individu antar spesies biasanya mengikuti ditribusi log-normal atau miring ke kanan (GRAY, 1981; RYGG, 1986; FLETCHER et al., 2005). Untuk memenuhi asumsi kenormalan ini, maka cara yang dapat dilakukan adalah dengan mentransformasikan nilai-nilai data ke dalam bentuk logaritma, akar kuadrat atau akar pangkat empat.

Di samping untuk memenuhi kenormalan data, hal lain yang cukup penting adalah menghindari ketidakseimbangan jumlah individu antara yang sangat melimpah dengan sedikit (langka). Adanya dominasi kelimpahan dari beberapa spesies dalam sampel dapat mempengaruhi kemiripan dengan sampel lainnya. Untuk menghindarkan hal yang demikian, maka kita perlu melakukan pembobotan terhadap data sehingga varians antara satu sampel dengan sampel lainnya tidak

begitu berbeda. Untuk ordinasi menggunakan AKU, cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan normalisasi terhadap data yang ada. Normalisasi adalah mengurangi nilai kelimpahan dari setiap baris dengan rata-rata kelimpahan dari baris tersebut dibagi dengan simpangan bakunya (SD). Normalisasi data menyebabkan varians sampel sepanjang sumbu spesies akan sama yaitu 1. Ini berarti seluruh spesies memiliki nilai penting yang sama dalam menentukan komponen utama. Namun demikian, tidak semua data perlu dinormalisasikan, khususnya jika transformasi sudah memberikan gambaran yang seimbang atas kelimpahan spesies diantara sampel. AKU yang didasarkan pada data yang sudah dinormalisasi, disebut AKU berbasis korelasi. Sebaliknya, AKU yang datanya tidak dinormalisasi disebut AKU berbasis kovarians. Sebagai gambaran untuk melakukan normalisasi, kita lihat kembali contoh data dalam Tabel 3.

Spesies Sampel/stasiun Total

Rata-rata SD 1 2 3 4 5 6 7 Species A 2 3 3 5 2 5 6 26 3,7 1,6 Species B 20 15 14 15 10 11 2 87 11,0 4,5 Species C 1 6 3 0 3 1 0 14 2,0 2,2 Species D 2 2 1 1 1 1 4 12 1,7 1,1

(3)

Gambar 1. Ordinasi sampel

-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 Z1 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 Z2 1 2 3 4 5 6 7

Dari 214 jenis burung pantai di dunia yang telah teridentifikasi, 65 jenis diantaranya ditemukan di Indonesia. Sampai saat ini belum ada peraturan khusus yang berkaitan dengan burung pantai di Indonesia. Dari 400 jenis burung yang dilindungi di Indonesia, hanya 9 jenis burung pantai. Usaha perlindungan terhadap kehidupan satwa liar, termasuk burung pantai diantaranya perdagangan satwa melalui CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Flora and Fauna) dan konvensi tentang biodiversitas yaitu CBD (Convension on Biological Diversity). Pada tahun 1991, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Ramsar tentang lahan basah yang berkaitan dengan habitat burung pantai. Indonesia turut serta dalam kesepakatan multilateral negara-negara di kawasan Asia dan Oseania, yaitu East Asian–Australian Shorebird Site Network, yang setiap negara anggota diharuskan mengajukan lokasi-lokasi yang penting bagi persinggahan burung pantai (HOLMES et al., 2003).

Kehadiran jenis burung pantai tertentu, pada umumnya disesuaikan dengan kesukaannya terhadap habitat. Meskipun tidak dapat dijadikan sebagai panduan utama, namun habitat dapat dijadikan sebagai panduan untuk membantu identifikasi terhadap jenis burung pantai tersebut. Sampai saat ini hampir setiap jenis burung pantai telah dapat dipetakan sebarannya, baik pada tingkat negara maupun tingkat geografis yang lebih sempit.

Strategi Makan Burung Pantai

Burung pantai berkumpul dalam jumlah yang besar di suatu kawasan pantai selama periode tidak berbiak. Kondisi ini akan mengakibatkan kompetisi, baik dalam hal makanan, tempat mencari makan maupun tempat beristirahat. Wilayah mencari makan burung pantai umumnya adalah daerah pasang surut, sehingga burung pantai hanya bisa

mencari makan pada saat tertentu, yaitu pada saat air surut. Untuk mengatasi berbagai halangan yang ditimbulkan oleh keadaan tersebut, burung pantai memiliki strategi khususnya dalam mencari makan. Keberadaan pemangsa burung pantai, merupakan tantangan bagi burung pantai dalam mencari makan. Keberadaan pemangsa tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan suhu. Setiap burung pantai memiliki perilaku makan yang efisien, sehingga mereka dapat mencari dan memperoleh makanan yang cukup walaupun waktu yang terbatas (HOLMES et al., 2003).

Kompetisi diantara burung pantai dalam mencari makan akan berkurang, karena adanya spesialisasi pada masing-masing burung pantai. Spesialisasi tersebut diwujudkan dalam bentuk penampakan karakter morfologi, yaitu bentuk dan ukuran paruh, bentuk dan ukuran kaki serta ukuran mata. Burung pantai mencari makan sesuai pada mintakat tanah dan jenis makanan pada suatu lokasi yang sama. Disamping itu, perbedaan morfologi antara jantan dengan betina pada jenis yang sama, juga mempengaruhi kompetisi dalam mencari makan. Beberapa kelompok burung pantai memiliki perilaku yang khas dan mencolok dalam mencari makan, sehingga mudah dikenali dan memudahkan proses identifikasi. Perbedaan perilaku tersebut pada dasarnya disebabkan karena adanya perbedaan ukuran dan bentuk paruh, kaki serta habitat dari masing-masing burung pantai tersebut. Burung pantai yang memiliki mata besar, makan dengan berdiri tegak sambil melihat-lihat mangsa berikutnya, berlari dan mematuk mangsanya. Burung pantai yang memiliki paruh lebih panjang, umumnya memiliki mata lebih kecil dan mencari makan dengan menusuk-nusukkan paruh ke dalam sedimen yang lembut (HOLMES et al., 2003).

Beberapa burung pantai biasanya mencari makan di daerah pesisir pantai yang dangkal dan berlari cepat untuk mengejar mangsa yang bergerak cepat di perairan Berdasarkan Gambar 1 tampak

bagaimana sampel (stasiun) tergambar dalam bidang ordinasi. Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan sampel-sampel tersebut berdasarkan jarak antar sampel. Meskipun ini agak subjektif, namun secara kasat mata dapat kita lihat bahwa struktur komunitas yang diamati terdiri dua kelompok yaitu sampel/stasiun (2, 3, 4) dan sampel/stasiun (5, 6), sedangkan sampel 1 dan 7 kelihatan terpisah dengan kedua kelompok ini. Mengapa terjadi pemisahan seperti ini merupakan tugas peneliti untuk mengkajinya, apakah karena adanya pengaruh faktor lingkungan atau faktor habitat yang berbeda, oleh karena itu, dalam mengkaji suatu komunitas, seorang peneliti hendaknya melengkapi informasi sebanyak-banyaknya untuk mendukung hasil yang dicapai.

PERLAKUAN TERHADAP DATA

Hasil perhitungan AKU yang disajikan di atas dilakukan langsung terhadap data aslinya. Dalam praktiknya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum kita melakukan analisis klaster atau ordinasi, khususnya yang menyangkut data kelimpahan spesies. Hal ini terkait dengan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis statistika parametrik dan bagaimana kontribusi setiap species dalam sebuah komunitas (spesies dalam jumlah besar atau spesies yang langka). Salah satu asumsi yang selalu menjadi syarat dalam analisis statistika parametrik adalah distribusi data yang harus menyebar secara normal. Namun dalam kenyataannya, asumsi ini sangat sulit untuk dipenuhi. Dalam lingkungan yang tidak

(4)

tersebut. Burung pantai juga ada yang mencari makan dengan cara membalikkan batu atau serasah yang diduga sebagai tempat persembunyian mangsanya. Beberapa jenis burung pantai mencari makan dengan berenang, memutar-mutarkan tubuhnya di permukaan air, dan menangkap mangsanya dengan cara mengapung di air. Bahkan pada beberapa jenis burung pantai lainnya justru terbang berputar-putar di sekitar daerah pasang surut dan segera menangkap mangsanya dengan cara terbang menukik ke arah mangsa tersebut (HOLMES et

al., 2003).

KRUSTASEA SEBAGAI MAKANAN BURUNG PANTAI

Burung pantai cenderung berkumpul dan terkonsentrasi pada daerah yang paling menguntungkan, hal ini berkaitan dengan keberadaan mangsanya, yakni menyangkut ukuran, kerapatan dan posisi dari mangsanya serta kemungkinannya untuk menangkap (memakan) mangsanya. Mangsa yang berbeda, cenderung menempati habitat yang berbeda dan memiliki relung yang berbeda pula di daerah pasang surut. Kehadiran serta pergerakan mangsa, sangat dipengaruhi oleh kondisi dan siklus pasang surut yang terjadi di daerah tersebut (HOLMES et al., 2003).

Keberadaan mangsa bagi burung pantai merupakan sesuatu yang harus terpenuhi setiap harinya, terutama pada saat-saat tertentu, yaitu pada musim migrasi maupun saat memijah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya persediaan mangsa akan berakibat pada kegagalan proses pendewasaan burung pantai yang masih muda. WANLESS et al. (2005) menunjukkan bahwa akibat kekurangan energi dari terbatasnya mangsa menyebabkan kegagalan proses pemijahan pada burung pantai Ammodytes marinus di Laut Utara.

Burung pantai memangsa hampir semua fauna yang hidup di daerah pantai/pesisir, tetapi yang paling utama adalah fauna krustasea.

Semua jenis krustasea bermanfaat sebagai mangsa burung pantai, jika dapat dicerna dan menghasilkan energi yang memadai per satuan waktu. Krustasea yang akan dimangsa oleh burung pantai biasanya memiliki daya penyamaran yang baik dan memiliki kemampuan bergerak cepat. Krustasea yang pergerakannya lambat, biasanya dilengkapi dengan pelindung tubuh yang lebih tebal dan kuat. Untuk jenis-jenis krustasea yang mencari makan di bawah permukaan tanah, jarang muncul ke permukaan, memiliki kemampuan bergerak lebih lambat dan memiliki tubuh yang halus, serta kadang-kadang memanfaatkan cangkang gastropoda untuk melindungi tubuhnya, misalnya pada kumang

Dardanus megistos (HOLMES et al., 2003).

Krustasea yang hidup di kawasan pasang surut, telah mengalami penyesuaian diri (adaptasi) dan berkembang dengan baik untuk menghindarkan diri dari burung pantai. Beberapa jenis di antara krustasea tersebut, akan segera menguburkan diri ke dalam substrat pada saat burung pantai datang mendekat. Sementara beberapa jenis mangsa lainnya justru hanya akan berdiam diri untuk menghindari burung pantai, sampai waktu burung pantai tersebut meninggalkannya (HOLMES et al., 2003).

Krustasea merupakan mangsa yang paling umum bagi burung pantai selama musim tidak berbiak (HOLMES et al., 2003). Analisis isi perut burung Phalacrocorax atriceps menunjukkan bahwa jenis mangsa yang dimakan oleh burung tersebut, 56% adalah berupa krustasea (GOSZTONYI & KUBA, 1998). Namun kasus yang ditunjukkan oleh PUNTA et

al. (1993), menunjukkan bahwa mangsa

terbanyak yang dimakan oleh Phalacrocorax

albiventer di Bahia Bustamante dan Puerto

Melo, Brasil adalah jenis ikan.

Meski terdapat banyak jenis krustasea di daerah pasang surut, namun hanya sebagian kecil yang dapat dimangsa burung pantai. Krustasea yang tidak dapat dimangsa umumnya memiliki karapas yang kuat, memiliki alat

Interpretasi dari kombinasi linier di atas adalah sebagai berikut, koefisien kombinasi linier komponen pertama untuk Spesies A, C dan D dapat dikatakan kecil atau bisa diabaikan, karena nilainya tidak begitu besar. Satu-satunya koefisien yang paling besar adalah Spesies B. Disini kelihatan bahwa Z1 menunjukkan adanya kontribusi yang sangat tinggi dari kelimpahan

Spesies B atau adanya dominasi dari spesies

ini. Komponen Z2 mengindikasikan jika kelimpahan Spesies B tinggi akan diikuti oleh

rendahnya kelimpahan Spesies A, sedangkan komponen Z3 menunjukkan tingginya kelimpahan Spesies A akan diikuti oleh kelimpahan Spesies C.

Berdasarkan kombinasi linier yang terbentuk di atas, maka kita dapat menghitung skor dari masing-masing komponen utama dengan memasukkan nilai-nilai kelimpahan masing-masing spesies ke dalam persamaan tersebut, sehingga diperoleh tabel berikut (Tabel 6).

Skor-skor di atas merupakan titik koordinat ordinasi untuk diplot dalam sumbu komponen yang diinginkan. Untuk contoh Tabel 6, ordinasi sampel dengan menggunakan sumbu Z1 dan Z2 dapat dilihat dalam Gambar 1.

Sampel Skor Z

1

Skor Z

2

Skor Z

3

Skor Z

4

1

-7,500 -1,722 -0,683 1,291

2

-3,077 3,436 1,328 0,404

3 -1,857

0,890

-0,180

-0,465

4

-2,085 -2,752 0,612 -0,693

5 1,827

1,987

-1,671

-0,519

6

1,667 -0,093 0,383 -1,042

7 11,025

-0,747

0,211

1,025

(5)

Eigenvalues yang ditunjukkan dalam tabel di atas sebenarnya adalah varians dari masing-masing komponen utama. Jumlah dari eigenvalues sama dengan jumlah variabel atau jumlah komponen utama. Untuk contoh diatas jumlahnya adalah 4.

Persentase variasi menunjukkan berapa besar muatan “informasi” yang terdapat pada masing-masing sumbu komponen dan diperoleh dari (λi/p × 100%). Berdasarkan Tabel 4 di atas tampak bahwa persentase varians untuk komponen utama pertama (Z1) adalah yang paling tinggi yaitu sebesar 83,6% disusul oleh Z2, Z3 dan Z4. Dalam kolom selanjutnya, komponen Z1 dan Z2 secara bersama-sama menghitung varians sebesar 95,6% dari total varians. Demikian pula Z1, Z2 dan Z3 secara bersama-sama menghitung sebesar 98,0% dari total varians, dari sini kelihatan bahwa 95,6% muatan informasi sudah dapat dijelaskan oleh Z1 dan Z2 saja.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa komponen utama pertama atau Z1 adalah sumbu yang memaksimumkan varians dari titik-titik yang

diproyeksikan secara tegak lurus dengan sumbu ini, sedangkan komponen utama kedua (Z2) adalah sumbu yang tegak lurus dengan Z1 dimana varians dari titik-titik yang diproyeksikan pada sumbu ini juga dimaksimumkan, demikian pula, komponen utama ketiga (Z3) adalah sumbu yang tegak lurus dengan Z1 dan Z2. Sudah barang tentu, sangat sulit untuk melihat komponen-komponen utama yang lebih dari 3 dimensi dalam sebuah bidang datar, oleh karena itu, visualisasi dalam ordinasi umumnya menggunakan bidang datar berdimensi dua, baik itu antara Z1 dengan Z2, Z1 dengan Z3 atau

Z2 dengan Z3.

Hasil perhitungan selanjutnya adalah apa yang disebut sebagai eigenvector yaitu koefisien-koefisien yang membentuk kombinasi linier dari komponen utama. Perangkat lunak secara otomatis akan menghasilkan nilai-nilai koefisien ini. Dengan menggunakan perangkat lunak PRIMER maka diperoleh apa yang disebut sebagai muatan komponen utama (principal component loading, LATTIN et al., 2003) berikut ini (Tabel 5) :

Berdasarkan Tabel 5 ini, maka kombinasi linier yang terbentuk dapat dituliskan secara aljabar sebagai berikut : Variabel Z1 Z2 Z3 Z4 Species A 0,188 -0,354 0,885 -0,237 Species B -0,968 -0,186 0,151 0,073 Species C -0,121 0,917 0,377 -0,057 Species D 0,112 -0,018 0,277 0,967

Tabel 5. Koefisien komponen utama

perlindungan diri, misalnya capit yang kuat atau permukaan tubuh yang terdapat banyak duri. Selain itu juga karena kemampuan adaptasi yang baik, mampu berlari cepat, atau berlindung di balik cangkang, serta mengubur diri dalam substrat. Saat permukaan air berubah akibat pasang surut, maka aktifitas dan kehadiran kepiting juga akan berubah. Beberapa jenis krustasea yang paling banyak dikonsumsi oleh

burung pantai adalah jenis-jenis dari Decapoda (Scopimera sp., Macrophthalmus sp., Uca sp.,

Ocypode sp., Portunus sp., Penaeus sp., Callianassa sp., dan Corophium sp.),

Stomatopoda (Oratosquilla sp.) serta Amphipoda (Gammarus sp.). Di samping itu, jenis-jenis krustasea yang dikonsumsi lainnya adalah tergantung dari jenis burung pantai yang memangsanya (HOLMES et al., 2003).

Gambar 2. Beberapa jenis krustasea yang umum menjadi mangsa bagi burung pantai di daerah pasang surut.

Panulirus sp. (Macrura, Decapoda) Penaeus sp. (Macrura, Decapoda) Gammarus sp. (Amphipoda) Oratosquilla sp. (Stomatopoda)

Uca sp. (Brachyura, Decapoda) Portunus sp. (Brachyura, Decapoda)

z1 = 0,188 Sp.A – 0,968 Sp.B – 0,121 Sp.C + 0,112 Sp.D z2 = – 0,354 Sp.A – 0,186 Sp.B + 0,917 Sp.C – 0,018 Sp.D z3 = 0,885 Sp.A + 0,151 Sp.B + 0,377 Sp.C + 0,277 Sp.D z4 = – 0,237 Sp.A + 0,073 Sp.B – 0,057 Sp.C + 0,967 Sp.D

(6)

Hasil penelitian terhadap analisis isi perut yang dilakukan oleh GOSZTONYI & KUBA (1998), memberi gambaran bahwa terdapat 56% krustasea yang dalam perut burung Phalacrocorax atriceps terdiri dari Isopoda (5,7%), Amphipoda (4,7%), Caridea (15,5%), Brachyura (15,5%), Stomatopoda (2,4%), Campylonotus sp. (1,6%), Munida sp. (6,5%) dan jenis krustasea yang tak teridentifikasi (7,3%). Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan BLABER & WASSERBURG (1989), yaitu dengan melihat riwayat hidup burung tersebut berdasarkan analisis “otolith”.

Tingkat kemudahan penangkapan krustasea oleh burung pantai, juga disebabkan adanya perbedaan ukuran tubuh krustasea. Kepiting dengan ukuran tubuh lebih besar lebih sulit ditangkap burung pantai, karena dapat menggali lebih dalam. Kepiting yang lebih kecil lebih mudah ditangkap oleh burung pantai, karena masih bisa dijangkau paruh burung pantai tersebut. Mangsa yang dimakan oleh burung pantai sangat bergantung pada jenis dan ukuran burungnya. Semakin besar ukuran tubuh burung pantai, semakin besar pula ukuran mangsanya.

Untuk memantau perubahan musiman atau harian dari kehadiran mangsa di dekat atau di permukaan sedimen, adalah dengan menggunakan teknik tertentu, terutama bagi kepiting penggali. Teknik tersebut yakni dengan membuat pembatas dari kayu atau bambu berukuran 1 m2, kemudian diletakkan di atas sedimen. Jumlah kepiting yang ada di permukaan sedimen tersebut dihitung, baik dengan jumlah yang akurat maupun dengan jumlah perkiraan. Perhitungan tersebut dapat dilakukan setiap 15 menit pada interval sebelum, selama atau setelah air surut.

HUBUNGAN BIOMASSA KRUSTASEA DENGAN

SUMBER ENERGI BURUNG PANTAI Salah satu fungsi ekologis penting dari burung pantai adalah sebagai indikator kualitas lingkungan pantai. Hal itu berkaitan erat dengan posisi burung pantai dalam jaring-jaring makanan, karena sebagian dari burung pantai menduduki puncak piramida makanan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan linier antara luasan hutan mangrove, produktivitas primer, kelimpahan krustasea, serta burung pantai. Kelimpahan krustasea cenderung terkonsentrasi pada daerah dengan kondisi hara yang berlimpah, biasanya dibentuk dari guguran seresah dan kotoran burung pantai. Burung pantai sebagai pemangsa krustasea, juga memiliki kecenderungan berkonsentrasi pada habitat yang tersedia makanan dalam jumlah berlimpah. Dengan korelasi ini, dapat ditunjukkan bahwa di lokasi ditemukan burung air dalam jumlah melimpah, hampir dapat dipastikan bahwa krustasea juga dalam keadaan yang melimpah (NOOR, 2004).

Biomassa adalah bobot dari organisme hidup yang ditemukan di suatu wilayah dengan ukuran tertentu, misalnya dalam 1 meter persegi sedimen, dalam satuan gram per berat kering bebas abu per meter persegi (Ash-free Dry

Weight per Square Meter – g ADW.m2). Data biomassa krustasea di tempat burung pantai mencari makan perlu diketahui, karena merupakan sumber energi utama bagi burung pantai, terutama bagi burung-burung pantai migran. Biomassa dalam berat kering merupakan jasad organik organisme, tanpa kandungan air, tanpa sedimen dalam perut, tanpa kandungan kapur dan garam. Pengukuran biomassa suatu organisme dapat dilakukan dengan pembakaran atau pemanasan pada suhu tinggi, dengan menggunakan oven sampai suhu 540 oC selama 2-4 jam (HOLMES et al., 2003).

Tabel 3. Contoh data kelimpahan spesies

Spesies Stasiun (sampel)

1 2 3 4 5 6 7

Species A 2 3 3 5 2 5 6

Species B 20 15 14 15 10 11 2

Species C 1 6 3 0 3 1 0

Species D 2 2 1 1 1 1 4

Berdasarkan Tabel 3 di atas tampak bahwa sampel merupakan titik-titik yang terletak dalam empat dimensi yaitu Species A, B, C dan D, dengan demikian, AKU akan menghasilkan empat komponen utama. Dalam tulisan ini tidak dibahas bagaimana menghitung komponen utama ini, karena terlalu tehnis. Cukup banyak perangkat lunak yang tersedia seperti SPSS, Minitab, Statistica dan lainnya. Namun salah

satu perangkat lunak yang banyak digunakan dalam analisis komunitas laut adalah PRIMER yang dikembangkan oleh Plymouth Laboratory, Inggris. Dalam tulisan ini semua contoh perhitungan menggunakan perangkat lunak ini. Umumnya, perhitungan menggunakan perangkat lunak apa saja akan memberikan beberapa hasil perhitungan sebagai berikut (Tabel 4):

Komponen

Utama

Eigenvalues

i

)

Persentase

variasi

% variasi

kumulatif

Z

1

33,53

83,6

83,6

Z

2

4,81 12,0 95,6

Z

3

0,94 2,3 98,0

Z

4

0,82

2,0

100,0

(7)

Dengan pengukuran biomassa, memungkinkan dilakukan kalkulasi kerapatan rata-rata dan penyebaran krustasea di suatu wilayah. Selanjutnya, dapat diketahui potensi rata-rata energi yang tersedia di unit wilayah tersebut. Pada akhirnya, hal ini dapat dikaitkan dengan penyebaran dan konsentrasi sebaran burung pantai. Untuk beberapa lokasi tertentu, pengukuran biomassa memungkinkan untuk mengkalkulasi nilai kepentingan jenis-jenis krustasea tertentu bagi burung pantai (dalam kaitannya dengan kelimpahan dan biomassa), dibandingkan dengan lokasi lain, atau dibandingkan dengan jenis krustasea lain di lokasi yang sama. Hasil dari pengukuran ini dapat dikaitkan dengan usaha konservasi dan perlindungan lokasi yang dianggap penting di suatu daerah tertentu (HOLMES et al., 2003).

Jika pengukuran biomassa krustasea dilakukan secara berkala, misalnya setiap bulan, dan kemudian dihubungkan dengan studi yang lebih rinci mengenai pengukuran mangsa, penggantian populasi dan pengkajian pemangsaan oleh burung pantai, maka dapat dikalkulasi produksi biomassa tahunan dalam suatu areal dan memberikan informasi mengenai sejarah hidup dari krustasea tertentu. Jika dilakukan pengukuran ukuran tubuh masing-masing krustasea, maka dapat dikalkulasikan biomassa dari rata-rata ukuran krustasea tersebut, dengan menggunakan faktor pembetulan (correction factor) dapat mengkalkulasi biomassa krustasea yang telah diketahui ukurannya. Hasil pengukuran biomassa kemudian dapat dikonversikan dalam “kilo joule” (kj) (1 g ADW setara 22 kj), biasanya digunakan untuk mengkalkulasi faktor-faktor lainnya, seperti penggunaan energi (energy

intake) dari burung yang diamati (HOLMES et al. 2003).

DAFTAR PUSTAKA

ADISOEMARTO, S. 1998. Pengelolaan Satwa Nusantara suatu Gagasan demi Peningkatan Mutu Kehidupan Bangsa.

Dalam: Sumberdaya Alam sebagai Modal

dalam Pembangunan Berkelanjutan. LIPI Jakarta. Pembangunan Berkelanjutan: 38-57.

BLABER, S.B.R. and T.J. WASSERBURG 1989. Feeding Ecology of the Piscivovous Birds Phalacrocorax varius, Phalacrocorax melanoleucus and Sterna bergii in Moreton Bay, Australia:

Diets and Dependance on Trawler Discards. Mar. Biol. 101: 1-10.

CROBY, M.J. 2001. Saving Asia’s Threatened

Birds, a Guide for a Government and Civil Society. Birdlife International: 43

pp.

GOSZTONYI, A.E. and L. KUBA 1998. Fishes in the Diet of The Imperial Cormorant

Phalacrocorax atriceps at Punta

Lobería Chubut, Argentina. Marine

Ornithology 26 : 59-61.

HOLMES, J.; D. BAKEWELL and Y.R. NOOR 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor: 327 pp.

NOOR, Y. R. 2004. Paparan Nilai Penting Cagar Alam Pulau Dua, Teluk Banten sebagai Kawasan Berbiak Burung Air, disertai panduan pengenalan jenis burung air.

Seri Selamatkan Lingkungan Teluk Banten. Wetlands International–

Indonesia Programme, Bogor: 70 hal. Pada dasarnya AKU adalah suatu

metode untuk mengekspresikan kembali data multivariat. Jika seorang peneliti memiliki sejumlah besar variabel, maka dengan AKU ini peneliti tersebut dapat melakukan orientasi kembali terhadap data yang dikumpulkan sedemikian rupa sehingga bisa diperoleh dimensi yang lebih sedikit namun memberikan informasi sebesar-besarnya dari data aslinya, dengan perkataan lain AKU adalah metode untuk mentransformasikan variabel lama menjadi variabel baru. Adanya pengurangan dimensi ini maka visualisasi data, tampak lebih sederhana dan lebih mudah mengelolanya. Sebagai contoh, penelitian yang melibatkan 20 variabel lingkungan (berarti kita berbicara dengan dimensi ruang sebanyak 20) mungkin saja dapat dijelaskan dalam dimensi yang lebih sedikit namun memiliki informasi yang cukup besar dalam menjelaskan fenomena yang diteliti. Banyaknya dimensi (komponen utama) yang harus ditentukan dalam analisis selanjutnya tergantung dari pertukaran (trade-off) yang akan kita ambil yaitu antara kesederhanaan (sedikit dimensi namun mudah dikelola) dengan kelengkapan (banyak dimensi namun memiliki muatan informasi yang lebih besar).

Jika dalam analisis klaster atau klasifikasi yang digunakan sebagai data dasarnya adalah indeks kemiripan antar sampel, maka untuk perhitungan AKU konsep yang digunakan adalah jarak Euclidian.

METODE

Misal kita mempunyai variabel X1, X2, ..., Xp (spesies atau faktor lingkungan). Berdasarkan variabel ini kita dapat membangun kombinasi linear untuk menghasilkan variabel baru : p p

X

a

X

a

X

a

Z

1

=

11 1

+

12 2

+

...

+

1

p p

X

a

X

a

X

a

Z

2

=

21 1

+

22 2

+

...

+

2

.

.

pp p p p p

a

X

a

X

a

X

Z

=

1 1

+

2 2

+

...

+

yang disebut sebagai komponen utama. Selanjutnya Z1 disebut sebagai komponen utama pertama, Z2 komponen utama kedua dan seterusnya. Urutan ini merupakan cerminan dari besarnya varians yang dimiliki oleh masing-masing variabel, atau secara matematis dinotasikan sebagai var(Z1) ≥ var(Z2) ≥... ≥ var(Zp), dimana var(Zi) adalah varians dari Zi dalam kumpulan data yang dipelajari. Dalam AKU, kita berharap bahwa varians dari sebahagian besar variabel diharapkan sekecil mungkin, sehingga bisa diperoleh variabel Z dengan jumlah yang sedikit namun memiliki varians yang besar. Inilah yang dimaksudkan dengan proses reduksi variabel. Semakin sedikit

Z, maka semakin mudah kita menginterpretasi

data yang kita miliki. Salah satu sifat dari variabel

Zi adalah tidak adanya korelasi antara satu variabel dengan variabel lainnya. Ini berarti bahwa skor dari masing-masing variabel akan menunjukkan dimensi yang berbeda.

Untuk mempermudah pemahaman akan definisi AKU ini, berikut ini diberikan data hipotetis dari sampel yang diambil disebuah area (Tabel 3).

(8)

PUNTA, G.E.; J.R.C. SARAVIA and P.M. YORIO 1993. The Diet and Foraging Behaviour of two Patagonian Cormorants. Mar. Orn. 21: 27-36.

WANLESS, S.; M.P. HARRIS; P. REDMAN and J.R. SPEAKMAN 2005. Low Energy Values of Fish as a Probable cause of a Major Seabird Breeding Failure in the North Sea. Mar. Ecol. Prog. Series. 294: 1-8.

Spesies Stasiun

1 2 . . . N

Species

A

Species

B

Species

C

Species

D

Species

E

Species

F

Stasiun Faktor

Lingkungan

pH Sal Tem .

.

.

1

2

.

.

.

N

Tabel 1. Contoh data matriks spesies × stasiun

Sedangkan untuk data abiotis atau faktor lingkungan, maka data matriksnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Contoh data matriks stasiun × faktor lingkungan

Berdasarkan data contoh di atas, AKU biasanya digunakan untuk melakukan ordinasi baik terhadap spesies maupun lokasi. Jika ordinasi akan dilakukan terhadap spesies, maka variabel yang akan dianalisis adalah spesiesnya dan sebaliknya jika akan dilakukan ordinasi terhadap stasiun yang menjadi variabelnya adalah stasiun. Notasi variabel biasanya dinyatakan sebagai X1, X2, ..., Xp, dimana p menunjukkan banyaknya variabel (banyaknya spesies atau stasiun). Hal sama juga dapat diperlakukan terhadap data matriks lingkungan.

Data yang dikumpulkan dalam sebuah penelitian bisa berbentuk kualitatif atau kuantitatif. Untuk data biotis, contoh data yang berbentuk kualitatif adalah jika data matriks berisikan data presence/absence (ada atau tidak ada). Untuk pengolahan data, biasanya data ini berbentuk 0 dan 1, sedangkan data yang berbentuk kuantitatif, data yang dikumpulkan adalah data kelimpahan (yang umum digunakan) atau dapat juga berbentuk persentase. Sudah barang tentu, pendekatan analisis untuk kedua jenis data ini berbeda.

Gambar

Gambar 1. Burung Trinil Pantai (Actitis hypoleucos), salah satu jenis burung pantai yang sedang mencari makan di daerah pantai (CROBY, 2001).
Gambar 1. Ordinasi sampel-10-8-6-4-202 4 6 8 10 12Z1-6-5-4-3-2-1012345Z21234567
Tabel 6. Skor komponen utama
Tabel 5. Koefisien komponen utama
+3

Referensi

Dokumen terkait

kematian hero dapat dikurangi secara signifikan sekaligus meningkatkan kesempatan memenangi pertempuran. Terkait kalimat interogatif “ana sing gawe orchid pora ta?”,

Dalam hal ini, Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru mengupayakan agar akreditasi yang pada dasarnya merupakan kebijakan strategis bisa dapat dipahami secara menyeluruh

Mini market Jekulo yaitu Indomaret dan Alfamart, untuk Indomart sendiri berjarak kurang lebih 100 meter dari pasar tradisional Jekulo dan sudah mulai buka pada pagi

Suspensi mobil tersebut dirancang memiliki nilai Suspensi mobil tersebut dirancang memiliki nilai redaman sebesar koefisie. redaman sebesar koefisien reda n

didapatkan bahwa dari 18 responden laki-laki yang mengalami gangguan perilaku. antisosial adalah sebanyak 15 responden (40,5%) dan yang

hentikan rotor dan letakkan massa trial weight pada rotor dengan besar massa yang sudah ditentukan.Selanjutnya jalankan rotor dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan

Izin rumah sakit kelas A dan rumah sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri diberikan oleh Menkes setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang